حيات الدنيا حيات قليلة فلا تلغ حياة أبدية

Sabtu, 13 Juni 2015

Antara Demokrasi, Diktator dan Khilafah


Jika kita berjumpa dengan orang Islam di mana saja, kemudian bertanya; “Apa sistem politik yang paling ideal dan sempurna di dunia ini?” Kebanyakan mereka tentu akan menjawab dengan tegas; “Sistem demokrasi...!“ Jika kita bertanya lebih lanjut, mengapa pilihannya adalah sistem demokrasi?“ Mereka tentu dengan tangkas dan lancar menunjukkan argumentasinya. Dan, argumentasi penutup yang tidak lupa untuk ditunjukkan adalah; “Sistem demokrasi adalah sistem yang paling sesuai dengan islam.“

Bagaimana jika yang kita tanyakan tentang system khilafah? Apakah mereka setuju dengan sistem khilafah? Jawabannya ada dua kemungkinan, pertama: Saya tidak paham apa itu sistem khilafah atau yang kedua: Saya tidak setuju dengan sistem khilafah. Mengapa? “Karena sistem khilafah itu bertentangan dengan demokrasi, sistem khilafah itu sama dengan sistem diktator, sistem khilafah itu tidak sesuai dengan Islam.

Bagi para pejuang Khilafah, saat ini sering mengalami kesulitan untuk menjelaskan tentang apa itu sistem Kilafah kepada ummat Islam. Pemahaman ummat Islam seakan sudah terkotak menjadi dua, yaitu: sistem demokrasi di satu sisi dan di sisi lain sebagai lawannya adalah sistem diktator. Jika sebuah negara tidak mau menerapkan sistem demokrasi, tentu negara itu adalah negara diktator. Konsekuensinya, jika ada yang mengatakan bahwa sistem Khilafah itu adalah sistem politik yang berbeda, bahkan bertentangan dengan demokrasi, maka akan langsung “dihakimi“ bahwa sistem Khilafah itu sama dengan sistem diktator.

Pertanyaannya: “Apa ada cara yang mudah dan cepat untuk bisa menjelaskan tentang perbedaan antara sistem demokrasi, diktator dan khilafah dengan menggunakan jurus "retorika untuk mengguncang dunia." Insyaallah ada, cukup dengan menggunakan analogi shalat berjama’ah.

Jika kita menyaksikan sekelompok orang yang shalat berjama’ah, ada satu imam yang diikuti oleh banyak orang yang menjadi ma’mum. Kita bisa menyaksikan, apapun perintah dan gerakan imamnya akan diikuti oleh ma’mumnya, tanpa ada yang membantah. Jika imamnya takbir, semua ma’mumnya takbir. Jika imamnya ruku‘ semua ma’mum ruku‘, jika sujud, semua sujud, dan seterusnya. Semua ma’mum akan bersikap: "Sami’na wa atha’na." (Kami mendengar dan kami ta‘at)

Pertanyaannya: Apakah imamnya adalah seorang diktator? Jawabnya: Tidak! Mengapa? Sebab, jika imamnya garuk-garuk, apakah ada ma’mum yang mengikutinya? Apakah bila imamnya batuk, ma’mumnya harus ikut batuk juga? Jika gerakan imamnya salah, apakah ma’mumnya akan tetap mengikutinya? Artinya, imam tidak bisa dikatakan diktator, sebab apa yang dia perintahkan bukan kehendaknya sendiri, melainkan perintah dari Allah . Ma’mum juga tidak bisa dikatakan pihak yang mengikut saja pada perintah imamnya, sebab jika imamnya salah, ma’mum akan membetulkannya. Bahkan, jika imamnya batal, maka imam harus segera lengser dan harus segera digantikan oleh salah seorang ma’mumnya.

Sebaliknya: Jika para ma’mum yang dengan sukarela dan sepenuh hati mengikuti gerakan imamnya, apakah itu karena aturan shalat itu sudah mengikuti kehendak mayoritas ma’mumnya, sebagaimana yang ada dalam sistem demokrasi? Jawabnya tentu saja tidak! Mengapa? Buktinya, jika mayoritas ma’mumnya ingin agar shalat Subuh itu diganti menjadi empat rakaat, dengan pertimbangan karena waktu Subuh itu sangat cocok untuk berolahraga; sedangkan Shalat Dhuhurnya dikurangi saja menjadi dua rakaat, dengan pertimbangan karena waktu tersebut adalah saat-saat orang sudah lelah bekerja, apakah imamnya akan menyetujui usulan dari mayoritas ma’mumnya tersebut? Jawabnya tentu saja tidak!

Apakah kesimpulannya? Sesungguhnya sistem politik Islam, yaitu sistem kekhilafahan dapat diibaratkan seperti kehidupan Shalat Berjamaah. Dalam sistem khilafah, seorang pemimpin, yaitu khalifah harus tahu syari’at Islam yang akan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya. Sebagaimana seorang ma’mum juga harus mengetahui syari’at Islam yang berkaitan dengan shalat berjamaah. Sehingga rakyat harus benar-benar tahu, kapan pemimpin harus dita’ati, kapan saat pemimpin harus dikoreksi dan juga tahu kapan saat pemimpin itu wajib dilengserkan. Mudah bukan?

Kesimpulan; Sistem Khilafah itu bukanlah sistem diktator dan juga bukan sistem demokrasi. Sistem Khilafah itu adalah sistem yang berasal syari’at Allah dan Rasul-Nya. (Rasulullah serta khalifaturrasyidin sudah mempraktekkannya dan terbukti berhasil). Sistem Khilafah bukan sistem buatan manusia. Kewajiban manusia adalah menerapkan dan mengamalkannya, dengan sepenuh keimanan dan keikhlasan, sami’na wa atho’na (kami mendengar dan kami ta’at).



. . . . . . . . .




Back to The Title

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to top