الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٥٧﴾
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ﴿١٥٨﴾
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (QS. Al A’raf : 157-158)
MUNGKINKAH SEORANG NABI YANG BERSIFAT FATHONAH (CERDAS) TIDAK BISA BACA DAN TULIS
Dalam artikel kali ini ingin mengupas tentang arti dari lafadz “UMMI” yang cukup menyita pemikiran penulis, yang tentunya ilmu dan pengetahuan penulis sangat minim dan sangat terbatas, pemikiran dalam masalah ini timbul semata karena rasa cinta dan hormat kepada beliau selaku junjungan terkasih.
Dalam Al Qur’an kata ummi beserta turunannya diulang sebanyak enam kali. Dua dalam bentuk tunggal, yaitu pada surat al-A’raf ayat 157 dan 158 (keduanya diturunkan di Mekah):
Banyak ahli tafsir yang mengartikan ummi dengan buta huruf[1], tetapi beberapa ahli tafsir lainnya berpendapat bahwa ummi bukan berarti buta huruf, melainkan diartikan sebagai orang yang tidak mendapat al-Kitab, dan orang yang tidak cakap menulis.
Para mufassir tidak sepakat dalam menjelaskan kata ummi. Di antara mereka ada yang mendefinisikannya sebagai buta huruf seperti dikemukakan oleh Rashid Rid}a dan al-Tabataba’i. Pendapat mereka diperkuat oleh penulis kamus berbahasa Arab seperti Lisan al-‘Arab yang disusun oleh Muhammad ibn Mansur.[2]
Meskipun demikian, kata ummi dalam literatur tafsir tidak hanya memiliki satu arti di atas. Ada beberapa riwayat yang mendefinisikannya secara berlainan. Al-Qasimi umpamanya, menafsirkan kata ummiyyin pada surat Ali Imran ayat 20 sebagai “kelompok yang tidak memiliki kitab suci” (la kitaba lahum).[3]
Definisi-definisi lainnya dikemukakan oleh al-Thabari. Ia mengutip pendapat Ibrahim (dari Mansyur, dari Sufyan, dari Ibn Mubarak, dari Suwaid bin Nashr, dari al-Mutsanna) yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ummi adalah “orang yang tidak cakap menulis” (مَنْ لاَيَحْسَنْ أَنْ يَكْتُبَ). Ibnu Zaid mendefinisikannya sebagai “orang yang tidak membaca al-kitab”. Ada riwayat lain berasal dari Ibnu ‘Abbas yang menjelaskan bahwa maksud kata ummi dalam al-Qur’an yang berbentuk jamak adalah “sekelompok orang yang tidak membenarkan utusan Allah dan kitab yang dibawanya”. Al-Tabari sendiri, dengan mengutip pendapat al-Nakha’i, menjelaskan ummi dengan “orang yang tidak cakap menulis”.[4]
Bahwa Rasul adalah seorang ummi merupakan salah satu bukti kerasulan beliau dalam konteks ini al-Qur’an menegaskan: QS. Al-Ankabut ayat 48. Betapa tidak, pasti akan ada yang berkata bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang beliau sampaikan, yang redaksi dan isinya sangat mengagumkan itu serta mengungkap banyak hal-hal yang tidak dikenal pada masanya adalah hasil bacaan beliau.[5]
Dalam lisan Arab, kata ummi dilekatkan pada kondisi seperti baru terlahir dari perut ibunya. Orang yang tidak bisa menulis disebut ummi, karena kondisinya persis seperti bayi yang baru lahir, karena kemampuan menulis adalah hasil pembelajaran[6]. Demikian pula Raghib Al-Isfahani berkata: Ummi adalah orang yang tidak bisa membaca dan menulis[7]. Sementara az-Zuhri berkata: dikatakan kepada orang yang tidak mampu membaca dan menulis: ummi, karena keadaannya persis seperti kondisi waktu dilahirkan ibunya[8]. Dengan demikian, secara bahasa, ummi berarti orang yang tidak bisa membaca dan menulis, kondisi ini diibaratkan seperti orang yang baru lahir dari perut ibunya.
Namun Ummi juga bisa diterjemahkan sebagai orang diluar Yahudi dan Nasrani (gentile, goyem) atau orang yang tidak mempunyai Kitab Suci. Pendapat inilah yang diusung beberapa cendekia kontemporer, semisal al-Maqdisi [9] dalam bukunya Khuraafatu Ummiyyati Muhammad, Syahrur dalam al-Kitaab wal-Qur`an dan lain-lain. Namun juga ada ayat yang menerangkan bahwa baginda Rasulullah “menandakan” tidak buta huruf, seperti contoh ayat-ayat berikut:
رَسُولٌ مِّنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُّطَهَّرَةً
(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran) (QS. Al Bayyina;2)
ذَٰلِكَ أَرْسَلْنَاكَ فِي أُمَّةٍ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهَا أُمَمٌ لِّتَتْلُوَ عَلَيْهِمُ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَٰنِ ۚ قُلْ هُوَ رَبِّي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ مَتَابِ
Demikianlah, Kami telah mengutus kamu pada suatu umat yang sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumnya, supaya kamu membacakan kepada mereka (Al Quran) yang Kami wahyukan kepadamu, padahal mereka kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Katakanlah: "Dialah Tuhanku tidak ada Tuhan selain Dia; hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat." (QS. Ar Ra’d; 30)
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
"Bacalah, dan Rabb-mulah Yang Paling Pemurah,"
"Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam." (QS. Al Alaq 3-4)
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلًا
"Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur, agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian." (QS. Al Isra’; 106)
Dan juga ada beberapa Hadist yang mengindikasikan Nabi tidak buta huruf:
1. Nabi menghapus Kalimat Raulullah.
حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ يَقُولُا
كَتَبَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ الصُّلْحَ بَيْنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْمُشْرِكِينَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ فَكَتَبَ هَذَا مَا كَاتَبَ عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالُوا لَا تَكْتُبْ رَسُولُ اللَّهِ فَلَوْ نَعْلَمُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ لَمْ نُقَاتِلْكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَلِيٍّ امْحُهُ فَقَالَ مَا أَنَا بِالَّذِي أَمْحَاهُ فَمَحَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ قَالَ وَكَانَ فِيمَا اشْتَرَطُوا أَنْ يَدْخُلُوا مَكَّةَ فَيُقِيمُوا بِهَا ثَلَاثًا وَلَا يَدْخُلُهَا بِسِلَاحٍ إِلَّا جُلُبَّانَ السِّلَاحِ قُلْتُ لِأَبِي إِسْحَقَ وَمَا جُلُبَّانُ السِّلَاحِ قَالَ الْقِرَابُ وَمَا فِيهِ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ يَقُولُا لَمَّا صَالَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهْلَ الْحُدَيْبِيَةِ كَتَبَ عَلِيٌّ كِتَابًا بَيْنَهُمْ قَالَ فَكَتَبَ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ بِنَحْوِ حَدِيثِ مُعَاذٍ غَيْرَ أَنَّهُ لَمْ يَذْكُرْ فِي الْحَدِيثِ هَذَا مَا كَاتَبَ عَلَيْهِ
