Video

Jumat, 17 April 2015

Ushul Fiqih ala Pesantren Aswaja (bag.4)


AS-SUNNAH


Sunnah menurut bahasa adalah jalan, metodedan arah. Menurut ulama ahli hadits, Sunnah adalah perkataan, perbuatan, taqrir, sifat akhlak dan sifat anggota badan yang disandarkan kepada Rasulullah .

Sedangkan menurut ulama ushul fiqih, Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir terhadap suatu perkataan atau perbuatan yang datang dari Rasulullah . Sunnah merupakan hujjah. Dalil atas kehujjahannya adalah firman Allah:

(٤)وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ (٣) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (TQS. an-Najm [53]: 3-4)

إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ

Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (TQS. al-An'aam [6]: 50)

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (TQS. an-Nisa [4]: 59)

Sunnah dilihat dari sisi istidlal terbagi dua:


a) Sunnah mutawatirah, yaitu Sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok dari tabi'it tabi'in, yang berasal dari sekelompok tabi'in, dari sekelompok sahabat, dari Nabi . Sekelompok (orang) tersebut disyaratkan harus terdiri dari bilangan yang cukup, yang menjamin bahwa mereka tidak akan sepakat atas suatu kebohongan dalam seluruh tingkatan riwayat. Contohnya adalah hadits:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Barang siapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja hendaklah dia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah, Zubair dan yang lainnya)

Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah dan Abi Sa'id al-Khudri. Jalan (sanad) hadits tersebut mutawatir dengan lafadz yang sama. Inilah yang dinamakan dengan mutawatir lafdzi, dan termasuk ke dalam sunnah mutawatirah. Begitu juga hadits atau bagian hadits yang para perawinya mencapai batasan mutawatir, dan mereka sepakat atas maknanya bukan atas lafadznya. Ini yang disebut dengan mutawatir maknawi. Contohnya adalah hadits yang menyatakan bahwa sunnah shalat subuh itu dua raka'at. Riwayat hadits tersebut mutawatir dari berbagai jalan (sanad) dengan makna yang sama, meskipun berbeda-beda lafadznya. Hadits mutawatir layak dijadikan sebagai dalil dalam perkara akidah maupun hukum syara', karena (sumber) ketetapannya berasal dari Rasulullah secara pasti, baik berupa perkataan ataupun perbuatan.


b) Khabar ahad, yaitu hadits dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh orang perorang atau beberapa orang yang terpisah-pisah dan tidak sampai kepada derajat mutawatir dalam setiap tingkatan riwayat manapun –baik dari tabi'it tabi'in hingga sahabat- dari Rasulullah . Sumber ketetapan hadits ini bersifat zhanni. Hadits ahad layak dijadikan hujjah dalam seluruh hukum syara' selama haditsnya shahih atau hasan. Wajib mengamalkan hadits ahad (yang shahih dan hasan), baik dalam hukum-hukum ibadah, mua'malah ataupun uqubat. Beristidlal (berdalil) dengan hadit ahad dalam seluruh hukum syara merupakan perkara yang hak.
Dalilnya adalah bahwa syara telah melegalisasi persaksian dalam menetapkan suatu dakwaan. Padahal persaksian merupakan khabar ahad. Al-Quran telah menetapkan bahwa seorang hakim boleh memutuskan dengan kesaksian dua orang saksi laki-laki, atau seorang lelaki dan dua orang wanita dalam masalah harta. Dalam perkara zina, syara telah menetapkan kesaksian empat orang laki-laki. Rasulullah telah memutuskan hukum dengan persaksian seorang saksi dan sumpah dari orang yang mempunyai hak
[1]
.
Rasulullah juga menerima kesaksian seorang wanita dalam masalah penyusuan.
[2]
Seluruh kesaksian itu merupakan khabar ahad. Dan telah dipastikan berasal dari para sahabat sehingga menjadi perkara yang masyhur di antara mereka dan (layak) diambil dari mereka bahwa mereka senantiasa mengambil khabar ahad dalam seluruh hukum syara selama rawinya terpercaya. Mengikuti Rasul dalam Perkara yang Berasal dari Beliau. As-Sunnah merupakan hujjah yang harus diikuti dalam bentuk yang sesuai dengan ketentuan yang dibawanya, baik Sunnah tersebut berbentuk tuntutan secara pasti ataupun tidak pasti, atau memberikan pilihan (untuk mengerjakan atau meninggalkan). Termasuk juga apakah Sunnah berbentuk tuntutan untuk meninggalkan sesuatu secara pasti ataupun tidak pasti. Hal itu telah kami jelaskan pada bab pertama.

Al-ittiba'


Artinya melaksanakan suatu perbuatan seperti perbuatan Rasulullah dari sisi aktivitasnya, (yaitu) mengikuti beliau . Begitu pula mengikutinya (sesuai) ketentuan perbuatan tersebut, baik bersifat pasti ataupun tidak pasti. Mengikuti Rasulullah dalam arti seperti itu hukumnya wajib.


قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu? (TQS. Ali Imran [3]: 31)

فَـَٔامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِ ٱلنَّبِىِّ ٱلْأُمِّىِّ ٱلَّذِى يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَكَلِمَٰتِهِۦ وَٱتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. (TQS. al-A’raaf [7]: 158)

Ittiba' itu wajib sesuai dengan ketentuannya. Apabila Rasulullah memerintahkan suatu kewajiban maka dalam hal ini wajib untuk dilaksanakan. Apabila yang diperintahkan Rasul itu hukumnya sunnat maka melaksanakannya tidak wajib. Begitu juga dengan hukum-hukum syara lainnya. Yang demikian itu dihubungkan kepada seruan Rasul kepada kita

. Mengikuti Rasulullah jika dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan beliau terdapat beberapa rincian:


1.Perbuatan-perbuatan yang merupakan karakteristik beliau sebagai manusia biasa (af'âl jibiliyyah), seperti berdiri, duduk, makan, minum dan yang sejenisnya. Perbuatan-perbuatan semacam ini menunjukkan hukum ibahah bagi Rasul maupun umatnya.
2.Perbuatan-perbuatan yang merupakan kekhususan bagi beliau saja, yang tidak (boleh) dilakukan oleh yang lainnya. Misalnya kekhususan Rasulullah yang dibolehkan berpuasa wishal (berpuasa terus menerus)
[4]
, dibolehkan menikahi lebih dari empat orang wanita, dan perkara (khusus) lainnya. Perbuatan-perbuatan seperti itu khusus berlaku bagi Rasulullah saja. Umatnya tidak diseru untuk melakukannya.
3.Perbuatan-perbuatan yang merupakan penjelasan bagi kita. Perkara seperti ini menjadi dalil tanpa diperdebatkan lagi. Penjelasan terebut bisa dengan perkataan yang jelas, seperti sabda Rasulullah :

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.
[5]

يَرْمِي عَلَى رَاحِلَتِهِ يَوْمَ النَّحْرِ

Ambilah dariku tata cara (manasik) haji kalian.
[6]

Bisa juga dengan adanya indikasi suatu keadaan (qarinah al-ahwâl). Misalnya, jika terdapat lafadz yang berbentuk mujmal atau lafazd umum (tetapi) yang dimaksud adalah khusus; dan lafadz yang berbentuk muthlaq tetapi yang dimaksud adalah terikat (taqyid). Hal itu tidak dijelaskan sebelum dibutuhkan. Tatkala dibutuhkan, Rasulullah mengerjakan suatu perbuatan, yang layak dijadikan penjelasan.

Contohnya, memotong tangan kanan pencuri
[7]
sebagai penjelasan dari firman Allah:

فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا

Potonglah tangan keduanya. (TQS. al-Maidah [5]: 38)

يَكْفِيكَ الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ

Begitu juga tayamumnya Rasul dengan mengusap muka dan kedua pergelangan tangan
[8]
sebagai penjelasan dari firman Allah:

فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ

Sapulah mukamu dan tanganmu. (TQS. an-Nisa [4]: 43)

Suatu penjelasan (bayan) harus mengikuti yang dijelaskannya (mubayyan), baik wajib, sunnat ataupun ibahah.

4. Perbuatan-perbuatan lain selain dari yang tiga diatas. Perbuatan jenis ini dituntut oleh adanya nash yang menuntut suatu perbuatan. Maka diterapkan semata-mata sesuai tuntutan dan memerlukan qarinah (indikasi) yang akan menentukan jenis tuntutan tersebut, apakah bersifat pasti atau tidak, ataukah berupa pilihan. Mengenai qarinah telah diceritakan pada pembahasan tentang macam-macam qarinah.
Adapun tentang penunjukkan Sunnah dan pentarjihan atas dalil-dalilnya akan kami bahas -insya Allah- pada topik khusus. Meskipun demikian, berikut ini kami singgung sebagian perkara yang mesti diketahui untuk bisa memahami as-Sunnah, (yaitu) berupa istilah-istilah maupun terminologi yang ditunjukkan oleh as-Sunnah. Apabila ingin mengetahui lebih mendalam lagi silakan mempelajari kitab-kitab musthalah al-hadits.
Hadits, khabar dan Sunnah mempunyai arti yang sama. Definisinya telah kami sampaikan.
Atsar adalah hadits yang berhenti sampai pada sahabat saja (hadits mauquf 'ala shahabah).
Matan adalah perkataan yang menjadi akhir dari sanad, yaitu nash yang terdapat pada hadits. Sanad adalah jalan yang bisa menyampaikan kepada matan, (yaitu) para perawi (ar-rijal) yang menyampaikan kepada matan.
[9]
Muhaddits adalah orang yang meriwayatkan hadits serta memperhatikannya dari sisi riwayat dan dirayah.
Al-Hâfizh adalah orang yang memiliki sifat-sifat muhaddits dan mempunyai banyak hafalan dengan banyak jalannya. Disyaratkan orangnya harus menguasai 100.000 hadits berikut matan dan sanadnya walaupun dengan jalan yang berbeda-beda. Apabila menguasai lebih dari 100.000 hadits, sampai hadits yang dikuasainya mencapai 300.000 hadits beserta sanadnya, maka dia disebut hafizh al-hujjah.
Al-Hâkim adalah orang yang menguasai seluruh hadits yang diriwayatkan, baik matan, sanad, jarh, ta'dil maupun tarikhnya. Amirul mukminin fi al-hadits adalah gelar yang diberikan kepada orang yang populer dimasanya dengan hafalan dan dirayah hadits, sehingga menjadi orang yang paling tahu tentang hadits di masanya dan menjadi imam hadits. Gelar ini telah diberikan kepada Abdurrahman bin Abdullah bin Dzakwan al-Madani (Abu az- Zanâd-131 H). Begitu juga kepada Imam Bukhari dan yang lainnya.
Ilmu hadits ditinjau dari sisi riwayat mencakup seluruh penukilan terhadap perkataan, perbuatan Nabi , taqrir dan sifat-sifatnya, serta periwayatannya, pendefinisiannya dan penyaringan lafadz-lafadznya. Ilmu hadits ditinjau dari sisi dirayah mencakup hakikat riwayat, jenis dan hukum-hukumnya, serta para rawi, syarat-syaratnya, jenis-jenis yang diriwayatkan dan yang berkaitan dengannya, mencakup juga pengetahuan terhadap makna yang dikandung hadits dilihat dari sisi pertentangannya dengan nash yang qath'i.

