حيات الدنيا حيات قليلة فلا تلغ حياة أبدية

Selasa, 12 Juli 2016

Pengaruh Liberalisme dalam Kultur Pemikiran Nahdliyyin


Pengaruh Liberalisme dalam Kultur Pemikiran Nahdliyyin

NAHDLATUL ULAMA (NU) adalah jam’iyyah yang didirikan oleh para kiyai pengasuh pesantren di Indonesia. Tujuan didirikannya NU diantaranya adalah:

Sabtu, 09 Juli 2016

ETIKA dalam Bermadzhab


ETIKA dalam Bermadzhab

Siapa yang tak kagum dengan ilmu yang dimiliki ulama sekaliber Imam Al Ghazali juga Al Bukhari yang demikian mendalam ilmu haditsnya?

Selasa, 05 Juli 2016

Shalat Tarawih Selama lebih 1000 tahun di Masjid Madinah


SHALAT TARAWIH SELAMA LEBIH 1000 TAHUN DI MASJID NABAWI MADINAH
Karya Syeikh Athiyyah Salim.[1]

الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره و نعذباالله منشرور انفسنا و سئات اعمالنا من يهد الله فلا مضل له و من يضلله فلا هادى له اشهد ان لااله الا الله وحده لاشريك له و اشهد ان محمدا عبده و رسوله لا نبى بعده اللهم صل على محمد بن عبد الله و على اله و اصحابه و من و الاه.


SHALAT TARAWIH DI JAMAN SAYYIDINA ABU BAKAR


SHALAT TARAWIH DI JAMAN SAYYIDINA ABU BAKAR

Dijaman Sayyidina Abu Bakar Shiddiq radhiallahu ‘anhu tidak terlalu lama, dan masuh dekat dengan jaman Nabi , untuk itu tidak banyak perubahan yang berarti dalam pelaksanaan shalat tarawih.

SHALAT TARAWIH PADA JAMAN SAYYIDINA UMAR RADHIALLAHU


SHALAT TARAWIH PADA JAMAN SAYYIDINA UMAR RADHIALLAHU ‘ANHU

Dijaman Sayyidina Umar keadaan tetap seperti sebelumnya, mereka shalat tarawih berpencar-pencar,

SHALAT TARAWIH DI JAMAN SAYYIDINA UTSMAN DAN ALI RADHIALLAHU 'ANHUMA


SHALAT TARAWIH DI JAMAN SAYYIDINA UTSMAN DAN ALI RADHIALLAHU ‘ANHUMA

Pada jaman Utsman, Ali radhiallahu ‘anhuma sendiri yang menjadi imam shalat tarawih hampIr sepanjang bulan.

SHALAT TARAWIH PADA JAMAN IMAM EMPAT


SHALAT TARAWIH PADA JAMAN IMAM EMPAT

A. Imam Malik, Imam Darul Hijrah


Imam Malik masih mengetahui hidupnya Umar bin Abdul Aziz selama 18 tahun, karena Umar wafat pada tahun 111 Hijriyah sedang Malik lahir pada tahun 93,

Shalat Tarawih pada abad ketiga sampai dengan abad enam


SHALAT TARAWIH PADA ABAD KETIGA

Abad II berlalu, sedang tarawih 36 rakaat dan witirnya 3 rakaat, jadi jumlahnya 39 rakaat, tetapi ada yang berpendapat 41 rakaat seperti yang telah lalu.

SHALAT TARAWIH PADA ABAD KE IIIV, IX, X, XI DAN XII


SHALAT TARAWIH PADA ABAD KE IIIV, IX, X, XI DAN XII

Di abad ini shalat tarawih kenbaki pada 36 rakaat, hanya pelaksanaannya berbeda.

SHALAT TARAWIH PADA ABAD XIII, XIV DAN ABAD XV


SHALAT TARAWIH ABAD KETIGA BELAS

Abad ke tiga belas adalah merupakan tahun-tahun terakhir pemerintahan Turki


Memasuki abad XIII, shalat tarawih tetap seperti semula, tidak ada sesuatu yang mengharuskan adanya perubahan, sesuai dengan keadaan seluruh daerah, karena Mekkah dan Madinah masih diperintah oleh orang-orang Asyrof, meskipun waktu itu masuk Khilafah Utsmaniyah. Sejak dahulu daerah Hijaz masih diperintah oleh orang-orang Asyrof meskipun bergantian antara orang-orang Fatimi dan Abbasi, sampai berdirinya khilafah Utsmaniyah di Turki. Mulai dari Sultan Salim di Mesir tahun 922 dan dia berdakwah diatas mimbarMekkah tahun 923, Hijaz waktu itu juga tetap di tangan orang-orang Asyrof di bawah kekuasaan Khilafah Utsmaniyah sampai meletus perang dunia pertama, sedang kekhalifahan berakhir setelah perang dunia pertama selesai.

Pada waktu itu panglima orang Turki di Madinah adalah Fakhi Bsya, seorang panglima pertahanan Turki, dia menyerahkan Madinah pada tahun 1337. Sedang gubenur terakhir bagi orang-orang Asyrof di Mekkah adalah Syarif Husain sedang di Madinah adalah Syarif Ali. Pada tahun 345 Syarif Husain dipanggil untuk menjabat sebagai raja di Negara-negar Arab. Madinah pada waktu itu belum keluar dari pemerintahan langsung orang-orang Turki, baik pada awal atau akhir pemerintahan Turki Utsmani.

SHALAT TARAWIH PADA ABAD KELIMA BELAS


Memasuki abad XV, shalat tarawih di masjid Nabawi masih tetap seperti sebelumnya, sampai pertengahan pertengahan abad itu. Tidak kelihatan adanya perubahan, baik dalam bilangan rakaat atau cara mengerjakannya, yakni 36 rakaat ditambah 3 rakaat shalat witir, 20 rakaat setelah shalat Isya’ dan 16 rakaatnya setelah tengah malam yang dinamakan dengan ”Sittah Asyriyah” (enam belasan), seperti yang dikatakan Nabulisi pada abad XII.

Pada awal abad XIV barulah terjadi perubahan, ialah banyaknya imam dan madzhab lebih dari empat madzhab. Imam itu banyak sekali, kadang-kadang bertambah dan berkurang, tetapi yang tetap dan resmi hanya da enam:
  1. Imam untuk hakim dan pengikutnya
  2. Imam untuk tuan qadi, penulis dan angota-anggotanya
  3. Imam untuk orang-orang agwat
  4. Imam untuk imam mufti
  5. Imam untuk komandan tentara
  6. Imam untuk keluarga

Sebagian keluarga yang besar ada yang mengadakan shalat tarawih sendiri, yang diimami oleh imam khusu untuk mereka. Imam-imam itu melakukan terawih bersamaan dengan imam yang boasa (imam-imam madzhab yang dulu), sedang bacaanya berbeda dengan imam-imam itu, mereka memendekkan bacaan hanya dengan beberapan ayat atau surat-surat pendek, karena mereka shalat dengan orang-orang yang mempunyai pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk menunggu imam yang biasa, karena imam yang biasa itu melaksanakan shalat tarawih dengan orang-orang secara umum, imam-imam itu menghatamkan Al Qur’an sampai dua kali, pertama pada shalat tarawih yang pertama dan kedua pada shalat tarawih sittah asyriyah (enam belasan)

Imam itu mempunyai tempat sendiri-sendiri, imam orang-orang agwat shalat dengan mereka di tempat khusus untuk mereka, yaitu di mihrab tahajud yakni mihrab yang sekarang terletak di belakang kamar Nabi yaitu di gang antara kamar Nabi dengan tempat ahli suffah. Imam untuk orang perempuan shalat bersama mereka di dalam qofas yaitu tempat yang berdindingkan kayu guna menghalangi orang yang melihat, memanjang disebelah timur dari bab nisa’ ke utara sampai bab majidi, waktu itu berada dibagian belakang masjid, sebelah timur seluruhnya. Tinggi dinding kira-kira tiga meter, tidak seorangpun diperbolehkan masuk kecuali orang-orang perempuan dan anak-anak kecil serta orang-orang agwat bila ada keperluan. Qofas ini sekarang suadah ditiadakan.

Imam Syeikh di Raudlah shalat di serambi pertama yang terletak antara bab rahmah dengan bab nisa’ yang setelahnya bagian belakang dari masjid. Yang mengherankan apa yang kami dengar dari Sayyid Said Basya Syamil bahwa imam syeikh di Raudlah itu setiap malam menghatamkan Al Qur’an sepanjang malam pada bulan Ramadhan. Dikatakan juga bahwa imam itu bacaannya cepat sekali sampai bergerak-gerak dan seperti lupa dirinya, bahkan kadang-kadang dalam satu rakaat membaca satu juz. Kami juga mendengar dari Syeikh Hasan As Syair (syeikhnya qurro’ di masjid Nabawi), bahwa ada orang yang membaca Al Qur’an seluruhnya dalam satu malam pada bulan Ramadhan disaat shalat tarawih, tetapi dia mengerjakan hal itu hanya satu kali untuk mengecek hafalannya.

BERSAMBUNG KE SHALAT TARAWIHNAY SYEIKH HARAM (MASJID NABAWI)




Back to The Title

SHALAT TARAWIHNYA SYEIKH HARAM (MASJID NABAWI)


SHALAT TARAWIHNAY SYEIKH HARAM (MADINAH)

Kami mendengar dari Syeikh sayyid Ahmad Rifa’i, beliau adalah Syeikh Haram pada masa pemerintahan Khalifah Utmaniyah Turki dan Asyrof mengerjakan shalat tarawih di tempat khusus,

SHALAT TARAWIH DI MASA PEMERINTAHAN SAUDI


SHALAT TARAWIH DI MASA PEMERINTAHAN SAUDI

Pemerintahan Saudi dimulai sebelum pertengahan abad XIV dan di Madinah mulai tahun 1344 Hijriyah.

Pembahasan Tentang Hataman di Masjid Nabawi pada waktu Sekarang


Pembahasan Tentang Hataman di Masjid Nabawi pada Tahun 1390 H. dan Dalil-dalilnya

Amalan dan kegiatan yang ada di masjid Nabi mempunya arti sendiri bagi seluruh dunia Islam,

Pembahasan Masalah Imam dan Witir yang terjadi di Masjid Nabawi masa pemerintahan Saudi menurut Syeikh Athiyyah Salim



Pembahasan ini memaksa kita (mushannif) untuk membicarakan penyatuan satu imam yakni imam yang bisa, juga banyaknya shalat witir pada bulan Ramadhan di Masjid Nabawi yang mulia. Kita (mushannif) katakana ”memaksa” karena hal ini bukan termasuk pembahasan inti dalam pembicaraan shalat tarawih dan perkembangannya tetapi mempunyai hubungan yaitu penyatuan imam pada masa pemerintahan Saudi dan menyendirinya pengikut Imam Hanafi dalam shalat witir dari imam yang bisa. Ada dua pernyataan yang perlu diajukan:
  1. Mengapa imam dijadikan satu, padahal sebelumnya banyak sesuai dengan banyaknya madzhab? Disatukan dalam madzhab apa? Perlu diketahui bahwa imam-imam itu seluruhnya mengambil sumber dari Al Qur’an dan Al Hadits.
  2. Apa sebab para pengikut Imam Hanafi menyendiri dalam shalat witir, sedang dalam shalat tarawih, fardhu dan shalat malam mereka bersatu dan bersama imam biasa

Demikian kita dihadapkan pada dua soal tadi dan kita (mushannif) harus berusaha menjawabnya, akan tetapi terus terang kami (mushannif) katakana bahwa menjawab hal itu bukanlah suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan, maksudnya hanya sekedar memberikan jawaban yang sifatnya memaparkan dan menganalisa hal-hal yang telah lampau dan mengambil penilaian dari yang ada sekarang (1390 H.), sedang hukumnya dikembalikan kepada para pembaca sendiri, hal itu karena metode pembahasan ini adalah memaparkan sejarah dan menganalisa fiqih.
Dua masalah ini telah dibahas oleh banyak penulis dan pengarang dalam buku-buku karangan mereka, dengan mengemukakan pendapat mereka didalamnya. Sebagian ada yang menuliskan dalam risalah khusus. Untuk itu kami 9mushannif) ingin menuliskan jawaban tersebut:

Tentang soal pertama, yaitu dari segi penyatuan imam, maka sebenarnya satu hal yang tidak perlu kita perselisihkan dan dipertanyakan, kalau tidak terpaksa, karena bigitulah asalnya dalam semua shalat. Segala sesuatu yang sudah sesuai dengan asalnya tidak perlu dipertanyakan dengan kata-kata ”mengapa” , pertanyaan itu bisa dilontarkan untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan asalnya. Meski bunyi pertanyaan itu; Mengapa harus ada banyak imam untuk satu shalat dalam satu masjid?’ Dengan dilakukannya shalat berkali-kali dengan banyak imam, hal ini tidak sesuai dengan asalnya, yaitu yang dikerjakan sebelum periode Saudi itu. Tetapi hal ini sudah berlalu, tidak perlu dibicarakan lagi.

Seperti yang diketahui dengan jelas bahwa dalam agama, persatuan umat adalah tujuan utama agama Islam. Persatuan mereka dalam shalat termasuk perwujudan yang besar dari persatuan yang menyeluruh dimana barisan dan cara melakukannya tidak ada perbedaan antara yang kecil dan yang besar, rakyat jelata dengan penguasa, yang kaya dengan yang miskin, semuanya berdiri sejajar berdampingan. Yang menetang hal ini dianggap merongrong dan keluar dari barisan persatuan yang diharapkan, apalagi di Masjid Nabi yang merupakan sumber persatuan dan kiblat ummat serta sebagai contoh.

Sejak dulu sampai abad ketujuh, kecuali pada shalat tarawih, sebabnya bukan karena banyaknya madzhab tetapi karena makmum waktu itu mencari imam yang bacaannya baik. Hal ini Sayyidina Umar tidak senang, akhirnya semua dijadikan satu imam yakni Ubay bin Ka’ab. Untuk menghindarkan perpecahan, Sayyidina Umar telah mengumpulkan bantak qari’ (imam) untuk menilai bacaan mereka masing-masing. Akhirnya diputuskan bagi yang bacaannya cepat membaca 50 ayat, sedang yang bacaannya lambat 30 ayat dan seterusnya.

Memang, imam tarawih banyak tetapi diatur secara bergantian, tidak bersama-sama dalam satu waktu dengan banyak imam, begitu juga dalam shalat witir. Hal seperti ini juga berlaku pada jaman SAYYIDINA Utsman dan Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhum, belum pernah terjadi adanya banyak imam dalam satu shalat kecuali pada abad ketujuh seperti yang telah diterangkan sebelumnya. Itulah sekilas sejarah tentang masalah banyaknya imam, tidak ada satupun perbuatan salaf yang bisa diikuti yang menyatakan adanya perselisihan secara jama’ah.

Secara sendiri-sendiri mungkin ada dalam tarawih atau witir, hal ini hanya disebabkan perbedaan penilaian mereka dalam menentukan paling afdhol. Ditinjau dari segi hukum fiqih, maka semua madzhab menyatakan bahwa setiap orang boleh bermakmumkepada siapa saja yang sah menjadi imam, meskipun tidak sama madzhabnya. Belum pernah kita dapatkan dari madzhab empat yang mensyaratkan dalm shalat jama’ah bahwa imam madzhab harus sama dengan madzhab makmum, ahkan mereka satu dengan yang lain pernah bermakmum di belakang yang lain.

Seperti yang terjadi bahwa Abu Yusuf teman Imam Abu Hanifah berkumpul dan bermakmum kepada Imam Malik, Imam Malik tidak menentangnya. Begitu Imam Syafi’i, Imam Malik dan Muhammad teman Abu Hanifah, masing-masing pernah shalat makmumdi belakang yang lain, mereka tidak berselisih. Imam Ahmad juga pernah shalat bersama dengan Imam Syafi’i mereka tidak berselisih. Begitulah telah berlangsung lebih dari tujuh abad di Madinah tidak pernah ada yang tidak mau shalat makmum di belakang imam karena berlainan madzhab. Selain itu jama’ah haji yang datang ke Madinah dari seluruh penjuru dunia, juga terdiri pengikut madzhab empat

