Video

Jumat, 03 April 2015

Aqidah Imam Madzhab yang Empat


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ } قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ

Dari 'Aisyah dia berkata; bahwa Nabi pernah membaca ayat berikut ini: "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat darinya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah." Aisyah berkata; kemudian Rasulullah bersabda: "Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat, maka mereka itulah adalah yang disebutkan oleh Allah 'Waspadalah kalian terhadap mereka!" (HR. Muslim No. 4817)

Aqidah Imam Madzhab Yang Empat


Ilmu Aqidah yaitu ilmu yang sangat penting bagi orang islam yang mukallaf karena di dalamnya membahas tentang masalah yang berkenaan dengan keyakinan Islam. Kata aqidah berasal dari kata aqada, ya’qidu, aqiidatan. Secara bahasa berarti ikatan atau sampul, jamaknya aqa’id yang berarti simpulan atau ikatan-ikatan iman, mahkota. Dari segi bahasa berarti suatu yang tersimpul dalam hati dan dihormati seperti mahkota. Dari kata tersebut muncul kata I’tiqad yang berarti membenarkan atau mempercayai. Aqidah menurut istilah adalah keyakinan hidup atau iman (way of life).


Kesamaan Aqidah Empat Madzhab


Aqidah Imam Empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Adalah yang dituturkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan. Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah menuturkan, “… Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka mengingkari para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyah dalam masalah al-Qur’an, dan tentang beriman kepada sifat-sifat Allah. Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di Akhirat, al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.


Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan, para imam yang masyhur itu juga menetapkan tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an itu kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dapat dilihat di Akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan Tabi’in, baik yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain. Dan ini juga madzhab para imam yang banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam ats-Tsauri, Imam al-Laits bin Sa’ad, Imam al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad

. Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang aqidah Imam Syafi’i. Jawab beliau, “Aqidah Imam Syafi’i dan aqidah para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam ats-Tsauri, Imam al-Auza’i, Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam al-Fudhail bin ‘Iyadh, Imam Abu Sulaiman ad-Darani, Sahl bin Abdullah at-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, Aqidah tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar, dan sebagainya adalah sama dengan aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan aqidah para sahabat dan Tabi’in, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.
[4]

Aqidah inilah yang dipilih oleh al-‘Allamah Shidiq Hasan Khan, di mana beliau berkata: “Madzhab kami adalah madzhab ulama salaf, yaitu menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, tanpa ta’thil (meniadakannya makna dari ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah). Madzhab tersebut adalah madzhab imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam ats-Tsauri, Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat dalam masalah ushuluddin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidahnya dengan para imam di atas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.”


Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Tauhid


Pertama:

Aqidah beliau tentang tauhid (pengesaan Allah) dan tentang tawassul syar’i serta kebatilan tawassul bid’i.
  • Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak pantas bagi seseorang untuk berdo’a kepada Allah kecuali dengan asma’ Allah. Adapun do’a yang diizinkan dan diperintahkan adalah keterangan yang terambil dari firman Allah: وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Bagi Allah ada nama-nama yang bagus (al-asma’ul-husna), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang yang ilhad (tidak percaya) kepada asma Allah. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (al-A’raf:180)
    [6]
  • Imam Abu Hanifah berkata: “Makruh hukumnya seseorang berdo’a dengan mengatakan; saya mohon kepadamu berdasarkan hak si fulan, atau berdasarkan hak para Nabi-Mu, atau berdasarkan hak al-Bait al-Haram dan al-Masy’ar al-Haram.
    [7]
  • Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak pantas seseorang berdo’a kepada Allah kecuali dengan menyebut asma’ Allah. Dan saya tidak suka bila ada orang berdo’a seraya menyebutkan ‘dengan sifat-sifat kemuliaan pada ‘arsy-Mu’
    [8]
    , atau dengan menyebutkan ‘dengan hak makhluq-Mu’.
    [9]

Kedua:


Pendapat Imam Abu Hanifah tantang penetapan sifat-sifat Allah dan bantahan terhadap golongan Jahmiyah:
  • Imam Abu Hanifah berkata: “Allah tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk. Murka dan ridha Allah adalah dua dari sifat-sifat Allah yang tidak dapat diketahui keadaannya. Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Allah murka dan ridha. Namun tidak dapat dikatakan, bahwa murka Allah itu adalah siksa-Nya dan ridha-Nya itu pahala-Nya. Kita menyifati Allah sebagaimana Allah menyifati diri-Nya sendiri. Allah adalah Esa, Dzat yang padanya-Nya para hamba memohon, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tidak ada satu pun yang menyamai-Nya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat, dan mengetahui.” Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul. Tangan Allah tidak seperti tangan makhluk-Nya. Wajah Allah tidak seperti wajah-wajah makhluknya.”
    [10]
  • Imam Abu Hanifah berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah, dan diri seperti disebutkan sendiri oleh Allah dalam Al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah, tangan, dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mu’tazilah.”
    [11]
  • Imam Abu Hanifah juga berkata: “Tidaklah pantas bagi seseorang untuk bebicara tentang Dzat Allah. Tetapi, hendaknya ia menyifati Allah dengan sifat-sifat yang disebutkan oleh Allah sendiri. Ia tidak boleh berbicara tentang Allah dengan pendapatnya sendiri. Maha Suci Allah Rabbul ‘Alamin.
    [12]
  • Ketika ditanya tentang turunnya Allah, Imam Abu Hanifah menjawab,“Allah itu turun tanpa cara-cara seperti halnya turunnya makhluk.”
    [13]
  • Beliau juga berkata: “Dalam berdo’a kepada Allah, kita memanjatkan do’a ke atas, bukan ke bawah, karena bawah tidak mengandung sifat Rububiyyah dan Uluhiyah sedikitpun.
    [14]
  • Beliau juga berkata: “Allah itu murka dan ridha. Namun tidak dapat disebutkan bahwa murka Allah itu siksa-Nya, dan ridha Allah itu pahala-Nya.”
    [15]
  • Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
    [16]
  • Beliau juga berkata: “Sifat-sifat Allah itu berbeda dengan sifat-sifat makhluk. Allah itu, mengetahui tetapi tidak seperti mengetahuinya makhluk. Allah itu mampu (berkuasa) tetapi tidak seperti mampunya (berkuasanya) makhluk. Allah itu melihat, tetapi tidak seperti melihatnya makhluk. Allah itu mendengar tetapi tidak seperti mendengarnya makhluk. Dan Allah itu berbicara tetapi tidak seperti berbicaranya makhluk.”
    [17]
  • Beliau juga berkata: “Allah itu tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk.”
    [18]
  • Beliau berkata: “Siapa yang menyifati Allah dengan sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir.”
    [19]
  • Beliau juga berkata: “Allah memiliki sifat-sifat dzatiyah dan fi’liyah. Sifat-sifat dzatiyah Allah adalah hayah (hidup), qudrah (mampu), ‘ilm (mengetahui) sama’ (mendengar), basher (melihat), dan iradah (kehendak). Sedangkan sifat-sifat fi’liyah Allah adalah menciptakan, memberi rizki, membuat, dan lain-lain yang berkaitan dengan sifat-sifat perbuatan. Allah tetap dan selalu memiliki asma’-asma, dan sifat-sifat-Nya.”
    [20]
  • Beliau juga berkata: “Allah tetap melakukan (berbuat) sesuatu. Dan melakukan (berbuat) itu merupakan sifat azali. Yang melakukan (berbuat) adalah Allah yang dilakukan (obyeknya) adalah makhluk dan perbuatan Allah bukanlah makhluk.”
    [21]
  • Beliau juga berkata: “Siapa yang berkata, ‘Saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di langit atau di bumi’, maka orang tersebut telah menjadi kafir. Demikian pula orang yang berkata: “Tuhanku itu di atas ‘Arsy. Tetapi saya tidak tahu ‘arsy itu di langit atau di bumi.”
    [22]
  • Ketika ada seorang wanita bertanya kepada beliau: “Di mana Tuhan Anda yang Anda sembah itu?”. Beliau menjawab: “Allah سبحانه و تعالي ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada seseorang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman وَهُوَ مَعَكُمْ (Allah itu bersama kamu)?”
    [23]
    Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.”
    [24]
  • Beliau juga berkata: “Demikian pula tentang tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul, tangan Allah itu tidak sama dengan tangan makhluk.”
    [25]
  • Beliau juga berkata: “Allah سبحانه و تعالي ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada orang yang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman, “Allah itu bersamamu.”
    [26]
    Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.”
    [27]
  • Beliau juga berkata: “Bahwa Allah itu mempunyai sifat kalam (berfirman) sebelum Allah berfirman kepada Nabi Musa ‘alaihis salam.”
    [28]
  • Kata beliau: “Allah berfirman dengan kalam-Nya, dan kalam adalah sifat azali.”
    [29]
  • Beliau berkata lagi: “Allah itu berbicara, tetapi tidak seperti berbicaranya kita.”
    [30]
  • Kata beliau: “Nabi Musa ‘alaihis salam mendengar kalam Allah, sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Allah
    [31]
    : “ وكلم الله موسى تكليما ” (Dan Allah telah berfirman langsung kepada Nabi Musa). Allah telah berfirman dan tetap akan berfirman, Allah tidak hanya berfirman kepada Nabi Musa saja.”
    [32]
  • Beliau berkata: “al-Qur’an itu kalam Allah, tertulis dalam mushhaf dan tersimpan (terjaga) di dalam hati, terbaca oleh lisan, dan diturunkan kepada Nabi Muhammad.”
    [33]
  • Kata beliau lagi: “Al-Qur’an itu bukan makhluk.”
    [34]

Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Qadar


  • Seorang datang kepada Imam Abu Hanifah dan mendebat beliau tentang masalah qadar. Kata beliau: “Tahukan Anda, bahwa orang yang melihat masalah matahari dengan matanya, semakin lama ia melihat, ia makin bingung.”
    [35]
  • Beliau berkata: “Allah telah mengetahui segala sesuatu sejak masa azali, sebelum segala sesuatu itu terwujud.”
    [36]
  • Beliau juga berkata: “Allah juga mengetahui sesuatu yang tidak ada ketika hal itu tidak ada, dan juga Allah mengetahui bagaimana hal itu akan ada apabila Allah mewujudkannya. Allah juga mengetahui sesuatu yang ada ketika hal itu ada, dan Allah juga mengetahui bagaimana kehancuran sesuatu itu.”
    [37]
  • Imam Abu Hanifah berkata: “Taqdir Allah adalah di Lauh Mahfuzh.”
    [38]
  • Beliau juga berkata: “Kita menetapkan, bahwa Allah telah memerintahkan kepada al-Qalam dan ia berkata, “Apa yang akan saya tulis wahai Tuhanku?” Allah menjawab: “Tulislah apa yang ada dan terjadi sampai Hari Kiamat.” Hal ini berdasarkan firman Allah: وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ . وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ “Segala sesuatu yang mereka lakukan tertulis di dalam al-Kitab. Dan segala yang kecil dan besar tertulis.” (al-Qamar: 52-53)
    [39]
  • Beliau juga berkata: “Di dunia ini dan akhirat tidaklah ada dan terjadi sesuatu kecuali berdasarkan kehendak Allah.”
    [40]
  • Kata beliau lagi: “Allah menciptakan segala sesuatu tanpa bahan apa-apa.”
  • Beliau juga berkata: “Allah adalah Maha Pencipta sebelum Dia menciptakan.”
  • Beliau juga berkata: “Kita menetapkan, bahwa hamba bersama amal-amalnya. Penetapannya dan pengetahuannya adalah makhluk. Apabila yang berbuat saja makhluk, maka perbuatan-perbuatannya lebih tepat untuk disebut makhluk.”
  • Beliau berkata lagi: “Semua perbuatan hamba, baik yang bergerak ataupun diam, merupakan usahanya, dan Allah yang menciptakannya. Semua perbuatan itu berdasarkan kehendak, pengetahuan, penetapan dan qadar Allah.”
  • Beliau berkata: “Semua perbuatan hamba, baik yang bergerak maupun diam, adalah betul-betul upaya mereka, dan Allah menciptakannya. Semua perbuatan itu berdasarkan kehendak, ilmu, penetapan, dan qadar Allah. Semua ketaatan adalah wajib berdasarkan perintah Allah, dan hal itu disukai, diridhai, diketahui, dikehendaki, ditetapkan, dan ditaqdirkan Allah. Sedangkan maksiat semuanya diketahui, ditetapkan, ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah, tetapi Allah tidak menyukai dan tidak meridhai hal itu, bahkan Allah juga tidak memerintahkannya.”
    [41]
  • Beliau juga berkata: “Allah menciptakan makhluk berdasarkan fithrahnya, suci dari perbuatan yang terlarang. Kemudian Allah menyuruh mereka untuk berbuat kebajikan dan melarang untuk berbuat yang tercela. Maka, di antara mereka kemudian ada yang kafir dengan melakukan perbuatan-perbuatan kekafiran dan mengingkari kebenaran (hak). Ada juga di antara mereka yang beriman, baik melalui perbuatannya, iqrar lisannya, dan pembenaran hatinya. Dan hal itu merupakan taufiq dan pertolongan Allah kepadanya.”
    [42]
  • Beliau juga berkata: “Allah telah mengeluarkan anak cucu Adam dari tulang punggungnya dalam bentuk sel-sel, kemudian mereka diberi akal, lalu Allah menyuruh mereka untuk beriman dan melarang mereka melakukan kekafiran. Kemudian mereka mengakui ketuhanan (rububiyyah) Allah. Maka hal itu merupakan iman mereka. Kemudian mereka dilahirkan berdasarkan fithrah tersebut. Karenanya, sebenarnya ia telah mengubah dan mengganti fithrah itu. Sedangkan orang yang beriman dengan penuh keyakinan hatinya, maka ia tetap berada dalam fithrah tersebut.”
    [43]
  • Beliau juga berkata: “Allah-lah yang menetapkan segala sesuatu. Tidak ada sesuatu pun dunia dan akhirat kucuali atas kehendak, pengetahuan, dan qadha serta qadar Allah. Dan hal itu telah ditulis di lauh Mahfuzh.”
    [44]
  • Beliau juga berkata: “Allah tidak memaksa seorang pun dari makhluk-Nya untuk menjadi kafir atau mukmin. Tetapi Allah menciptakan mereka menjadi orang-orang. Sementara beriman atau menjadi kafir itu adalah perbuatan hamba. Allah mengetahui orang yang kafir pada saat ia kafir. Manakala setelah itu ia beriman, Allah juga mengetahuinya dan dia akan dicintai Allah. Dan ilmu Allah tidak berubah.”
    [45]

Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Iman


  • Beliau berkata: “Imam itu iqrar (pengakuan) dan tashdiq (pembenaran).”
    [46]
  • Kata beliau lagi: “Iman itu adalah iqrar dengan lisan dan tashdiq dengan hati. Iqrar saja belum disebut iman.”
    [47]
    Keterangan ini dinukil oleh ath-Thahawi dari Imam Abu Hanifah رحمه الله dan dua orang muridnya.
    [48]
  • Beliau juga berkata: “Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang”.
    [49]
    Menurut saya pendapat Imam Abu Hanifah bahwa “Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang” dan bahwa yang disebut iman itu adalah “tashdiq dalam hati dan iqrar dalam lisan, sementara perbuatan (amal) tidak termasuk dalam pengertian iman”, adalah masalah yang membedakan antara beliau dengan imam-imam Islam yang lain, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq, Imam Bukhari, dan lain-lain. Yang benar adalah pendapat para imam itu. Sementara pendapat Abu Hanifah adalah tidak benar. Namun demikian beliau tetap mendapat pahala, baik hasil ijtihad beliau itu benar atau pun salah. Kemudian ada keterangan dari Imam Ibn ‘Abdul Bar dan Ibn Abi ‘Izz, bahwa Imam Abu Hanifah mencabut pendapatnya itu. Wallahu a’lam.
    [50]

Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Sahabat


  • Imam Abu Hanifah berkata: “Kita tidak boleh menyebutkan seorang pun dari sahabat Nabi kecuali dengan sebutan yang baik.”
    [51]
  • Kata beliau juga : “Kita juga tidak boleh berlepas diri dari salah satu sahabat Nabi dan tidak boleh pula mencintai yang satu dan mengesampingkan yang lain.”
    [52]
  • Beliau juga berkata: “Keberadaan salah seorang sahabat bersama Nabi sesaat saja, hal itu lebih bagus dari pada amal kita sepanjang umur, meskipun umur itu panjang.”
    [53]
  • Kata beliau lagi: “Kita menetapkan, bahwa di antara umat Islam ini, orang yang paling mulia sesudah Nabi adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali.
    [54]
  • Beliau juga berkata: “Manusia paling mulia setelah Nabi adalah adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali. Selanjutnya kita tidak boleh membicarakan tentang para sahabat kecuali dalam hal-hal yang baik-baik saja.”
    [55]

Pendapat Imam Abu Hanifh Tentang Ilmu Kalam Dan Berdebat Dalam Agama


  • Imam Abu Hanifah berkata: “Di kota bashrah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (selera) sangat banyak. Saya datang di bashrah lebih dari dua puluh kali. Terkadang saya tinggal di bashrah lebih dari satu tahun, terkadang satu tahun, dan terkadang kurang dari satu tahun. Hal itu karena saya mengira bahwa Ilmu Kalam itu adalah ilmu yang paling mulia.”
    [56]
  • Beliau menuturkan: “Saya pernah mendalami Ilmu Kalam, sampai saya tergolong manusia langka dalam Ilmu Kalam. Suatu saat saya tinggal dekat pengajian Hammad bin Abu Sulaiman. Lalu ada seorang wanita datang kepadaku, ia berkata: “Ada seorang lelaki mempunyai seorang istri wanita sahaya. Lelaki itu ingin menalaknya dengan talak yang sesuai sunnah. Berapakah dia harus menalaknya?” Pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya jawab. Saya hanya menyarankan agar ia datang ke Hammad untuk menanyakan hal itu, kemudian kembali lagi ke saya, dan apa jawaban Hammad. Ternyata Hammad menjawab: “Lelaki itu dapat menalaqnya ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan juga tidak dilakukan hubungan jima’, dengan satu kali talak saja. Kemudian istrinya dibiarkan sampai haid dua kali. Apabila istri itu sudah suci lagi, maka ia halal untuk dinikahi. Begitulah, wanita itu kemudian datang lagi kepada saya dan memberitahukan jawaban Hammad tadi. Akhirnya saya berkesimpulan, “Saya tidak perlu lagi mempelajari Ilmu Kalam. Saya ambil sandalku dan pergi untuk berguru kepada Hammad.”
    [57]
  • Beliau berkata lagi: “Semoga Allah melaknati Amr bin Ubaid, karena telah merintis jalan untuk orang-orang yang mempelajari Ilmu Kalam, padahal ilmu ini tidak ada gunanya bagi mereka.”
    [58]
  • Beliau juga pernah ditanya seseorang, “Apakah pendapat Anda tentang masalah baru yang dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah sifat-sifat dan Jism?” Beliau menjawab, “Itu adalah ucapan-ucapan para ahli filsafat. Kamu harus mengikuti hadits Nabi dan metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yang baru, kerena hal itu adalah bid’ah.”
    [59]
  • Putra Imam Abu Hanifah yang namanya Hammad, menuturkan, “Pada suatu hari ayah datang ke rumahku. Waktu itu di rumah ada orang-orang yang sedang menekuni Ilmu Kalam, dan kita sedang berdiskusi tentang suatu masalah. Tentu saja suara kami keras, sehingga tampaknya ayah terganggu. Kemudian saya menemui beliau, “Hai Hammad, siapa saja orang-orang itu?”, tanya beliau. Saya menjawab dengan menyebutkan nama mereka satu persatu. “Apa yang sedang kalian bicarakan?”, tanya beliau lagi. Saya menjawab, “Ada suatu masalah ini dan itu”. Kemudian beliau berkata: “Hai Hammad, tinggalkanlah Ilmu Kalam.” Kata Hammad selanjutnya: “Padahal setahu saya, ayah tidak pernah berubah pendapat, tidak pernah pula menyuruh sesuatu kemudian melarangnya.” Hammad kemudian berkata kepada beliau, “Wahai Ayahanda, bukankah ayahanda pernah menyuruhku untuk mempelajari Ilmu Kalam?” “Ya, memang pernah”. Jawab beliau, “Tetapi itu dahulu. Sekarang saya melarangmu, jangan mempelajari Ilmu Kalam”, tambah beliau. Kenapa, wahai ayahanda?”, tanya Hammad lagi. Beliau menjawab, “Wahai anakku, mereka yang berdebat dalam Ilmu Kalam, pada mulanya adalah bersatu pendapat dan agama mereka satu. Namun syetan mengganggu mereka sehingga mereka bermusuhan dan berbeda pendapat.”
    [60]
  • Kepada Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah berkata: “Jangan sekali-kali kamu berbicara kepada orang-orang awam dalam masalah ushuluddin dengan mengambil pendapat Ilmu Kalam, karena mereka akan mengikuti kamu dan akan merepotkan kamu.”
    [61]

Inilah rangkuman dari pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah tentang aqidah beliau dalam masalah Ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam dan ahli-ahli Ilmu Kalam.


Pendapat Imam Malik Tentang Tauhid


  • Al-Harawi meriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa Imam Malik رحمه الله pernah ditanya tentang Ilmu Tauhid. Jawab beliau: “Sangat tidak mungkin bila ada orang menduga bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam mengajari umatnya tentang cara-cara bersuci tetapi tidak mengajari masalah tauhid. Tauhid adalah apa yang disabdakan Nabi , “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah).”
    [62]
    Maka sesuatu yang dapat menyelamatkan harta dan nyawa (darah) maka hal itu adalah tauhid yang sebenarnya.
    [63]
  • Imam ad-Daruquthni meriwayatkan dari al-Wahid bin Muslim, katanya: “Saya bertanya kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, dan al-Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits mengenai sifat-sifat Allah. Mereka menjawab: “Jalankanlah (baca dan pahami) seperti apa adanya.”
    [64]
  • Imam Ibn ‘Abdil Bar juga menuturkan, bahwa Imam Malik pernah ditanya: “Apakah Allah dapat dilihat pada hari kiamat?” Beliau menjawab: “Ya, dapat dilihat. Karena Allah berfirman: وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ . إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ “Wajah-wajah orang mukmin itu pada hari kiamat berseri-seri, kepada Tuhannya wajah-wajah itu melihat.”(Al-Qiamah, 22-23) Dan Allah telah berfirman tentang golongan lain: كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ “Tidak demikian. Mereka (orang-orang kafir) itu pada hari kiamat benar-benar terhalang hijab (tabir), tak dapat melihat Tuhan mereka.” (al-Muthaffifin, 15) Qadhi ‘Iyadh juga menuturkan dalam kitab Tartib al-Madarik, II/42, dari Ibn Nafi’
    [65]
    dan Asyhab
    [66]
    , keduanya berkata, “Wahai Abu Abdillah -panggilan akrab Imam Malik -, apakah benar orang-orang yang mukmin dapat melihat Allah ?”. “Ya, dengan kedua mata ini”, jawab Imam Malik. Kemudian salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Ada sementara orang yang berkata bahwa Allah itu tidak dapat dilihat. Kata ناظرة dalam ayat itu yang secara kebahasaan berarti “melihat” maksudnya adalah “menunggu pahala”. Imam Malik menjawab: “Tidak benar mereka”. Yang benar adalah Allah dapat dilihat. Apakah kamu tidak membaca firman Allah tentang Nabi Musa:
    رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ “Wahai Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku, agar dapat melihat-Mu.” (Al-A’raf : 143) Apakah kamu kira Nabi Musa itu memohon sesuatu yang mustahil dari Tuhannya? Allah kemudian menjawab: قَالَ لَنْ تَرَانِي “Kamu tidak akan dapat melihat Aku.” (Al-A’raf : 143) Maksudnya, Nabi Musa tidak dapat melihat Allah di dunia, karena dunia itu tempat kehancuran, dan tidak mungkin sesuatu yang kekal dapat dilihat dengan sesuatu yang dapat hancur. Apabila manusia sudah sampai ke Akhirat (tempat yang kekal), maka mereka dapat melihat sesuatu yang kekal (Allah) dengan sesuatu yang dikekal-kan (tubuh manusia di Akhirat).
  • Abu Nu’aim juga menuturkan dari Ja’far bin Abdillah, katanya: “Kami berada di rumah Malik bin Anas. Kemudian ada orang yang datang dan bertanya: “Wahai Abu Abdillah -panggilan akrab Imam Malik - Allah ar-Rahman bersemayam (istawa) di atas ‘Arsy. Bagaimana Allah bersemayam?” Mendengar pertanyaan itu, Imam Malik marah. Beliau tidak pernah marah seperti itu. Kemudian beliau melihat ke tanah sam-bil memegang-megang kayu di tangannya, lalu beliau mengangkat kepala beliau dan melempar kayu tersebut, lalu berkata, “Cara Allah beristiwa’ tidaklah dapat dicerna de-ngan akal, sedangkan istiwa’ (bersemayam) itu sendiri dapat dimaklumi maknanya. Sedangkan kita wajib mengimaninya, dan menanyakan hal itu adalah bid’ah. Dan saya kira kamulah pelaku bid’ah itu. Ke-mudian Imam Malik menyuruh orang itu agar dikeluarkan dari rumah beliau.”
    [67]
  • Iman Abu Nu’aim meriwayatkan dari Yahya bin ar-Rabi, katanya: “Saya berada di rumah Malik kemudian ada seorang datang dan bertanya, “Wahai Abdillah -panggilan akrab Imam Malik - apa pendapat Anda tentang orang yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk?” Imam Malik menjawab: “Dia itu kafir zindiq, bunuhlah dia.” Orang tadi bertanya lagi, “Wahai Abdillah, saya hanya sekedar menceritakan pendapat yang pernah saya dengar.” Imam Malik menjawab: “Saya tidak pernah mendengar pendapat itu dari siapa pun. Saya hanya mendengar itu dari kamu.”
    [68]
  • Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik bin Anas mengatakan, siapa yang berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk dia harus dihukum cambuk dan dipenjara sampai dia bertaubat.”
    [69]
  • Imam Abu Daud juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik berkata, ‘Allah di langit, dan ilmu (pengetahuan) Allah meliputi setiap tempat.”
    [70]

Pendapat Imam Malik Tentang Qadar


  • Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Ibn Wahb, katanya: “Saya mendengar Imam Malik berkata kepada seseorang, “Kemarin kamu bertanya kepada saya tentang qadar, bukankah begitu?”. “Ya”, jawab orang itu. Imam Malik berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman: وَلَوْ شِئْنَا لَآَتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Sekiranya kamu menghendaki, kami akan memberikan petunjuk kepada semua orang. Tetapi telah tetaplah keputusan-Ku, bahwa Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia semuanya.” (as-Sajdah: 13) Maka tidak boleh tidak, ketetapan Allah-lah yang berlaku.”
    [71]
  • Qadhi ‘Iyadh berkata: “Imam Malik pernah ditanya tentang kelompok Qadariyah, siapakah mereka itu? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah itu tidak menciptakan maksiat.” Beliau ditanya pula tentang Qadariyah. Jawab beliau: “Mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa ma-nusia itu mempunyai kemampuan. Apabila mereka mau, mereka dapat menjadi orang-orang taat atau menjadi orang-orang yang durhaka.”
    [72]
  • Ibn Abi ‘Ashim meriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Abd al-Jabbar, katanya: “Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: “Pendapat saya tentang kelompok Qadariyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus dihukum mati.”
    [73]
  • Imam Ibn ‘Abdil Bar berkata: “Imam Malik pernah berkata: “Saya tidak pernah melihat seorang pun dari orang-orang yang berbicara masalah qadar dan ia tidak bertaubat.”
    [74]
  • Imam Ibn Abi ‘Ashim meriwayatkan dari Marwan bin Muhammad at-Tatari, katanya: “Saya mendengar Imam Malik bin Anas ditanya tentang hal menikah dengan seseorang penganut paham Qadariyah. Kata beliau seraya membaca ayat al-Qur’an: وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ “Seorang hamba sahaya yang beriman lebih baik daripada seorang musyrik.” (al-Baqarah: 221)
    [75]
  • Qadhi ‘Iyadh menuturkan bahwa Imam Malik menyatakan: “Kesaksian penganut paham Qadariyah yang menyebarkan pahamnya yang bid’ah itu tidak dapat dibenarkan. Begitu pula penganut golongan Khawarij dan penganut paham Rafidhah (Syi’ah).”
    [76]
  • Qadhi ‘Iyadh juga menuturkan, bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang penganut Qadariyah, apakah kita tolak pendapat-pendapatnya? Jawab beliau: “Ya, bila ia mengetahui hal itu.” Dalam suatu riwayat Malik berkata: “Tidak boleh shalat menjadi makmum di belakang penganut paham Qadariyah, dan hadits yang ia riwayatkan harus ditolak. Apabila kamu menemukan mereka di suatu tempat persembunyiannya, keluarkanlah mereka.”
    [77]

Pendapat Imam Malik Tentang Iman


  • Iman Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ‘Abd ar-Razzaq bin Hammad, katanya: “Saya mendengar Ibn Juraij, Sufyan bin ‘Uyainah dan Anas bin Malik , mengatakan: “Iman itu adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.”
    [78]
  • Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi’, katanya: “Imam Malik bin Anas pernah berkata: “Iman itu adalah ucapan dan perbuatan.”
    [79]
  • Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Asyhab bin Abdul Aziz, katanya, Imam Malik berkata: “Ketika umat Islam shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan, mereka kemudian diperintahkan untuk menghadap ke Masjidil Haram pada waktu shalat. Kemudian turun ayat: وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ‏ “Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu.” (Al-Baqarah : 143) Maksud “iman” dalam ayat itu adalah “shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis.” Kata Imam Malik lagi, “Menurut paham golongan Murji’ah shalat itu tidak termasuk iman.”
    [80]

Pendapat Imam Malik Tentang Sahabat


  • Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Abdullah al-Anbari, katanya: “Imam Malik bin Anas menyatakan: “Siapa yang merendahkan derajat seorang sahabat Nabi atau ia merasa tidak senang, maka ia tidak punya hak untuk dilindungi oleh umat Islam.” Kemudian beliau membaca ayat: وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ “Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau menjadikan kebencian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (al-Hasyr : 10)
    [81]
    Imam Malik kemudian berkata: “Barang siapa marah kepada salah seorang sahabat Nabi maka ia telah terkena ayat ini.”
  • Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari salah seorang putra az-Zubair, katanya: “Kami berada di tempat Malik. Kemudian orang-orang menyebut-nyebut seorang yang merendahkan martabat sahabat Nabi , lalu Imam Malik membaca ayat: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). (Al-Fath: 29) Imam Malik kemudian berkata: “Barang siapa marah kepada salah seorang sahabat Nabi , maka ia telah terkena ayat ini.”
    [82]
  • Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan dari Asyhab bin Abdul ‘Aziz, katanya: “Kami berada di tempat Imam Malik, tiba-tiba ada seorang dari golongan Alawiyin datang kepada beliau, sementara orang-orang yang ada di situ sedang mengikuti majlis pengajian Imam Malik. Orang tadi, sambil berdiri, bertanya kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah”, panggilan akrab untuk beliau. Imam Malik kemudian mendekati, padahal beliau itu tidak pernah menyambut lebih dari menganggukkan kepala, apabila dipanggil orang. Kemudian orang tadi berkata: “Saya ingin membuat anda menjadi hujjah (bukti kebenaran) antara saya dengan Allah, sebab apabila saya akan menghadap Allah nanti, saya akan ditanya Allah, dan saya akan menjawab: “Malik telah mengatakan hal itu.” Imam Malik lalu berkata: “Baik, silakan apa yang hendak anda tanyakan!” Orang tadi berkata: “Siapakah yang paling mulia sesudah Nabi Muhammad ?” Beliau menjawab: “Abu Bakar.” Orang Alawiyin tadi bertanya lagi: “Lalu siapa?” Dijawab, “Umar”. “Kemudian siapa lagi?”, tanya orang tadi. Imam Malik menjawab: “Kemudian Khalifah yang terbunuh secara dizhalimi, yaitu Ustman.” Orang tadi lalu berkata: “Demi Allah, saya tidak akan duduk di sampingmu selamanya”. “Ya silakan, Anda bebas”, jawab Imam Malik.
    [83]

Pendapat Imam Malik Tentang Ilmu Kalam Dan Berdebat Dalam Agama


  • Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Mush’ab bin Abdullah bin az-Zubairi, katanya, Imam Malik pernah berkata: “Saya tidak menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tidak menyukainya, dan melarangnya, seperti membicarakan pendapat Jahm bin Shafwan, masalah qadar dan sebagainya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik diam saja, karena hal-hal di atas.”
    [84]
  • Imam Abu Nu’aim juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi’, katanya, saya mendengar Imam Malik berkata: “Seandainya ada orang melakukan dosa besar seluruhnya kecuali menjadi musyrik, kemudian dia melepaskan diri dari bid’ah-bid’ah Ilmu Kalam ini, dia akan masuk surga.”
    [85]
  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi kafir zindiq, siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa yang mencari bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib al-Hadits) ia akan bohong.”
    [86]
  • Imam al-Katib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, saya mendengar Imam Malik berkata: “Berdebat dalam agama itu aib (cacat).” Beliau juga berkata: “Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat. Apakah ia bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi ?”
    [87]
  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Mahdi, katanya, saya masuk ke rumah Imam Malik, dan di situ ada seorang yang sedang ditanya oleh Imam Malik: “Barangkali kamu murid dari ‘Amr bin ‘Ubaid. Mudah-mudahan Allah melaknat ‘Amr bin ‘Ubaid kerena dialah yang membuat bid’’ah Ilmu Kalam. Seandainya Kalam itu merupakan Ilmu, tentulah para Sahabat dan Tabi’in sudah membicarakannya, sebagaimana mereka juga berbicara masalah hukum (fiqih) dan syari’ah.”
    [88]
  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari ‘Aisyah bin Abdul Aziz, katanya, saya mendengar Imam Malik berkata: “Hindarilah bid’ah”. Kemudian ada orang yang bertanya, “Apakah bid’ah itu, wahai Abu Abdillah?”. Imam Malik menjawab: “Penganut bid’ah itu adalah orang-orang yang membicarakan masalah nama-nama Allah, sifat-sifat Allah, kalam Allah, ilmu Allah, dan qudrah Allah. Mereka tidak mau bersikap diam (tidak memperdebatkan) hal-hal yang justru para Sahabat dan Tabi’in tidak membicarakannya.”
    [89]
  • Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Imam Syafi’i, katanya, Imam Malik bin Anas, apabila kedatangan orang yang dalam agama mengikuti seleranya saja, beliau berkata: “Tentang diri saya sendiri, saya sudah mendapatkan kejelasan tentang agama dari Tuhanku. Sementara Anda masih ragu-ragu. Pergilah saja pada orang lain yang juga masih ragu-ragu, dan debatlah dia.”
    [90]
  • Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Muhammad bin Ahmad al-Mishri al-Maliki, di mana ia berkata dalam bab al-Ijarat da-lam kitab al-Khilaf, Imam Malik berkata: “Tidak boleh menyebarkan kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang dalam beragama hanya mengikuti selera, bid’ah dan klenik; dan kitab-kitab itu adalah kitab-kitab penganut kalam, seperti kelompok Mu’tazilah dan sebagainya.”
    [91]

Dan itulah sekilas tentang sikap Imam Malik bin Anas dan pendapat-pandapat beliau tentang masalah Tauhid, Sahabat, Imam, Ilmu Kalam, dan lain-lain.