Jenis-Jenis Hadits dilihat dari Sanadnya

1. Hadits mutawatir, telah dijelaskan definisinya pada pembahasan sebelumnya.
2. Hadits masyhur, yaitu hadits yang dalam periwayatannya berserikat lebih dari tiga orang dari setiap rawi pada seluruh tingkatannya, tetapi tidak mencapai kepada batas mutawattir. Hadits ini disebut juga dengan hadits mustafidl. Contohnya adalah hadits:

أَنْ لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَكْرَهَةِ حَدٌّ

Diangkat dari umatku kesalahan, lupa dan apa-apa yang dipaksa atas mereka.
[10]
Hadits ini masyhur menurut para ahli ushul. Hadits masyhur diartikan juga dengan hadits yang diriwayatkan dengan jalan ahad, dari Nabi , kemudian menjadi masyhur pada masa tabi'in dan tabi'it tabi'in, yakni menjadi mutawatir pada masa tabi'it tabiin. Contoh lain adalah hadits:

أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

Perkara yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.
[11]

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

(Hadits ini masyhur menurut ahli fiqih.) Seorang muslim adalah orang yang (apabila) kaum Muslim merasa selamat dari lisan dan tangannya. Orang yang hijrah adalah orang yang menjauhi apa yang dilarang oleh Allah.
[12]

Hadits ini shahih masyhur menurut ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ushul.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya.
[13]

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ

Apabila salah seorang diantara kalian hendak pergi shalat jum'at, maka hendaklah mandi.
[14]

إِذَا قَامَ فِي الصَّلَاةِ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يَكُونَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ حِينَ يُكَبِّرُ لِلرُّكُوعِ وَيَفْعَلُ ذَلِكَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ

Nabi memerintahnya untuk mengangkat kedua tangan di dalam shalat, ketika akan ruku dan mengangkat kepala.
[15]

Semua hadits-hadits ini merupakan hadits masyhur yang ditakhrij dari hadits shahih.
3. Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang atau tiga orang dalam seluruh tingkatan sanadnya. Rawinya menyendiri dengan periwayatan dari rawi-rawi hadits yang lain. Apabila hadits tersebut diriwayatkan pada tingkatan-tingkatan yang lain oleh kelompok rawi yang lebih banyak maka menjadi hadits 'aziz masyhur. Contohnya adalah hadits:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga dia lebih mencintai aku dari pada orang tua dan anaknya.
[16]

4. Hadits ahad. Definisinya telah dijelaskan. Hadits ini mencakup hadits masyhur dan hadits 'aziz.
5. Hadits qudsi yaitu setiap hadits yang didalamnya Rasulullah menyandarkan suatu perkataan kepada Allah.

Jenis-jenis Hadits dari sisi Bersambungnya Sanad

  1. Muttasil adalah hadits yang sanadnya bersambung tanpa terputus-putus dari awal sampai akhir.
  2. Munqathi' adalah hadits yang gugur salah seorang rawi dari para perawinya pada satu tempat atau lebih, atau diceritakan oleh rawi yang samar identitasnya (mubham).
  3. Mu'dhal adalah hadits yang dari sanadnya gugur dua orang rawi atau lebih secara berturut-turut.
  4. Mu'allaq yaitu hadits yang dari awal sanadnya dibuang satu orang rawi atau lebih secara berturut-turut.

Hadits mu'allaq ini banyak terdapat pada shahih Bukhari. Hadits mu'dhal lebih luas cakupannya dibandingkan hadits mu'allaq karena dibuangnya rawi pada hadits mu'allaq adalah di bagian awal sanad, sedangkan pada hadits mu'dhal adalah dari bagian awal atau dari tengah-tengahnya.

Jenis-jenis Hadits dari sisi Akhir Sanad

  1. Marfu' yaitu hadits yang dihubungkan kepada Rasulullah , baik itu muttasil (bersambung) ataupun munqathi' (terputus).
  2. Mauquf yaitu hadits yang disandarkan kepada seorang sahabat, baik muttasil ataupun munqathi'
    [17]
  3. Maqthu' adalah hadits yang disandarkan kepada seorang tabi'in, baik muttasil ataupun munqathi.
    [18]

Pembagian Hadits dari sisi Keshahihannya

  1. Hadits shahih yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan orang yang adil, yang kuat hafalannya (dlabith) yang berasal dari orang yang adil dan kuat hafalannya, sampai akhir sanad, tidak syadz dan muallal. Yang dimaksud dengan syadz adalah (haditsnya) bertentangan dengan yang (lebih) tsiqah yaitu orang yang lebih kuat darinya. Dengan kata lain rawinya menyendiri dalam ketsiqahannya dan bertentangan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh orang yang lebih kuat darinya. Artinya (syadz) adalah (rawinya) menyendiri dan bertentangan dengan yang lebih kuat. Yang dimaksud dengan mu'allal adalah hadits yang di dalamnya terdapat cacat yang bisa merusak keshahihannya, baik pada sanad, matan atau kedua-duanya.
  2. Hadits hasan adalah hadits orang yang mengeluarkannya (mukharraj) dikenal, dan para perawinya populer (masyhur). Kebanyakan hadits termasuk hasan, yaitu yang diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh kebanyakan ahli fiqih. Asalkan dalam sanadnya tidak terdapat orang yang dicurigai suka berbohong dan tidak boleh ada syadz. Inilah definisi yang dikemukakan oleh ahli ushul. Dalam musthalah hadits ahli hadits mendefinisikan hadits hasan dengan: hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi lemah hafalannya, tidak syadz dan tidak cacat.
  3. Hadits dla'if yaitu hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hasan. Hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah.