Penyatuan jama’ah shalat pada satu imam adalah perbuatan salaf dan mengikuti asal syari’at serta merealisasikan tujuan penting Islam dalam persatuan ummat Islam, hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam seluruh madzhab sendiri. Ini berkenaan dengan shalat pada umumnya yaitu shalat lima waktu dan shalat tarawih. Madzhab yang dipakai dalam penyatuan itu adalah madzhab Imam Ahmad bin Hambal. Pemilihan madzhab Imam Ahmad bin Hambal adalah satu hal yang wajar, karena akan terealisasi persatuan yang diharapkan. Sebab madzhab Imam Ahmad bin Hambal yang umum dan berjalan di Saudi waktu itu, maka tidak mungkin adanya imam dengan madzhab yang lain (apapun madzhab itu) di daerah-daerah Hijaz apalagi Masjid Nabawi. Penyatuan imam pada madzhab imam Ahmad terbukti betul-betul satu hal yang wajar dan bisa merealisasikan maslahat yang diharapkan dalam persatuan ummat Islam serta di Masjid Rasulullah

Satu hal yang lebih menguatkan lagi bahwa menjadi imam bukan hanya dari orang-orang Hambali saja, tetapi juga dari madzhab masing-masing dipilih menjadi imam dan diserahi untuk mengimami salah satu shalat lima waktu yang makmumnya seluruh orang muslim, seperti yang telah kita bicarakan. Syeikh Muhammad Kholil, dulu sebelum pemerintahan Saudi , menjadi imam untuk orang-orang Syafi’i diserahi untuk menjadi imam shalat Dhuhur, Syeikh Maulud dulu sebelum pemerintahan Saudi menjadi imam orang-orang Maliki untuk mengimami shalat Ashar dan Syiekh As’ad menjadi imam orang-orang Hanafi untuk mengimami shalat Isya’. Sdang shalat Maghrib dan subuh diserahkan pada Syiekh Rozaq Hamzah dibantu oelh Syeikh Taqyuddin Hilali dan juag dibantu oleh Syeikh Muhammad Abdullah pengikut Madzhab Maliki.

Itulah kenyataan sejarah dalam masalah imam di Masjid Nabawi pada jaman pemerintahan Saudi, yang menunjukkan bahwa (katanya red.) pemilihan madzhab Hambali dalam shalat jama’ah tidak menjadi penghalang adanya imam madzhab yang lain. Hal ini merupakan realisasi dari tujuan persatuan di daerah tersebut.
Mengenai jawaban untuk pertanyaan yang kedua, mengapa orang-orang Hanafi menyendiri dalam shalat witir saja, padahal sebelum jaman Saudi tidak demikian. Yang jelas hal ini (katanya red.) merupakan ekor dari pada yang ada sebelum pemerintahan Saudi, yaitu pada abad ke 12, seperti yang dikatakan oleh Syeik Syamhudi dala kitabnya ”Wafaul Wafa’” , bahwa dia menyaksikan pada waktu itu ia menasehati mereka agar mau meninggalkan perbedaan pendapat itu dan mau bersatu, akhirnya mereka mau mematuhi nasehatnya tapi tak lama kemudian kembali seperti semula. (kenapa ??? red.)

Dalam hal ini Syamhudi pernah menulis suatu buku yang berjudul ”Mashabihud Dhalam fi Qiyami Syahri Ramadhan” , saying mushannif belum menemukan buku tersebut, sehingga tidak mengetahui isi nasihatnya. Disini kami (mushannif) tidak bisa membicarakan masalah ini secara hokum fiqih ataupun mengadakan studi perbandingan dan memberikan penilaian mana yang lebih kuat ataupun suasana yang lebih cocok antara madzhab Hanafi dengan madzhab tiga yang lainnya, walaupun demikin juga tidak bisa meninggalkan secara keseluruhan, kami mwmbahasnya secara global yang kami anggap perlu saja, yaitu tentang sebab adanya perbedaan itu agar kita mengetahui sebab-sebab mengapa orang-orang Hanafi menyendiri dalam shalat witir.

Sebab tumbuhnya perbedaan mereka itu berpangkal dalam memahami hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat witir, dari segi mafhum dan manthuqnya, juga dari segi derajat shahihnya begitu juga dalam memahami atsar-atsar dalam bentuk dan jumlah rakaat serta cara mengejakannya. Perbedaan mereka bisa disimpulkan dalam point-point berikut;
  1. Dalam hukum.

    Orang-orang Hanafi mengatakan wajib, sedang jumhur (kebanyakan ulama) manyatakan sunnah mu’akkad (sunnah yang dikuatkan) tetapi perlu diperhatikan bahwa istilah wajib bagi orang-orang Hanafi tidak sama dengan istilah wajib bagi jumhur ulama. Yang jelas bahwa wajib bagi orang-orang Hanafi adalah dibawah fardhu diatas sunnah maka tidak perlu adzan dan bagi yang meninggalkan tidak dianggap kafir.
  2. Dalam bilangan rakaat.

    Madzhab Hanafi mengerjakan tiga rakaat atau lebih, tidak boleh kurang dari tiga rakaat sedang jumhur boleh dengan satu rakaat. Tetapi mereka semua sepakat bahwa batas paling banyak adalah tiga belas rakaat, hanya berbeda dalam pelaksanaan bagi madzhab Hanafi harus dijadikan satu salam.
  3. Cara mengerjakannya.

    Kalau tiga rakaat madzhab Hanafi berpendapat harus dijadikan satu takbiratul ihram dan satu salam sedang di tengah-tengah harus ada tasyahhud persis shalat Maghrib. Sedang bagi jumhur dipecah; dua rakaat satu salam dan ditambah satu rakaat satu salam.
  4. Tempat qunut.

