Video

Selasa, 05 Juli 2016

Shalat Tarawih pada abad ketiga sampai dengan abad enam


SHALAT TARAWIH PADA ABAD KETIGA

Abad II berlalu, sedang tarawih 36 rakaat dan witirnya 3 rakaat, jadi jumlahnya 39 rakaat, tetapi ada yang berpendapat 41 rakaat seperti yang telah lalu. Dan masuk abad III menurut pendapat yang kuat, tarawih pada waktu itu tetap 39 rakaat termasuk witirnya, tetapi kita lihat ada nas Tirmidzi yang meninggal pada akhir abad III tahun 279, bahwa tarawih mencapai 41 rakaat, dikatakan dalm nas tersebut: “Dan para ulama berselish pendapat dalam qiyam Ramadhan (tarawih), sebagian ada yang berpendapat 41 rakaat dengan witir, yaitu pendapat orang-orang Madinah, hal ini dilakukan oleh mereka di Madinah.”

Kata-kata ”hal ini dilakukan oleh mereka di Madinah” jelas bahwa pekerjaan itu tetap adanya pada saat dia mengatakan nas tersebut. Apakah tambahnya shalat tarawih pada abad III menjadi 41 rakaat mengikuti salah satu paham di atas, ataukah mereka menganggap 36 rakaat tarawih kemudian menambah 5 rakaat yang akhirnya berjumlah 41 rakaat seperti yang telah kita paparkan dalam pendahuluan masalah bilangan rakaat pada jaman Umar bin Abdul Aziz dan Malik. Yang jelas bahwa yang 36 rakaat jelas adanya, sedangkan yang lain ada 39 rakaat atau ada pula 41 rakaat.

SHALAT TARAWIH PADA ABAD IV, V DAN VI


Tarawih pada abad ini kembali ke 20 rakaat lagi, sebagai pengganti dari 36 rakaat seperti yang lalu. Karena seluruh daerah yaitu daerah timur tengah bahkan termasuk Mesir, Hijaz dan Iraq semuanya mengalami keguncangan yang dasyat, disebabkan oleh permusuhan orang-orang Abidiyyin dengan orang-orang Abasyyin. Orang Abasyyin mulai berkuasa di Mesir tahun 359 (pertengahan abad ke 4) sedang mimbar Hijaz lebih kuat daripada orang-orang Abasyyin di Iraq dan orang-orang Fatimiyyah di Mesir, lebih kurang 200 tahun, sampai meninggalnya khalifah terakhir dari orang Abidin, di tahun 567 (pertengahan abad ke enam).

T

Dengan berkuasanya orang-orang Fatimyyah di Hijaz, keadaan berubah sama sekali, terutama dibidang keamanan, sunnah (adat) dan timbul banyak bid’ah, karena waktu itu mereka tidak menganut madzhab orang-orang Madinah. Ibnu Jubair dalam perjalanannya sampai di Madinah pada tahun 580, menyatakan serta menggambarkan suatu bid’ah yang dilakukan orang-orang Fatimiyyah waktu itu. Ringkasnya pada halaman 179 sebagai berikut: ”Pada hari Jum’at yaitu pada tanggal 7 Muharram 580 Hijriyah kami mekihat satu bid’ah berupa panggilan (nida’) berbunyi “Ya lillah ya muslimin”, yaitu ketika khatib naik ke mimbar Nabi untuk berkhotbah, sedang khotib itu bermadzhab dengan madzhab yang tidak disukai, dan dia bertentangan dengan Syeikh Al ‘Ajmi yang selalu menjadi imam shalat fardhu di masjid yang mulia itu, imam yang selalu berpegang pada jalan kebaikan dan kewara’an, dia lebih cocok untuk menjadi imam di tempat yang mulia seperti itu.