Telah menceritakan kepadaku 'Ubaidullah bin Mua'd Al 'Anbari telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu Ishaq dia berkata; aku mendengar Al Barra bin 'Azzib berkata, "Ali bin Abu Thalib pernah menuliskan perjanjian damai antara Nabi dengan orang-orang Musyrik (Makkah) ketika perjanjian Hudaibiyyah. Ali menuliskan, "Ini adalah perjanjian yang ditulis oleh Muhammad Rasulullah." Lantas mereka berkata, "Jikalau kami tahu bahwa kamu adalah Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu." Maka Nabi bersabda kepada Ali: "Hapus kata-kata itu (tulisan 'Rasulullah')." Ali menjawab, "Aku tidak mau menghapusnya." Maka Nabi yang menghapusnya dengan tangannya sendiri." Al Barra` berkata, "Isi perjanjian itu antara lain menetapkan bahwa kaum Muslimin boleh masuk dan tinggal di kota Makkah selama tiga hari. Tidak boleh membawa senjata kecuali diletakkan dalam sarungnya." Aku bertanya kepada Abu Ishaq, "Apa yang dimaksud dengan sarung pedang?" dia menjawab, "Yaitu sarung pedang dan sesuatu yang ada di dalamnya." Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basyar keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu Ishaq dia berkata; aku mendengar Al Barra` bin 'Azib berkata, "Rasulullah pernah mengadakan perjanjian Hudaibiyyah, lantas Ali menulis suatu catatan di anatara mereka." Al Barra` berkata, "Lalu dia menulis; Muhammad Rasulullah...kemudian dia menyebutkan seperti hadits Mu'adz, namun dalam haditsnya dia tidak menyebutkan, "Ini adalah perjanjian yang ditulis olehnya." (HR Bukhari No.2500 & MUSLIM no.3335)
2. Nabi bermaksud menulis wasiat kemudian meminta kertas dan pena.
Diriwayatkan daripada Zaid bin Aslam, Umar bin Al-Khattab berkata: Tatkala Rasulullah sakit, baginda bersabda: Bawakan padaku lembaran kertas dan dakwat, akan ku tulis untuk kalian supaya kalian tidak sesat sesat selama-lamanya setelah itu. Ucapan baginda menyebabkan kami sangat tidak senang hati, kemudian baginda bersabda lagi: Bawakan padaku lembaran kertas dan dakwat, akan ku tulis untuk kalian supaya kalian tidak sesat sesat selama-lamanya setelah itu. Kaum wanita di belakang tirai berkata: Tidakkah kalian mendengar apa yang baginda sabdakan? Maka aku pun berkata: Kalian umpama perempuan-perempuan yang bersama Yusuf, ketika Rasulullah sakit kalian mengalirkan air mata, apabila baginda sihat kalian menunggangi tengkuknya!, maka Rasulullah bersabda: Abaikan mereka? sesungguhnya mereka lebih baik daripada kalian. (Al-Tabrani, Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub (wafat tahun 360 Hijrah), Al-Mu’jam Al-Awsat, jilid 5 halaman 288, hadis 5338.)
Diriwayatkan daripada Zaid bin Aslam, daripada bapanya, daripada ‘Umar bin Al-Khattab yang berkata: Kami pernah bersama Nabi dan di antara kami dan para wanita terdapat hijab. Maka Rasulullah bersabda: Mandikan aku dengan tujuh bekas air, dan bawakan aku dakwat. Akan ku tulis untuk kalian supaya kalian tidak sesat sesat selama-lamanya setelah itu. Maka kaum wanita berkata: Berikan apa yang Rasulullah perlukan. Umar berkata: Maka aku pun berkata: Diamlah, sesungguhnya kalian seperti yang bersama Yusuf, apabila baginda sakit kalian menitiskan air mata, apabila baginda sihat kalian menunggangi tengkuknya. Maka Rasulullah bersabda: Mereka itu lebih baik daripada kalian. (Al-Zuhri, Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ Abu ‘Abdillah Al-Bashri (wafat tahun 230 Hijrah), Al-Tabaqat Al-Kubra, jilid 2 halaman 243.)