Hukum Mengamalkan Hadits Mursal

Hadits mursal adalah hadits yang putus sanadnya dari sisi sahabat, (yaitu) hadits yang sanadnya bersambung dari awal sampai ke tabi'in, kemudian (setelah itu) tabi'in tersebut langsung menghubungkannya kepada Rasul tanpa menceritakan seorang sahabat. Hadits ini telah diperselisihkan dalam penggunaannya. Diantara para ulama ada yang membolehkan berargumen dengannya, dan ada pula yang menolak. Pendapat yang shahih adalah bahwa hadits mursal diperlakukan sebagaimana halnya hadits marfu'. Sehingga harus dipelajari lebih lanjut seperti mempelajari hadits marfu' agar dapat ditetapkan shahih, hasan, dan dlaifnya. Gugurnya (terputusnya) seorang sahabat dalam periwayatan antara tabi'in dan Rasul tidak mempengaruhi keshahihan hadits, karena para sahabat seluruhnya adalah adil.


Hadits-hadits mursal yang masyhur:

  1. Dari penduduk Madinah: hadits dari Said bin Musayyab.
  2. Dari penduduk Makkah: hadits dari Atha bin Abi Rabah.
  3. Dari penduduk Mesir: hadits dari Said bin Abi Hilal.
  4. Dari penduduk Syam: hadits dari Makhul ad-Dimasyqi.
  5. Dari penduduk Basrah: hadits dari Hasan bin Abi al-Hasan.
  6. Dari penduduk Kufah: hadits dari Ibrahim bin Yazid an-Nakha'i.


Yang paling shahih dari hadits-hadits tersebut adalah mursalnya Said bin Musayyab. Beliau adalah salah seorang putera sahabat. Bapaknya adalah al-Musayyab bin Hazn, termasuk sahabat yang turut membaiat Rasul pada peristiwa ba?iat Ridlwan. Said telah bertemu dengan Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair dan sahabat yang lainnya. Disamping itu beliau adalah seorang faqih di antara penduduk Hijaz, dan termasuk ahli fiqih yang tujuh dari penduduk Madinah.


IJMA'


Terdapat perselisihan tentang siapa yang Ijma'nya bisa menjadi dalil syara'. Ada yang mengatakan, Ijma yang menjadi dalil adalah Ijma' umat Muhammad . Yang lain mengatakan Ijma' ulama terhadap salah satu hukum syara'. Pendapat lain mengatakan Ijma penduduk Madinah. Dan ada pula yang mengatakan Ijma' sahabat. Masih banyak pendapat-pendapat yang lainnya. Kami akan berusaha menjelaskan Ijma mana yang diakui sebagai dalil syara'. Ijma' secara bahasa berarti bertekad bulat (ber'azam) untuk melaksanakan sesuatu, juga berarti bersepakat atas sesuatu. Termasuk kedalam pengertian yang pertama, jika dikatakan: si fulan berijma terhadap sesuatu, apabila dia bertekad bulat ingin melaksanakannya. Makna yang pertama telah ditunjukkan oleh firman Allah:


فَأَجْمِعُوٓا۟ أَمْرَكُمْ

Karena itu bulatkanlah keputusanmu. (TQS. Yunus [10]: 71)

Sabda Rasulullah :


Tidak ada shaum bagi orang yang tidak bertekad bulat untuk shaum di malam hari(nya).
[20]

Berdasarkan pengertian pertama ini maka layak jika kita menyebutkan kata ijma dengan arti tekad bulat seseorang. Yang termasuk pengertian kedua (adalah) jika dikatakan suatu kaum melakukan ijma terhadap sesuatu (perkara) jika mereka sepakat terhadapnya. Berdasarkan pengertian yang kedua ini, maka setiap kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara, baik agama ataupun (urusan) dunia bisa dinamakan dengan ijma.


Ijma' menurut istilah ahli ushul fiqih adalah kesepakatan atas hukum suatu peristiwa (dan) bahwa hukum tersebut merupakan hukum syara. Dari definisi ini jelas bahwa yang dimaksud dengan Ijma' (menurut istilah ushul) adalah Ijma' yang bisa menjadi dalil syara. Karena dalil-dalil syara adalah yang terdapat di dalam al-Quran dan as-Sunnah yaitu dalil-dalil yang berdasarkan wahyu, bukan berdasarkan yang lainnya, maka hal ini memberikan arti bahwa Ijma yang dipandang sebagai dalil, adalah Ijma yang dijelaskan dengan dalil, yang tidak mereka riwayatkan, karena orang-orang yang melakukan kesepakatan telah mengetahui dalilnya meskipun tidak mengucapkannya. Ini berarti bahwa dalil yang tidak mereka riwayatkan -karena mereka mengetahuinya- itu termasuk Sunnah Rasul, karena al-Quran seluruhnya dibacakan dan dihafalkan.


Kelompok manusia yang bisa dinyatakan bahwa kesepakatan mereka terungkapkan berdasarkan dalil, adalah orang-orang yang senantiasa menyertai Rasulullah dan melihat Rasul, yaitu para sahabat. Selain para sahabat tidak mungkin Ijma mereka terungkapkan berdasarkan dalil. Oleh karena itu Ijma sahabatlah yang bisa dinyatakan (dan) terungkap dari dalil. Hal ini dilihat dari satu aspek. Adapun aspek yang lain, maka telah ditetapkan bahwa Ijma mereka adalah benar tidak mungkin salah, (yaitu) Ijma para sahabat. Allah telah memuji mereka tanpa disertai takhsis ataupun taqyid. Allah Swt berfirman:


وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla terhadap mereka dan merekapun ridla kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (TQS. at-Taubah [9]: 100)

Berdasarkan penjelasan di atas maka Ijma sahabat merupakan hujjah, karena terungkap dari dalil. Allah telah memuji kesepakatan mereka berdasarkan nash al-Quran tanpa adanya taqyid. Apabila dihubungkan kepada tabi'in, maka sesungguhnya Allah telah membatasi pujian terhadap mereka. Allah berfirman:"dengan baik," ini berarti Ijma sahabatlah yang benar dan tidak mungkin salah. Dengan kata lain Ijma sahabat telah terungkap dari dalil yang mereka dengar atau lihat dari Rasulullah , akan tetapi mereka tidak meriwayatkannya dari Rasulullah karena mereka secara keseluruhan mengetahuinya.

Dengan demikian, apabila disodorkan suatu perkara kepada para sahabat dan mereka tidak meriwayatkan (menyebutkan) nash al-Quran ataupun hadits yang menyangkut perkara tersebut, kemudian mereka berkata: "Hukum syara dalam perkara ini adalah begini…? Dan hukum yang mereka katakan adalah sama, maka hukum tersebut merupakan Ijma'. Maksudnya, hukum tersebut merupakan hukum syara yang mereka katakan dengan bersandar kepada hadits Rasulullah yang tidak diriwayatkan oleh mereka tetapi mereka semua mengetahuinya. Terdapat juga jenis Ijma lainnya yang disebut dengan Ijma sukuti, yaitu apabila sebagian sahabat menceritakan suatu hukum syara tentang suatu perkara, sementara sahabat lainnya berdiam diri sebagai tanda pengakuan terhadapnya. Yaitu pengakuan terhadap sahnya hukum yang dikatakan oleh kelompok pertama. Hanya saja jenis Ijma' ini agar bisa diakui sebagai dalil harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Peristiwa yang disepakati secara khusus mempunyai kepentingan (sangat urgen dan mendesak) yang tidak diharapkan para sahabat berdiam diri, kecuali jika syara telah mengakuinya. Artinya, perkara sejenis itu (pasti) diingkari apabila bertentangan dengan syara.
  2. Pembahasannya harus dengan cara yang memungkinkan para sahabat mengetahui dan mendengarnya, sehingga diamnya para sahabat atas peristiwa itu dikatakan sebagai pengakuan, bukan karena mereka tidak mendengarnya.
  3. Para sahabat berada di tengah-tengah pembahasan masalah tersebut dan menyampaikan hukum tentangnya, tidak meriwayatkan suatu ayat ataupun hadits dari Rasulullah yang menjadi sandaran mereka dalam memberikan hukum. Jika tidak, maka yang menjadi dalil ketika itu adalah ayat atau hadits, bukan Ijma'.
  4. Perkara yang disepakati oleh para sahabat bukan tergolong perkara yang menjadi wewenang Khalifah untuk mengaturnya berdasarkan pendapat dan ijtihadnya. Seperti yang menyangkut harta-harta milik negara; maka diamnya para sahabat mengenai pengaturan Khalifah atas harta tersebut tidak bisa dikatakan sebagai Ijma sukuti, melainkan merupakan bentuk ketaatan terhadap Khalifah, karena hal itu termasuk wewenang Khalifah berdasarkan pendapat dan ijtihadnya.


Contoh-contoh Ijma' sahabat:

  1. Hak menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris (yaitu) anak dan kakek. Kakek ketika tidak ada bapak bisa menggantikan posisinya dalam penerimaan warisan, sehingga bisa menerima warisan seperenam harta sebagaimana (yang diperoleh) bapak, meskipun terdapat anak dari orang yang meninggal. Hal ini ditetapkan dengan Ijma' sahabat.
  2. Saudara-saudara seibu-sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-a'yan wa al-a'lat)
    [21]
    terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini ditetapkan dengan Ijma sahabat.
  3. Wajib memilih Khalifah dalam tenggat waktu tiga hari sejak berakhirnya ke-Khilafahan sebelumnya. Para pemuka sahabat tidak menyibukan diri dengan proses pemakaman jenazah Rasul, tetapi mereka pergi menuju Saqifah bani Sa'idah hingga terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah dalam tenggat waktu tiga hari telah sempurna. Umar, ketika mencalonkan enam orang sahabat -yang telah memperoleh kabar gembira berupa surga- untuk menjadi Khalifah; beliau menunjuk orang yang akan membunuh mereka apabila berselisih dalam hal pembaiatan seorang Khalifah dalam tenggat waktu tiga hari. Hal ini tidak ditentang oleh seorang sahabatpun. Perkara seperti ini termasuk perkara yang akan diingkari apabila (perkara itu) bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu termasuk Ijma'.


BAB 08 QIYAS


Qiyas menurut bahasa berarti mengukur التقدير

Orang Arab biasa mengatakan:

قست الارض بالمتر

Artinya aku mengukur tanah dengan memakai satuan meter

قست الثوب بالذراع

Artinya aku mengukur baju dengan menggunakan siku/hasta.


Qiyas mengharuskan adanya dua perkara yang salah satunya disandarkan kepada yang lain secara sama. Qiyas adalah hubungan dan penyandaran antara dua perkara, sehingga sering dikatakan si A diqiyaskan terhadap si B, tidak diqiyaskan terhadap si C. Artinya, si A menyamai si B, tetapi tidak menyamai si C. Qiyas menurut istilah ushul fiqih diartikan dengan: Menyertakan suatu perkara terhadap yang lainnya dalam hukum syara karena terdapat kesamaan 'illat di antara keduanya, (yaitu) terdapat kesamaan dalam perkara yang mendorong adanya hukum syara bagi keduanya. Yang menyebabkan adanya Qiyas adalah adanya kesamaan antara al-maqîs (perkara yang diqiyaskan) dengan al-maqîs alaih (perkara yang diqiyasi) dalam satu perkara, (yaitu) adanya penyatu di antara keduanya. Perkara yang menyatukan tersebut adalah perkara yang mendorong disyari'atkannya hukum, yang kemudian dikenal dengan istilah 'illat.

