CARA MENYIKAPI PERKARA KHILAFIYAH
Seringkali
kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah kesalahan dalam beragama atau
memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi
pernyataan-pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan khilafiyah”
atau “Orang sudah pergi ke bulan koq masih membahas khilafiyah” atau “Jangan
merasa benar sendiri lah, ini khan khilafiyah”. Pada hakikatnya
pernyataan-pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima
nasehat tapi tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih ‘khilafiyah’ pun dipakai.
Pada
prakteknya, terkadang yang mereka anggap ‘khilafiyah’ itu ternyata bukan khilafiyah,
namun terkadang memang khilafiyah. Yang ingin
kami bahas di sini adalah jika memang ternyata yang dibahas adalah perkara khilafiyah.
Kami akan tunjukkan bahwa tidak semua perkara khilafiyah itu bisa
ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.
Jika
Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’
Terlalu banyak firman Allah dan
sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memerintahkan kita
untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan. Allah Ta’ala
berfirman:
“Jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. An Nisa: 59)
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا
اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Tentang sesuatu yang kalian
perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS. Asy Syura: 10)
Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Sesungguhnya sepeninggalku
akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku
dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi
geraham kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Sunan Abi Daud )
Hadits ini juga memberi faidah
bahwa Qur’an dan Sunnah dipahami dengan pemahaman para salaf. Selain itu,
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن
بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة ، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم
في النار إلا ملة واحدة ، قال من هي يا رسول الله ؟ قال : ما أنا عليه وأصحابي
“Bani Israil akan berpecah
menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di
nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat
bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-orang
yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij
Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”)
Jelas sekali bahwa jika ada
perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada dalil, dan tentunya dipahami
dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada
perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua
pendapat itu benar semua, dan semuanya halal, hanya dengan dalih ‘ini khan
khilafiyyah‘.
Pendapat
Ulama Bukan Dalil
Para ulama berkata:
أقوال
أهل العلم فيحتج لها ولا يحتج بها
“Pendapat para ulama itu
butuh dalil dan ia bukanlah dalil”
Imam Abu Hanifah berkata:
لا
يحل لأحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه
“Tidak halal bagi siapapun
mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya)”
(Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu
‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
لا
تقلدني، ولا تقلد مالكاً، ولا الشافعي، ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث
أخذوا
“Jangan taqlid kepada
pendapatku, juga pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri.
Ambilah darimana mereka mengambil (dalil)” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim
dalam Al I’lam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi,
32)
Imam Asy Syafi’i berkata:
أجمع
الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها
لقول أحد من الناس
“Para
ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi
membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al
I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )
Para ulama bukan manusia ma’shum
yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Terkadang
masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena
bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan. Imam
Malik berkata:
إنما
أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه، وكل ما
لم يوافق الكتاب والسنة؛ فاتركوه
“Saya ini hanya seorang
manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai
dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an
dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al
Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul Al Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl
Sifah Shalatin Nabi, 27)
Orang yang hatinya berpenyakit
akan mencari-cari pendapat salah dan aneh dari para ulama demi mengikuti
nafsunya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sulaiman At Taimi
berkata,
لَوْ
أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ ، أَوْ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ ، اجْتَمَعَ
فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ
“Andai engkau mengambil
pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap
ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh
keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172)
Kapan
Khilafiyyah Ditoleransi?
Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah
berkata: “Ada banyak permasalahan yang para
ulama berlapang dada dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena ada
beberapa pendapat ulama di sana.
Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang
umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka dalam permasalahan yang
seperti ini, tidak boleh kita menganggap orang yang berpegang pada pendapat
lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah, atau
menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita
mentoleransi setiap pendapat selama bersandar pada dalil shahih, walaupun kita
menganggap pendapat yang kita pegang itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi,
1/100)
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
berkata: “Ucapan sebagian orang bahwa masalah khilafiyah itu tidak
boleh diingkari, tidaklah benar. Dan pengingkaran biasanya ditujukan kepada
pendapat, fatwa, atau perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu
pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah dikenal kebenaran nukilannya,
maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari menurut kesepakatan para ulama.
Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya, menjelaskan lemahnya pendapat
tersebut dan penjelasan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan dalil, ini
juga merupakan bentuk pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika
perbuatan tersebut menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai
dengan kadarnya”.
Beliau melanjutkan: “Bagaimana
mungkin seorang ahli fiqih
mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada masalah khilafiyyah,
padahal ulama dari semua golongan telah sepakat menyatakan secara tegas bahwa
keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah menjadi batal.
Walaupun keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama. Sedangkan
jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau
ijma’ dan memang ada ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini,
maka orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid
maupun muqallid” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/224)
Contoh
Perkara Khilafiyah Yang Ditoleransi
1. Qunut Subuh
Pendapat pertama:
hukumnya sunnah.
Dalil ulama yang berpendapat
demikian diantaranya:
·
Hadits
Bara’ bin ‘Adzib:
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ،
وَالْمَغْرِبِ
“Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh dan maghrib”
(HR. Muslim 678)
·
Hadits
dari Muhammad bin Sirin:
سُئِلَ
أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ: أَقَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي الصُّبْحِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَقِيلَ لَهُ: أَوَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ؟ قَالَ:
«بَعْدَ الرُّكُوعِ
يَسِيرًا»
“Anas Radhiallahu’anhu
ditanya: apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membaca Qunut ketika shalat
subuh? Ia berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi: apakah membacanya sebelum ruku’?
Ia berkata: setelah ruku’ sebentar saja” (HR. Bukhari 1001)
·
Hadits
Anas bin Maalik:
قَنَتَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي
صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَيَقُولُ:
عُصَيَّةُ عَصَتِ اللهَ
وَرَسُولَهُ
“Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan
keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)
·
Atsar Umar
bin Khattab Radhiallahu’anhu dalam Mushannaf Abdirrazzaq
(3/109) dengan sanad yang shahih bahwa beliau ketika shalat subuh, selesai
membaca surat beliau membaca doa qunut lalu setelah itu takbir kemudian ruku’
(Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)
·
Atsar Ibnu
‘Abbas Radhiallahu’anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
(2/312-313) dengan sanad shahih dari Abi Raja’ ia berkata: “Aku shalat
shubuh bersama Ibnu Abbas di Masjid Bashrah. Ia membaca doa Qunut sebelum ruku’”
(Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)
Dan beberapa hadits shahih dan
atsar lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Malik, Ibnu
Abdil Barr, Ibnu Abi Ya’la, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan Daud Rahimahumullah.
Pendapat kedua: hukumnya
sunnah
ketika ada musibah, dan bid’ah bila mengkhususkannya pada shalat shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:
·
Hadits
Anas bin Maalik:
قَنَتَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي
صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَيَقُولُ:
عُصَيَّةُ عَصَتِ اللهَ
وَرَسُولَهُ
“Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan
keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)
Dalam riwayat Bukhari
diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan dan
Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.
·
Hadits Abu
Hurairah:
“Selama sebulan penuh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah membaca سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ pada raka’at terakhir dari shalat Isya beliau membaca doa Qunut:
اللَّهُمَّ
أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ
الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ أَنْجِ
الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى
مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ
Ya Allah, tolonglah ‘Ayyash
bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah Walid bin Al Walid. Ya Allah, tolonglah
Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum mu’minin.
Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah,
jadikanlah tahun-tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang
dilewati Yusuf “ (HR. Bukhari 1006, 2932, 3386)
·
Hadits Abu
Malik Al Asyja-’i
عَنْ
أَبِيهِ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ
يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ
عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ
خَلْفَ عَلِيٍّ فَلَمْ يَقْنُتْ ، ثُمَّ قَالَ يَا بُنَيَّ إنَّهَا بِدْعَةٌ }
رَوَاهُ النَّسَائِيّ
وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Dari ayahku, ia berkata:
‘Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam namun ia
tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak
membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak membaca
Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut,
Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku
ketahuilah itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At
Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
·
Atsar Ibnu
Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954) dengan
sanad shahih:
سألت
ابن عمر عن القنوت في الفجر فقال : ما شعرت ان احدا يفعله
“Aku bertanya kepada Ibnu
Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa tidak ada seorang pun
(sahabat) yang melakukannya” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106)
·
Atsar dari
Ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949) dengan sanad shahih
yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca qunut ketika shalat subuh
(Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106).
·
Jika
ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut, umumnya berkaitan dengan
musibah. Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam dalam berdoa Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat
terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu tidak
mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun memang beliau paling sering
melakukan pada shalat Shubuh” (Zaadul Ma’ad 273/1).
Pendapat ini dipegang oleh
Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al Laits, pendapat terakhir Imam
Ahmad, Ibnu Syabramah, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
Pendapat ketiga:
melakukannya boleh, meninggalkannya juga boleh
Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan berkesimpulan bahwa terkadang Nabi membaca doa Qunut dan terkadang beliau meninggalkannya. Yang berpegang pada pendapat ini diantaranya Imam Sufyan Ats Tsauri, Ath Thabari, dan Ibnu Hazm.
Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan berkesimpulan bahwa terkadang Nabi membaca doa Qunut dan terkadang beliau meninggalkannya. Yang berpegang pada pendapat ini diantaranya Imam Sufyan Ats Tsauri, Ath Thabari, dan Ibnu Hazm.
Faidah:
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.
2.
Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam
Pendapat pertama: haram
Pendapat pertama: haram
Dalil ulama yang berpendapat
demikian adalah 2 hadits:
·
Hadits
Jabir bin Abdillah:
أُتِيَ
بِأَبِي قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ
بَيَاضًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«غَيِّرُوا هَذَا
بِشَيْءٍ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ»
“Aku datang bersama Abu
Quhafah ketika Fathul Makkah. Rambut dan jenggot beliau putih seperti
tsaghamah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Ubahlah warna
rambutmu ini dengan warna lain, namun jangan hitam’” (HR. Muslim, 2102)
·
Hadits
Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
يَكُونُ
قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ، كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ،
لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Akan ada sebuah kaum di
akhir zaman yang menyemir rambut dengan warna hitam bagaikan tembolok burung
dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya surga” (HR. Abu Daud 4212,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Pendapat ini dipegang oleh ulama
Syafi’iyyah.
Pendapat kedua: makruh
Ulama yang berpendapat demikian berargumen dengan:
Ulama yang berpendapat demikian berargumen dengan:
·
Larangan
pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah dan orang-orang yang semisalnya
dalam usia. Ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang dinukil oleh Ibnu
Hajar dalam Fathul Baari (1/367)
·
Orang-orang
yang dimaksud dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa mencium wangi surga bukan
karena sebab perbuatan menyemir rambut namun karena perbuatan lain yang
termasuk maksiat. Adapun menyemir rambut dengan hitam hanyalah ciri kebanyakan
mereka.
·
Atsar dari
Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad shahih
bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam
·
Atsar dari
Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan sanad
shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam
Dan beberapa atsar shahih lain
dari para tabi’in bahwa mereka memakruhkan hal ini. Pendapat ini dipegang oleh
Imam Malik dan Ibnu Abdil Barr.
Namun perlu menjadi catatan,
bahwa makruh dalam perkataan salaf sering bermakna haram sebagaimana penjelasan
Ibnul Qayyim dalam I’lam Al Muwaqi’in.
Faidah:
Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.
Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.
Contoh
Perkara Khilafiyah Yang Tidak Bisa Ditoleransi
1. Bolehnya Seorang
Wanita Menikah Tanpa Wali
Imam Abu Hanifah memandang bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf Ulama 2/247, Ikhtilaf Ulama A-immah 2/122). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil, tidak juga didukung oleh pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tentunya pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:
Imam Abu Hanifah memandang bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf Ulama 2/247, Ikhtilaf Ulama A-immah 2/122). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil, tidak juga didukung oleh pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tentunya pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:
·
Hadits Abu
Musa Al Asy’ari dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
لاَ
نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak sah nikah kecuali
dengan wali” (HR. Abu Daud 2/568, Ahmad 4/394. Dishahihkan Al Albani dalam
Shahih Al Jami‘ 7555)
·
Hadits
‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَل بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا
اسْتَحَل مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ
وَلِيَّ لَهُ
“Wanita mana saja yang
menikah tanpa walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal!
Jika mempelai pria sudah menjima’i-nya, maka mempelai wanita berhak atas
maharnya sebagai kompensasi atas persetubuhan yang telah terjadi. Jika wanita
ini tidak memiliki wali, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak
memiliki wali” (HR. Abu Daud 2/568. Dishahihkan Al Albani dalam Al
Irwa 1840)
·
Hadits
‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
لاَ
تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلاَ تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
“Seorang wanita tidak boleh
menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya
sendiri” (HR. Ibnu Majah 1/606. Dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam At
Talkhis 3/157)
Dan dalil-dalil yang lain.
Sehingga jelas bahwa pendapat Imam Abu Hanifah adalah pendapat yang
bertentangan dengan dalil syar’i dan tidak boleh ditoleransi. Para ulama
mengatakan bahwa kemungkinan besar hadits-hadits di atas tidak sampai kepada
Imam Abu Hanifah. Walhasil, kita tidak boleh mentoleransi wanita yang menikah tanpa wali, walaupun
ini termasuk perkara khilafiyah.
2. Bid’ahnya Doa
Istiftah
Imam Malik berpendapat bahwa do’a istiftah tidak disyari’atkan, atau dengan kata lain: bid’ah (Lihat Ikhtilaf A-immatil Ulama, 1/107). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil ataupun pemahaman para salaf, selain kaidah umum bahwa hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalilnya. Dan pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:
Imam Malik berpendapat bahwa do’a istiftah tidak disyari’atkan, atau dengan kata lain: bid’ah (Lihat Ikhtilaf A-immatil Ulama, 1/107). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil ataupun pemahaman para salaf, selain kaidah umum bahwa hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalilnya. Dan pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:
·
Hadist
dari Abu Hurairah:
كان
رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة
قبل أن يقرأ. فقلت:
يا رسول الله!
بأبي أنت وأمي؛ أرأيت
سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول: … ” فذكره
“Biasanya Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak
sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah,
kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan
bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa
istiftah)” (Muttafaqun ‘alaih)
·
Hadits
Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata:
بينما
نحن نصلي مع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ إذ قال رجل من القوم:
اللهُ أَكْبَرُ
كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا.
فقال رسول الله صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” عجبت لها! فتحت لها أبواب السماء “.
قال ابن عمر:
فما تركتهن منذ سمعت
رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول ذلك
“Ketika kami shalat bersama Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam, ada seorang lelaki yang berdoa istiftah: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا،
وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu
bersabda: ‘Aku heran, dibukakan baginya pintu-pintu langit’. Ibnu Umar pun berkata:’Aku
tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian’”. (HR. Muslim 2/99)
Dan masih banyak lagi hadits
shahih yang menyebutkan macam-macam doa istiftah yang dipraktekkan
oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dengan demikian jelaslah bahwa
pendapat Imam Malik tersebut sama sekali tidak benar karena bertentangan dengan
banyak dalil syar’i. Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar dalil-dalil
tersebut tidak sampai kepada Imam Malik. Walhasil, kita tidak boleh membiarkan
orang yang berkeyakinan bahwa doa istiftah adalah bid’ah, walaupun ini termasuk
perkara khilafiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar