Video

Jumat, 17 April 2015

Ushul Fiqih ala Pesantren Aswaja (bag. 5)


Sambungan Artikel sebelumnya


Ketiga: 'Illat yang terdapat pada nash dengan jalan istinbath Susunan nash memberikan arti adanya 'illat melalui istinbath atas suatu hukum. 'Illat seperti ini tidak disebutkan, baik secara sharih ataupun secara dilalah. Contohnya antara lain:

1. Diriwayatkan:

عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ هَشَشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ قَالَ عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ فِي حَدِيثِهِ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِهِ

Bahwa Umar bertanya kepada Rasulullah tentang ciuman orang yang berpuasa, apakah merusak puasanya atau tidak. Kemudian Rasul bersabda, bagaimana menurut pendapatmu jika engkau berkumur-kumur (dalam keadaan) shaum apakah hal itu merusak shaum (atau tidak)?" Ia menjawab: "Tidak."
[1]

Kami telah menceritakan hadits itu secara utuh sebelumnya. Dari hadits ini bisa digali hukum tidak rusaknya shaum karena berciuman, sama seperti tidak rusaknya shaum karena berkumur-kumur, kecuali jika airnya masuk ke dalam perut. Dengan demikian maka mencium tidak merusak shaum kecuali jika mengakibatkan keluarnya sperma. Dari hadits itu dapat digali 'illat tidak rusaknya shaum karena berciuman, yaitu al-inzal (yaitu turunnya air atau keluarnya sperma). 'Illat seperti ini, yaitu al-inzal dinamakan dengan 'illat mustanbathah.

2. Allah Swt berfirman:


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at maka bersegeralah kamu menuju mengingat kepada Allah dan tinggalkanlah jual beli. (TQS. al-Jumuah [62]: 9)

Ayat ini diturunkan untuk menjelaskan hukum-hukum (tantang shalat) Jum'at, bukan tentang jual beli. Apabila larangan jual beli bukan merupakan 'illat bagi larangan bersegera yang (hukumnya) wajib menuju shalat Jum'at, maka hukum itu tidak akan berkaitan dengan hukum-hukum (shalat) Jum'at. Firman Allah: "Dan tinggalkanlah jual beli? meskipun merupakan larangan berbentuk kata perintah untuk meninggalkan sesuatu, akan tetapi (bentuk) larangannya bersifat pasti berupa qarinah yang menyertai tuntutan tersebut dengan larangan terhadap (perkara) yang mubah. Dengan asumsi bahwa yang menjadi topiknya adalah serupa, yakni menyegerakan shalat Jum'at. Padahal shalat Jum'at itu merupakan kewajiban, sehingga larangan berjual beli pada waktu azan Jum'at merupakan larangan yang bersifat pasti.

Dari ayat ini dapat digali bahwa 'illat diharamkannya jual beli pada saat adzan adalah melalaikan shalat. 'Illat semacam ini dinamakan 'illat mustanbathah, dimana hukum akan selalu berputar bersamanya. Berdasarkan hal ini maka berjual beli diharamkan begitu juga sewa menyewa dan seluruh aktivitas yang dapat melalaikan shalat, tatkala dikumandangkan azan Jum'at. Kesimpulan itu diperoleh melalui jalan qiyas.

3. Rasulullah bersabda:


الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

"Orang-orang muslim itu bersekutu dalam tiga (hal): air, rumput dan api."
[2]

Telah diriwayatkan secara shahih bahwa Rasulullah membolehkan manusia memiliki air sebagai kepemilikan individu di daerah Thaif dan Khaibar. Air itu khusus mereka miliki untuk keperluan menyirami tanaman mereka. Dari kedua hadits tersebut dipahami bahwa berserikat dalam (kepemilikan terhadap) air adalah dilihat dari sifatnya bukan dari airnya itu sendiri. Yaitu keberadaan air sebagai kebutuhan jama'ah (marafiq al-jama'ah) yang dibutuhkan oleh mereka. Pada kondisi itu air akan menjadi milik umum, tidak boleh dimiliki secara pribadi. Namun, jika (dalam kondisi lain) air tidak dibutuhkan oleh jama'ah, berarti boleh dimiliki secara individu. Dari sini digali bahwa 'illat perserikatan atas air karena merupakan kebutuhan jama'ah. Hukum akan selalu beredar bersama 'illat, baik 'illat itu ada maupun tidak ada. Dengan demikian jika terdapat perkara yang merupakan kebutuhan jamaah meskipun bukan termasuk tiga perkara yang disinggung dalam hadits, maka perkara tersebut merupakan milik umum. Apabila 'illatnya telah hilang maka hilang pula kepemilikan umumnya. Artinya, jika bukan merupakan kebutuhan jama'ah maka menjadi milik individu.

4. Rasulullah saw bersabda:

لَا حِمَى إِلَّا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ

Tidak ada pemagaran kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.
[3]

Makna hadits ini adalah tidak boleh seorangpun memagar sesuatu yang merupakan hak manusia secara umum. Dari sini digali 'illat berupa larangan memiliki sesuatu yang termasuk milik umum dalam bentuk kepemilikan yang bersifat abadi. 'Illatnya adalah pembatasan/pemagaran yang bersifat abadi.
Berdasarkan hal ini maka memiliki kereta api, trem, metro (kereta api bawah tanah), dan roli, yang termasuk sarana transportasi adalah dilarang. Artinya, tidak boleh dimiliki secara individu karena (benda-benda tersebut) berjalan secara khusus di atas rel besi, atau di atas jalan listrik. Ini berarti sama saja dengan pemagaran secara abadi terhadap suatu perkara yang termasuk jalanan umum.
Apabila 'illat ini hilang, yaitu pemagaran secara abadi terhadap perkara yang merupakan milik umum, maka hilang pula hukum larangannya. Apabila seseorang ingin memiliki kereta api yang berjalan di atas rel yang terletak di atas tanah miliknya, maka hal ini tidak dilarang. Begitu juga kendaraan-kendaraan lain termasuk pesawat terbang yang tidak dibatasi secara abadi, maka boleh dimiliki.
Begitu juga sarana transportasi laut yang ada di laut dan sungai tidak dilarang bagi seseorang untuk menggunakannya. Sedangkan alat transportasi laut yang ada di sungai-sungai kecil yang biasa digunakan untuk menyirami (tanaman), maka hal ini (kedudukannya) seperti jalanan umum. Individu boleh memiliki perahu-perahu kecil yang tidak menghilangkan fungsi sungai sebagai milik umum. Namun, jika bentuknya adalah perahu-perahu besar (sejenis feri) maka tidak boleh dimiliki oleh individu. Contoh lain adalah pipa air dan saluran-saluran air wajib menjadi milik umum, karena diambil sebagai bagian dari jalan, yang bersifat abadi.

Keempat: 'Illat melalui Qiyas.