فَغَدَوْا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا طُرِقَ صَاحِبُنَا فَقُتِلَ فَذَكَرَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي كَانَ يَقُولُ وَدَعَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَنْ يَكْتُبَ بَيْنَهُ كِتَابًا يَنْتَهُونَ إِلَى مَا فِيهِ فَكَتَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عَامَّةً صَحِيفَةً
Kemudian mereka mendatangi Nabi dan berkata; sahabat kami telah diketuk kemudian dibunuh. Kemudian Nabi menyebutkan kepada mereka sesuatu yang Ka'b ucapkan. Dan Nabi mengajak mereka agar beliau menulis perjanjian yang mereka taati isinya. Nabi menulis antara beliau, dan mereka serta orang-orang muslim sebuah perjanjian dalam kertas. (ABUDAUD - 2606)
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا عِنْدَ مَوْتِهِ بِصَحِيفَةٍ لِيَكْتُبَ فِيهَا كِتَابًا لَا يَضِلُّونَ بَعْدَهُ قَالَ فَخَالَفَ عَلَيْهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ حَتَّى رَفَضَهَا
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Daud telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari Abu Az Zubair dari Jabir Sesungguhnya Nabi menjelang wafatnya meminta sebuah kertas untuk ditulis di dalamnya sebuah tulisan, agar tidak akan tersesat mereka setelahnya. (Jabir bin Abdullah Radliyallahu'anhuma) berkata; lalu 'Umar bin Al Khottob menentangnya sehingga (Rasulullah ) meninggalkannya. [Al-Shaibani, Abu ‘Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 Hijrah), Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 3 halaman 346, hadis 14199]
Ada beberapa kajian berikut yang memerlukan keseriusan berfikir agar kita semakin paham dalam permasalahan ini:
Pada Al Qur'an Surat Al Bayyina ayat 2 di atas sebenarnya Allah hendak menerangkan kepada kita bahwa sejatinya Nabi itu Pandai, tidaklah buta huruf, terbukti dengan keterangan Alqur'an bahwa Nabi Muhammad membacakan sendiri lembaran-lembaran (quran) yang disucikan.
وَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Al-Jumuah : 2)
Mereka semua tidak buta huruf, tetapi mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang Allah dan Rasul. Untuk itu Allah dengan Kekuasaan-Nya yang tiada batas, mengirimkan seorang Rasul kepada umat yang rusak ini. Dia adalah Rasul yang mempunyai tekad, sifatnya sangat lembut, dengan spiritualital terdalam, dan moralitas tertinggi, dan melaluinya Dia akan membimbing mereka dalam rangka menjadi orang cerdas yang kelak akan menjadi pemimpin manusia. Nabi adalah PENDIDIK.
Menurut Al-Maqdisi, Kata “ummi” tersebut bermakna orang-orang yang tidak, atau belum diberi satupun Kitab oleh Allah. Kaum Yahudi telah diberi tiga buah kitab melalui beberapa orang nabi mereka. Karenanya, mereka di sebut ahli kitab. Sedangkan orang-orang Arab, belum diberi satupun kitab sebelum Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad yang orang Arab. Hal ini dijelaskan-Nya dalam Firman-Nya:
فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ ۗ وَقُل لِّلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ ۚ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوا ۖ وَّإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi (yang tidak diberi kitab): "Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Qs Ali Imran: 20)
“UMMI” dapat juga berarti orang yang bukan dari golongan Yahudi dan Nasrani. Pada masa itu, kaum Yahudi dan Nasrani sering kali menyebut umat di luar dirinya sebagai orang-orang “ummi” atau “non-Yahudi dan non-Nasrani”, atau orang-orang yang tidak diberi kitab. Termasuk Rasulullah dan orang Arab lainnya.
Firman Allah yang lain:
مَا كُنتَ تَتْلُو مِن قَبْلِهِ مِن كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ ۖ إِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). (QS Al-Ankabut : 48)
Ayat ini menegaskan, Nabi tidak pernah membaca dan menulis satupun Kitab sebelum menerima Alquran. Maksudnya, setelah menerima Alquran, Rasul membaca dan menulis Kitab dengan tangan kanannya. Ayat ini pun menunjukkan, dengan tidak pernahnya Rasullullah membaca atau menulis satu kitab pun semisal Alquran, namun demikian bukan berarti Rasulullah tidak tahu membaca dan menulis.
Allah tahu, jika seandainya Rasulullah menulis Alqur'an sendiri, maka orang-orang kafir Qurays saat itu dan bukan umat Muhammad akhir zaman akan mencurigai bahwa Alqur'an adalah ciptaan Muhammad bukan firman Tuhan, keorisinilan redaksi dari Tuhan diragukan. Pun demikian masih didustakan, seperti yang tergambar dalam Qur'an:
وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَىٰ عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Dan mereka berkata: "Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang." (QS Al-Furqan : 5)
Argumentasi dan Informasi Pendukung bagi yang menyatakan bahwa ummi bukan bermakna tidak bisa baca membaca dan menulis:
Diusia 25 tahun, Nabi Muhammad berniaga dan dipercaya sebagai distributor perusahaan Siti Khadijah. Logikanya, seorang distributor haruslah memiliki cukup pengetahuan tentang dagang dan pembukuan. Pengetahuan macam ini tidak dimungkinkan bagi orang yg tidak mampu membaca dan menulis.
Seorang Nabi harus mempunyai kecerdasan (Fathanah), pandai atau pintar. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rasul adalah seorang yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa
Sayyidina Ali karromallahu wajahahu, saja begitu pandainya membaca dan menulis, dengan bukti nyata surat-surat, khutbah-khutbah yang terekam dalam Nahjul Balaghah. Sedari kecil Sayyidina Ali karromallahu wajahahu dalam didikan Rumah kenabian, ilmu yang diajarkan kepada Sayyidina Ali karromallahu wajahahu adalah Ilmu yang tidak ada padanannya. Mustahil pengajar tidak begitu pintar dari yang diajar.
Dari hadits " ...Maka Nabi yang menghapusnya dengan tangannya sendiri." (HR. Imam Muslim Nomor 3335), dapat ditarik kesimpulan bahwa jika Nabi tak dapat membaca dan menulis, mustahil Nabi tahu huruf dan letak kalimat yang beliau hapus.
"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang umi (buta huruf) seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,…." (QS Al Jumu’ah:2)
Sejarah mencatat, bahwa Bangsa Arab waktu itu tidaklah bangsa yang tak tahu baca tulis, Sastra bangsa Arab sangat terkenal, kemahiran menulis sajak-sajak syair tak diragukan lagi, dan sering diadakan kompetisi syair serta ditempelkan didinding Ka'bah. Itulah mengapa Alqur'an diturunkan dengan bait-bait, sajak-sajak, yang semuanya bak syair, indah, Qur'an sebagai mu’jizat untuk menandingi dan syair-syair mereka tak mampu menandingi mu’jizat Nabi ini. Mu’jizat Nabi dan Rasul selalu sejalan dengan perkembangan peradaban kaumnya. Misal Musa dengan tongkat yang dapat menjadi ular, atau Nabi Isa yang dapat menyembuhkan orang buta, lepra, atau menghidupkan orang mati karena pada waktu itu tukang sihir meraja lela. Jadi Umat Muhammad yang UMMI alias tidak tahu baca tulis tertolak dengan adanya fakta sejarah itu."
KESIMPULAN MENURUT QAUL YANG MENOLAK ARTI “UMMI” ADALAH TIDAK BISA BACA TULIS
-
Meyakini bahwa Nabi sebagai pribadi yang buta huruf "seolah-olah” adalah sesuatu yang bertentangan dengan dalil naqli maupun aqli artinya membelakangi ayat-ayat dan memperkosa akal sehat. Betapa mungkin seorang Nabi Pamungkas (Khotamul ambiya), dan penghulu para rasul (sayyidul mursallin) tapi punya cela tak dapat menulis dan membaca, padahal dengan jelas ayat pertama turun ialah "BACALAH", Mustahil Allah dan Jibril "lupa" menyuruh membaca sedangkan hambanya tidak dapat membaca ! Maha suci Allah dari tuduhan tersebut. Walau menurut Imam Bukhori, Nabi dipeluk jibril dan dipaksa membaca, tapi Nabi menjawab bahwa beliau tidak dapat membaca. Tapi akhirnya membaca juga.
-
Seseorang yang tidak menulis bukan berarti tidak dapat menulis. Meminum air, syari'atnya ialah menuangkan air ke dalam cawan, kemudian cawan diangkat, dekatkan bibir dan "disruput", namun demikian, meminum air dengan tidak menggunakan cawanpun bisa saja bukan?
SARAN DARI PENULIS YANG FAKIR
Karena arti dan makna “UMMI” yang qad’I tidak ada maka yang timbul adalah multi tafsir, alias bermunculan tafsir-tafsir yang beragam dan berbeda. Seyogyanya kita berhati-hati dan waspada atas upaya "pelecehan" terhadap pribadi Nabi . Boleh jadi salah satunya menuduh nabi "kurang" pandai membaca dan menulis alias Buta Huruf. Karena hadist-hadist Israiliyat banyak sekali bertebaran dengan tujuan menjatuhkan kredibilitas Nabi . Penanamkan doktrin bahwa Nabi Muhammad dianggap tidaklah lebih pandai dari Nabi Nabi Daud yang merdu suaranya saat membaca Zabur (Nabi Daud pandai membaca), maupun Nabi Musa yang mengajari Nabi tentang negosiasi raka'at shalat dari 50 kali dalam sehari menjadi 5 kali. Ditambah lagi Nabi bermuka masam lah, Nabi mau bunuh diri lah, Nabi kencing di tempat pembuangan samapah lah, Nabi terkena sihir lah semakin lengkap tuduhan bahwa Nabi bukanlah manusia yang sempurna (insan kamil). Bahkan begitu geramnya dengan Nabi, kendaraan Nabi dalam perjalanan Isra' dan Mi'raj (buraq) digambarkan seperti kuda dan kepala perempuan, dimaksudkan menggambarkan bahwa nabi sebenarnya adalah Nabi yang doyan perempuan. Kejam bukan?
Namun sekali lagi, perbedaan interpretasi di atas, semata-mata ta’dhim kepada Nabi , ingin menempatkan posisi Nabi pada posisi yang sesuai digambarkan Alqur'an, bahwa Nabi sebagai Suri Tauladan serta insan kamil (manusia sempurna). Interpretasi berdasarkan interpretasi Ulama Kontemporer yang tidak bersifat mengikat dan memaksa, sampai disini dulu pembahasan tentang makna “UMMI”, semoga bermanfa’at dan menambah serta memperbagus kualitas keimanan kita semua, aamiin…
FootNote:
(1) Fachruddin Hs, Ensiklopedia al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 523.
(2) Abu al-Fadl Jamal al-Din Muh. Ibn Muharram ibn Mansur, Lisan al-Arab, Jilid XII (Beirut: Dar Sadir, tt.), 34.
(3) M. Jamal al-Di~n al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil, Jilid VII, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, Isa al-Babi al-Halabi, 1957, 813.
(4) Ibnu Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid I, (Beirut: Dar El-Fikr, 1988), 373-374
(5) M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 260.
(6) Ibnu Mandzur, Lisaanul 'Arab (Beirut: Dar Shadir, Cet. I), 12/34
(7) Raghib al-Isfahani, Ghariibul Qur`an, hal. 28
(8) Zahir al-Harwi, Az-Zahiir fi Ghariib Alfazhi Syafi'i (Kuwait: Wuzaratul Auqaaf, 1399), 1/109
(9) Al-Maqdisi, Khuraafatu Ummiyyati Muhammad, Edisi Indonesia: Nabi Muhammad; Buta atau Genius (Jakarta: Nun Publishing), hal 55
Back to The Title
Tidak ada komentar:
Posting Komentar