Video

Rabu, 22 April 2015

Antara Asy Syafi'i Dan Bukhari-Muslim


Mengapa Imam Syafi’i Tidak memakai Hadits Imam Bukhari & Imam Muslim?


Banyak yang berpikir bahwa keshahihan suatu hadits itu adalah wahyu yang turun dari langit. Banyak orang awam yang belum pernah belajar ilmu hadits berimajinasi seolah-olah keshahihan hadits merupakan wangsit khusus yang diberikan kepada tokoh-tokoh tertentu secara ghaib. Seolah-olah informasi keshahihan hadits itu secara khusus Allah anugerahkan kepada sosok tertentu, rada mirip-mirip dengan sosok Imam Mahdi di akhir zaman.

Padahal sebenarnya 100% keshahihan hadits itu hasil ijtihad, yaitu merupakan hasil penilaian subjektif dari seorang peneliti hadits lewat analisa logis tapi tetap tidak bisa lepas dari subjektifitasnya sendiri. Oleh karena hanya sekedar ijtihad, maka apa yang dibilang shahih oleh seorang peneliti hadits, bisa saja disanggah dan ditolak oleh peneliti lain, bahkan bisa dikeluarkan hasil ijtihad lainnya yang justru bertentangan.


Imam Bukhari dan Muslim Berijtihad


Semua yang dituangkan Al-Bukhari (194-265 H)

di dalam kitab Shahihnya adalah hasil ijtihad beliau. Jangan sekali-kali kita menduga bahwa beliau menerima wahyu dari Allah. Beliau melakukan penelitian atas tiap-tiap perawi dengan mengadakan perjalanan panjang dan jauh menelusuri berbagai pelosok negeri Islam. Seratus persen keshahihan hadits Bukhari itu dihasilkan lewat ijtihad dan bukan berdasarkan wahyu.

Tentu kita wajib menghargai dan menghormati hasil ijtihad seorang Bukhari, karena beliau memang ahli dan pakar di bidang itu. Dengan catatan, biar bagaimana pun tetap saja hasil ijtihad dan bukan wahyu.

Begitu juga hadits yang tertuang dalam kitab Shahih Muslim. Imam Muslim (204-261 H)

sebagai penyusunnya tidak lain adalah seorang yang melakukan ijtihad, dalam arti penellitian ilmiyah untuk memilah mana yang beliau anggap shahih dan tidak. Pertimbangannya tanpa didasari wahyu dari langit. Hanya mengandalkan penilaian manusiawi semata.

Tentu kita wajib menghargai dan menghormati hasil ijtihad seorang Imam Muslim, karena beliau memang ahli dan pakar di bidang itu. Dengan catatan, biar bagaimana pun tetap saja hasil ijtihad dan bukan wahyu.

Tetapi menjadi keliru sekali ketika kita mengandalkan keshahihan hadits Bukhari dan Muslim sebagai satu-satunya rujukan dalam masalah agama. Mengapa? Karena selain hasil ijtihad keduanya, masih ada ribuan peneliti dan ahli hadits lain yang juga melakukan penelitian. Dan tidak sedikit yang kualitasnya malah lebih tinggi dari apa yang diijtihadkan oleh keduanya.


Penelitian Hadits Sebelum Zaman Bukhari dan Muslim


Sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Bukhari dan Imam Muslim termasuk ulama yang hidup di abad ketiga hijriyah. Artinya, keberadaan dua kitab Shahih, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim baru muncul di abad ketiga, atau setelah 200 tahun Rasulullah wafat. Yang jadi pertanyaan adalah : Lalu umat Islam yang hidup di abad pertama dan kedua, sebelum Bukhari dan Muslim lahir, menggunakan hadits apa dalam beragama?

Jawabnya mereka menggunakan semua hadits nabi juga. Tentunya bukan hadits-hadits yang dishahihkan oleh Bukhari atau Muslim, sebab Bukhari dan Muslim belum lahir. Dan hadits-hadits di masa itu juga sudah diteliti dengan baik oleh para ahli hadits di zamannya.

Sebutlah misalnya Imam Malik yang menyusun kitab Al-Muwaththa’. Di zamannya, kitab Al-Muwaththa’ ini merupakan kitab hadits unggulan. Bahkan Al-Imam Asy-Syafi’i yang ingin belajar hadits kepada Imam Malik menghafal hadits-hadits di dalamnya.

Jadi jangan keliru beranggapan bahwa hadits shahih itu hanya hadits Bukhari dan Muslim saja. Maka tidak salah kalau kita katakan bahwa tidak ada satu pun shahabat nabi yang menggunakan hadits shahih riwayat Bukhari. Dan tidak satupun tabi’in yang menggunakannya juga. Mereka semua beragama tanpa menggunakan Shahih Bukhari dan Sahih Muslim.

Hal itu terjadi karena para shahabat dan para tabi’in hidup lebih dulu dari keduanya. Bagaimana mungkin orang yang hidup seabad sebelumnya bisa menggunakan hadits yang diriwayatkan pada abad-abad berikutnya?

Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Madzhab


Para imam madzhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Mereka sama sekali tidak pernah menyentuh kitab Shahih Bukhari dan Muslim.

Kenapa ?

Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Tidak mungkin mereka mengandalkan keshahihan hadits dari generasi berikutnya. Yang lebih logis adalah orang yang ada pada generasi berikutnya justru mengandalkan hasil penellitian hadits pada generasi sebelumnya.

Kedua, karena keempat imam madzhab itu sendiri justru merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka di zamannya. Apa urusannya pakar hadits paling top harus mengambil hadits dari kalangan yang lebih pantas menjadi murid atau cucu muridnya?

Ketiga, karena keempat imam madzhab itu hidup di zaman yang secara zaman lebih dekat ke Rasulullah dari pada masa Bukhari atau Muslim sendiri. Maka kualitas periwayatan hadits mereka dipastikan lebih kuat dan lebih terjamin ketimbang kualitas di masa-masa berikutnya.

Kalau dalam bidang teknologi, memang semakin maju zamannya ke depan, ilmunya semakin lengkap dan sempurna. Karena penemuan yang dulu kemudian disempurnakan dengan penemuan terbaru. Sebaliknya, dalam bidang penelitian hadits, semakin mundur dan mendekati sumber aslinya, akan semakin baik.

Dan semakin menjauhi zaman aslinya tentu akan semakin lemah hasil penelitiannya. Tidak akan ada lagi penemuan baru macam teknologi komputer dalam ilmu hadits. Karena yang dilakukan adalah penelitian keshahihan hadits dan bukan kesempurnaan produk pabrik.

Keempat, justru Bukhari dan Muslim sendiri malah bermadzhab kepada para imam madzhab yang empat itu. Banyak kajian ilmiyah yang memastikan bahwa Bukhari sendiri dalam fiqihnya bermadzhab Syafi’i.
[3]

Memang ada sementara tokoh saking antipatinya dengan madzhab fiqih, lalu mengarang-ngarang sebuah nama madzhab imaginer baru yang tidak pernah ada bukti kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut madzhab ‘ahli hadits’. Dari namanya saja sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak bermadzhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam madzhabnya. Padahal madzhab ahli hadits itu adalah madzhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).

Kalaulah benar pernah ada madzhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?
Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?

Contohnya:

Al Bukhari meriwayatkan berdirinya Rasulullah ketika minum dalam kitab shahihnya:


حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ النَّزَّالِ قَالَ أَتَى عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى بَابِ الرَّحَبَةِ فَشَرِبَ قَائِمًا فَقَالَ إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَائِمٌ وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Mis'ar dari Abdul Malik bin Maisarah dari An Nazal dia berkata; Ali radliallahu 'anhu pernah datang dan berdiri di depan pintu rahbah, lalu dia minum sambil berdiri setelah itu dia berkata; "Sesungguhnya orang-orang merasa benci bila salah seorang dari kalian minum sambil berdiri, padahal aku pernah melihat Nabi melakukannya sebagaimana kalian melihatku saat ini." (HR. Bukhari No. 5184)


Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan tentang pelarangan Rasulullah terhadap sahabat yang minum berdiri:


حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنْ الشُّرْبِ قَائِمًا

Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid; Telah menceritakan kepada kami Hammam; Telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas bahwa Nabi melarang minum sambil berdiri. (HR. Muslim No. 3771)


Al-Imam Asy-syafi’i sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang lebar tentang masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau sudah menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal itu.

Cuma baru sampai mengetahui suatu hadits itu shahih, sebenarnya pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru langkah pertama dari duapuluh tiga langkah dalam proses istimbath hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.

Umat Terlalu Awam Terhadap Informasi Yang Telah Diplintir


Sayangnya banyak sekali orang awam yang tersesat mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang punya rasa dengki. Seolah-olah imam madzhab yang empat itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahinya seenak udelnya. Sejelek itu para perusak agama melancarkan fitnah keji kepada para ulama.

Padahal keempat imam madzhab itu di zamannya justru merupakan para ulama peneliti hadits (muhaddits). Sebab syarat untuk boleh berijtihad adalah harus menguasai hadits dan mampu meneliti sendiri kualitas keshahihan haditsnya. Imam Malik, sang penyusun Al-Muwaththa’ yang ketika itu tiga khalifah memintahnya agar dijadikan kitab standar negara. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri lebih dikenal sebagai ahli hadits ketimbang sebagai mujtahid dalam ilmu fiqih.

Entah orientalis mana yang datang menyesatkan agama, tiba-tiba datang generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan mudahnya dan teramat lancang menuduh keempat imam madzhab itu sebagai orang-orang bodoh dengan ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara dhahir dengan pendapat keempat madzhab, seolah-olah pendapat madzhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.

Orang-orang awam yang kurang ilmu itu dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam madzhab itu dari maksud aslinya : “Setiap masalah yang aku sampaikan, ternyata hadits yang dinilai shahih oleh ahli hadits bertentangan dengannya, maka aku menarik kembali ucapan itu selama aku hidup atau setelah aku mati
[4]
.”
Kesannya, para imam madzhab itu bodoh dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan madzhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.

Padahal maksudnya bukan begitu. Para ulama madzhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata, ”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu.” Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam madzhab itu sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.


Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang, ”Saya punya madzhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, madzhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya.”
Dalam hayalan mereka, para imam madzhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin madzhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam madzhab.

Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam madzhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.

Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran madzhab. Seolah madzhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama madzhab.

Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.


Bukhari dan Muslim Bukan Penentu Satu-satunya Keshahihan Hadits

Ini perlu dicatat karena penting sekali. Shahih tidaknya suatu hadits, bukan ditentukan oleh Bukhari dan Muslim saja. Jauh sebelum keduanya dilahirkan ke dunia, sudah ada jutaan ahli ahli hadits yang menjalankan proses ijtihad dalam menetapkan keshahihan hadits.

Dan boleh jadi kualitasnya jauh lebih baik. Kualitas keshahihannya jauh lebih murni. Hal itu karena jarak waktu dengan sumber aslinya, yaitu Rasulullah , lebih dekat.

Hadits di zaman Imam Bukhari sudah cukup panjang jalur periwayatannya. Untuk satu hadits yang sama, jalur periwayatan Bukhari bisa sampai enam atau tujuh level perawi yang bersambung-sambung. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma melewati tiga level perawi. Secara logika sederhana, kualitas keasliannya tentu berbeda antara hadits yang jalurnya tujuh level dengan yang tiga level. Lebih murni dan asli yang tiga level tentunya.

Bayangkan kalau Imam Bukhari hidup hari ini di abad 15 hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Secara nalar kita bisa dengan mudah menebak bahwa kualitas periwayatannya jauh lebih rendah. Beda tiga sampai empat level saja sudah besar pengaruhnya, apalagi beda 50 level, tentu jauh lebih rendah.
Apalagi yang jadi ahli haditsnya bukan selevel Bukhari, tetapi sekedar mengaku-ngaku saja. Tentu kualitas haditsnya jauh lebih parah lagi. Bukhari itu melakukan perjalanan panjang dan lama ke hampir seluruh dunia Islam. Tujuannya untuk bertemu langsung para perawi hadits yang masih tersisa. Maksudnya untuk mengetahui langsung seperti apa kualitas hafalan dan kualitas keislaman mereka.

Menurunnya Kualitas Periwayatan Seiring Dengan Semakin Jauhnya Jarak


Semakin jauh jarak waktu antara sumber hadits dengan zaman penelitiannya, maka kualitasnya akan semakin menurun. Sebab jalur periwayatannya akan menjadi semakin panjang. Jumlah perawi yang harus diteliti jelas lebih banyak lagi.

Seandainya seorang dengan kualitas Imam Bukhari hidup di abad kelima, tentu nilai kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah dibandingkan beliau hidup di abad ketiga. Dan bila beliau hidup di abad kelima belas, sudah bisa dipastikan kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah, bahkan beliau malah tidak bisa melakukan apa-apa.
Karena tidak mugkin lagi melakukan penelitian langsung bertemu muka dengan para perawi. Maka keistimewaan hadits Bukhari akan anjlog total. Untungnya beliau hidup di zaman yang tepat, yaitu di masa para perawi masih hidup dan bisa diwawancarai langsung.