Ketika mu’adzin mulai adzan, khatib itu atau yang diajukan untuk berkhutbah dari golongan syi’ah sendiri, sedang sebelumnya didahului dengan dua bendera hitam yang ditancapkan di kedua mimbar yang mulia, dan khatib berdiri di antara dua bendera tersebut. Setelah selesai khutbah pertama dia duduk tidak seperti sepeti biasanya khatib yaitu agak cepat (muttasil). Pada saat itu banyak khadam cepat-cepat menerjang shaf dan melangkahi pundak-pundak orang-orang yang hadir untuk menuju ke arah khatib yang kurang mendapat taufik itu, sebagian ada yang mengeluarakan kain mahal dari sutra dan sebagian ada yang melepas sorbannya untuk diberikan kepada khatib. Sebagian orang-orang perempuan ada yang menanggalkan gelangnya untuk diberikan kepadanya, begitu seterusnya, sedang khatib itu duduk di atas mimbar memperhatikannya dengan pandangan tamak sampai waktunya habis sehingga shalatnya tertinggal. Sampai-sampai orang yang taat beragama gelisah, sedang di depan khatib itu telaah terkumpul barang-barang berharga yang banyak sekali.

Setelah barang-barang itu dianggap cukup oleh khatib, mulailah ia berdiri dan melanjutkan khutbahnya serta mengimami shalat, setelah itu pulang, sedang para ulama menangisi agamanya, putus asa dengan kehidupan dunia dan mereka yakin bahwa kiamat pasti cepat akan tiba. Dari sini jelas bagi kita keadaan yang ada di masjid Nabi , yang menguatka adanya perubahan keadaan dari keadaan sebelumnya.

Ibnu Firjaun dalam tulisannya ketika membicarakan masjid Nabawi, menguatkan pendapat tersebut. Dia berkata, “Orang-orang ahli sunnah tidak mempinyai khatib, imam dan hakim berasal dari ahli sunnah”, kemudian berkata, “Yang jelas hal itu sejak orang-orang abidiyyin berkuasa di Mesir dan Hijaz, mulai waktu khutbah dipegang oleh mereka (orang-orang abidiyyin) samapi tahun 662 (pertengan abad ke-7), orang-orang abbasyyin bisa merebut kembali Hijaz, sejak itu khutbah dipegang oleh orang-orang Abbasiyyin sampai sekarang (jaman pengarang, Ibnu Firjaun hidup). Kemudian berkata, “Pengambilan alih khutbah dari tangan ke keluarga Sinan (Ali Sinan) pada tahun 682. Yang menguatkan keadaan ini ialah merosotnya ilmu pengetahuan di Mekkah, seperti yang dikatakan oleh Sayyid As Siba’i; ketika membicarakan aspek ilmiyah di Mekkah pada jaman Abbasi yang kedua. As Siba’i berkata, “Kemudian melailah tokoh-tokoh Mekkah terpencar di daerah-daerah, sehingga kagiata-kegiatan anilahmulai lemah, maka belum sampai habis abad keempat, kelihatanlah tanda-tanda lemahnya ilmu pengetahuan di Mekkah semakin jelas.[1]

Sedang dunia Islam waktu itu telah dihiasi dengan pertikaian dan perselisihan dalam beberapa masalah agama, maka semakin gencar dakwah orang-orang khawarij, pendapat orang-orang Mu’tazilah dan Murji’ah semakin meluas dan madzhab-madzhab syi’ah yang berlainan-pun mulai terkena. Sedang madzhab syi’ah dan yang lainnya mendapat banyak pengikut di kota Mekkah, Madinah dan sebagian kota-kota Hijaz dalam waktu yang berlainan. Di antara yang menguatkan pendapat adanya banyak pengikut madzhab syi’ah di Mekkah dan Madinah, seperti yang disebutkan oleh sayyid As Siba’i pada kitabnya[1]: “Orang-orang terkemuka di Mekkah setelah berhubungan dengan orang-orang Fatimiyyin, menambahkan kata-kata حي على خير العمل (mari menuju pekerjaan yang baik) pada adzan, hal itu kebiasaan yang diikuti oleh orang-orang Fatimiyyin, itu terjadi di tahun 358 (abad keempat)

BERSAMBUNG KE ABAD DELAPAN




Back to The Title

NoteFood:


(1) Kitab As Siba’i tentang sejarah kota Mekkah juz 1 halaman 165.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar