Video

Selasa, 19 Februari 2013

Makmum Membaca Al Fatihah di Belakang Imam

Makmum Membaca Al Fatihah di Belakang Imam

Harus Ikut Dalil Yang Mana ?

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Membaca al Fatihah atau tidak bagi makmum di belakang imam, adalah masalah yang sering jadi perselisihan dan perdebatan, bahkan sampai-sampai sebagian ulama membuat tulisan tersendiri tentang hal ini. Perselisihan ini berasal dari pemahaman dalil. Ada dalil yang menegaskan harus membacanya dan ada dalil yang memerintahkan untuk membacanya. Di lain sisi, ada juga ayat atau berbagai hadits yang memerintahkan diam ketika imam membacanya. Dari sinilah terjadinya khilaf.
Dalil: Wajib Baca Al Fatihah di Belakang Imam
Dari ‘Ubadah b in Ash Shoomit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”.[1]
Dari Abu Hurairah, haditsnya marfu’sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهْىَ خِدَاجٌ
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat dan tidak membaca Al Fatihah di dalamnya, maka shalatnya itu kurang.” Perkataan ini diulang sampai tiga kali.[2]
Dalil: Wajib Diam Ketika Imam Membaca Al Fatihah
Berkebalikan dengan dalil di atas, ada beberapa dalil yang memerintahkan agar makmum diam ketika imam membaca surat karena bacaan imam dianggap sudah menjadi bacaan makmum.
Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’rof: 204)
Abu Hurairah berkata,
صَلَّى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِأَصْحَابِهِ صَلاَةً نَظُنُّ أَنَّهَا الصُّبْحُ فَقَالَ « هَلْ قَرَأَ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ». قَالَ رَجُلٌ أَنَا. قَالَ « إِنِّى أَقُولُ مَا لِى أُنَازَعُ الْقُرْآنَ ».
“Aku mendengar Abu Hurairah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah shalat subuh. Beliau bersabda: “Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surat (di belakangku)?” Seorang laki-laki menjawab, “Saya. ” Beliau lalu bersabda: “Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an?“[3]
Dalil lainnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة
“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, bacaan imam menjadi bacaan untuknya.”[4] Hadits ini dikritisi oleh para ulama.
Hadits lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الإِمَامُ – أَوْ إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ – لِيُؤْتَمَّ بِهِ ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا ، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah. Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika imam mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamd’. Jika imam sujud, sujudlah.”[5] Dalam riwayat Muslim pada hadits Abu Musa terdapat tambahan,
وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا
“Jika imam membaca (Al Fatihah), maka diamlah.”
Menempuh Jalan Kompromi (Menjama’)
Metode para ulama dalam menyikapi dua macam hadits yang seolah-olah bertentangan adalah menjama’ di antara dalil-dalil yang ada selama itu memungkinkan.
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata, “Jika dua hadits bertentangan secara zhohir, jika memungkinkan untuk dijama’ antara keduanya, maka jangan beralih pada metode lainnya. Wajib ketika itu beramal dengan mengkompromikan keduanya terlebih dahulu.”
Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah, ketika menjelaskan metode menggabungkan dalil-dalil, berkata, “Kami katakan, pendapat yang kuat menurut kami adalah melakukan jama’ (kompromi) terhadap dalil-dalil yang ada karena menjama’ dalil itu wajib jika memungkinkan untuk dilakukan.”
Menggabungkan atau mengkompromikan atau menjama’ dalil lebih didahulukan daripada melakukan tarjih (memilih dalil yang lebih kuat) karena menjama’ berarti menggunakan semua dalil yang ada (di saat itu mungkin) sedangkan tarjih mesti menghilangkan salah satu dalil yang dianggap lemah. Demikian pelajaran yang sudah dikenal dalam ilmu uhsul. Sehingga lebih tepat melakukan jama’ (kompromi) dalil selama itu masih memungkinkan.
Penjelasan Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya hukum membaca Al Fatihah di belakang imam. Beliau mengatakan bahwa para ulama telah berselisih pendapat karena umumnya dalil dalam masalah ini, yaitu menjadi tiga pendapat.
Dua pendapat pertama adalah yang menyatakan tidak membaca surat sama sekali di belakang imam dan yang lainnya menyatakan membaca surat dalam segala keadaan. Pendapat ketiga yang dianut oleh kebanyakan salaf yang menyatakan bahwa jika makmum mendengar bacaan imam, maka hendaklah ia diam dan tidak membaca surat. Karena mendengar bacaan imam itu lebih baik dari membacanya. Jika makmum tidak mendengar bacaan imam, barulah ia membaca surat tersebut. Karena dalam kondisi kedua ini, ia membaca lebih baik daripada diam. Satu kondisi, mendengar bacaan imam itu lebih afdhol dari membaca surat. Kondisi lain, membaca surat lebih afdhol daripada hanya diam. Demikianlah pendapat mayoritas ulama seperti Malik, Ahmad bin Hambal, para ulama Malikiyah dan Hambali, juga sekelompok ulama Syafi’iyah dan ulama Hanafiyah berpendapat demikian. Ini juga yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i yang terdahulu dan pendapat Muhammad bin Al Hasan.
Jika kita memilih pendapat ketiga, lalu bagaimana hukum makmum membaca Al Fatihah di saat imam membacanya samar-samar, apakah wajib atau sunnah bagi makmum?
Ada dua pendapat dalam madzhab Hambali. Yang lebih masyhur adalah yang menyatakan sunnah. Inilah yang jadi pendapat Imam Asy Syafi’i dalam pendapatnya terdahulu.
Pertanyaan lainnya, apakah sekedar mendengar bacaan Al Fatihah imam ketika imam menjahrkan bacaannya wajib, ataukah sunnah? Lalu bagaimana jika tetap membaca surat di belakang imam ketika kondisi itu, apakah itu haram, atau hanya sekedar makruh?
Dalam masalah ini ada dua pendapat di madzhab Hambali dan lainnya. Pertama, membaca surat ketika itu diharamkan. Jika tetap membacanya, shalatnya batal. Inilah salah satu dari dua pendapat yang dikatakan oleh Abu ‘Abdillah bin Hamid dalam madzhab Imam Ahmad. Kedua, shalat tidak batal dalam kondisi itu. Inilah pendapat mayoritas. Pendapat ini masyhur di kalangan madzhab Imam Ahmad.
Ibnu Taimiyah rahimahullah selanjutnya mengatakan,
Yang dimaksud di sini adalah tidak mungkin kita beramal dengan mengumpulkan seluruh pendapat. Akan tetapi, puji syukur pada Allah, pendapat yang shahih adalah pendapat yang berpegang pada dalil syar’i sehingga nampaklah kebenaran.
Intinya membaca Al Fatihah di belakang imam, kami katakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita mendengar bacaan tersebut. Jika tidak mendengarnya karena jauh posisinya jauh dari imam, maka hendaklah membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapat yang ada. Inilah pendapat Imam Ahmad dan selainnya. Namun jika tidak mendengar karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengar namun tidak paham apa yang diucapkan, maka di sini ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan atau membacanya. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak tercapai maksud mendengar, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol daripada diam.[6]
Pembelaan
Dalil yang menunjukkan bahwa bacaan imam juga menjadi bacaan bagi makmum dapat dilihat pada hadits Abu Bakroh di mana dia tidak disuruh mengulangi shalatnya.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Al Hasan, dari Abu Bakroh bahwasanya ia mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ruku’. Lalu Abu Bakroh ruku’ sebelum sampai ke shof. Lalu ia menceritakan kejadian yang ia lakukan tadi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
“Semoga Allah menambah semangat untukmu, namun jangan diulangi.”[7]
Lalu bagaimana dengan hadits,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”.[8]
Ada dua jawaban yang bisa diberikan:
1.    Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah tidak sempurna shalatnya. Yang menunjukkan maksud seperti ini adalah dalam hadits Abu Hurairah disebutkan “غير تمام”, tidak sempurna.
2.    Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah dalam shalatnya, namun ini berlaku bagi imam, orang yang shalat sendiri dan makmum ketika shalat siriyah (yang tidak dikeraskan bacaannya). Adapun makmum dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaannya), maka bacaan imam adalah bacaan bagi makmum. Jika ia mengaminkan bacaan Al Fatihah yang dibaca oleh imam, maka ia seperti membaca surat tersebut. Maka tidak benar jika dikatakan bahwa orang yang cuma menyimak bacaan imam tidak membaca surat Al Fatihah, bahkan itu dianggap membaca meskipun ia mendapati imam sudah ruku’, lalu ia ruku’ bersama imam.

Catatan: Sebagaimana penulis pernah membaca dari penjelasan Syaikh Sholeh Al Munajjid dalam Fatawa Islam As Sual wa Jawab: Seseorang dianggap mendapatkan satu raka’at ketika ia mendapati ruku’, meskipun ketika itu  ia belum sempat membaca Al Fatihah secara sempurna atau ia langsung ruku’ bersama imam.
Pendapat Hati-Hati
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah memilih pendapat yang hati-hati dalam masalah ini. Dalam Al Mulakhosh Al Fiqhi, beliau mengatakan, “Apakah membaca Al Fatihah itu wajib bagi setiap yang shalat (termasuk makmum ketika imam membaca Al Fatihah secara jahr, pen), ataukah hanya bagi imam dan orang yang shalat sendiri?” Kemudian jawab beliau hafizhohullah, “Masalah ini terdapat perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang hati-hati, makmum tetap membaca Al Fatihah pada shalat yang imam tidak menjahrkan bacaannya, begitu pula pada shalat jahriyah ketika imam diam setelah baca Al Fatihah.”[9]
Menurut penulis, pendapat yang menempuh jalan kompromi seperti yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah itu pun sudah cukup ahsan (baik). Namun penjelasan Syaikh Sholeh Al Fauzan di atas sengaja penulis tambahkan supaya kita lebih memilih pendapat yang lebih hati-hati agar tidak terjatuh dalam perselisihan ulama yang ada. Wallahu Ta’ala a’lam.[10]

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

[1] HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394
[2] HR. Muslim no. 395.
[3] HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah, juga yang lainnya. Hadits ini shahih.
[4] HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 850. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[5] HR. Bukhari no. 733 dan Muslim no. 411.
[6] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426, 23/265-268
[7] HR. Bukhari no. 783.
[8] HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394
[9] Al Mulakhosh Al Fiqhi, Syaikh Sholeh Al Fauzan, terbitan Ar Riasah Al ‘Ammah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, cetakan kedua, 1430 H, 1/128.
[10] Sebagian besar bahasan ini adalah faedah dari penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim dalam Syarh Ahadits ‘Umdatul Ahkam, hadits no. 101 tentang membaca Al Fatihah, di sini: http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/omdah/094.htm



Back to The Title

Tidak ada komentar:

Posting Komentar