Maka siapapun orangnya, kalau baru hari gini melakukan penelitian tentang para perawi, kelasnya rendah sekali. Semua hasil penelitian semata-mata mengandalkan data sekunder, yaitu hanya sekedar menelliti di tingkat literatur dalam perpustakaan. Sebuah pekerjaan yang sangat mudah, karena semua mahasiswa fakultas hadits semester pertama pun bisa mengerjakannya.

Dosen hadits bisa dengan mudah mengajarkan teknik takhrij hadits kepada anak-anak muda mahasiswa usia di bawah 20 tahunan, lalu menugaskan masing-masing melakukan takhrij untuk dapat nilai. Bahkan pekerjaan seperti itu bisa dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu hadits di bangku kuliah. Cukup dengan otodidak, sedikit diberi pelatihan singkat, asalkan tekun tiap hari nongkrong di perpustakaan, bisa melakukan penelitian kelas-kelas rendahan. Siapapun bisa melakukannya dengan mudah.
Apalagi zaman sekarang sudah ada ratusan software hadits. Cukup masukkan keyword saja, maka semua data bisa keluar dalam hitungan detik saja.
Kalau baru sampai disitu kok tiba-tiba merasa lebih tinggi derajatnya dari Bukhari dan Muslim, rasanya ada yang salah dalam logika. Jangankan merasa lebih tinggi, merasa selevel saja pun sudah tidak sopan.

Maka kita tidak bisa menyamakan kualitas keshahihan hadits yang diteliti di abad kelimabelas ini, dengan kualitas penelitian hadits yang dilakukan di abad ketiga zaman Bukhari dan Muslim. Nilainya jauh berbeda. Dan kualitas penelitian hadits di abad pertama dan kedua tentu jauh lebih baik lagi.

Anehnya, jarang sekali umat Islam yang bisa membedakan, mana kualitas penelitian kelas tinggi dan mana kelas rendahan. Sebab sekarang ini kita hidup di zaman serba awam dan serba tidak tahu.

Kadang-kadang umat Islam terkecoh dengan mudah dengan penampilan fisik. Asalkan ada orang pintar ceramah, kebetulan jenggotnya panjang, bajunya gamis ala arab, pakai surban melilit kepala, tangannya sibuk memutar-mutar biji tasbih, suaranya diberat-beratkan, langsung kita anggap dia adalah ulama yang tahu segala-galanya. Padahal satu pun hadits tidak dihafalnya.

Lebih lucu lagi, kalau ada tokoh yang bisa menyalah-nyalahkan ulama betulan, melancarkan kritik ini dan itu, bahkan mencaci maki dengan kata-kata kasar, maka oleh pendukungnya yang sama-sama awam dijadikan seolah-olah dia adalah utusan Allah yang turun langsung dari langit, menjadi anugerah bagi alam semesta.
Seolah-olah kebenaran milik dia semata. Orang lain yang tidak setuju dengan seleranya dianggap bodoh semua. Ulama yang tidak sejalan dengannya akan dihujani cacian makian dan sumpah serapah.

Semoga Allah mengampuni kita semua. آمين يارب العالمين



FootNote:


(1)
^ Dilahirkan pada hari jumat, 13 Syawwāl 194 H (21 Juli 810 M) di Bukhara. Beliau wafat pada tanggal 30 Ramadhān 256 H (31 Agustus 870 M) diusianya yang ke 62 tahun. [Endang Soetari,Ilmu HaditsKajian Riwayat & Dirayah(Bandung: CV. Mimbar Pustaka, 2008), h.280]
(2)
^ Para ulama tidak bisa memastikan tahun kelahiran beliau, sehingga sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa tahun kelahirannya adalah tahun 204 Hijriah, dan ada juga yang berpendapat bahwa kelahiran beliau pada tahun 206 Hijriah. Imam Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H bertepatan dengan 5 Mei 875. dalam usia beliau 55 tahun.
(3)
^ Dr. Nahrawi Abdussalam dalam kitab Al-Imam Asy-Syafi’i bainal mazhabaihil Qadim wal Jadid.
(4)
^ Lihat di kitab Manaqib Al Syafi’o 1/472-475 Karya Syeikh Al Baihaqi dan kitab Ma’na Qaul Al Imam Al Muthallibi hal. 122-124.

. . . . . . . . .



. . . . . . . . .


Back to Top

Tidak ada komentar:

Posting Komentar