Apabila di dalam nash terdapat 'illat secara dilalah dan terdapat hubungan implikasi antara 'illat tersebut dengan hukum asal, maka hubungan ini bisa digunakan untuk mengqiyaskan 'illat baru pada 'illat dilalah yang ada pada nash tersebut. 'Illat yang baru ini disebut 'illat qiyasiyyah ('illat yang dihasilkan melalui qiyas). Hal ini biasa digunakan dalam qiyas untuk menghasilkan hukum baru, sama seperti digunakannya 'illat yang lain. Perlu diketahui bahwa hubungan implikasi antara 'illat dan hukum tidak akan ada kecuali jika 'illat dilalah tersebut merupakan sifat yang memberikan mafhum terhadap peng-'illatan dan terhadap sebab peng-'illatan (wajh al-'iliah). Yaitu memberikan arti bahwa sifat tersebut merupakan 'illat; juga memberikan arti terhadap sabab sehingga sifat tersebut dipandang sebagai 'illat. Sifat inilah yang membatasi hubungan implikasi antara 'illat dan hukum.

Contohnya, Rasulullah bersabda:


لَا يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ

Seorang hakim (qadli) tidak boleh memutuskan hukum sedangkan ia dalam keadaan marah.
[4]

Lafadz al-ghadlab (marah) adalah sifat mufhim yang diceritakan beserta hukum yang di'illati dalam (kondisi) marah. 'Illat yang diceritakan ini (secara dilalah) yaitu marah, merupakan sifat yang memberikan arti bahwa marah bisa mempengaruhi keputusan. Dalam hadits tersebut terdapat hubungan implikasi antara 'illat dilalah yaitu marah dengan hukum asal yaitu larangan memutuskan (perkara) dalam keadaan marah. Hubungan implikasi ini adalah kacaunya pemikiran (tasywisy al-fikri) dan tidak menentunya keadaan (idltirab al-hâl). Setiap sifat mufhim yang baru yang mencakup hubungan implikasi, seperti rasa lapar, diqiyaskan terhadap 'illat dilalah pada nash tersebut karena disatukannya dengan hubungan tersebut. Sifat mufhim yang baru, yaitu rasa lapar disebut sebagai 'illat qiyasiyyah. Sehingga marah disebut 'illat dilalah dan rasa lapar disebut 'illat qiyasiyyah. Dengan pemersatu yaitu (adanya) hubungan implikasi yang ada pada kedua 'illat tersebut. Rasulullah saw bersabda:

أَهْدَى بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِ قَصْعَةً فِيهَا ثَرِيدٌ وَهُوَ فِي بَيْتِ بَعْضِ أَزْوَاجِهِ فَضَرَبَتْ الْقَصْعَةَ فَانْكَسَرَتْ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْخُذُ الثَّرِيدَ فَيَرُدُّهُ فِي الصَّحْفَةِ وَهُوَ يَقُولُ كُلُوا غَارَتْ أُمُّكُمْ ثُمَّ انْتَظَرَ حَتَّى جَاءَتْ قَصْعَةٌ صَحِيحَةٌ فَأَخَذَهَا فَأَعْطَاهَا صَاحِبَةَ الْقَصْعَةِ الْمَكْسُورَةِ

"Sebagian isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah memberi hadiah kepada beliau sepiring tsarid, sementara beliau berada di rumah sebagian isterinya, kemudian isterinya itu memukul piring tersebut hingga pecah, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengambil tsarid (yang terjatuh) dan mengembalikannya ke dalam piring, beliau lalu bersabda: "Makanlah, ibu kalian telah cemburu." Kemudian beliau menunggu hingga datang piring yang baik, lalu beliau mengambilnya dan memberikannya kepada pemilik piring yang pecah."
[5]
Maka dengan adanya kisah hadits tersebut: Barangsiapa yang memecahkan suatu benda maka benda itu miliknya. Dan dia wajib mengganti dengan benda yang sama.

Dalam hadits ini terdapat 'illat dilalah dengan menggunakan huruf fa yang memberikan arti ta'lil pada susunan kalimatnya, karena telah diketahui bahwa pada asalnya -secara bahasa- huruf fa tidak diletakkan untuk memberikan arti ta'lil. Oleh karena itu 'illat yang ada pada hadits ini dinamakan 'illat dilalah. Jadi, hadits ini memberikan arti bahwa orang yang memiliki benda milik saudaranya kemudian ia memecahkannya maka dia wajib menyerahkan benda yang serupa kepada pemiliknya. Penggunaan fa pada nash tersebut memberikan arti bahwa memecahkan benda merupakan 'illat keharusan untuk menyerahkan harga (yang setara dengan benda yang dipecahkan). Dan karena kata memecahkan (al-kasru) merupakan sifat yang memberikan arti ta'lil dan wajh 'illiyah (aspek peng-'illatan) maka sifat tersebut mempunyai hubungan dengan hukum asal (kewajiban menyerahkan harga barang yang dipecahkan). Hubungan ini adalah ketidakutuhan benda tersebut seperti semula.
Dengan pemersatu hubungan ini maka diqiyaskan hubungan yang baru, -berubahnya zat suatu benda- terhadap 'illat dilalah yang ada pada nash, yaitu pecahnya atau hilangnya suatu benda. 'Illat yang baru ini disebut sebagai 'illat qiyasiyyah. Hal ini bisa digunakan untuk mengqiyaskan setiap hukum baru terhadap hukum asal. Jadi, sama kedudukannya seperti orang yang memecahkan benda milik orang lain dan harus menyerahkan benda yang semisal dengan benda itu kepada pemiliknya (memecahkan merupakan 'illat dilalah), maka begitu juga orang yang merubah suatu benda, seperti orang yang menumbuk gandum milik orang lain yang ada pada dirinya, atau membuat besi milik orang lain yang ada pada dirinya menjadi pedang. Semua ini mengharuskannya untuk menyerahkan pengganti yang sama, karena dia telah merubah suatu benda (merubah zat suatu benda merupakan 'illat qiyasiyyah).

Contoh-contoh berbagai macam jenis 'illat.

1. 'Illat sharahah. Rasulullah bersabda:


إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ صَاحِبِهِمَا فَإِنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ

"Apabila kamu bertiga, maka janganlah yang dua orang berbisik tanpa yang ketiga, Karena hal itu dapat menyinggung perasaannya."
[6]

'Illat pada hadits ini adalah karena perkara itu akan membuatnya sedih. Termasuk 'illat karena menggunakan huruf ta'lil yang sharih (yaitu lafadz min ajli). 'Illat tersebut disebut 'illat sharahah.

2. 'Illat dilalah, dengan menggunakan sifat mufhim, Allah berfirman:


وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu. (TQS. al-Anfal [8]: 60)

Kata "menggentarkan musuh?" adalah sifat yang sesuai dengan mafhum (sifat yang memberikan arti peng-'illatan) bagi keharusan untuk mengadakan persiapan menghadapi musuh. Lafadz tersebut merupakan 'illat dilalah. Rasulullah bersabda:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ اسْتَأْذَنْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ جِهَادُكُنَّ الْحَجُّ

”Dari 'Aisyah binti Thalhah dari 'Aisyah, ummul mu'minin radliallahu 'anha berkata: "Aku meminta izin kepada Nabi untuk berjihad, maka Beliau bersabda: "Jihad kalian adalah haji."


Riwayat tersebut di atas memiliki arti secara tak langsung bahwa wanita itu tidak untuk berperang. Hadits ini memberikan arti bahwa 'illat keharaman membunuh wanita yang turut serta berperang adalah karena wanita itu tidak (turut) berperang menghadapi tentara musuh. 'Illat ini merupakan sifat mufhim. maka 'illat yang ada pada hadits tersebut merupakan 'illat dilalah (yaitu lafadz lituqâtil). Namun, apabila wanita tersebut dari kalangan musuh yang (turut terlibat) memerangi kaum Muslim, maka boleh dibunuh.

3. 'Illat mustanbathah. Rasulullah bersabda:


قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ هَشَشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ قَالَ عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ فِي حَدِيثِهِ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِهِ ثُمَّ اتَّفَقَا قَالَ فَمَهْ

Apa pendapatmu andai kata engkau berkumur-kumur (pada saat berpuasa-pen), apakah akan merusak puasamu? Umar menjawab: "Tidak?" Beliau bersabda: "Begitu juga dengan mencium?"
[8]

Dari nash ini digali bahwa 'illat batalnya shaum karena mencium adalah keluarnya sperma. Apabila seseorang mencium wanita (isterinya) tetapi tidak keluar sperma maka tidak membatalkan shaum. Jadi al-inzal (keluarnya sperma) adalah 'illat istinbatiyyah karena sama seperti berkumur-kumur. Namun, jika mengakibatkan masuknya air ke dalam perut, shaumnya menjadi batal/rusak. Begitu juga mencium yang berakibat keluarnya sperma.

4. 'Illat qiyasiyyah.


النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ التَّلَقِّي وَأَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ

Rasulullah melarang orang kota (menyongsong guna membeli barang) kepada orang (yang datang dari pelosok) pedesaan.
[9]

'Illat fasadnya jual beli tersebut adalah keberadaan orang yang menjual yang termasuk penduduk kota dan yang membeli termasuk orang yang datang dari pelosok, yaitu orang yang datang dari pedalaman, keduanya merupakan sifat yang menunjukkan adanya 'illat. Sebabnya, orang yang datang dari pedalaman tidak mengetahui harga yang ada di pasaran dan yang diketahui oleh penduduk kota. Dia tidak mengetahui harga pasar. 'Illat ini (keberadaan orang yang menjual dari kalangan penduduk kota dan yang membeli dari penduduk pedesaan) disebut 'illat dilalah, karena kedua sifat ini merupakan sifat yang memberikan arti adanya 'illat.
Dalam hadits tersebut tedapat hubungan implikasi antara 'illat (keberadaan pembeli dari kalangan penduduk desa) dengan hukum (fasadnya jual beli). Hubungan implikasi ini adalah ketidaktahuan orang desa terhadap harga pasar. Berdasarkan hal ini maka setiap sifat yang meliputi hubungan ini (aspek peng'illatan) merupakan 'illat qiyasiyyah, seperti keberadaan orang yang membeli dan baru keluar dari penjara, atau orang yang datang setelah lama menghilang, maka jual belinya menjadi fasad. Keberadaan pembeli yang termasuk penduduk desa disebut 'illat dilalah. Sedangkan keberadaan pembeli yang baru keluar dari penjara termasuk 'illat qiyasiyyah. 'Illat qiyasiyyah itu diqiyaskan terhadap 'illat dilalah dengan adanya penyatu, yaitu hubungan implikasi yang terdapat pada kedua 'illat tersebut, yaitu ketidaktahuan terhadap harga pasar. Perlu diketahui bahwa keharusan adanya hubungan implikasi disebut juga dengan wajh at-ta'lil yang menyatukan perkara yang ada diantara qiyas dilalah dan 'illat qiyasiyyah. Tanpa adanya penyatu hubungan implikasi di antara kedua 'illat maka tidak akan terdapat 'illat qiyasiyyah sama sekali, sebagaimana pengqiyasan hukum cabang terhadap hukum asal tidak akan terjadi kecuali dengan adanya 'illat yang menyatukan di antara keduanya. Hal ini merupakan perkara penting yang wajib diketahui secara cermat.

Perbedaan antara 'Illat dan Sabab

Sabab adalah tanda ('amârah) yang memberitahu adanya suatu hukum, seperti tergelincirnya matahari merupakan tanda yang memberitahui adanya (terwujudnya) shalat. Sedangkan 'illat adalah perkara yang karenanya terwujud hukum. 'Illat adalah pemicu disyari'atkannya suatu hukum. Jadi 'illat adalah sabab pensyari'atan suatu hukum, bukan sabab adanya hukum; sehingga 'illat termasuk salah satu dalil-dalil hukum. Contohnya adalah melalaikan shalat, yang digali dari firman Allah:


إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ

Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (TQS. al-Jumuah [62]: 9)

Melalaikan shalat, menjadi sebab disyari'atkannya suatu hukum, yaitu haramnya berjual beli ketika azan Jum'at. Dengan demikian disebut 'illat bukan sabab. Berbeda dengan tergelincirnya matahari, bukan merupakan 'illat, karena shalat Dzuhur tidak disyariatkan karenanya. Itu hanya merupakan tanda bahwa (waktu shalat) dzuhur telah terwujud.

Perbedaan antara 'Illat dengan Hikmah

Telah disebutkan bahwa 'illat adalah sesuatu yang menjadi pendorong/pemicu disyari'atkannya suatu hukum. 'Illat diambil dari nash, -sebagaimana yang telah kami jelaskan pula-. Di dalam nash-nash tampak adanya 'illat berdasarkan huruf-huruf ta'lil yang digunakan pada nash atau sesuai dengan susunan kalimat pada nash. Meskipun demikian ada juga qarinah lain, baik pada nash itu sendiri atau pada nash lain yang menanggalkan makna ta'lil dan memberikan makna lain, yaitu yang menjadi tujuan (maksud) Syâri' dari disyari'atkannya suatu hukum, bukan pendorong/pemicu disyari'atkannya suatu hukum. Tujuan yang menjelaskan maksud Syâri' dari suatu hukum biasa dikenal dengan istilah hikmah, bukan 'illat. Sebab, bukan termasuk perkara yang mendorong disyari'atkannya suatu hukum. Berikut ini kami paparkan sebagian nash-nash tersebut:

Pertama: Nash-nash yang menjelaskan tentang syariat Islam secara umum.

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ

Dan Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (TQS. al-Anbiya [21]: 107)

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

Dan Kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (TQS. al-Isra [17]: 82)

Obat (syifa) dan rahmat adalah sifat bagi syariat dilihat dari hasilnya, bukan 'illat atas pensyariatannya. Jadi bentuk nash tersebut tidak menunjukan ta'lil, sehingga menafikan adanya 'illat, sehingga rahmat merupakan hikmah dari diberlakukannya syari'at.

Kedua: Nash-nash yang menjelaskan hikmah pada sebagian hukum-hukum.


لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka. (TQS. al-Hajj [22]: 28)

Ayat ini menjelaskan hikmah dari ibadah haji.


إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ

Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi. (TQS. al-Maidah [5]: 91)

فَٱلْتَقَطَهُۥٓ ءَالُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا

Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. (TQS. al-Qashash [28]: 8)

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku. (TQS. adz-Dzaariyaat [51]: 56)

وَمَا جَعَلَهُ ٱللَّهُ إِلَّا بُشْرَىٰ لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُم بِهِ

Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. (TQS. Ali Imran [3]: 126)

كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (TQS. al-Baqarah [2]: 183)

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. (TQS. al-Ankabut [29]: 45)

Sabda Rasulullah :


لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا

"Seorang wanita tidak boleh dimadu dengan bibinya baik dari jalur ibu atau ayah."
[10]

Pada contoh-contoh nash tersebut Syâri' telah menjelaskan tujuan yang akan dihasilkan dari suatu hukum, bukan menjelaskan pendorong/pemicu disyariatkannya suatu hukum. Hikmah yang diinginkan Allah dengan pemberlakuan suatu hukum adalah bahwa hukum tersebut akan menghasilkan begini…bagi orang yang menerapkannya. Bentuk nash-nash tersebut dengan qarinah-qarinahnya, baik yang ada pada nash itu sendiri atau pada nash lain, menjelaskan tidak adanya arti peng-'illatan, yang menunjukkan pemicu/pendorong disyariatkannya suatu hukum. Apabila nash-nash tersebut menceritakan tentang 'illat niscaya tidak akan terjadi penyimpangan/perbedaan (maksudnya adalah bahwa tujuan tersebut akan selalu ada seiring dengan adanya hukum. Padahal kenyataannya terkadang tujuan tersebut tidak tercapai padahal hukum telah dilaksanakan-pen). Karena hukum itu senantiasa beredar sejalan dengan ada atau tidak adanya 'illat. Sebagai contoh:


لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka. (TQS. al-Hajj [22]: 28)

Ayat ini tidak menjelaskan bahwa 'illat (yang memicu disyariatkan haji) adalah menyaksikan berbagai manfaat, karena ayat tentang haji adalah:

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (TQS. Ali Imran [3]: 97)

Ayat ini tidak mengkaitkan kewajiban haji dengan 'illat apapun.


فَٱلْتَقَطَهُۥٓ ءَالُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا

Maka dipungutlah ia oleh keluarga Firaun yang akibatnya menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. (TQS. al-Qashash [28]: 8)

Dalam ayat ini jelas bahwa keluarga Fir'aun tidak memelihara dan mengurus Musa agar Musa menjadi musuh mereka. Akan tetapi hal itu merupakan hasil yang terjadi akibat perbuatan mereka.

فَٱلْتَقَطَهُۥٓ ءَالُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. (TQS. al-Ankabut [29]: 45)

Ayat ini tidak memberikan arti adanya 'illat pensyariatan shalat, karena nash-nash yang menjelaskan kewajiban shalat واقيمواالصلاة dan إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا tidak mengkaitkan kewajiban shalat dengan 'illat apapun. Begitulah, seluruh bentuk-bentuk nash di atas disertai dengan qarinah-qarinah, baik terdapat pada nash itu sendiri atau pada nash lain yang menjelaskan tidak adanya 'illat, melainkan hanya hikmah saja.

Perbedaan besar antara hikmah dengan 'illat adalah, bahwa 'illat itu merupakan pendorong/pemicu disyariatkannya suatu hukum. Dengan kata lain sesuatu yang menjadi penyebab disyariatkan hukum. Sedangkan hikmah adalah perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan dari hukum. Hukum tidak bisa dipisahkan dari 'illat, sehingga hukum akan selalu beredar bersama 'illat ada dan tidak adanya. 'Illat adalah yang menjadi penyebab disyariatkannya hukum. Sedangkan hikmah kadangkala terwujud pada kondisi-kondisi tertentu, kadangkala tidak terwujud pada kondisi lain. Dengan kata lain hikmah kadang-kadang dapat diraih.

Berdasarkan hal itu 'illat adalah yang menjadi pendorong disyariatkannya hukum. 'Illat itu ada sebelum adanya hukum, dan bukan merupakan hasil dari (pelaksanaan) hukum. Sedangkan hikmah adalah hasil yang mungkin diperoleh dari (pelaksanaan) suatu hukum. Hikmah dengan makna seperti ini kadangkala terpisah dari hukum pada kondisi tertentu. Contohnya:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka. (TQS. al-Hajj [22]: 28)

Banyak sekali orang yang melaksanakan ibadah haji tetapi tidak bisa menyaksikan manfaatnya.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku. (TQS. adz-Dzaariyaat [51]: 56)

Kenyataannya banyak sekali makhluk ciptaan Allah yang tidak beribadah kepada Allah. Begitu juga dengan hikmah-hikmah lainnya kadangkala terwujud, kadangkala tidak terwujud. Perlu diketahui bahwa hikmah disyariatkannya hukum tidak diketahui kecuali oleh Allah sendiri. Oleh karena itu harus ada nash syara yang terdapat pada nash tersebut dan menunjukkan bahwa perkara itu adalah hikmahnya. Apabila dijumpai perkara yang diduga sebagai hikmah akan tetapi tidak terdapat nashnya (yaitu yang diturunkan Allah untuk menjelaskannya) maka tidak bisa dianggap sebagai hikmah yang ditentukan oleh Allah, atau bukan termasuk maksud-maksud syariat. Sebagian orang kadang-kadang suka menyebutnya sebagai hikmah. Yang dimaksud dengan keberadaan hikmah sebagai maksud (tujuan) dan hikmah Allah dari suatu hukum atau syariat, adalah bahwa Allah telah bermaksud kepadanya.

Menurut akal dan syara mustahil mengetahui hikmah Allah (atas suatu hukum) kecuali apabila Allah telah memberitahukannya kepada kita dengan nash melalui perantaraan wahyu. Walhasil, hikmah adalah tujuan dari disyariatkannya hukum, atau buah yang mungkin diperoleh dari (pelaksanaan) suatu hukum. Apapun kondisi dari hasil ini tetap saja tidak bisa disebut dengan 'illat syar'iyyah. Hikmah itu hanyalah berita dari Allah, dan termasuk sebagai berita-berita tentang suatu perkara, bukan berita Allah tentang suatu hukum. Kedudukan hikmah di dalam nash-nash syara sama kedudukannya seperti kisah-kisah, berita-berita, nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk. Selain anggapan itu tidak dibenarkan, sehingga tidak termasuk pada pensyariatan dan penggalian suatu hukum.


Bab 09 Perkara yang Diduga Sebagai Dalil Padahal Bukan Dalil


Istidlal menurut bahasa adalah wazan استفعل dari lafadz (دل)yang berarti mencari dalil; atau jalan yang bisa menghantarkan pada perkara yang dicari. Terkadang kata istidlal diartikan dengan dalil itu sendiri, baik berupa nash (al-Kitab, as-Sunnah), Ijma maupun Qiyas. Terkadang juga diartikan sebagai salah satu dari jenis-jenis dalil, yaitu perkara yang diduga kuat sebagai dalil yang benar padahal sebenarnya bukan dalil. Perkara yang diduga sebagai dalil padahal bukan dalil ada empat macam yaitu: syari'at umat terdahulu (syar'un man qablana), pendapat sahabat (madzhab sahabat), istihsan, dan mashalih mursalah.


1. Syari'at Umat terdahulu (syar’un man qablana).

Sebenarnya syari'at umat terdahulu (umat Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad ) bukan termasuk syari'at bagi kita (umat Nabi Muhammad ), dan bukan tergolong hujjah (dalil) bagi kita. Allah berfirman:

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

Dan Kami telah turunkan kepadamu al- Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. (TQS. al-Maidah [5]: 48)

Arti dari ومهيمنا عليه adalah ناسخالماسبقه yaitu penghapus kitab-kitab sebelumnya. Oleh karena itu kita sebenarnya tidak diseru untuk melaksanakan syari?at sebelum kita. Kita diseru hanya untuk menjalankan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad .
2. Madzhab Sahabat.
Madzhab sahabat sebenarnya bukan merupakan dalil syara'. Allah berfirman:

فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)

Dalam ayat ini Allah telah mewajibkan untuk mengembalikan seluruh perkara yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga para sahabat telah sepakat atas kebolehan menyelisihi sahabat secara perorangan. Andaikata pendapat seorang sahabat merupakan hujjah maka pasti setiap sahabat wajib mengikuti pendapat sahabat yang lainnya. Tetapi hal seperti ini tidak mungkin terjadi.

3. Istihsan

Secara bahasa kata istihsan mengikuti wazan استفعل dari kata al-hasan, yang berarti memandang baik suatu perkara. Lawannnya disebut al-istiqbah (memandang buruk suatu perkara). Secara istilah istihsan diartikan dengan "dalil yang cacat pada benak seoarang mujtahid, dan tidak kuasa untuk menampakannya karena tidak ada dukungan al-ibarah (redaksi) untuk mengungkapkannya?" Sebagian ulama mendefinisikannya dengan "beralih dari konsekwensi suatu Qiyas kepada Qiyas lain yang lebih kuat" Mereka juga menganggap termasuk bagian dari istihsan adalah "beralih dari Qiyas kepada nash, baik al-Kitab, as-Sunnah ataupun adat" Begitu juga termasuk istihsan adalah "mengalihkan suatu permasalahan dari suatu hukum tentang masalah-masalah yang sejenis kepada hukum lain karena adanya aspek yang lebih kuat yang mengharuskan peralihan tersebut."

Contohnya adalah firman Allah:


وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)

Mereka (para penganut istihsan) beralih dari konsekwensi keumuman ayat tersebut, yaitu yang berlaku bagi setiap ibu, dengan mengkhususkannya pada ibu yang biasanya tidak suka menyusui anaknya (al-ummu ar-rafi'ah al-munazalah). Mereka mengecualikannya dari hukum pada ayat tersebut.
[11]
Begitu juga pada kasus pekerja yang berserikat, seperti para penjahit atau binatu
[12]
, beralih dari hukum yang dituntut oleh kaidah kulliyyât bahwa pekerja tidak dikenai tanggungan atas barang yang rusak pada tangannya bukan karena kecerobohannya, karena dia adalah pihak yang diberikan amanah, kepada hukum yang dituntut oleh dalil khusus; yakni bahwa si pekerja dikenai tanggungan atas barang yang rusak ditangannya selama kerusakannya bukan karena faktor lain yang memaksa, seperti kebakaran atau tenggelam. Ini dilakukan untuk memberikan ketentraman kepada manusia atas barang mereka yang ada ditangan para pekerja dan mengamankan barang mereka dari kerusakan karena banyaknya kecerobohan maupun pengkhianatan diantara para pekerja. Istihsan bukan termasuk dalil. Jika istihsan merupakan peralihan kepada dalil yang lebih kuat, maka sebenarnya hal itu termasuk fakta (topik) tentang tarjih di antara dalil-dalil dan fakta tentang kekuatan dalil. Apabila istihsan merupakan peralihan dari suatu dalil tanpa ada dalil yang mengharuskannya maka sebenarnya (istihsan) bukan merupakan dalil. Karena Allah berfirman:

فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)

Berdasarkan ayat ini setiap muslim dituntut untuk mengikuti hukum Allah dan Rasul-Nya, atau yang ditunjuk oleh keduanya yaitu Ijma' sahabat dan Qiyas. Sedangkan Istihsan yang berarti beralih dari suatu dalil tanpa ada dalil, tidak termasuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul-Nya. Para sahabat dalam berbagai keputusannya, meskipun banyak diantara mereka yang tidak menghukumi selain dengan al-Kitab, as-Sunnah, Ijma' dan Qiyas, akan tetapi sedikitpun mereka tidak menghukumi suatu permasalahan berdasarkan istihsan. Penjelasan di atas merupakan bantahan tentang definisi istihsan yang kedua.

Sedangkan definisi yang pertama maka sangat jelas bahwa definisi tersebut tidak didukung oleh dalil. Karena seorang mujtahid yang memiliki dalil cacat yang tidak didukung oleh al-ibarah (ungkapan redaksi) untuk menampakkannya, -sesuai definisi di atas- sama saja dengan tidak mengetahui apa sebenarnya yang cacat itu, sehingga dia tidak bisa menganggapnya sebagai dalil.


4. Mashalih al-mursalah

Para ulama penganut mashalih mursalah mendefinisikannya dengan "kemaslahatan yang tidak dijelaskan oleh dalil khusus yang mengakuinya atau mencampakannya."Kemudian kemaslahatan tersebut diambil, padahal tidak ada nash yang mengakuinya, dengan syarat ketika diambil berakibat tertolaknya suatu kesulitan. Mereka memberikan contoh dengan kasus, jika ada orang yang mendakwa orang lain bahwa dia mempunyai harta pada orang tersebut, sementara dia tidak mampu mampu mendatangkan bukti atas dakwaannya, kemudian terdakwa dituntut untuk bersumpah berdasarkan sabda Rasulullah :


أَنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ

Bahwa menghadirkan bukti itu wajib atas orang tertuduh dan mengucapkan sumpah wajib atas orang yang menuntut.
[13]

Mereka tidak mewajibkan sumpah pada terdakwa kecuali jika antara terdakwa dan pendakwa terdapat suatu hubungan. Hal ini dilakukan agar orang-orang yang bodoh tidak berani (lancang) kepada kalangan terhormat sehingga akan menyerahkan mereka (kaum terhormat) ke pengadilan dengan dakwaan-dakwaan dusta. Berdasarkan definisi di atas, jelas sekali bahwa sebenarnya mashalih mursalah bukan termasuk dalil. Menggunakannya dengan menyalahi nash adalah tindakan batil, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

1. Firman Allah Swt:


وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى الَّهِ

Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (TQS. asy-Syura [42]: 10)

فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى

Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu. (TQS. al-Maidah [5]: 3)

يَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (TQS. al-Qiyamah [75]: 36)

Berdasarkan ayat-ayat tersebut jelas bahwa segala sesuatu sebenarnya telah dijelaskan, maka bagaimana mungkin bisa dikatakan terdapat perkara yang tidak diakui (tidak tercakup) oleh syara dan dicampakkannya?

2. Kemaslahatan yang sebenarnya adalah kemaslahatan berdasarkan (dalil) syara'.
Dimana ada perintah syara maka disana terdapat kemaslahatan. Syara'-lah yang menetapkan kemaslahatan. Sedangkan istishlah (menghukumi berdasarkan mashalih mursalah) adalah menghukumi yang didasarkan pada maslahat yang tidak ditetapkan oleh syara. Oleh karena itu mashalih mursalah bukan tergolong hujjah.

3. Membangun suatu hukum atas dasar kemaslahatan yang tidak diakui oleh syara berarti menjadikan akal yang tidak didukung oleh dalil (al-'aql al-mujarrad) sebagai sebagai hakim. Ini tidak diperbolehkan.

Perlu kami jelaskan bahwa hukum-hukum yang digali dari keempat dali tersebut, oleh para mujtahid yang menganutnya tetap dipandang sebagai hukum syara karena mempunyai syubhat dalil.

Bab 10 MEMAHAMI DALIL


Mukadimah

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalil adalah perkara yang datang untuk menetapkan suatu hakikat. Menurut ahli ushul, dalil memberikan arti ilmu dan yakin. Berbeda dengan al-'amarah (tanda), yaitu dengan mengetahui perkara tersebut akan dihasilkan dugaan kuat tentang adanya perkara yang ditunjukkannya. Misalnya saja awan; dengan mengetahui (keadaan) awan akan dihasilkan dugaan kuat akan adanya hujan. 'Amarah kadang-kadang juga disebut al-'alamah apabila tidak bisa dipisahkan dengan perkara yang ditunjukkannya, seperti ditunjukkannya alif lam terhadap kalimat isim. Karena alif lam tidak bisa dipisahkan dari isim, maka alif lam dinamakan sebagai 'alamah (tanda) isim. Sedangkan al-'amarah yang terpisah dari perkara yang ditunjukkannya disebut al-'amarah saja.

Seperti awan yang menjadi 'amarah adanya hujan. Dengan demikian, dalil itu berbeda dengan 'amarah dan 'alamah. Dalil menghasilkan ilmu dan yakin. Para ahli ushul mendefinisikannya sebagai: "Perkara yang dengan kajian yang benar tentangnya bisa menghasilkan ilmu (keyakinan) terhadap mathlub khabari." Kajian yang benar mengharuskan adanya dua perkara yang sangat penting pada orang yang hendak memahami dalil untuk digunakan menggali suatu hukum. Kedua perkara itu adalah:
  1. Pengetahuan tentang pembahasan lafadz-lafadz dan dalalahnya.
  2. Pengetahuan tentang bagian-bagian dari al-Kitab dan as-Sunnah.

Dua perkara ini sangat diperlukan. Dengan perantaraan dua perkara tersebut kita mampu mengeluarkan suatu hukum dari suatu dalil, tentu setelah memahaminya dan memahami perkara yang menjadi syarat ijtihad. Kita akan membahas tentang lughah (bahasa) dan dalalahnya (penunjukannya). Pada topik ini juga akan dibahas tentang bagian-bagian dari al-Kitab dan as-Sunnah. Dan pada topik berikutnya akan dibahas tentang ijtihad.


Pembahasan Tentang Bahasa

Bahasa adalah suara yang digunakan oleh suatu kaum untuk mengungkapkan maksud mereka. Biasa juga disebut لغوت sama dengan تكلمت artinya berbicara. Allah berfirman:


وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Apabila mereka melewati pembicaraan (yang bathil) maka mereka akan melewatinya dengan sikap mulia. (TQS. al-Furqan [25]: 72)

Dalam hadits dikatakan :


مَنْ قَالَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ أَنْصِتْ فَقَدْ لَغَا

Barangsiapa yang mengatakan kata shah (diamlah kamu) ketika (khutbah) Jum'at maka berarti dia gurau).
[14]

Kata lagha bersenda (لغا) dalam hadits di atas artinya (تكلم) artinya berbicara. Kata (اللغة) diambil dari kata (لغا) artinya lahija bil kalam. Adapun definisi lughah (bahasa) adalah setiap lafadz (kata) yang dibuat untuk menunjukkan makna tertentu. Cara mengetahui lughah adalah melalui periwayatan. Sebagian ahli bahasa membagi lughah dilihat dari asal kemunculannya menjadi:

  1. Bahasa Samiyah; mencakup bahasa Arab, Ibrani, Sumeria, Kaldea, Habsyi (Ethiopia), Assyria, Babilonia, Punisia, Hamiri, dan Nabthea.
  2. Bahasa Ariya; mencakup bahasa Hindu kuno –Sansekerta– (bahasa Persia Kuno, bahasa Latin dan Jerman adalah termasuk turunannya) dan cabang-cabangnya yang merupakan bahasa modern (al-lughah al-haditsiyah), yaitu bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Spanyol.
  3. Bahasa Thurani (Mesir kuno); Turki, Hongaria, Tartar, dan Mongolia.

Ahli bahasa lainnya membagi bahasa berdasarkan susunannya menjadi:
  1. Bahasa ahadi, tersusun dari satu suku kata (maqtha), seperti bahasa Cina. Setiap makna dan kata mempunyai satu suku kata yang tidak berubah-ubah.
  2. Bahasa mazji, lafadz-lafadz dalam bahasa ini tersusun dari dua kata. Yang pertama menunjukkan kepada makna pokok. Yang kedua menunjukkan kepada makna yang menerangkan makna pokok, seperti pelaku, zaman (waktu), atau tempat. Contohnya bahasa Turki dan bahasa Jepang.
  3. Bahasa mutasharifah, yaitu bahasa yang kata dasarnya bisa berubah-ubah menjadi bentuk kata yang bermacam-macam. Setiap bentuk kata itu menunjukkan terhadap suatu makna yang tidak ditunjukkan oleh kata yang lainnya (berbeda-beda). Seperti bahasa Arab, Ibrani, dan Sumeria.
Namun demikian, bahasa Arab memiliki keistimewaan karena keberadaannya sebagai bahasa yang memiliki isytiqâq dan i'rab secara bersamaan seperti: وضع-‏ يضع-‏ واضع-‏ وضع-‏ موضع-‏ وضيع-‏ وضاعة

Penciptaan Bahasa

Penyebab diciptakannya suatu bahasa adalah karena ingin mengungkapkan apa yang ada di dalam benak. Obyeknya adalah lafadz-lafadz yang tersusun dari berbagai huruf. Lafadz diciptakan untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam benak, bukan untuk mengungkapkan suatu hakikat. Jadi, lafadz berbeda dengan ide atau pemikiran. Karena pemikiran adalah penetapan (hukum) terhadap suatu fakta yang berbeda dengan lafadz. Lafadz tidak diciptakan untuk menunjukkan hakikat suatu fakta, juga tidak untuk menetapkan (hukum) terhadap fakta. Lafadz diciptakan untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam benak, baik sesuai dengan fakta atau tidak. Penyebutan suatu lafadz berkisar diseputar makna yang ada dalam benak, bukan yang ada diluarnya. Bahasa merupakan istilah, sehingga diciptakan oleh manusia, bukan oleh Allah. Firman Allah:


وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلْأَسْمَآءَ كُلَّهَا

Dan Allah mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama. (TQS. al-Baqarah [2]: 31)

Maksudnya adalah makna-maknanya, bukan bahasanya. Artinya, Allah mengajarkan kepada Adam hakikat benda-benda dan khasiat-khasiatnya (kegunaannya). Dengan kata lain, Allah telah memberikan kepada Adam informasi-informasi yang bisa digunakan untuk memberikan keputusan (hukum) terhadap benda-benda yang diinderanya. Firman Allah:


وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ

Diantara tanda kekuasaan Allah adalah berbeda-bedanya bahasa kalian. (TQS. ar-Rum [30]: 22)

Makna ayat tersebut adalah diantara dalil kekuasaan Allah adalah perbedaan kalian (manusia) di dalam bahasa. Ayat itu tidak berarti bahwa Allah telah menciptakan bahasa yang berbeda-beda, karena jika bahasa bersifat tauqifiyyah (datangnya dari Allah) maka yang didahulukan adalah pengangkatan para Rasul atas pengetahuan terhadap bahasa. Kenyataannya, diutusnya para Rasul itu terjadi setelah para Rasul mempunyai bahasa sendiri-sendiri. Allah berfirman:


وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ

Tidaklah Kami mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya. (TQS. Ibrahim [14] :4)

Al-Qur'an adalah Berbahasa Arab Al-Qur'an seluruhnya merupakan bahasa Arab. Tidak ada satu kata pun di dalam al-Qur'an yang bukan bahasa Arab. Hal ini ditetapkan berdasarkan nash al-Qur?an yang qath'i.

إِنَّا جَعَلْنَٰهُ قُرْءَٰنًا عَرَبِيًّا

Sesungguhnya Kami menjadikan al-Quran dalam bahasa Arab. (TQS. az-Zukhruf [43]: 3)

بِلِسَانٍ عَرَبِىٍّ مُّبِينٍ

Dengan bahasa Arab yang jelas. (TQS. asy-Syu’ara [26]: 195)

وَلَوْ جَعَلْنَٰهُ قُرْءَانًا أَعْجَمِيًّا لَّقَالُوا۟ لَوْلَا فُصِّلَتْ ءَايَٰتُهُ

Dan jikalau Kami jadikan suatu bacaan dalam bahasa Arab, tentulah mereka al-Quran itu selain bahasa mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya? (TQS. Fushshilat [41]: 44)

قُرْءَانًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِى عِوَجٍ لَّعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

(Ialah) al-Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (didalamnya) supaya mereka bertakwa. (TQS. az-Zumar [39]: 28)

Adapun cakupan al-Qur’an terhadap kata-kata yang diambil dari bahasa lain, maka kata-kata tersebut telah di Arabisasi (mu'arrabah) sehingga menjadi bahasa Arab. Seperti kata لأمشكاة،‏ القسطاس،‏ الإستبرق،‏ سجيل. Orang Arab sebelum turunnya al-Qur'an biasa menggunakan kata-kata dari bahasa lain sebagai nama yang belum ada di kalangan mereka; kemudian mereka merubahnya sesuai dengan aturan bahasa mereka dan huruf-hurufnya, sehingga menjadi bahasa Arab seperti yang diciptakan oleh mereka sendiri, tidak ada perbedaan. Para penyair jahiliyah sebelum turunnya al-Qur'an biasa menggunakan lafadz-lafadz mu'arrab (lafadz yang diambil dari bahasa lain kemudian diubah sesuai dengan aturan bahasa Arab).


Proses Arabisasi (ta'rib) menghasilkan suatu kata menjadi bahasa Arab. Hal ini lumrah terjadi dan setiap orang Arab pada setiap masa boleh melakukannya, asalkan harus menjadi mujtahid dalam bahasa Arab. Lagi pula prosesnya harus sejalan dengan cara-cara yang telah ditempuh oleh bangsa Arab terdahulu, yakni dengan menempatkan suatu kata sesuai dengan aturan-aturan bahasa Arab maupun huruf-hurufnya. Harus diperhatikan juga bahwa proses Arabisasi hanya berlaku bagi nama benda-benda saja. Jadi, tidak bersifat umum bagi seluruh kata asing. Arabisasi dibolehkan karena bangsa Arab yang merupakan ahli bahasa telah mempraktekannya. Sebagai contoh, kata telephone yang merupakan bahasa Inggris, terdapat wazannya di dalam bahasa Arab, yakni fa'lulun, seperti arbun. Karena itu kata telephone ini (berubah) menjadi talfun. Di samping itu hurufnya pun berbahasa Arab, yaitu ta, lam, fa, wawu, dan nun. Contoh lain, kata jadûn hurufnya adalah jim, dal, wawu, nun, yang merupakan bahasa Arab. Tetapi jim bahasa Mesir tidak terdapat dalam bahasa Arab, sehingga dirubah menjadi jim, maka kata itu menjadi jadûnun, wazannya adalah fa'ûlun seperti jahûlun. Dengan begitu kata jadûn mengalami proses Arabisasi sehingga menjadi bahasa Arab.

Perlu diketahui bahwa proses Arabisasi harus dibatasi hanya pada nama benda-benda yang terindera saja. Sedangkan lafadz-lafadz yang menunjukkan pada makna-makna, maka bangsa Arab telah membuat al-isytiqâq (yaitu pengambilan suatu kata disebut kata musytaq yang berasal dari kata asalnya – disebut musytaq minhu- seperti mengambil kata ناصر -isim fa'il- dan منصور –isim maf'ul- dari kata نصر-mashdar-. Berkaitan dengan pengkhayalan (takhayyulât) dan penyerupaan (tasybihât), orang Arab telah membuat apa yang dinamakan dengan majâz (yaitu menggunakan suatu kata yang bukan ditujukan untuk arti asalnya, karena adanya kesamaan antara kedua arti asal dan arti baru. Misalnya, menggunakan kata الصراط المستقيم yang diartikan sebagai Islam). Dengan demikian proses Arabisasi hanya ada pada nama-nama benda yang terindera saja. Termasuk juga nama-nama manusia, nama hewan, nama tumbuhan dan yang lainnya (isim 'alam). Contohnya, kata Ibrahim, karena bangsa Arab yang merupakan ahli bahasa hanya menggunakan ta'rib pada perkara-perkara itu saja. Setiap orang Arab pada setiap masa boleh melakukan ta'rib, dengan syarat harus menjadi mujtahid dalam bidang bahasa, disertai dengan syarat-syarat yang telah dijelaskan. Adapun penciptaan bahasa, hal itu bersifat khusus bagi bangsa Arab yang masih murni bahasanya. Ini terus berlangsung hingga abad kedua Hijriah. Malahan bagi sebagian kabilah Arab kebiasaan tersebut terus berlangsung hingga awal abad keempat Hijriyah.


Kabilah-kabilah Arab yang menjadi sumber pengambilan bahasa Arab adalah, Quraisy, Tamim, Qais, Asad, Hudzail, sebagian kabilah Kinanah dan kabilah Tha'iy. Terhadap kabilah-kabilah tersebut kita menyerahkan kata-kata asing (gharîb), i'rab (perubahan akhir kata), dan tashrif (perubahan bentuk kata). Kita tidak boleh mengambil selain dari kabilah-kabilah tersebut, terutama kabilah Arab yang tinggal bertetangga dengan bangsa-bangsa asing (bukan Arab). Seperti: kabilah Lakhm dan Judzam yang bertetangga dengan penduduk Mesir dan Qibti; kabilah Bakr yang bertetangga dengan bangsa Persia; kabilah Qudla'ah, Ghassan dan Iyad yang bertetangga dengan penduduk Syam; penduduk Yaman yang telah berbaur dengan bangsa India dan Ethiopia. Begitu juga kabilah Abdi Qaisy dan Azdi Amman yang berada di Bahrain dan telah berbaur dengan bangsa India dan Persia. Oleh karena itu di dalam urusan bahasa Arab kita hanya merujuk kepada tujuh kabilah tadi. Yang paling fasih adalah kabilah Quraisy karena mereka adalah tetangga bait al-Haram dan penguasanya. Setiap utusan bangsa Arab, baik dari Hijaz atau yang lainnya senantiasa berdatangan ke kota Makkah untuk menjalankan (ibadah) haji dan bertahkim kepada kabilah Quraisy dalam berbagai urusan. Disekitar Makkah terdapat bermacam-macam pasar

yang digunakan sebagai ajang perlombaan diantara para penyair dan budayawan. Masing-masing di antara mereka akan memilih orang yang paling fasih perkataannya, yang mampu menyusun bait-bait syair dengan kata-kata yang bisa dipahami oleh semua orang, yang suci dan bersih serta jauh dari perkara-perkara yang tidak dipandang baik oleh semua orang. Kabilah Quraisy dengan kefasihan, keindahan dan kelemahlembutan bahasanya jika didatangi oleh berbagai delegasi dari bangsa Arab, mereka akan memilih bahasa yang paling baik dan paling bersih dari perkataaan dan bait-bait syair mereka. Kemudian yang terpilih dari bahasa-bahasa tadi dikumpulkan. Dan setelah diproses jadilah milik mereka sehingga menjadi bahasa Arab yang fasih.


Namun demikian mereka membiarkan bahasa-bahasa yang miskin (terbatas pengucapannya-pen). Contohnya apa yang disebut dengan (كالكشكشة), yang mereka tempatkan setelah kaf mukhatab dalam kondisi syin muannats, sehingga mereka akan mengatakan (بكش) dan (عليكش). Contoh lain, yang disebut dengan (العنعنة) yang tersebar luas penggunaannya pada kabilah Qais dan Tamim, yang menjadikan hamzah pada awal kalimat sebagai 'ain, sehingga mereka mengatakan (أنك) dengan (عنك); (اسلم) dengan (عسلم); (إذن) dengan (عذن). Ada pula yang disebut dengan (فحفحة) yang dijumpai pada kabilah Hudzail yang mengganti huruf ha dengan 'ain pada kata hatta, contohnya (ليسجننه). Ada juga yang disebut dengan (الوتم) yang dalam bahasa Yaman telah mengganti huruf sin dengan ta, contohnya (النات) yang dimaksudkan adalah (الناس). Juga ada yang dikenal dengan (الشنشنة) yang menggantikan huruf kaf dengan syin, contohnya (اللهم لبيش) yang dimaksudkannya adalah (اللهم لبيك). Ada juga (الاستنطإ) yang tersebar di dalam bahasa kabilah Sa'ad bin Bakr, Hudzail, Azdi dan Anshar, yang menjadikan 'ain menjadi nun jika bertemu dengan huruf tha, contohnya (أنطى) yang dimaksud adalah (أعطى). Dengan demikian, Quraisy adalah kabilah yang bahasanya paling fasih dari tujuh kabilah yang disebutkan tadi

. Kemudian bahasa Arab dan tutur katanya berpindah dari mereka yang menggunakan dan menetapkan bahasa serta tutur kata Arab sehingga menjadi sebuah ilmu. Mereka itu adalah penduduk Basrah dan Kufah.


Tata cara Orang Arab Mengungkapkan Makna-makna

Orang-orang Arab menggunakan beberapa cara berikut untuk mengungkapkan makna-makna yang akan dikeluarkan:
  1. Hakikat (makna sebenarnya) yang mencakup tiga bagian, yaitu hakikat lughawiyyah, syar'iyyah dan 'urfiyyah.
  2. Majaz (makna kiasan), untuk mengungkapkan pengkhayalan dan penyerupaan.
  3. Ta'rib, untuk mengungkapkan nama-nama benda dan isim 'alam sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
  4. Isytiqâq, untuk mengungkapkan makna-makna. Keempat perkara ini insya Allah akan dibahas dengan perincian secukupnya.

HAKIKAT


Hakikat yaitu lafadz-lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan makna-makna yang terdapat di dalam benak. Apabila lafadz yang diciptakan itu digunakan untuk makna yang telah dibuat oleh ahli bahasa, yaitu bangsa Arab aqhah, maka disebut dengan... InsyaAllah bersambung di lain kesempatan


FootNote:
1.
^ ABU DAUD: 2037.
2.
^ Abu Daud: 3/278 no. 3016 Ibnu Majah: 2/862; no. 2463; Ahmad: 5/364. no. 22004
3.
^ Bukhari: 2197; Ahmad: 4/71; Abu Daud: 2679.
4.
^ Bukhari: 6625; Muslim: 3241.
5.
^ NASA'I NO - 3893 AD DARIMI NO - 2485 ABU DAUD NO - 3096 Abu Ya'la: 6/85; Daruquthni:4/153.
6.
^ MUSLIM: 4053, 4054, 5814, 5816; Muslim: 4053.
7.
^ IBNU MAJAH: 2892; BUKHARI: 2663, 2664.
8.
^ Abu Daud: 2037; Ahmad: 132, 350; ad-Darimi: 1661; Baihaqi: 4/218. Ahmad: 1/12; Ibnu Khuzaimah: 3/240; Mustadrak: 2/198; al-Baihaqi: 4/218.
9.
^ BUKHARI: 2014, 2016, 2017; MUSLIM: 2791.
10.
^ Bukhari: 4819; Muslim: 1408.
11.
^ Peralihan tersebut merupakan peralihan dari dalil tanpa disertai dalil. Karena nash ayat di atas umum berlaku bagi seluruh ibu
12.
^ Ini jiga termasuk peralihan dari suatu dalil tanpa disertai dalil yan mengharuskannya. Karena Rasulullah saw bersabda : "Tidak ada tanggungan atas orang yang diberikan amanah."
13.
^ BUKHARI: 2331; Tirmidzi: 1262 dari Ibnu Abbas: hadits ini hasan shahih. Pengamalan hadits ini menurut ahli ilmu dari para sahabat Rasul dan yang lainnya menunjukan bukti adalah kewajiban bagi pendakwa dan sumpah keharusan bagi terdakwa. Hadits ini dituturkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Majah sebagai hadits mu'allaq.
14.
^ Tirmidz;: 470, dia berkata hadits tersebut adalah hadits hasan shahih; Abu Daud: 887; an-Nasa'i: 1384; Imam Bukhari meriwayatkannya sebagai hadits mu'allaq.
15.
^ Diantara pasar-pasar yang ada di sekitar Makkah itu adalah pasar Ukaz, yang berlangsung dari tanggal kesatu bulan Dzulqa'idah sampai tanggal 20. Dari sana pindah ke Majnah dekat kota Makkah selama 10 hari di akhir bulan Dzulqa’idah, dan pindah lagi ke Dzilmajaz dekat Arafah pada awal bulan Zulhijjah. Dari sana banyak orang-orang yang berangkat ke tempat paling agung di Arafah. Lalu dari sana menuju pasar Khaibar setelah selesainya masa haji.
16.
^ Orang Quraisy yang paling fasih adalah Rasulullah , yang bertutur kata sedemikian rupa indahnya sehingga tidak pernah dijumpai sebelumnya di kalangan orang-orang Arab.

. . . . . . . . .



. . . . . . . . .


Back to Top

Tidak ada komentar:

Posting Komentar