    Madzhab Hanafi berqunut sebelum ruku’ dalam berdo’a dengan suara pelan, mereka bertakbir sebagai tanda perpindahan antara selesai membaca ke do’a, sedang madzhab Hambali dan Syafi’i berqunut setelah ruku’ dan dalm berdo’a dengan suara keras.

Dengan perbedaan-perbedaan inilah madzhab Hanafi berselisih pendapat dengan jumhur. Dengan demikian orang-orang Hanafi shalat berjama’ah bersama imam dalam shalat fardhu dan tarawih karena tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah itu, tetapi mereka menyendiri dalam shalat witir guna melakukannyasesuai dengan apa yang mereka anut. Semua itu ecara hokum fiqih mungkin boleh terjadi, tetapi secara praktek dengan cara yang demontrativ itu tentunya akan menimbulkan suatu pertanyaan dan mengundang perhatian. Padahal sebenarnya mempunyai nas-nas yang bisa menyatukan mereka dengan yang lain dan menghapuskan perselisihan itu. Juga bagi mereka sebenarnya sah hukumnya shalat witir di belakang imam yang bermadzhab selain Hanafi. Dalam kitab mereka dari Nadhoman Ibnu Wahhabin dikatakan yang artinya; “Kalau ada orang Hanafi berjemaah di belakang seorang muslim apapun madzhabnya untuk shalat witir kemudian menyempurnakannya sampai ntiga rakaat maka witiwnya sah.”

Pengarang ”Fathul Qadir Syarah kitab Al Hidayah” dari Abu Bakar Ar Razi telah menerangkan secara terperinci dalam masalah ini, bahwa seorang bermadzhab Hanafi bila shalat witir di belakang orang yang bukan bernadzhab Hanafi ada dua pilhan:
  1. Tidak ikut salam pada rakaat kedua kemudian mengikuti imam pada rakaat ketiga, hal ini dengan dasar bahwa salam imam tidak memutuskan shalat karena pada waktu itu tempat ijtihad dan berarti dia mengikuti imam sampai selesai.
  2. Tidak mengikuti waktu salam pada rakaat kedua tetapi terus menyelesaikan sendiri rakaat ketiganya.

Yang jelas itulah bentuk yamg bisa menghilangkan perselisihan dengan tidak menjadikan seseorang keluar dari madzhabnya. Sekali lagi kami (mushannif) tidak ingin membicarakan masalah ini dari segi madzhab, nas-nas sudah cukup banyak sedangmasalahnyapun sudah jaelas.
Tetapi yang menarik perhatian dan kurang sedap dipandang adalah adanya perselisihan antara kaum muslimin yang terlihat dalam melaksanakan ibadah kepada Allah, apalagi hal ini terjadi di masjid Nabi . Hal ini menimbulkan dampak negatif terutama bagi orang awam, setelah shalat witir besama imam yang biasa kemudian mereka melihat orang-orang Hanafi shalat witir lagi, mereka menyangka bahwa pekerjaan orang-orang Hanafi itu termasuk tambahan sunnah dalam bulan Ramadhan dan di masjid yang mulia itu. Akhirnya merekapun ikut shalat witir lagi dengan orang-orang Hanafi, dengan demikian mereka shalat witir dua kali karena tidak mengerti bahwa perbuatan seperti itu dilarang oleh Rasul dalam sabdanya: ”Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.”

Kalau kita tinjau masalah ini sekali lagi dalam kitab-kitab orang Hanafi, akan kita dapati bahwa shalat witir seorang diri lebih afdhal bagi mereka diluar Ramadhan, sedang shalat witir berjama’ah di masjid pada bulan Ramadhan keafdhalanya masih diragukan. Dalam kitab ”Marokil Falah” dikatakan yang artinya: ”Shalat witir dengan berjama’ah pada bulan Ramadhan lebih afdhal dari pada dikerjakan sendiri-sendiri padaa akhir malam.” Tetapi yang lainmenyatakan sebaliknya juga dalam keterangan kitab itu. Ulama-ilam kita memilih shalat witir di rumah tidak dengan berjema’ah, dengan mengetengahkan kata-kata Al Rozi terdahulu yang menyatakan sahnya shalat witir dibelakang orang Islam yang bermadzhab lain, baik dengan menyelesaikan sendiri atau mengikuti imam.

Sebagai akhir dari keterangan tentang perkembangan sejarah shalat tarawih di masjid Nabi, kami (mushannif) ingin mengajak para pembaca untuk bertanya apakah sepanjang sejarah lwbih 1000 tahun di masjid Nabi dari awal sampai sekarang (1390 H.) shalat tarawih hanya terbatas pada delapan rakaat atau kurang dari 20 rakaat ataukah selama 14 abad shalat tarwih itu antara 20 rakaat sampai 40 rakaat ? Apakah pernah dengar, mereka yang telah tinggal dan beriman sebelumnya atau dengan kata lain yang sudah meninggalkan kita dengan iman meski seorangpunberkata, ”Shalat tarawih tidak boleh lebih dari delapan rakaat dengan dalih hadits Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah tidak pernah shalat lebih dari 8 rakaat ?” ”Atau mereka memahami nas-nas yang mutlak, tidak terbatas dan nas-nas lebih bersungguh-sungguh pada bulan Ramadhan dari bulan yang lain dan pada malam 20-an lebih dari yang lain, dan malam 20-an mempunyai keistimewaan dari yang lain ?” Ataukah mereka mengerjakan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar, Ustman dan Ali di tengah-tengah para sahabat radhiallahu ‘anhum yang meraka mekihat dan menyaksikan kehidupan Rasulullah serta sejaman dengan Sayyidah Aisyah radhiallahu ‘anha dan mereka melihat cara Sayyidah Aisyah shalat dan bagaimana beliau menjadikan para pemuda yang pandai membaca Al Qur’an sebagai imam dalam shalat tarawih ?” ”apakah ini semua menunjukkan bahwa shalat tarawih itu 8 rakaat atau yang lain???”

Kalau sepanjang 14 abad tidak ada yang berkata tidak boleh shalat tarawih lebih dari 8 rakaat, juga tidak ada di masjid Nabi yang shalat tarawih dengan jama’ah hanya 8 rakaat maka sedikitnya bisa kita katakana kepada mereka yang tidak membolehkan shalat tarawih lebih dari 8 rakaat dan mereka tidak mau menyimpan pendapatnya untuk dirinya dan mengajak orang lain, kita katakana, ”Sesungguhnya mengikuti umat dari jaman khulafaurrasyidin radhiallahu ‘anhum sampai sekarang dan melakukan yang sesuai dengan mereka pada abad pertama sampai sekarang lebih baik dari pada menentangnya dan berbeda dengan mereka, terutama bagi mereka yang shalat di masjid Nabi, sesuai dengan hadits Abu Dzar pada kitab-kitab Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi juga yang terdapat pada kitab Baihaqi yang nasnya, ”Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah dan beliau tidak pernah tarawih shalat tarawih bersama kami sepanjang bulan sampai datang malam ke-23, Rasulullah bersama kita sampai pertiga malam, pada malam ke-24 tidak shalat bersama kami lagi dan pada malam ke-25 beliau shalat bersama kami sampai tengah malam, maka kami waktu itu berkata, “Wahai Rasulullah, alangkah senangnya kalau disunnahkan juga sisa malam itu (sampai pagi).” Maka Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya seorang yang shalat yang bersama imam sampai selesai maka Allah juga menuliskan sisa malamnya.” Rasulullah menjadikan shalat malam bersama imam sampai selesai seperti shalat sepanjang malam dan Rasulullah tidak memberi batas bagi imam, juga tidak menentukan bilangannya.

Bagi mereka yang shalat di rumah, diberi kebebasan untuk memperbanyak atau memperpendek, terserah pada dirinya tanpa ada hubungan dengan yang lain, dialah yang menentukan sendiri; Apa mau mengurangi jumlah rakaatnya tapi memanjangkan bacaannya atau memperbanyak jumlah rakaatnya tetapi meringankan bacaannya, terserah mana yang lebih disukai. Dalam hal ini kami (mushannif) hendak memaparkan pendapat imam empat dan apa yang dikerjakan oleh para pengikutnya agar setiap pembaca mengetahui serta memahami pendapat dan dalil mereka.

BERSAMBUNG KE Shalat Tarawih dalam Madzhab Empat




Back to The Title

SHALAT TARAWIH DALAM MADZHAB EMPAT


SHALAT TARAWIH DALAM MADZHAB EMPAT

Pembahasan kami yang lalu berjalan sesuai dengan perjalanan sejarah Islam dari jaman Nabi sampai abad ke 14

SHALAT TARAWIH MENURUT MADZHAB HANAFI



Qiyam (shalat tarawih) pada bulan Ramadhan disukai (mustahab) agar orang-orang berkumpul pada bulan Ramadhan setelah Isya’ dan imam shalat bersama mereka 5 tarawih,

SHALAT TARAWIH MENURUT MADZHAB SYAFI'I



Imam Syafi’i mengatakan bahwa shalat qiyam Ramadhan (tarawih) sendirian lebih kesenangi dan saya melihat orang-orang Madinah melakukan 39 rakaat dan yang paling saya senangi adalah 20 rakaat karena hali itu diriwayatkan oleh sayyidina Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu dan begitulah orang-orang Mekkah melakukannya.[1]
Kata-kata shalat sendirian seakan-akan maksudnya shalat tarawih sendirian, akan tetapi Al Muzni mererangkan bahwa maksud Imam Syafi’i dengan kata-kata itu adalah shalat nafilah (sunnah) yang dikerjakan sendiri tidak dengan berjama’ah seumpama shalat rawatib setelah shalat fardhu dan sesudahnya serta shalat witir. Beliau membedakan shlat qiyam ramadhan (tarawih) dengan shalat nawafil (sunnah) lainnya bukan membedakan antara shalat tarawih berjama’ah dengan shalat tarawih sendirian. Hal ini berdasarkan atas dhamir (nya/hu) dalam kata-kata lebih saya senangi dari padanya (minhu), yakni lebih saya senangi daripada qiyan ramadhan (tarawih). Juga berdasarkan atar permulaan kata-katanya pada awal pembahasan dengan kata-kata; ”Shalat Tathawwu’ (sunnah) ada dua macam; Pertama shalat jama’ah yang dikuatkan, yang tidak saya bolehkan meninggalkannya bagi mereka yang kuat mengerjakannya seperti shalat ‘idain (dua hari raya) dan seterusnya. Yang kedua shalat sendirian, yang sebagian lebih dikuatkan dari yang lain, yang paling dikuatkan adalah shalat witir hamper sama dengan shalat tahajjud kemudian shalat sunnah fajar”, kemudian beliau berkata, “Saya tidak member rukhshah (keringanan) bagi seorang muslim untuk meninggalkan salah satu diantaranya, bahkan saya mewajibkannya, barang siapa meninggalkan salah satu diantaranya maka dia lebih jelek daripada yang meninggalkan seluruh nawafil.” Kemudian beliau berkata tentang qiyam Ramadhan (tarawih), ”Maka shalat sendirian lebih saya sukai daripadanya.” Atau dengan kata lain, shalat sunnah fajar dua rakaat dan shalat sunnah witir lebih dikuatkan dari pada shalat sunnah qiyam Ramadhan.”

An Nawawi telah memparinci dan menyebutkan pengarang (Syafi’i) berkata, “Diantara shalat sunnah rawatib adalah qiyam Ramadhan (tarawih) yaitu 20 rakaat dengan 10 salam dalilnya ialah riwayat yang mengatakan bahwa Abu Hurairah berkata bahwa Nabi menganjurkan untuk qiyam ramadhan tanpa memerintahkan dengan dengan sungguh (pasti) dan bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang menunaikan (shalat pada malam) Ramadlan dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni." (Mutafaqun ‘alayhi)[2]

Yang lebih afdhal dilakukan dengan berjama’ah, ini pendapat Al buwaiti dengan dalil riwayat yang mengatakan bahwa sayyidina Umar mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab. Sebagian ada yang berpendapat bahwa melakukan sendiri-sendiri lebih afdhal karena Nabi shalat bersama mereka hanya beberapa malam, kemudian tidak shalat bersama mereka lagi. Bagi madzhab pertama, ketidak-hadiran Rasulullah melakukan shalat bersama mereka karena khawatir dianggap wajib atas mereka dan diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Saya takut kalau diwajibkan atas kamu dan kamu tidak mampu melaksanakannya.”

Al Bughawi mengatakan; (keterangan) Hadits Abu Hurairah diriwayatkan oleh Muslim dalam lafadznya dan oleh Bukhari dengan ringkas. Dan hadits Umar menyatukan orang-orang kepada Ubay bin Ka’ab adalah hadits shahih diriwayatkan oleh Bukhari. Dan dua hadits lainnya menyebutkan bahwa Nabi shalat maka diikuti oleh orang-orang , beberapa malam kemudian tidak. Dan hadits; “Saya takut diwajibkan atas kamu”, keduanya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Sedang kata-kata tanpa memerintahkan dengan sungguh-sungguh (pasti) artinya tanpa mewajibkan tetapi berupa anjuran dan menyunnahkan dengan menyebutkan fadhilahnya. Kata-kata penuh dengan iman artinya mempercayai bahwa itu haq (benar) dan kata-kata mengharap ridha Allah artinya mengerjakan karena Allah bukan untuk riya’ (sombong)

Mengenai hukumnya maka shalat tarawih itu hukumnya sunnah menurut ijma’ para ulama. Sedang madzhab Syafi’i dalam hal ini 20 rakaat dengan 10 salam, boleh dikerjakan sendiri-sendiri boleh dengan berjama’ah. Tentang mana yang lebih afdhal, ada dua pendapat yang masyhur, seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’i dan para pendukung kedua pendapat itu. Yang betul menurut persetujuan para sahabat adalah dilakukan dengan jama’ah lebih afdhal, inilah yang tertulis dalam Al Buwaiti dan kebanyakan teman kita yang terdahulu berpendapat seperti ini (kedua) dengan sendiri-sendiri lebih afdhal, pengarang (Syafi’i) telah menyebutkan dalil keduanya. Ashhabusy Syafi’i dari Iraq dan Shaidalani serta Baghawi dan yang lain dari orang-orang Khurasan mengatakan bahwa perselisihan dalam hal ini bagi yang hafal Al Qur’an dan tidak takut malas, kalau mengerjakan sendirian masjid tidak akan sepi karenanya. Kalau tidak ada sesuatu hal maka berjama’ah lebih afdhal tanpa ada perselisihan.

Abul Abbas dan Abu Ishaq berkata, “Shalt Tarawih dengan jama’ah lebih afdhal daripada sendirian karena hal ini ijma’ para sahabat dan seluruh daerah.” Merekapun berkata, “Masuk waktu tarawih setelah selesai shalat Isya’. Dikatakan pula oleh Baghawi dan yang lain terus berlangsung sampai terbit fajar, shalat 2 rakaat 2 rakaat seperti biasa, kalau ada yang shalat 4 rakaat dengan satu salam tidak sah, disebutkan oleh Kodi Husein dalam fatwanya, karena hal itu bertentangan dengan yang disyariatkan. Dan tidak sah shalat itu hanya dengan sekedar niat secara umum tetapi harus berniat sunnah tarawih atau shalat tarawih atu qiyam Ramadhan dan harus berniat dalam setiap dua rakaat dua rakaat dalm shalat tarawih.

Dan berkata; (cabang) tentang madzhab-madzhab ulama dalm bilangan rakaat. Madha Syafi’Ii 20 rakaat dengan sepuluh salam selain witir yaitu dengan lima tarawih dan setiap tarawih empat rakaat dengan dua salam. Inilah Madzhab Imam Syafi’i yang juga dianut oleh Abu Hanifah dan teman-temannya, juga Ahmad dan Dawud serta yang lainnya. Kodi Iyad menukil dari banyak ulama (jumhur ulama) dan mengisahkan bahwa Aswad bin Mazid shalat tarawih dengan 40 rakaat dan berwitir dengan 7 rakaat dan Malik berkata, “Tarawih itu Sembilan tarawih yakni 36 rakaat selain witir. Dia berhujjah karena orang-orang Madinah mengerjakan seperti tiu dan Nafi’ berkata, “Saya dapati orang-orang shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan 39 rakaat termasuk witirnya tiga rakaat.”

Rekan-rekan berhujjah dengan apa yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan yang lain denag sanad yang shahih dari Sa’ib bin Yazid (seorang sahabat) radhiallhu ‘anhu berkata, “Meraka pada jaman Sayyidina Umar bi Khattab radhiallahu ‘anhu shalat tarawih denga 20 rakaat, mereka membaca ratusan ayat dan sampai mereka bersandar pada tongkat karena terlalunya berdiri.” Dan Yazid bin Ruman berkata, “Pada jaman Sayyidina Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu orang-orang melakukan shalat tarawih dengan 23 rakaat “, diriwayatkan oleh Malik dalam Muwththa’ dari Yazid bin Ruman, juga diriwayatkan oleh Baihaqi tetapi Mursal karena Yazid bin Ruman beleum pernahmengetahui sayyidina Umar. Baihaqi berkata, ”Dua riwayat itu bisa disatukan bahwa mereka bertarawih dengan 20 rakaat dan berwitir denagn 3 rakaat.” Baihaqi juga meriwayatkan bahwa Sayyidina Ali karramallahu wajhahu juga melaksanakan shalat tarawih dengan 20 rakaat.

Mengenai apa yang dikatakan tentang yang dilakukan oleh orang-orang Madinah, ashabusy Syafi’i mengatakan, sebabnya ialah orang-orang Mekkah mengerjakan thawaf diantara setiap dua tarawih, diteruskan shalat dua rakaat, mereka tidak melakukan thawaf setelah shalat tarawih yang kelima, maka orang-orang Madinah ingin menyamai mereka dengan menggantikan setiap thawaf dengan 4 rakaat, dengan demikian mereka menambahkan 16 rakaat ditambah lagi dengan witir 3 rakaat, jumlahnya menjadi 39 rakaat. والله أعلم

Pengarang kitab Asy Syamil dan kita Al Bayan berkata, “Teman-teman kita menyatakan, bagi oaring-orang selain Madinah tidak boleh mengerjakan seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang Madinah, yakni tidak boleh shalat 36 rakaat karena orang-orang Madinah mempunyai penghormatan (keistimewaan) sebagai tempat hijrah dan meninggalnya baginda Rasulullah , sedang selain mereka tidak.” Al Qadi Abu Thayib dalam komentarnya bahwa Imam Syafi’i berkata, “Selain orang Madinah tidak boleh mengikuti dan menyamai orang-orang Mekkah.”

Dikatakan; sedang imam dalam shalat tarawih membaca surat Al Baqarah dalam 8 rakaat, kalau di (imam) membacanya dalm 12 rakaat maka orang-orang mengatakan bahwa imam ingin meringankan makmum. Malik juga meriwayatkan dari Abdullah bin Abu Bakar radhiallahu ‘anhuma; Saya mendengar ayahku berkata, “Kita pulang dari shalat tarawih di bulan Ramadhan dengan tergesa-gesa menyiapkan makan sahur karena takut terburu fajar.” Malik juga meriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf dari Said bin Yazid, “Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk menjadi imam sedang imam membaca dua ratus ayat sehingga kita bersandar pada tongkat karena lamnya berdiri dan kita baru pulang menjelang fajar.”

Dan Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Utsman al Hindi, “sayyidina Umar memanggil 3 orang qari’ dan meminta mereka membaca, akhirnya menyuruh yang paling cepat bacaannya untuk mengimami dengan 30 ayat sedang yang pertengahan dengan 25 ayat dan yang paling lambat dengan 20 ayat.” Kemuudian berkata; dari Urwah bin Zubair bahwa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu menyatukan orang-orang untuk shalat qiyam Ramadhan (tarawih) yang laki-laki pada Ubay bin Ka’ab dan yang perempuan kepada Sulaiman bin Abi Hatsmah.”

Dan dari SAFRAJAH As Saqani berkata, “Ali bin Abi Thalib menyuruh orang-orang untuk shalat tarawih dan dia menjadikan satu orang imam untuk laki-laki dan satu lagi untuk perempuan, sayalah imam untuk perempuan, diriwayatkan oleh Baihaqi.” Kemudian berkata, “Sudah kita sebutkan bahwa yang shahih (betul) bagi kita bahwa melakukan shalat tarawih dengan berjama’ah lebih afdhal daripada sendiri-sendiri, pendapat ini adalah pendapat kebanyakan ulam (jumhur), bahkan Ali bin Musa Al Qumi menyatakan sebagai ijma’.” Rabi’ah, Malik Abu Yusuf dan lain-lainnya berkata bahwa sendirian lebih afdhal, kita bantah mereka dengan dalil bahwa para sahabat telah sepakat mengerjakan dengan jama’ah seperti yang telah kita sebutkan.
Dalil mereka yang mengatakan bahwa sendirian lebih afdhal adalah sabda Rasulullah :

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ

Shalatlah hai manusia di rumah kalian, sebab seutama-utama shalat seseorang adalah di rumahnya selain shalat wajib." (BUKHARI no. 6746, MUSLIM no. 1301, AHMAD no. 20600, 20619, 20645.)

Juga kata-kata sayyidina Umar yang terdahulau ketika mekhat orang-orang brmakmum dibelakang Ubay bin Ka’ab (pada saat kamu tidut lebih afdhal) atau dengan kata lain shalat pad akhir malam lenih afdhal. Tetapi yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan dengan jama’ah, yang menguatkan pendapat ini adalah riwayat yang diriwayatkan oleh Nawawi bahwa para sahabat melakukannya dan persetujuan Rasulullah terhadap mereka yangbermakmum di belakang beliau dan permintaan mereka agar ditambah sampai akhir malam dan lain-lainnya yang saling menguatkan.

BERSAMBUNG KE Shalat Tarawih Menurut Madzhab Hambali




Back to The Title

NoteFood:


(1) Kitab Al Umm Juz 1 halaman 142

(2) Kitab Al Majmu’ juz IV halaman 30

Back to top