Pendapat Imam Syafi’I Tentang Tauhid


  • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut salah satu asma’ Allah عزّوجلّ kemudian melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat. Dan barangsiapa yang bersumpah dengan menyebutkan selain Allah عزّوجلّ, misalnya, “Demi Ka’bah”, “Demi ayahku” dan sebagainya, kemudian melanggar sumpah itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat.” Begitu pula apabila ia bersumpah dengan mengatakan “Demi umurku”, ia tidak wajib membayar kaffara. Namun, bersumpah dengan menyebut selain Allah عزّوجلّ adalah haram, dan dilarang berdasarkan Hadits Nabi , “Sesungguhnya Allah عزّوجلّ melarang kami untuk bersumpah dengan menyebut nenek moyang kamu. Siapa yang hendak bersumpah, maka bersumpahlah dengan menyebut asma Allah عزّوجلّ, atau lebih baik diam saja.”
    [2]
    Imam Syafi’i beralasan bahwa asma’-asma’ Allah عزّوجلّ itu bukan makhluk, karenanya siapa yang bersumpah dengan menyebut asma’ Allah عزّوجلّ, kemudian ia melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat.
    [93]
  • Imam Ibn al-Qayyim menuturkan dalam kitabnya Ijtima’ al-Juyusy, sebuah riwayat dari Imam Syafi’i, bahwa beliau berkata: “Berbicara tentang Sunnah yang menjadi pegangan saya, shahib-shahib (murid-murid) saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan saya ambil ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik, dan lain-lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah عزّوجلّ, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah عزّوجلّ, serta bersaksi bahwa Allah عزّوجلّ di atas 'Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah عزّوجلّ, dan Allah عزّوجلّ itu turun ke langit terdekat kapan saja Allah عزّوجلّ berkehendak.”
    [94]
  • Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dari al-Muzani katanya: “Apabila ada orang yang mengeluarkan unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid yang ada dalam hati saya, maka itu adalah Imam Syafi’i.” Saya pernah dengar di Masjid Cairo dengan beliau, ketika saya mendebat di depan beliau, dalam hati saya terdapat unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid. Kata hatiku, saya tahu bahwa seseorang tidak akan mengetahui ilmu yang ada pada diri Anda, maka apa yang sebenarnya yang ada pada diri Anda? Tiba-tiba beliau marah, lalu bertanya: “Tahukah kamu, di mana kamu sekarang?” Saya menjawab, “Ya”. Beliau berkata, “Ini adalah tempat di mana Allah عزّوجلّ menenggelamkan Fir’aun. Apakah kamu tahu bahwa Nabi Muhammad pernah menyuruh bertanya masalah yang ada dalam hatimu itu?”. “Tidak”, jawab saya. “Apakah para sahabat pernah membicarakan masalah itu?”, tanya beliau lagi. “Tidak pernah”, jawab saya. “Berapakah jumlah bintang di langit?”, tanya beliau lagi. “Tidak tahu”, jawab saya. “Apakah kamu tahu jenis bintang-bintang itu, kapan terbitnya, kapan terbenamnya, dari bahan apa bintang itu diciptakan?”, tanya beliau. “Tidak tahu” jawab saya. “Itu masalah makhluk yang kamu lihat dengan mata kepalamu, ternyata kamu tidak tahu. Mana mungkin kamu mau membicarakan tentang ilmu Pencipta makhluk itu”, kata beliau mengakhiri. Kemudian beliau menanyakan kepada saya tentang masalah wudhu’, ternyata jawaban saya salah. Beliau lalu mengembangkan masalah itu menjadi empat masalah, ternyata jawaban saya juga tidak ada yang benar. Akhirnya beliau berkata: “Masalah yang kamu perlukan tiap hari lima kali saja tidak kamu pelajari. Tetapi kamu justru berupaya untuk mengetahui ilmu Allah عزّوجلّ ketika hal itu berbisik dalam hatimu. Kembali saja kepada firman Allah عزّوجلّ: وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ . إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ “Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Satu. Tidak ada Tuhan (yang Haq) selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (gersang) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah : 163-164) “Karenanya”, lanjut Imam Syafi’i, “Jadikanlah makhluk itu sebagai bukti atas kekuasaan Allah عزّوجلّ, dan janganlah kamu memaksa-maksa diri untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh akalmu.”
    [95]
  • Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Yunus bin Abdul A’la, katanya: “Apabila kamu mendengar ada orang berkata bahwa nama itu berlainan dengan apa yang diberi nama, atau sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu, maka saksikanlah bahwa orang itu adalah kafir zindiq.”
  • Dalam kitabnya ar-Risalah, Imam Syafi’i berkata: “Segala puji bagi Allah عزّوجلّ yang memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan di atas yang disifati oleh makhluk-Nya.”
  • Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lam an Nubala’ menuturkan dari Imam Syafi’i, kata beliau: “Kita menerapkan sifat-sifat Allah عزّوجلّ ini sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi , dan kita meniadakan tasybih (menyamakan Allah عزّوجلّ dengan makhluk-Nya), sebagaimana Allah عزّوجلّ juga meniadakan tasybih itu dalam firman-Nya: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ “Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura : 11)
    [96]
  • Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i berkata tentang firman Allah عزّوجلّ: كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (al-Muthaffifin : 15) “Ayat ini memberitahu kita bahwa pada Hari Kiamat nanti ada orang-orang yang tidak terhalang, mereka dapat melihat Allah عزّوجلّ dengan jelas.”
    [97]
  • Imam al-Lalaka’i menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya: “Saya datang ke rumah Imam Syafi’i, ketika itu ada sebuah pertanyaan kepada beliau: “Apakah pendapat Anda tentang firman Allah عزّوجلّ dalam surat al-Muthaffifin ayat 15, yang artinya, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya?.” Imam Syafi’i رحمه الله menjawab, “Apabila orang- orang itu tidak dapat melihat Allah عزّوجلّ karena dimurkai Allah عزّوجلّ, maka ini merupakan dalil bahwa orang-orang yang diridhai Allah عزّوجلّ akan dapat melihat-Nya.” Ar-Rabi’ lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, apakah Anda berpendapat seperti itu?. “Ya, saya berpendapat seperti itu, dan itu saya yakini kepada Allah عزّوجلّ”, begitu jawab Imam Syafi’i.
    [98]
  • Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan, katanya, di hadapan Imam Syafi’i ada orang yang menyebut-nyebut nama Ibrahim bin Isma’il bin Ulayah. Kemudian Imam Syafi’i berkata: “Saya berbeda pendapat dengan dia dalam segala hal. Begitu pula dalam kalimat “La ilaha illAllah عزّوجلّ”. Saya tidak berpendapat seperti pendapatnya. Saya mengatakan, bahwa Allah عزّوجلّ berfirman kepada Nabi Musa secara langsung tanpa penghalang. Sedangkan dia mengatakan, ketika Allah عزّوجلّ berfirman kepada Nabi Musa, Allah عزّوجلّ menciptakan ucapan-ucapan yang kemudian dapat didengar oleh Nabi Musa secara tidak langsung (ada penghalang).”
    [99]
  • Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari ar Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk, maka dia telah menjadi kafir.”
    [100]
  • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i, “Benarkah al-Qur’an itu itu Khaliq (pencipta)?”, Jawab beliau, “Tidak benar”. “Apakah al-Qur’an itu makhluk?”, tanyanya lagi. “Tidak”, jawab Imam Syafi’i. “Apakah al-Qur’an itu bukan makhluk?”, tanyanya lagi “Ya, begitu”, jawab Imam Syafi’i. Orang tadi bertanya lagi: “Mana buktinya bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk?”. Imam Syafi’i kemudian mengangkat kepala, dan ia berkata: “Maukah kamu mengakui bahwa al-Qur’an itu Kalam Allah عزّوجلّ?”. “Ya, mau”, kata orang tadi. Kemudian Imam Syafi’i berkata, “Kamu telah didahului oleh ayat: وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ “Dan jika di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepada kamu, maka lindungilah ia, supaya ia sempat mendengar Kalam Allah عزّوجلّ.” (At-Taubah : 6) وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا “Dan Allah عزّوجلّ telah berbicara dengan Musa secara langsung.” (An-Nisa’ : 164) Imam Syafi’i kemudian berkata lagi kepada orang tersebut: “Maukah kamu mengakui bahwa Allah عزّوجلّ itu ada dan demikian pula Kalam-Nya? Atau Allah عزّوجلّ itu ada, sedangkan Kalam-Nya belum ada ?”. Orang tadi menjawab, ”Allah عزّوجلّ ada, begitu pula Kalam-Nya.” Mendengar jawaban itu Imam Syafi’i tersenyum, lalu berkata: “Wahai orang-orang Kufah, kamu akan membawakan sesuatu yang agung kepadaku, apabila kamu mengakui bahwa Allah عزّوجلّ itu ada sejak masa azali, begitu pula Kalam-Nya. Lalu dari mana kamu pernah punya pendapat bahwa Kalam itu Allah عزّوجلّ atau bukan Allah عزّوجلّ?”. Mendengar penegasan Imam Syafi’I itu, orang tadi terdiam, kemudian keluar.
    [101]
  • Dalam kitab Juz al-I’tiqad yang disebut-sebut sebagai karya Imam Syafi’i dari riwayat Abu Thalib al-‘Isyari, ada sebuah keterangan sebagai berikut: “Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah عزّوجلّ, dan hal-hal yang perlu diimani, jawab beliau, “Allah عزّوجلّ Tabaraka wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad , yang siapa pun dari umatnya tidak boleh menyimpang dari ketentuan seperti itu setelah memperoleh keterangan (hujjah). Apabila ia menyimpang dari ketentuan setelah ia memperoleh hujjah tersebut, maka kafirlah dia. Namun apabila ia menyimpang dari ketentuan sebelum ia memperoleh hujjah, maka hal itu tidak apa-apa baginya. Ia dimaafkan karena ketidaktahuannya itu. Sebab untuk mengetahui sifat-sifat Allah عزّوجلّ itu tidak mungkin dilakukan oleh akal dan fikiran, tetapi hanya berdasarkan keterangan-keterangan dari Allah عزّوجلّ. Bahwa Allah عزّوجلّ itu mendengar, Allah عزّوجلّ mempunyai dua tangan: بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ “Tetapi kedua tangan Allah عزّوجلّ itu terbuka.” (Al-Maidah : 64) Dan Allah عزّوجلّ itu mempunyai tangan kanan: وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ “Dan langit itu dilipat tangan kanan Allah عزّوجلّ”. (az-Zumar: 67) Dan Allah عزّوجلّ juga punya wajah: كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah Allah عزّوجلّ.” (al-Qashash : 88) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman : 27) Allah عزّوجلّ juga mempunyai telapak kaki, ini berdasarkan sabda Nabi : حَتَّى يَضَعَ الرَّبُّ عَزَّوَجَلَّ فِيْهَا قَدْمَهُ “Sehingga Allah عزّوجلّ meletakkan telapak kaki-Nya di Jahanam.”
    [102]
    Allah عزّوجلّ tertawa terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin, sesuai dengan sabda Rasulullah kepada orang yang terbunuh dalam Jihad fi sabilillah, bahwa “kelak akan bertemu dengan Allah عزّوجلّ, dan Allah عزّوجلّ tertawa kepadanya.”
    [103]
    Allah عزّوجلّ turun setiap malam ke langit yang terdekat dengan bumi, berdasarkan hadits Nabi Muhammad tentang hal itu. Mata Allah عزّوجلّ tidak pecak sebelah, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad yang menyebutkan, bahwa “Dajjal itu pecak sebelah matanya, sedangkan Allah tidak pecak mata-Nya.”
    [104]
    Orang-orang mukmin kelak akan melihat Allah عزّوجلّ pada hari kiamat dengan mata kepala mereka, seperti halnya mereka melihat bulan purnama. Allah عزّوجلّ juga punya jari-jemari, berdasarkan hadits Nabi :
    مَا مِنْ قَلْبٍ إِلاَّ هُوَ بَيْنَ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ “Tidak ada satu buah hati kecuali ia berada di antara jari-jari Allah ar-Rahman.”
    [105]
    Pengertian sifat seperti ini, di mana Allah عزّوجلّ telah mensifati diri-Nya sendiri dan Nabi Muhammad juga mensifati-Nya, tidak dapat diketahui hakikatnya oleh akal dan fikiran. Orang yang tidak mendengar keterangan tentang hal itu tidak dapat disebut kafir. Apabila ia telah mendengar sendiri secara langsung, maka ia wajib meyakininya seperti halnya kita harus menetapkan sifat-sifat itu tanpa mentasybihkan (menyerupakan) Allah عزّوجلّ dengan makhluk-Nya, sebagaimana juga Allah عزّوجلّ tidak menyerupakan makhluk apa pun dengan diri-Nya. Allah سبحانه و تعالي berfirman: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
    [106]

Pendapat Imam Syafi’I Tentang Taqdir


  • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i pernah ditanya tentang taqdir, jawaban beliau:

    Apa yang Engkau kehendaki terjadi

    Meskipun aku tidak menghendaki

    Apa yang aku kehendaki tidak terjadi

    Apabila Engkau tidak menghendaki


    Engkau ciptakan hamba-hamba

    Sesuai apa yang Engkau ketahui

    Maka dalam ilmu-Mu

    Pemuda dan kakek berjalan


    Yang ini Engkau karuniai

    Sementara yang itu Engkau rendahkan

    Yang ini Engkau beri pertolongan

    Yang itu tidak Engkau tolong


    Manusia ada yang celaka

    Manusia juga ada yang beruntung

    Manusia ada yang buruk rupa

    dan ada juga yang bagus rupawan

  • Imam al-Baihaqi menuturkan dalam kitab Manaqib asy Sayfi’i, bahwa Syafi’I mengatakan: “Kehendak manusia itu terserah kepada Allah عزّوجلّ. Manusia tidak berkehendak apa-apa kecuali dikehendaki oleh Allah عزّوجلّ Rabbul ‘alamin. Manusia itu dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan mereka. Perbuatan-perbuatan itu adalah salah satu makhluk Allah عزّوجلّ. Taqdir baik maupun buruk, semuanya dari Allah عزّوجلّ. Adzab kubur itu hak (benar), pertanyaan kubur juga hak, bangkit dari kubur juga hak, hisab (perhitungan amal) itu juga hak, surga dan neraka juga hak, begitu dalam sunnah Nabi .”
    [108]
  • Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari al-Muzani katanya, Imam Syafi’i berkata: “Tahukah kamu siapa penganut paham Qadariyah itu? Yaitu orang yang mengatakan bahwa Allah عزّوجلّ tidak pernah menciptakan sesuatu sampai hal itu dikerjakan orang.”
    [109]
  • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari asy Syafi’i beliau berkata: “Kelompok Qadariyah yang oleh Rasulullah disebut sebagai kelompok Majusi dari Umat Islam
    [110]
    adalah orang-orang yang berpendapat bahwa Allah عزّوجلّ itu tidak mengetahui maksiat sampai ada orang yang mengerjakannya.”
    [111]
  • Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman dari Imam Syafi’i bahwa beliau tidak mau shalat menjadi makmum di belakang penganut paham Qadariyah.
    [112]

Pendapat Imam Syafi’I Tentang Iman


Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Imam ar-Rabi’, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i berkata: “Iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan keyakinan (i’tiqad) di dalam hati. Tahukah kamu firman Allah عزّوجلّ:


وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ

“Allah tidak menyia-nyiakan iman kamu.” (Al-Baqarah: 143)


Maksud kata “Imanakum” (iman kamu) adalah shalatmu ketika menghadap ke Baitul Maqdis. Allah عزّوجلّ menamakan shalat itu iman, dan shalat adalah ucapan, perbuatan dan i’tiqad.”
[113]

Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang bertanya kepada Imam Syafi’i, “Apakah amal yang paling utama?” Imam Syafi’i menjawab: “Yaitu sesuatu yang apabila hal itu tiak ada, maka semua amal tidak akan diterima.” “Apakah itu?”, tanya orang itu lagi. Dijawab oleh Imam Syafi’i, “Yaitu iman kepada Allah عزّوجلّ di mana tidak ada Tuhan (yang hak disembah) selain Dia. Iman adalah amal yang paling tinggi derajatnya; paling mulia kedudukannya, dan paling bagus buah yang dipetik darinya.”

Orang tadi bertanya lagi: “Bukankah iman itu ucapan dan perbuatan, atau ucapan tanpa perbuatan?” Imam Syafi’i menjawab: “Iman itu adalah perbuatan untuk Allah عزّوجلّ, dan ucapan itu merupakan sebagian dari amal tersebut.” Ia bertanya lagi, “Saya belum paham bagaimana itu, coba jelaskan lagi.”
Imam Syafi’i menjelaskan, “Iman itu memiliki tingkatan-tingkatan, ada iman yang sangat sempurna, ada iman yang berkurang yang jelas kekurangannya dan ada pula iman yang bertambah.” “Apakah iman itu ada yang tidak sempurna, berkurang dan bertambah?”, tanya orang itu. “Ya”, jawab Imam Syafi’i. “Apakah buktinya?”, tanyanya lagi. Imam Syafi’i menjawab, “Allah عزّوجلّ telah mewajibkan iman atas anggota-anggota badan manusia. Allah عزّوجلّ membagi iman itu untuk semua anggota badan. Tidak ada satupun anggota badan manusia kecuali telah diserahi iman secara berbeda-beda. Semua itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan Allah عزّوجلّ.
Hati misalnya, di mana manusia dapat berfikir dan memahami sesuatu, merupakan “pemimpin” badan manusia. Tidak ada gerak anggota badan kecuali berdasarkan pendapat dan perintah hati. Begitu pula dua biji mata, di mana manusia melihat, dua daun telinga di mana manusia mendengar, kedua tangan yang dipakai untuk memukul, kedua kaki yang dipakai untuk memenuhi keinginan hatinya, lisan yang dipakai untuk berbicara, dan kepala di mana terdapat wajahnya.
Allah عزّوجلّ mewajibkan kepada hati akan hal-hal yang tidak diwajibkan kepada lisan. Pendengaran (telinga) diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada mata. Kedua tangan juga mendapat kewajiban yang tidak sama dengan kaki. Begitu pula farji mendapat kewajiban yang tidak sama dengan wajah.
Adapun kewajiban yang dibebankan oleh Allah عزّوجلّ kepada hati adalah iman, maka berikrar (mengakui), mengetahui, meyakini, ridha, menyerahkan diri, bahwa tidak ada Tuhan (Yang Hak) selain Allah عزّوجلّ, Maha Esa Allah عزّوجلّ tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak memiliki isteri dan anak. Dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah عزّوجلّ, serta mengaku semua yang datang dari Allah عزّوجلّ, baik Nabi maupun Kitab. Semua itu merupakan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada hati, dan hal itu adalah amal (pekerjaan) hati.

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (An-Nahl: 106)


أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d :28)


مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آَمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ

“Di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman”, padahal hati mereka tidak beriman.” (Al-Maidah: 41)


Allah عزّوجلّ juga berfirman:


وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ

“Dan jika Allah menampakkan apa yang ada dalam hati kamu, atau menyembunyikannya, niscaya Allah akan melakukan hisab (perhitungan) dengan kamu tentang perbuatan itu.” (Al-Baqarah: 284)


Maka keimanan seperti itulah yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada hati, dan itu adalah pekerjaan hati; dan juga merupakan pangkal iman. Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kepada lisan, yaitu mengucapkan dan menyebutkan apa yang telah diikrarkan dan diyakini di dalam hati. Allah عزّوجلّ berfirman:

قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ‏

“Ucapkanlah, “Kami beriman kepada Allah,” (Al-Baqarah: 136)

Allah عزّوجلّ juga berfirman:


‏ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Dan katakanlah yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)


Itulah ucapan-ucapan yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada lisan, yaitu mengatakan yang ada dalam hati. Dan hal itu merupakan pekerjaan lisan, dan keimanan yang diwajibkan kepadanya. Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kepada telinga (pendengaran) untuk tidak mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman:


وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” (An-Nisa’: 140)


Namun ada pengecualian, bila seseorang itu lupa sehingga duduk bersama orang-orang kafir itu. Allah عزّوجلّ berfirman:

وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan itu), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah ingat (akan larangan itu). (Al-An’am: 68)


Dan Allah عزّوجلّ juga berfiman:


فَبَشِّرْ عِبَادِ . الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Maka sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (Az-Zumar :17-18)


Allah عزّوجلّ juga berfirman:


قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ . وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ . وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ di dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang selalu membersihkan dirinya.” (Al-Mu’minun: 1-4)


Allah عزّوجلّ berfirman pula:


وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ

“Apabila mereka mendengar (perkataan) yang tidak berguna, mereka berpaling meninggalkannya.” (Al-Qashash: 55)


Begitu pula firman Allah عزّوجلّ:


وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang melakukan perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Al-Furqan: 72)


Ayat-ayat itu semua menunjukkan adanya kewajiban yang ditetapkan Allah عزّوجلّ kepada telinga agar ia membersihkan diri dari hal-hal yang haram didengar. Dan hal itu, merupakan telinga, dan itu termasuk iman. Allah عزّوجلّ juga meriwayatkan dua mata manusia untuk tidak melihat hal-hal yang diharamkan. Dalam hal ini Allah عزّوجلّ berfirman:


قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

“Katakanlah kepada orang-orang mukmin, agar mereka menahan pandangan matanya dan menjaga kemaluannya.” (An-Nur: 30)


Dalam ayat ini Allah عزّوجلّ melarang orang mukmin untuk melihat kemaluan orang lain, dan menyuruh agar menjaga kemaluannya agar tidak dilihat orang lain. Setiap ungkapan “menjaga kemaluan” di dalam al-Qur’an, maksudnya adalah berkaitan dengan zina, kecuali dalam ayat-ayat an-Nur ini, maksudnya adalah melihat. Dan itulah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah عزّوجلّ kepada kedua mata manusia, dan itu merupkan pekerjaan mata termasuk dalam iman. Allah عزّوجلّ kemudian memberitahukan apa yang wajib dikerjakan oleh hati, telinga dan mata, dalam sebuah ayat berikut ini:


وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti hal-hal yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’ : 36)


Maksud ayat ini adalah bahwa Allah عزّوجلّ mewajibkan kepada farj (kemaluan) agar tidak digunakan untuk hal-hal yang haram. Allah عزّوجلّ berfirman:

وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ

“Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu.” (Fushshilat: 22)


Yang dimaksud dengan “kulitmu” dalam ayat ini adalah “kemaluan dan paha”. Dan itulah yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada kemaluan agar menjaga dirinya dari hal-hal yang tidak halal. Dan itu merupakan pekerjaan kemaluan. Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kedua tangan agar tidak digunakan untuk hal-hal yang diharamkan, tetapi justeru digunakan dalam hal-hal yang diperintahkan Allah عزّوجلّ, seperti sadaqah, silaturahmi, jihad fi sabilillah, bersuci untuk shalat dan lain-lain. Allah عزّوجلّ berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu, tanganmu sampai siku-siku …dst.” (Al-Maidah : 6)


Allah عزّوجلّ juga berfirman:


فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً

“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga jika kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka, dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan.” (Muhammad : 4)


Memerangi orang-orang kafir, silaturrahmi, sadaqah, dan lain-lain adalah perbuatan tangan. Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kedua kaki manusia untuk tidak berjalan kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman:

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Al-Isra’: 37)


Allah عزّوجلّ mewajibkan wajah untuk sujud kepada Allah عزّوجلّ siang dan malam, dan pada waktu-waktu shalat. Allah عزّوجلّ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapatkan kemenangan.” (Al-Hajj: 77)


وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorang di samping Allah.” (Al-Jin: 18)


Maksudnya menyembah di masjid, di mana manusia melakukan shalat dengan sujud. Dan itulah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah عزّوجلّ kepada anggota badan. Allah عزّوجلّ juga menyebutkan bersuci dan shalat (sembahyang) sebagai iman, yaitu ketika Allah عزّوجلّ memerintahkan kepada Nabi صلي الله عليه وسلم untuk memalingkan wajahnya dari menghadap ke Baitul Maqdis dalam shalat beralih menghadap ke Ka’bah di Makkah. Sementara kaum muslimin telah melakukan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan. Mereka kemudian mengadu kepada Nabi صلي الله عليه وسلم, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan shalat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis, apakah diterima oleh Allah عزّوجلّ?”. Allah عزّوجلّ kemudian menurunkan ayat:


وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan iman kamu. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Baqarah: 143)


Dalam ayat ini Allah عزّوجلّ telah menamakan shalat dengan iman. Maka siapa kelak bertemu dengan Allah عزّوجلّ dengan menjaga shalat-shalatnya, menjaga anggota badannya, mengerjakan dengan seluruh anggota badannya apa yang diperintahkan dan diwajibkan Allah عزّوجلّ, maka ia bertemu dengan Allah عزّوجلّ dengan iman yang sempurna dan ia termasuk penghuni surga. Sebaliknya, siapa yang anggota badannya dengan sengaja meninggalkan perintah-perintah Allah عزّوجلّ, maka ia akan bertemu dengan Allah عزّوجلّ dalam keadaan imannya berkurang.” Begitulah penjelasan Imam Syafi’i tentang iman. Kemudian orang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tadi bertanya lagi, “Saya sudah paham tentang berkurang dan sempurnanya iman. Dari mana datang tambahnya iman itu?” Imam Syafi’i menjawab dengan menyebutkan firman Allah عزّوجلّ:


وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ . وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafiq) ada yang berkata, “Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan turunnya (surat) ini? Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang hatinya ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka di samping kekafirannya (yang telah ada), dan mereka mati dalam kekafiran.” (At-Taubah : 124-125)


Allah عزّوجلّ juga berfirman:


إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

“Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Al-Kahfi : 13)


Imam Syafi’i رحمه الله kemudian mengatakan, “Sekiranya iman itu satu, tidak ada yang tambah dan kurang, maka tidak ada kelebihan apa-apa bagi seseorang, dan semua manusia sama. Tetapi, dengan sempurnanya iman, orang mukmin akan masuk ke surga, dan dengan tambahnya iman pula orang mukmin akan memperoleh keunggulan tingkatan di dalam surga. Sebaliknya bagi orang-orang yang imannya kurang, mereka akan masuk ke neraka.

Kemudian Allah عزّوجلّ akan mendahulukan orang beriman lebih dahulu. Manusia akan memperoleh haknya berdasarkan kedahuluannya dalam beriman. Setiap orang akan memperoleh haknya, tidak dikurangi sedikitpun. Yang datang belakang tidak akan didahulukan; yang tidak mulia (karena rendahnya iman) tidak akan didahulukan daripada yang mulia (karena ketinggian iman). Itulah kelebihan orang-orang terdahulu dari ummat ini. Seandainya orang-orang yang beriman lebih dahulu itu tidak mempunyai kelebihan, niscaya akan sama nilainya orang yang beriman belakangan dengan orang-orang yang beriman lebih dulu.”
[114]

Pendapat Imam Syafi’i Tentang Sahabat


  • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Allah عزّوجلّ telah memuji para Sahabat Nabi di dalam al-Qur’an, Taurat dan Injil. Dan Nabi sendiri telah memuji keluhuran mereka, sementara untuk yang lain tidak disebutkan. Maka semoga Allah عزّوجلّ merahmati mereka, dan menyambut mereka dengan memberikan kedudukan yang paling tinggi sebagai shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Mereka telah menyampaikan sunnah-sunnah Nabi kepada kita. Mereka juga telah menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi . Karenanya, mereka mengetahui apa yang dimaksud oleh Rasulullah, baik yang bersifat umum maupun khusus, kewajiban maupun anjuran. Mereka mengetahui apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui tentang sunnah Nabi . Mereka di atas kita di dalam segala hal, ilmu dan ijtihad, kehati-hatian dan pemikiran, dan hal-hal yang diambil hukumnya. Pendapat-pendapat mereka, menurut kita, juga lebih unggul daripada pendapat-pendapat kita sendiri.”
    [115]
  • Imam al-Baihaqi menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman bahwa ia mendengar Imam Syafi’i memandang Abu Bakar adalah yang paling utama di antara semua sahabat, kemudian Umar, Ustman dan kemudian Ali رضي الله عنهم.
    [116]
  • Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Abdullah bin Abd al-Hakam, katanya, ia mendengar Imam Syafi’i berkata: “Manusia yang paling mulia sesudah Nabi adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali رضي الله عنهم.”
    [117]
  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, katanya, saya bertanya kepada Imam Syafi’i: “Apakah saya boleh shalat bermakmum di belakang orang Rafidhi (Syi’ah) ?” Beliau menjawab: “Jangan kamu shalat menjadi makmum orang Rafidhi, Qadari (penganut paham Qadariyah), dan penganut paham Murji’ah.” Saya bertanya lagi: “Apakah tanda-tanda mereka itu?” Beliau menjawab: “Orang yang berpendapat bahwa iman itu hanyalah ucapan saja, maka ia penganut paham Murji’ah. Orang yang berpendapat bahwa Abu Bakar dan Umar itu bukan imam umat Islam adalah penganut paham Rafidhah. Dan orang yang berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kehendak mutlak dan dapat menentukan nasibnya sendiri, ia adalah penganut paham Qadariyah.”
    [118]

Pendapat Imam Syafi’i Tentang Ilmu Kalam Dan Berdebat Dalam Agama


  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafi’I berkata: “Seandainya ada orang berwasiat kepada orang lain untuk mengambil kitab-kitabnya yang berisi ilmu-ilmu keislaman, sementara di antara kitab-kitab itu ada kitab-kitab Kalam, maka kitab-kitab Kalam ini tidak masuk di dalam wasiat, karena Kalam itu tidak termasuk ilmu-ilmu keislaman.”
    [119]
  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari al-Hasan az-Za’farani, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i berkata: “Saya tidak pernah berdiskusi dengan seorangpun dalam masalah Kalam kecuali hanya satu kali saja. Dan itu kemudian saya membaca istighfar, minta ampun kepada Allah عزّوجلّ.”
    [120]
  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i pernah berkata: “Seandainya saya mau, saya akan membawa kitab yang besar untuk berdiskusi dengan lawan pendapatku. Tetapi untuk berdiskusi tentang masalah Kalam, saya tidak suka dikait-kaitkan dengan Kalam.”
    [121]
  • Imam Ibn Battah meriwayatkan dari Abu Tsaur katanya, Imam Syafi’i pernah berkata kepadaku: “Saya tidak pernah melihat orang menyandang sedikitpun tentang Kalam kemudian ia menjadi orang yang beruntung.”
    [122]
  • Imam Harawi meriwayatkan dari Yunus al-Mishri, katanya, Imam Syafi’i pernah berkata: “Seandainya Allah عزّوجلّ memberikan cobaan (ujian) kepada seseorang, sehingga ia melakukan larangan-larangan Allah عزّوجلّ selain syirik, hal itu masih lebih bagus dari pada ia mendapati cobaan (ujian) dengan terperosok pada Ilmu Kalam.”
    [123]

Itulah rangkuman pendapat-pendapat Imam Syafi’i رحمه الله tentang masalah Ushuluddin, dan sikap beliau tentang Ilmu Kalam.

Pendapat Imam Ahmad Tentang Tauhid


  • Di dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah, terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله pernah ditanya tentang tawakkal. Jawab beliau: “Tawakkal itu adalah mengandalkan sepenuhnya kepada Allah dan tidak mengharapkan dari manusia.”
    [124]
  • Di dalam kitab al-Mihnah terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Allah itu sejak azali terus berfirman. Al-Qur’an adalah firman-firman Allah dan bukan makhluk, dan Allah tidak boleh disifati dengan sifat-sifat selain yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah.”
    [125]
  • Imam Abu Ya’la meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, katanya, saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, melihat Allah, Isra’, dan kisah ‘Arsy, yang ditolak oleh kelompok Jahmiyah. Ternyata menurut beliau, hadits-hadits tersebut shahih, dan beliau berkata: “Hadits-hadits itu telah diterima oleh umat Islam, dan jalankanlah (pahamilah) hadits-hadits itu seperti apa adanya.”
    [126]
  • Abdullah bin Ahmad berkata di dalam kitab as-Sunnah, bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Barangsiapa yang berpendapat bahwa Allah itu tidak berfirman, maka telah kafirlah dia. Kita meriwayatkan hadits-hadits itu seperti apa adanya.”
    [127]
  • Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari Hanbal bahwa ia bertanya kepada Imam Ahmad رحمه الله tentang ru’yah (melihat Allah di Akhirat). Jawaban beliau: “Hadits-Hadits mengenai ru’yah itu shahih. Kita mengimani dan menetapkannya. Dan semua hadits yang diriwayatkan dari Nabi dengan sanad-sanad yang bagus, kita mengimaninya dan menetapkan keshahihannya.”
    [128]
  • Imam Ibn al-Jauzi menuturkan dalam kitab al-Manaqib tentang kitab Imam Ahmad bin Hanbal karya Musaddad. Di dalam kitab tersebut ada keterangan di mana Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Sifatilah Allah dengan sifat-sifat yang dipakai oleh Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri, dan tinggalkanlah hal-hal yang ditinggalkan oleh Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri.”
    [129]
  • Di dalam kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah karya Imam Ahmad رحمه الله, beliau mengatakan: “Jahm bin Shafwan berpendapat, bahwa orang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat yang dipakai Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri seperti yang terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi , maka orang itu telah menjadi kafir dan termasuk kelompok musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).”
    [130]
  • Imam Ibn Taimiyah menuturkan dalam kitab Dar’u Ta’arud al-‘Aql wa an-Naql, ucapan Imam Ahmad رحمه الله: “Kami mengimani bahwa Allah ada di atas ‘Arsy, bagaimana Dia berkehendak dan seperti apa yang Allah kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang dipakai oleh seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu. Sifat-sifat Allah adalah sifat-sifat yang digunakan untuk Allah, yaitu seperti Allah mensifati diri-Nya sendiri, bahwa Dia tidak dapat dilihat oleh mata.”
    [131]
  • Imam Abi Ya’la juga meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Orang yang berpendapat bahwa Allah itu tidak dapat dilihat di Akhirat, maka dia telah kafir dan mendustakan Al-Qur’an.”
    [132]
  • Imam Ibnu Abi Ya’la juga meriwayatkan dari Abdullah putera Imam Ahmad رحمه الله, katanya, saya pernah bertanya kepada ayah saya tentang orang-orang yang berpendapat bahwa ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa, Allah berfirman tanpa suara. Kemudian ayah saya berkata: “Allah berfirman dengan suara. Hadits-hadits ini kita riwayatkan sesuai apa adanya.”
    [133]
  • Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari Abdus bin Malik al-Attar, katanya, saya mendengar bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Dan janganlah kamu lemah untuk berkata bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk, karena Kalamullah itu dari Allah, dan tidak ada sesuatu yang keluar dari Allah itu disebut makhluk.”
    [134]

Pendapat Imam Ahmad Tentang Qadar


  • Imam Ibn al-Jauzi menuturkan dalam kitab al-Manaqib tentang kitab Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله karya Musaddad. Dalam kitab itu terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Kita mengimani taqdir, yang baik, yang buruk, yang manis, yang pahit, semuanya dari Allah.”
    [135]
  • Imam al-Khallal meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, katanya, Imam Ahmad رحمه الله pernah ditanya: “Apakah kebaikan dan keburukan itu ditaqdirkan kepada hamba Allah, dan apakah Allah menciptakan kebaikan dan keburukan?” Beliau menjawab: “Ya, Allah telah mentetapkannya.”
    [136]
  • Dalam kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad رحمه الله beliau mengatakan: “Taqdir itu, yang baik dan yang buruk, yang sedikit dan yang banyak, yang lahir dan yang batin, yang manis dan yang pahit, yang disuka dan yang dibenci, yang elok dan yang jelek, yang awal dan yang akhir, semuanya sudah ditetapkan oleh Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Dan tidak ada seorang pun dari hamba Allah yang dapat keluar dari kehendak dan ketetapan Allah. ”
    [137]
  • Imam al-Khallal juga meriwayatkan dari Muhammad bin Abu Harun, dari al-Harits, katanya, saya mendengar Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Allah سبحانه و تعالي telah mentaqdirkan ketaatan dan maksiat, kebaikan dan keburukan. Orang yang telah ditetapkan sebagai orang yang berbahagia, maka ia berbahagia, dan orang yang telah ditetapkan sebagai orang yang celaka, ia akan celaka.”
    [138]
  • Abdullah putera Imam Ahmad رحمه الله berkata, “Saya mendengar ayah saya, ketika beliau ditanya Ali bin Jahm tentang “Orang yang berbicara tentang qadar, apakah ia menjadi kafir?” Beliau menjawab: “Ya apabila ia mengingkari ilmu Allah. Apabila ia berpendapat bahwa Allah itu tidak mengetahui, sampai Allah menciptakan ilmu, dan barulah Allah mengetahui, maka ia mengingkari ilmu Allah, dan dengan demikian ia menjadi kafir.”
    [139]
  • Abdullah, putera Imam Ahmad رحمه الله juga menuturkan, saya pernah bertanya ayah saya sekali lagi tentang shalat menjadi makmum di belakang paham Qadariyah. Beliau menjawab: “Apabila penganut Qadariyah itu selalu berdebat dan menyebarkan paham tersebut, maka kamu jangan shalat di belakangnya.”
    [140]

Pendapat Imam Ahmad Tentang Iman


  • Imam Abu Ya’la meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Di antara yang paling mulia dari masalah-masalah iman adalah cinta karena Allah dan marah karena Allah.”
    [141]
  • Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Iman itu bertambah dan berkurang, seperti diterangkan dalam hadits:

    أَكْمَلُ الْمُؤْ مِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

    “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling bagus akhlaknya.”

  • Imam al-Khallal meriwayatkan dari Sulaiman bin Asy’ats, katanya, bahwa Imam Ahmad رحمه الله mengatakan: “Shalat, zakat, haji dan berbuat kebajikan adalalah sebagian dari iman. Sedangkan menjalankan maksiat dapat mengurangi iman.”
    [143]
  • Abdullah, putera Imam Ahmad رحمه الله, mengatakan, saya pernah bertanya ayah saya tentang “Seseorang yang berpendapat bahwa iman itu adalah ucapan dan pengamalan, bertambah dan berkurang tanpa menyebut insya Allah, apakah ia seorang Murji’ah?” Beliau menjawab: “Saya berharap mudah-mudahan orang tersebut bukan penganut paham Murji’ah.” Abdullah berkata lagi, saya mendengar ayah berkata: “Dalil yang melawan pendapat orang yang tidak menyebutkan insya Allah dalam menyatakan iman adalah sabda Nabi kepada penghuni kubur:

    وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَ حِقُوْنَ

    “Kami insya Allah menyusul kamu.”

  • Abdullah juga menuturkan, saya mendengar ayah saya, ketika ditanya tentang paham Murji’ah, beliau menjawab: “Kami mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Apabila seseorang melakukan zina atau minum khamar, maka imannya berkurang.”
    [145]

Pendapat Imam Ahmad Tentang Sahabat


  • Dalam kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad رحمه الله ada keterangan sebagai berikut: “Di antara ajaran as-Sunnah adalah menyebut-nyebut kebaikan semua sahabat Nabi dan menahan diri tidak menyebutkan ketidakbaikan dan pertentangan yang terjadi antara mereka. Orang yang mencaci para sahabat, atau salah seorang saja di antara mereka, maka ia telah berbuat bid’ah, berpaham Rafidhi (Syi’ah), dan berlaku buruk. Allah tidak akan menerima amal kebajikannya. Mencintai Sabahat adalah ajaran as-Sunnah, mendo’akan mereka adalah termasuk ibadah, mengikuti mereka adalah cara yang benar, dan memakai pendapat-pendapat mereka adalah suatu kemuliaan. Kemudian, para sahabat itu, sesudah al-Khulafa’ ar-Rasyidin, adalah manusia-manusia terbaik. Tidak boleh ada orang yang menjelek-jelekan mereka dan sebagainya. Apabila ada yang melakukan hal itu, maka Sultan (Pemerintah) wajib memberinya “pelajaran” dan sanksi, dan tidak boleh membebaskannya.”
    [146]
  • Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan sepucuk surat dari Imam Ahmad رحمه الله yang beliau kirimkan kepada Musaddad. Di dalam surat itu terdapat keterangan sebagai berikut, “Hendaknya Anda menjadi saksi bahwa sepuluh orang sahabat itu telah diberi tahu akan masuk surga. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, az-Zubair, Sa’ad, Sa’id, Abdurrahman bin Auf dan Ubaidah bin al-Jarrah. Orang yang telah disaksikan oleh Nabi akan masuk surga, kita juga menjadi saksi.”
    [147]
  • Abdullah putera Imam Ahmad رحمه الله, menuturkan, saya pernah bertanya ayah saya tentang siapa imam-imam ummat ini. Beliau menjawab: “Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.”
    [148]
  • Abdullah juga mengatakan, bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya tentang “Orang-orang yang berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib itu bukan seorang Khalifah”. Beliau menjawab: “Itu pendapat yang buruk dan jelek.”
    [149]
  • Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata, “Orang yang tidak mengakui, bahwa Ali bin Abi Thalib itu khalifah, maka ia lebih sesat daripada keledai piaraan yang hilang.”
    [150]
  • Imam Ibn Abi Laila juga meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Orang yang tidak mau mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, jangan kamu ajak bicara dan jangan kamu menikahi keluarganya.”
    [151]

Pendapat Imam Ahmad Tentang Ilmu Kalam Dan Berdebat Dalam Agama


  • Imam Ibnu Baththah meriwayatkan dari Abu Bakar al-Marwazi, katanya, saya mendengar Imam Ahmad رحمه الله menyatakan: “Siapa yang mengkaji Ilmu Kalam, ia tidak akan beruntung, dan ia tidak akan terlepas dari mengikuti kelompok Jahmiyah.”
    [152]
  • Dalam kitab Jami’ Bayan al-‘Ilm wa al-Fadhlih, Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata, “Tidak akan beruntung selamanya, orang yang mengkaji Ilmu Kalam, dan Anda hampir tidak akan melihat orang yang mempelajari Ilmu Kalam itu kecuali di dalam hatinya ada ketidakberesan.”
    [153]
  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari Abdullah, putera Imam Ahmad رحمه الله, katanya, Ayah saya pernah menulis surat kepada Ubaidillah bin Yahya bin Khaqan. Dalam surat itu ayah saya berkata: “Kamu itu bukan termasuk ahli Kalam. Kalam yang benar adalah Kitabullah atau Hadits Rasulullah . Berbicara di luar itu tidak terpuji.”
    [154]
  • Imam Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dari Musa bin Abdillah al-Turtusi, katanya, saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berkata: “Jangan kamu duduk bersama ahli Kalam, meskipun dia itu kelihatannya membela sunnah Nabi .”
    [155]
  • Imam Ibnu Baththah meriwayatkan dari Abu al-Harits ash-Shayigh, katanya, “Orang yang mencintai Ilmu Kalam, maka sebenarnya hal itu tidak keluar dari hatinya. Dan anda tidak akan melihat orang yang mempelajari Ilmu Kalam itu beruntung.”
    [156]
  • Imam Ibnu Baththah menuturkan dari Ubaidillah bin Hanbal, katanya, saya mendengar Imam Ahmad رحمه الله berkata: “Berpeganglah kamu dengan sunnah Nabi , Allah akan memberikan manfaat kepadamu. Dan hindarilah perdebatan dalam masalah agama, karena orang yang menyukai Ilmu Kalam tidak akan beruntung. Orang yang membuat perdebatan dalam Kalam, ujung-ujungnya adalah membuat bid’ah, karena Ilmu Kalam tidak membawa kepada kebaikan. Saya tidak menyukai Ilmu Kalam, apalagi ikut perdebatan. Kamu harus berpegang teguh kepada sunnah Nabi , pendapat-pendapat para sahabat, Fiqih yang dapat kamu manfaatkan. Tinggalkanlah perdebatan dan pendapat orang-orang yang hatinya bengkok. Orang-orang yang saya temui, ternyata mereka tidak pernah mengenali para ahli Kalam, mereka juga menjauhi para ahli Kalam. Kalam itu pada akhirnya tidak baik. Semoga Allah menjaga kita semuanya dari fitnah (ujian hati), dan menyelamatkan kita dari kehancuran.”
    [157]
  • Dalam kitab al-Ibanah, Ibnu Baththah meriwayatkan dari Imam Ahmad رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Waspadalah terhadap orang yang menyukai Ilmu Kalam.”
    [158]

Inilah rangkuman pendapat Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله tentang masalah-masalah Ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam.

Khatimah


Dari keterangan-keterangan yang lalu, jelaslah sudah bahwa pendapat Imam Empat itu tidak berbeda, karena aqidah mereka sama, kecuali dalam masalah pengertian iman di mana Imam Abu Hanifah punya pendapat tersendiri. Namun demikian, diberitakan beliau mencabut pendapatnya itu. Aqidah ini adalah sangat layak untuk menyatukan ummat Islam di bawah satu kalimat, dan menjaga mereka dari perpecahan dalam masalah agama. Karena aqidah ini bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Nabi . Tampaknya sedikit sekali orang yang mengetahui dan memahami aqidah Imam-imam Empat itu dengan sebenarnya. Yang masyhur adalah bahwa Imam Empat itu dinilai sebagai orang-orang yang mufawwidhin, yang menyerahkan arti ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah dan sebagainya kepada Allah. Mereka dinilai hanya dapat membaca saja, tidak lebih dari itu. Seolah-olah Allah bermain-main kata yang tak bermakna dalam menurunkan wahyu. Allah berfirman:


كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran.” (Shad: 29)


وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ . نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ . عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ . بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ

“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (asy-Syu’ara’: 192-195)


إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan bahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf : 2)


Karenanya, Allah menurunkan Al-Qur’an untuk direnungkan dan dipahami ayatnya, serta dijadikan sebagai pelajaran. Allah juga menerangkan, bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas, agar difikirkan dan dipahami maknanya oleh umat manusia. Jika Allah menurunkan al-Qur’an tersebut untuk dipahami ayat-ayatnya dengan bahasa Arab yang jelas, maka pengertian ayat-ayat itu tentu akan mudah dipahami oleh manusia yang menjadi target diturunkannya al-Qur’an tersebut. Bila tidak demikian, dan pengertian ayat-ayat tersebut tidak bisa dipahami oleh manusia, maka diturunkannya al-Qur’an itu akan sia-sia dan tidak ada gunanya bagi mereka, kerena tak ubahnya seperti huruf-huruf yang tak bermakna.

Tentu pendapat seperti ini merupakan kejahatan terhadap aqidah para Sahabat, Tabi’in dan para Imam sesudah mereka, serta merupakan tuduhan terhadap mereka, yang sebenarnya mereka terbebas dari tuduhan tersebut. Karena mereka adalah orang-orang yang mengerti dan memahami arti ayat-ayat al-Qur’an, karena kedekatan mereka dengan Nabi n. Bahkan sebenarnya merekalah yang lebih tahu tentang maksud-maksud tersebut.

Mereka melakukan ibadah kepada Allah dengan ungkapan-ungkapan yang mereka pahami dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta mereka meyakininya sebagai suatu kebenaran dan syari’at dari Allah. Apabila mereka dapat memahami cara-cara beribadah kepada sesembahan mereka, yaitu Allah, maka bagaimana mungkin mereka tidak mengetahui sesembahan mereka dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya? Bagaimana mungkin mereka tidak dapat memikirkan makna ayat-ayat al-Qur’an yang telah dijelaskan oleh Allah sendiri kepada para hamba-Nya?

Walhasil, aqidah para Imam Empat itu adalah aqidah yang benar sesuai dengan apa yang disebutkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi , bersumber dari sumber yang jernih, tidak bercampur dengan ta’wil, ta’thil, tasybih, dan tamtsil. Para pelaku ta’thil (yang meniadakan sifat-sifat Allah) dan pelaku tasybih (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), tidak memahami sifat-sifat Allah kecuali yang layak dengan para makhluk. Pemahaman seperti ini bertentangan dengan fithrah manusia, di mana tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah, baik Dzat, Sifat, maupun Perbuatan-Nya.

Akhirnya, kepada Allah kami panjatkan do’a, semoga buku kecil ini bermanfaat bagi kaum Muslimin, semoga mereka disatukan dalam suatu aqidah dan satu thariqah yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, serta petunjuk Nabi . Allah Maha Tahu tentang maksud seseorang. Dia mencukupi kita dan sebaik-baik Dzat yang kepada-Nya kita titipkan diri.


Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

Daftar Pustaka;


  1. Ibn Abi Hatim, Adab asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, Editor Abd al-Ghani ‘Abd al-Khaliq, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut.
  2. Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘An Ushul ad-Diyanah, editor Dr. Fauqiyah Husain, Dar al-Anshar, Kairo, 1397 H.
  3. Abu Muhammad Mahmud al-‘Aini, al-Binayah fi Syarh al-Hidayah, Dar al-Fikr al-‘Adabi, Beirut, 1401 H.
  4. Ibn al-Qayyim, Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah/al-Farazdaq, Riyadh.
  5. Al-Baihaqi, al-Asma’ wa ash-Shifat, Dar Ihya’ at-Taurats al-‘Arabi.
  6. Al-Baihaqi, al-‘Itiqad wa al-Hidayah ila Sabil al-Rasyad, editor Ahmad ‘Ashim al-Katib, Dar al-Afaq al-Jadidah, Bairut 1401 H.
  7. Az-Zabidi, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, Dar al-Fikr, Beirut.
  8. Ibn ‘Abd al-Bar, al-Intiqa’ fi Fadhail ats-Tsalatsa al-Fuqaha’, Dar al-Qutub al-Ilmiyah, Beirut.
  9. Ibn Taimiyah, al-Iman, editor Muhammad al-Harras, Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyah.
  10. Ibn ‘Abd al-Bar, at-Tamhid fima fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid, editor Musthafa Alawi dkk, wa Zarah al-Auqaf al-Islamiyah, Maroko,
  11. Ibn Taimiyah, at Tawassul wa al-Wasilah, editor Rabi’ bin Hadi, Maktabah Linah, Kairo,
  12. Abdullah bin Mahmud, as-Sunnah, editor Dr. Muhammad Sa’id al-Qahthani, Dar Ibn al-Qayyim, Dammam, 1406 H.
  13. Ibn Abi ‘Ashim, as-Sunnah, al-Maktab al-Islami, Bairut.
  14. Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, Dar al-Fikr, Beirut.
  15. Al-Mausu’ah al-‘Arabiyyah al-Muyassarah, Dar Nahdhah, Lebanon, Beirut.
  16. Imam asy-Syafi’i, ar-Risalah, editor Ahmad Muhammad Syakir, al-Halabi
  17. Ibn ‘Abidin, ad-Durr al-Mukhtar ma’a Hasyiyah Radd al-Mukhtar, al-Babi al-Halabi.
  18. Imam Ahmad bin Hanbal, ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah wa al-Zanadiqah, editor Dr.‘Abd ar-Rahman Umairah, cet. II, 1402 H.
  19. Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut.
  20. Ibn Hajar al-‘Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1395 H.
  21. An-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut.
  22. Abd ar-Rahman Badawi, Tarikh al-Ilhad fi al-Islam, Maktabah an-Nahdhah, Kairo.
  23. Al-Qadhi ‘Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, Wazarah al-Auqaf, Maroko.
  24. Adz-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffazh, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut.
  25. Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Dairah al-Ma’arif an-Nizhamiyah, Hyderabat India.
  26. Ibn ‘Abdil Bar, Jami Bayan al-‘Ilm wa al-Fadhilah, Dar al-Kutub al-Islamiyah, al-Maktabah al-‘Ilmiyah, Madinah.
  27. Abu Nu’aim al-Isfahani, Hilyah al-‘Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, Dar al-Kutub al-‘Arabi, Beirut, 1387 H.
  28. Ibn Taimiyah, Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, editor Muhammad Rasyad Salim, Universitas Islam Muhammad bin Sa’ud, Riyadh, 1402 H.
  29. Al-Harawi, Dzamm al-‘Ilaj (manuskrip).
  30. Abu Daud, as-Sunan, Dar al-Hadits, Syria.
  31. An-Nasa’i, as-Sunan, Dar al-Basyair, Beirut, 1406 H.
  32. At-Tirmidzi, as-Sunan, Musthafa al-Babi al-Halabi, Kairo, 1398 H.
  33. Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, editor Syu’aib al-Arnauth dkk, Muassasah ar-Risalah, 1402 H.
  34. Ibn ‘Imad al-Hanbali, Syadzarat adz-Dzahab fi Akhbar man Dzahab, Dar as-Sirah, Beirut
  35. Al-Qari, Syarh al-Fiqh al-Akbar, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
  36. Al-Mala Hasan Banna al-Iskandari, Syarh al-Washiyah, Dar al-Ma’arif al-Utsmaniyah, Hyderabad, India.
  37. Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, editor Syu’aib al-Arnauth, al-Maktab al-Islami, Bairut, 1390 H.
  38. Al-Lalaka’i, Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, editor Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan, Dar Thayibah, Riyadh.
  39. Al-Khatib al-Baghdadi, Syaraf Ash-hab al-Hadits, editor Muhammad Sa’id al-Khatib Oghli, Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyah.
  40. Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi’, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, Dar al-Bayan, Beirut.
  41. Al-Ajuri, Asy Syari’ah, editor Hamd Hamid al-Faqi, Dar Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1403 H.
  42. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bersama Fath al-Bari, al-Maktabah as-Salafiyah.
  43. Muslim bin Hijjaj, Shahih Muslim, Ri’asah Idarah al-Bukhuts al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’, Riyadh, 1400 H.
  44. Ibnu Qadamah, Shifat al-‘Uluw, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, Madinah.
  45. Al-Qadhi Abu Ya’la, Thabaqat al-Hanabilah, Dar al-Ma’rifah, Bairut.
  46. Abu Ishaq as Syirazi, Thabaqat al-Fuqaha’, Dar Raid al-’Arabi, Beirut, 1401 H.
  47. Ismail as-Shabuni, ‘Aqidah as-Salaf Ash-hab al-Hadits, editor al-Badr, al-Dar as-Salafiyah, Kuwait
  48. Adz-Dzahabi, al-’Uluw, al-Maktabah as-Salafiyah, Madinah 1388 H.
  49. Al-Qari, al-Fiqh al-Akbar Ma’a Syarhihi, Dairah al-Kutub al-‘Ilmiyah.
  50. Al-Fiqh al-Absath, editor Muhammad Zahid al-Kautsar, al-Anwar, Kairo.
  51. Muhammad Shadiq Khan, Qathf ats-Tsamar fi Bayan ‘Aqidah Ahl al-Atsar, editor Dr. ‘Ashim bin Muhammad al-Qaryuti, Syirkah as-Syarq al-Awsath, Amman.
  52. Abd al-‘Alim bin Utsman al-Yamani, Qalaid ‘Uqud al-Adyan, Manuskrip di Perpustakaan Pusat Universitas Islam Muhammad bin Sa’ud, Riyadh.
  53. Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, Dar Shadir, Beirut.
  54. Ibn Hajar al-‘Asqalani, Lisan al-Mizan, Muassasah al-A’lami, Beirut, 1390 H.
  55. Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, susunan ‘Abd al-Rahman bin Qasim, Muassasah ar-Risalah
  56. Abu Daud as-Sijistani, Masail al-Imam Ahmad, Dar al-Ma’rifah, Beirut
  57. Al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Maktabah Ibn al-‘Arabi, Libanon.
  58. Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, al-Maktab al-Islami
  59. Ahmad al-Makki, Manaqib Abi Hanifah, Dar al-Kitab al-‘Arabi.
  60. Al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i, editor as-Sayid Ahmad Shaqr, Dar at-Turats, Kairo, 1391 H.
  61. Ibn Taimiyah, Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, editor Dr.Muhammad Rasyad Salim, Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud, Riyadh, 1406 H.
  62. An-Nashiri, an-Nur al-Lami’ wa al-Burhan asy-Syathi’, Manuskrip di Perpustakaan as Sulaimaniyah,Turki, No. 2973

FootNote:


1.
^ Drs. Supardi, M. Ag., Dra. Hasanah, M.Ag., Drs. Pabali H. Musa M.Ag., Buku ajar pendidikan islam (Jakarta: CV. Grafika Karya Utama, 2001) cet. II hlm. 127
2.
^ Kitab al-Iman, hal. 350-351, Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyah, Ta’liq Muhammad al-Harras
3.
^ Manhaj as-Sunnah, II/106
4.
^ Majmu’ al-Fatawa, V/256
5.
^ Qathf ats-Tsamar, hal.47-48
6.
^ ad-Durr al-Mukhtar ma’a Hasyiyat Radd al-Mukhtar, VI/ 396-397
7.
^ Syarh al-Aqidah ath-Thawiyah, hal. 234, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, II/ 285, Syarah al-Fiqh al-Akbar, hal.108
8.
^ Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan tidak suka apabila seseorang berdo’a dengan menyebutkan, “Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan tempat kemuliaan dari ‘arsy-Mu.” Karena do’a seperti ini tidak ada petunjuk tekstual (nash) yang membolehkan. Sementara Imam Abu Yusuf membolehkan do’a seperti itu, karena menurut beliau ada nash dari hadits untuk hal itu, yaitu sebuah hadits di mana Nabi berdo’a, “Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan tempat-tempat kemuliaan di ‘arsy-Mu dan puncak rahmat dari kitab-Mu.” Hadits ini ditulis Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, ad-Da’-wat al-Kabirah, ditulis dalam kitab al-Binayah, IX/ 382, dan kitab Nasb ar-Rayah, IV/ 272. Di sanadnya terdapat 3 hal yang dapat menyacatkan hadits:
  1. Daud bin Abu ‘Ashim tidak pernah mendengar hadits dari Ibnu Mas’ud.
  2. Abdul Malik bin Juraij adalah seorang mudallis (menyembunyikan kecacatan hadits) dan mursil (menyebutkan hadits dengan sanad tidak bersambung).
  3. Umar bin Harun dituduh sebagai pendusta. Oleh karena itu, Ibnu al-Jauzi berkata sebagaimana terdapat dalam kitab, al-Binayah, IX/ 382, bahwa hadits ini adalah palsu tanpa diragukan lagi dan sanadnya sangat parah seperti anda lihat. Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, III/198, VI/405, VII/501 Tarqib at-Tadhzib, I/520
9.
^ at-Tawassul wa al-Wasilah hal, 82. Lihat juga, Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 198
10.
^ al-Fiqh al-Absath, hal. 56
11.
^ al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
12.
^ Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, II/ 427, Editor Dr. At-Turki, Jala ‘al-‘Ainain, hal. 368
13.
^ Aqidah as-Salaf Ashhab al-Hadits, hal. 42, Dar as-Salafiyah. Al-Baihaqi, al-Asma’ wa as-Sifat, hal. 456, Syarh al-Aqidah ath Thahawiyah,hal. 245. Takhrij al-Albani. al-Qari, Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 60
14.
^ al-Fiqh al-Absath, hal. 51
15.
^ Ibid, hal. 56
16.
^ al-Fiqh al-Akbar, hal. 301
17.
^ al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
18.
^ al-Fiqh al- Absath, hal. 56
19.
^ al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan komentar al-Albani, hal. 25
20.
^ al-Fiqh al-Akbar, hal. 301
21.
^ Ibid
22.
^ al-Fiqh al-Absath, hal.46. Pernyataan seperti ini juga dinukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, V/ 48. Ibnu al-Qayyim dalam Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah, hal. 139. Adz-Dzahabi dalam al-‘Uluw, hal. 101-102. Ibnu Qadamah dalam al-‘Uluw, hal, 116. Dan Ibnu Abi al-‘Izz dalam Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah. Hal. 301
23.
^ Surah al-Hadid, ayat 4
24.
^ al-Asma wa ash Shifat, hal. 429
25.
^ al-Fiqh al-Absath, hal. 56
26.
^ Surah al-Hadid, ayat 4
27.
^ al-Asma’ ash shifat, II/ 170
28.
^ al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
29.
^ Ibid, hal. 301
30.
^ Ibid, hal. 302
31.
^ Surah an-Nisa’ , ayat 164
32.
^ al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
33.
^ Ibid, hal. 301
34.
^ Ibid
35.
^ Qalaid ‘Uqud al-Aqyan, lembar 77-A
36.
^ al-Fiqh al-Akbar, hal. 302-303
37.
^ Ibid
38.
^ Ibid, hal, 302
39.
^ al-Washiyah bersama Syarhnya, hal.21
40.
^ al-Fiqh al-Akbar, hal. 303
41.
^ Ibid
42.
^ Ibid, hal. 302-303
43.
^ Ibid, hal. 302
44.
^ Ibid
45.
^ Ibid, hal. 303
46.
^ al-Fiqh al-Akbar, hal. 304
47.
^ Kitab al-Washiyyah bersama Syarhnya, hal. 2
48.
^ ath-Thahawiyyah berikut Syarhnya, hal. 360
49.
^ Kitab al-Washiyah berikut Syarhnya, hal. 3
50.
^ Ibn ‘Abd al-Bar, at-Tamhid, IX/ 247. Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 395
51.
^ al-Fiqh al-Akbar, hal. 304
52.
^ al-Fiqh al-Absath, hal. 40
53.
^ al-Makki Manaqib Abi Hanifah, hal.76
54.
^ Kitab al-Washiyah beserta Syarhnya, hal.14
55.
^ an-Nur al-Lami’, lembar 119-A
56.
^ al-Kurdi, Manaqib Abi Hanifah, hal. 137
57.
^ Tarikh Baghdad. XIII/ 333
58.
^ al-Harawi, Dzamm ‘Ilm al-Kalam, hal. 28-31
59.
^ al-Harawi, Dzamm al-Kalam, lembar 194-B
60.
^ al-Makki, Manaqib Abu Hanifah, hal. 183-184
61.
^ Ibid, hal.373
62.
^ Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, III/262. Imam Muslim, I/51. Imam an-Nasa’i, V/14, dan Imam Abu Daud, III/101
63.
^ Dzam al-Kalam, lembar 210
64.
^ Ad-Daruquthni. Ash-Shifat, hal. 75. al-Ajiri, asy-Syari’ah, hal. 314. al-Baihaqi, al-I’tiqad, hal. 118
65.
^ Ada dua orang yang bernama Ibn Nafi’, dua-duanya meriwayatkan dari Imam Malik. Yang pertama bernama Abdullah bin Nafi’ bin Tsabit az-Zubairi (wafat 216 H). Yang kedua adalah Abdullah bin Nafi’ bin Abu Nafi’ al-Makhzumi (wafat 206 H), Tahdzib at-Tahdzib, VI/50-51
66.
^ Asyhab bin ‘Abd al-‘Aziz bin Daud al-Qaisi (wafat 204 H), Ibid, I/359
67.
^ Al-Hilyah, VI/325-326. Ash-Shabuni, ‘Aqidah as-Salaf Ash-hab al-Hadits, hal. 17-18. Ibn ‘Abd al-Bar, at-Tam-hid, VII/151, al-Baihaqi, al-‘Asma’ wa ash-Shifat, hal. 408. Ibn Hajar, Fath al-Bari, xiii/ 406-407
68.
^ Al-Hilyah, VI/325. Al-Lalukai, Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wal Jama’ah, I/249. Al-Qadhi ‘Iyadh, Tartib al-Madarik, II/44
69.
^ al-Intiqa’, hal.35
70.
^ Abu Daud, Masail al-Imam Ahmad, hal.263. Abdullah bin Ahmad, as Sunnah, hal.11 Ibn. Abd al-Bar, at-Tamhid, VII/138
71.
^ al-Hilyah, VI/396
72.
^ Tartib al-Madarik, II/48. Syarh Ushul I’tiqad Ahl as Sun-nah wa al-Jama’ah, II/701
73.
^ Ibn ‘Abi ‘Ashim, as-Sunnah, I/87-88, al-Hilyah, VI/326
74.
^ al-Intiqa’, hal. 34
75.
^ Ibn ‘Abi ‘Ashim, as-Sunnah, I/88. al-Hilyah, VI/326
76.
^ Tartib al-Madarik, II/47
77.
^ Tartib al-Madarik, II/47
78.
^ al-Intiqa’, hal. 34
79.
^ al-Hilyah, VI/327
80.
^ al-Intiqa’, hal. 34
81.
^ al-Hilyah, VI/327
82.
^ al-Hilyah, VI/327
83.
^ Tartib Al-Madarik, II/44-45
84.
^ Jami’ Bayan al-‘Ilm wa al-Fadhilah, hal. 415
85.
^ Al-Hilyah, VI/325
86.
^ Dzamm al-Kalam, lembar 173-B
87.
^ Syaraf Ash-hab al-Hadits, hal. 5
88.
^ Dzam al-Kalam, lembar 173-B
89.
^ Ibid, lembar 173
90.
^ al-Hilyah, VI/324
91.
^ Jami’ Bayan al-’Ilm wa al-Fadhlihi, hal.416-417
92.
^ Shahih al-Bukhari, Kitab al-Aiman wa an-Nadzair, II/530 Shahih Muslim, III/266. Manaqib asy-Syafi’i, I/405
93.
^ Ibn Abi Hatim, Adab asy-Syafi’i, hal.193, al-Hilyah, IX/112-113 al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, X/28
94.
^ kk
95.
^ Siyar A’lam an-Nubala’, X/31
96.
^ Siyar A’lam an Nubula’, XX/341
97.
^ al-Intiqa’, hal.79
98.
^ Syarh Ushul I’tiqad Ahl as Sunnah, II/506
99.
^ al-Intiqa’, hal. 79. Al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i, I/35
100.
^ Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, I/252
101.
^ Manaqib asy-Syafi’i, I/407-408
102.
^ Shahih Bukhari, Kitab at-Tafsir, VII/594, Shahih Muslim, Kitab Al-Jannah, IV/2187
103.
^ Shahih Bukhari, Kitab al-Jihad, VI/39, Shahih Muslim, Kitab al-Imarat, III/1504
104.
^ Shahih Bukhari, Kitab al-Fitan, XIII/91. Shahih Muslim, Kitab al-Fitan, IV/2248
105.
^ Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, IV/ 182. Sunan Ibn Majah, I/72.Mustadrak al-Hakim, I/525. Al-Ajiri, asy-Syari’ah hal. 317. Ibn Mandah, ar-Radd.
106.
^ Aqidah Imam Syafi’i ini dinukil dari sebuah manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Pusat Universitas Leiden, Belanda.
107.
^ Manaqib asy-Syafi’i, 1/412-413. Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, II/702.
108.
^ Manaqib asy- Syafi’i, I/415
109.
^ Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah,II/701
110.
^ Sunan Abi Daud, Kitab as-Sunnah, V/66. Mustadrak al-Hakim. U/85
111.
^ Manaqib asy Syafi’i, I/413
112.
^ Ibid
113.
^ al-Intiqa’ hal. 81
114.
^ Manaqib asy-Syafi’i, I/387-393
115.
^ Manaqib Imam asy-Syafi’i, I/442
116.
^ Ibid
117.
^ Ibid, I/433
118.
^ Dzamm al-Kalam, lembar 215. adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, X/31
119.
^ Ibid, X/30. Dzamm al-Kalam, lembar 213
120.
^ Ibid
121.
^ Ibid. lembar 215
122.
^ al-Ibanah al-Kubra, hal. 535-536
123.
^ Ibn Abi Hatim, Manaqib asy-Syafi’i, hal. 182
124.
^ Thabaqat al-Hanabilah, I/416
125.
^ as-Sunnah, hal. 68
126.
^ Thabaqat al-Hanabilah, I/56
127.
^ as-Sunnah, hal. 71
128.
^ Syarah I’tiqad Ahl as-Sunnah, II/507
129.
^ Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 221
130.
^ ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah, hal. 104
131.
^ Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, II/30
132.
^ Thabaqat al-Hanabilah, I/58, 145
133.
^ Ibid, I/185
134.
^ Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, I/157
135.
^ Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 169, 172
136.
^ al-Khallal, as-Sunnah, lembar 85
137.
^ as-Sunnah, hal. 68
138.
^ al-Khallal, as-Sunnah, lembar 85
139.
^ Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, hal. 119
140.
^ as-Sunnah, I/384
141.
^ Thabaqat al-Hanabilah, II/275
142.
^ Musnad al-Imam Ahmad, II/250. Sunan Abi Daud, V/60 Sunan at-Tirmidzi, III/457. Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 153, 168,173
143.
^ al-Khallal, as-Sunnah, lembar 96
144.
^ Hadits riwayat Muslim, Shahih Muslim, II/669. Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, I/307-308
145.
^ Ibid
146.
^ as-Sunnah, karya Imam Ahmad, hal. 77-78
147.
^ Ibn al-Jauzi, Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 170
148.
^ as-Sunnah, hal. 235
149.
^ Ibid
150.
^ Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 163
151.
^ Thabaqat al-Hanabillah, I/45
152.
^ al-Ibanah, II/538
153.
^ Jami’ Bayan al-‘Ilm wa al-Fadhlih, II/95
154.
^ Dzamm al-Kalam, lembar 216-B
155.
^ Manaqib al-Imam Ahmad, hal.205
156.
^ Ibn Baththah, al-Ibanah, II/539
157.
^ Ibid
158.
^ Ibid, II/540

. . . . . . . . .



. . . . . . . . .


Back to Top

Tidak ada komentar:

Posting Komentar