Mengacu kepada definisi di atas, maka yang dimaksud dengan Qiyas disini adalah qiyas syar'i bukan qiyas aqli, yaitu Qiyas yang di dalamnya terdapat indikator ('amarah) dari syara' yang menunjukkan legalitasnya sebagai Qiyas. Dengan kata lain terdapat 'illat syar'i yang dijelaskan dengan nash. Sedangkan qiyas aqli (analogi akal adalah Qiyas) yang dipahami akal dari sekumpulan syari'at tanpa disertai nash tertentu yang menunjukkannya, atau Qiyas yang dipahami akal dari analogi suatu hukum kepada hukum lain semata-mata karena adanya kemiripan menurut akal, tanpa disertai dengan perkara yang mendorong disyari'atkannya hukum yang dijelaskan oleh syara. Hal ini tergolong perkara yang tidak dapat dibenarkan bagaimanapun keadaannya.

Sebagian ulama mengatakan tentang qiyas wakalah dengan (adanya) imbalan (ujrah) terhadap ijarah; mereka menggolongkan keduanya sebagai akad yang mengikat (aqdan lâziman), padahal wakalah termasuk salah satu akad yang tidak mengikat (aqdan jâizan). Hal itu dilakukan karena adanya kesamaan pada keduanya (yaitu) dalam pemberian kompensasi (imbalan). Sebenarnya, analogi tersebut bukan termasuk Qiyas satu hukum terhadap hukum lain karena adanya kesamaan di antara dua aktivitas, melainkan Qiyas suatu hukum terhadap hukum lain karena adanya kesamaan pada 'illat hukum. Yang menjadikan ijarah termasuk akad yang mengikat adalah karena adanya kompensasi (imbalan). Maka, jika pada akad wakalah terdapat imbalan, berarti telah dijumpai perkara yang mendorong untuk menjadikannya sebagai akad yang mengikat, sehingga akad wakalah dengan imbalan menjadi salah satu akad yang mengikat. Dengan kata lain, wakalah dengan imbalan tertentu telah menggolongkannya menjadi akad yang mengikat. Ini diqiyaskan terhadap ijarah. Terikatnya si musta'jir dengan keharusan untuk memberikan imbalan, dan terikatnya si ajir dengan keharusan untuk melaksanakan suatu amal, telah menunjukkan dengan jelas bahwa akad ijarah termasuk akad yang mengikat kedua belah pihak. Wakalah diqiyaskan kepada ijarah karena adanya keterikatan yang serupa.

Penerapan hukum syara' atas suatu fakta yang tergolong bagian-bagian dari suatu perkara, tidak bisa disebut dengan Qiyas. Misalnya penerapan hukum haramnya khamar terhadap seluruh (benda) yang memabukkan -meskipun jenisnya bemacam-macam-. Sebab, Qiyas adalah menularkan suatu hukum dari suatu obyek terhadap obyek lain karena adanya kesamaan pada 'illatnya. Sedangkan dalam peristiwa tadi tidak terdapat penularan hukum. Menghukumi bahwa segala sesuatu yang memabukkan adalah haram bukan termasuk menularkan hukum haramnya khamar terhadap (benda) yang lainnya, hanya karena (hukum haramnya khamar) mencakup tabi'at/karakter zat yang memabukkan. Akibatnya, jika suatu minuman dinyatakan bisa memabukkan maka saat itu juga kita terapkan (hukum) terhadap minuman tersebut, karena termasuk satu obyek hukum yang sama, bukan obyek hukum yang berbeda. Hal ini biasa disebut dengan tahqiqul manâth.

Yang dimaksud dengan manâth adalah perkara yang dicakup dan diikat oleh hukum (obyek hukum), yaitu dijadikan sebagai obyek diterapkannya hukum, bukan dalil atau 'illat hukum. Tahqiqul manâth itu sendiri berarti meneliti dan memperhatikan fakta suatu perkara yang menjadi obyek hukum untuk diketahui hakikatnya. Jadi manâth adalah fakta yang (diatasnya) diterapkan hukum syara (atau disebut juga sebagai obyek hukum). Apabila anda berkata: khamar itu haram, berarti hukum syara'nya adalah haramnya khamar. Meneliti suatu perkara apakah termasuk minuman yang memabukkan (khamar) atau bukan, agar bisa dikenakan hukum atasnya setelah terlebih dahulu diketahui bahwa perkara (benda) tersebut haram atau tidak. Proses ini disebut dengan tahqiqul manâth.

Dengan demikian penerapan hukum atas fakta apapun termasuk bagian-bagiannya setelah manâthnya diteliti tidak bisa dianggap sebagai Qiyas, karena di dalamnya tidak terdapat aktivitas penularan hukum dari suatu obyek ke obyek lainnya.

Kehujjahan Qiyas


Dari penjelasan di atas tampak jelas bahwa Qiyas yang diakui adalah Qiyas yang 'illatnya terdapat didalam dalil. Qiyas seperti ini kedudukannya setara dengan dalil yang didalamnya terdapat 'illat Qiyas. Kehujjahan Qiyas datang dari kehujjahan dalil-dalil yang mengandung 'illat, yaitu al-Quran, as-Sunnah dan Ijma. Kehujjahan ketiga perkara tersebut telah ditetapkan dan telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, sehingga kehujjahan Qiyas pun bisa ditetapkan sebagaimana kehujjahan ketiga perkara tersebut. Rasulullah telah memberikan indikasi adanya penggunaan Qiyas. Tatkala beliau ditanya tentang qadla haji dan mencium orang yang shaum, beliau tidak memberikan hukum kepada si penanya secara langsung, tetapi menjawabnya setelah menyebutkan 'illat yang menyatukan (perkara-perkara tersebut) dalam masalah qadla (membayar) hutang kepada sesama manusia dan dalam berkumur. Beliau melakukan hal itu dalam rangka memberikan petunjuk kepada kaum Muslim tentang penggunaan Qiyas.


Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa seorang lelaki dari (kabilah) Khuts'am bertanya kepada Rasul, dia berkata:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَتْ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ يَقْضِي عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ

Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata; Ada seorang wanita dari suku Khats'am pada pelaksanaan Haji Wada' lalu berkata: "Wahai Rasulullah, kewajiban yang Allah tetapkan buat para hambaNya tentang haji sampai kepada bapakku ketika dia sudah berusia lanjut sehingga dia tidak mampu untuk menempuh perjalanannya, apakah terpenuhi kewajiban untuknya bila aku menghajikannya?. Beliau menjawab: "Ya".
[22]

قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ هَشَشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ قَالَ عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ فِي حَدِيثِهِ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِهِ ثُمَّ اتَّفَقَا قَالَ فَمَهْ

Umar bin Al Khathab berkata; aku merasakan senang lalu aku mencium (istriku) sementara aku dalam keadaan berpuasa. Lalu aku katakan; wahai Rasulullah, pada hari ini aku telah melakukan suatu perkara yang besar. Saya mencium (istriku) sementara saya sedang berpuasa. Beliau berkata: "Bagaimana pendapatmu apabila engkau berkumur-kumur menggunakan air sementara engkau sedang berpuasa?" Isa bin Hammad berkata dalam haditsnya; aku katakan; tidak mengapa. Kemudian keduanya bersepakat mengatakan; beliau berkata; tahanlah!
[23]

Meskipun demikian bukan berarti –dalam kasus hukum diatas- bahwa Rasulullah melakukan Qiyas. Rasulullah memberikan hukum sebagai wahyu dari Allah dengan ungkapan yang memberikan indikasi penggunaan Qiyas. Karena seluruh perkara yang berasal dari Rasulullah saw, baik perkataan, perbuatan ataupun taqrirnya adalah wahyu dari Allah. Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan terdahulu tentang Sunnah. Para sahabat ra juga telah menggunakan Qiyas. Diriwayatkan secara shahih bahwa Abu Bakar ra telah memberikan hak waris kepada nenek dari ibu, tidak kepada nenek dari bapak. Kemudian sebagian sahabat dari kalangan Anshar berkata kepada Abu Bakar: "Mengapa engkau memberikan waris kepada seorang wanita dari keluarga (lelaki) yang meninggal, andaikata dia (wanita) yang mati maka dia tidak akan menerima waris darinya, dan engkau tidak memberikan waris kepada wanita andaikata dia (wanita) yang mati maka berhak menerima waris seluruh harta peninggalannya? Kemudian Abu Bakar merujuk (pendapatnya) dengan berserikat di antara keduanya dalam pembagian seperenam (harta waris). Umar bin Khaththab pernah ragu-ragu dalam mengqishash tujuh orang yang membunuh satu orang. Kemudian Ali berkata kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, bagaimana pendapatmu apabila ada sekelompok manusia yang berserikat melakukan pencurian, apakah engkau akan memotong tangan mereka semua? Umar menjawab: "Benar?" Lalu Ali berkata: "Begitu juga halnya dengan qishash?


Rukun Qiyas


Dari paparan di atas jelas bahwa Qiyas adalah dalil syara yang mencakup empat rukun:
  1. Al-Ashlu yaitu peristiwa yang menjadi sumber Qiyas.
  2. Al-Far'u atau cabang yaitu peristiwa yang akan diqiyaskan kepada al-ashlu.
  3. Hukum syara yang khusus bagi asal.
  4. 'Illat yang menyatukan antara asal dan cabang.

Hukum cabang tidak termasuk rukun Qiyas, karena hukum tersebut tergantung kepada keshahihan Qiyas. Andaikata menjadi rukun Qiyas tentu hukum tersebut akan bergantung kepadanya. Sedangkan hal ini mustahil. Misalnya, pengharaman (pelaksanaan) ijarah ketika azan Jum'at yang diqiyaskan pada keharaman jual beli ketika azan Jum'at, karena adanya 'illat yang digali dari nash, yaitu melalaikan shalat Jum'at. Allah berfirman:


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ

Hai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (TQS. al-Jumuah [62]: 9)

Jual beli disebut sebagai asal. Ijarah disebut sebagai cabang. Hukum syara yang khusus bagi asal adalah haramnya jual beli pada saat azan Jum'at. "Illatnya adalah melalaikan shalat Jum'at.

SYARAT-SYARAT RUKUN QIYAS


Syarat Asal adalah sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya; atau sesuatu yang dikenal dengan dirinya sendiri tanpa memerlukan yang lain. Asal disebut juga maqîs alaih. Syaratnya adalah harus ada ketetapan hukum tentangnya, (yaitu) hukumnya tidak dihapus.


Syarat Hukum Asal:

  1. Harus berupa hukum syara dengan dalil dari al-Quran, Sunnah atau Ijma sahabat.
  2. Dalil yang menunjukkan hukum asal tidak boleh mencakup cabang.
  3. Hukum asal harus mempunyai 'illat tertentu yang tidak samar.
  4. Hukum asal tidak boleh lebih akhir (datangnya) dari hukum cabang.
  5. Hukum asal tidak boleh dipindahkan dari sunnah-sunnah Qiyas. Maksudnya, jika telah disyaria'tkan sejak dari awalnya dan tidak ada pembandingnya, seperti keringanan-keringanan safar; atau maknanya tidak dapat dipahami dan dikecualikan dari kaedah umum, seperti persaksiannya Khuzaimah yang bisa menggantikan dua orang saksi; atau dimulai dengannya dan tidak dikecualikan dari kaedah apapun, seperti bilangan rakaat dan ukuran hudud.


Syarat-syarat Cabang adalah sesuatu yang (hukumnya) masih diperselisihkan. Disebut juga dengan al-maqîs. Cabang harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
  1. Harus kosong dari mu’âridl râjih (perkara yang saling bertentangan dan yang dikuatkan) yang mengharuskan kebalikan dari perkara yang dituntut oleh 'illat Qiyas.
  2. 'Illat yang terdapat di dalam cabang harus berserikat dengan 'illat asal, baik dalam zatnya ataupun jenisnya.
  3. Hukum yang ada pada cabang harus menggambarkan hukum asal dalam zatnya, seperti wajibnya qishas atas jiwa, yang berserikat antara orang yang dibunuh dengan memakai benda tumpul atau benda yang tajam; atau dalam jenisnya, seperti ditetapkannya perwalian bagi wanita yang belum baligh dalam nikahnya yang diqiyaskan terhadap ditetapkannya perwalian atas hartanya. Yang berserikat diantara perwalian tersebut adalah jenis perwaliannya, bukan zatnya. Apabila tidak seperti itu, maka qiyasnya batal.
  4. Hukum cabang tidak boleh ditetapkan oleh nash.
  5. Hukum cabang tidak boleh mendahului hukum asal.

'Illat

'Illat adalah sesuatu yang karena (keberadaan)nya ada hukum. Dengan kata lain perkara yang memunculkan hukum, berupa tasyri' (pensyariatan suatu hukum). Jadi, hukum itu disyari'atkan karena adanya 'illat. 'Illat adalah dalil, tanda, dan yang memberitahu (adanya) hukum. 'Illat-lah yang membangkitkan hukum. Maka 'illat adalah sesuatu yang menjadi penyebab disyariatkannya hukum. Oleh karena itu 'illat termasuk ma'qul an-nash, artinya, bisa dipahami dari nash. Apabila nash tidak mencakup 'illat maka nash tersebut hanya mempunyai manthuq dan mafhum saja, tidak mempunyai ma'qul, sehingga sama sekali tidak bisa menjadi sumber Qiyas bagi yang lain. Namun, apabila nashnya mencakup 'illat dan hukumnya disertai dengan sifat yang mufhim maka nash tersebut mempunyai manthuq, mafhum dan ma'qul, sehingga yang lain bisa diqiyaskan. Adanya 'illat menjadikan suatu nash mencakup jenis-jenis lain dan bagian-bagian lain dari berbagai peristiwa, bukan dengan manthuq dan mafhumnya, melainkan dengan cara penyertaan (al-ilhaq) karena adanya perserikatan diantara asal dan cabang dengan 'illat yang ada di dalamnya. 'Illat kadangkala terdapat di dalam dalil hukum, sehingga hukum tersebut telah ditunjukkan oleh seruan (khithab) dan oleh 'illat yang terkandung di dalam seruan tersebut. Misalnya firman Allah:


مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ

Apa saja harta rampasan (fa'i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)

Kemudian Allah berfirman:


للفقراء المهاجرين

Ayat tersebut menunjukan pada suatu hukum yaitu memberikan harta fa'i kepada orang-orang fakir di kalangan Muhajirin. Oleh karena itu Rasulullah saw memberikan harta fa'i tersebut kepada orang-orang yang telah dijelaskan pada ayat tersebut –yang merupakan harta fa'i bani Nadhir- hanya kepada orang-orang Muhajirin. Beliau tidak memberikannya kepada orang-orang Anshar kecuali dua orang yang fakir.

Begitu juga 'illat yang terdapat pada ayat:

كي لايكون دولة بين الأغنياءمنكم


Maksudnya supaya tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja, melainkan menyebar kepada yang lainnya. 'Illat tersebut telah menunjukkan suatu hukum, dan termasuk pembangkit disyariatkannya hukum tadi.

Syarat-syarat 'illat :

  1. 'Illat harus syar'iyyah, yaitu harus terdapat di dalam nash, baik secara jelas (shurahah), dengan penunjukkan (dilalah), digali dari nash (istinbath), atau diqiyaskan. Apabila 'illat bersifat aqliyyah, yaitu digali dengan akal tanpa bersandar kepada nash-nash syara maka tidak dianggap sebagai 'illat yang pantas bagi Qiyas. Hukum yang bersandar kepada 'illat seperti itu tidak dipandang sebagai hukum syara.
  2. 'Illat tidak boleh (berbentuk) hukum syara dengan zatnya, karena jika seperti itu maka tidak memiliki makna pembangkit disyari'atkannya hukum.
  3. 'Illat harus muta'adiyyah, yaitu merembet kepada yang lain, sehingga 'illat yang terbatas (al-qashirah), yaitu yang disebut dengan sabab tidak pantas bagi Qiyas.
  4. 'Illat tidak boleh lebih akhir (datangnya) dari hukum asal, karena akan memberikan makna bahwa hukum asal telah tetap sebelum 'illat, (yakni) 'illat itu tidak mempunyai arti sebagai pembangkit diberlakukannya hukum.
  5. 'Illat harus merupakan sifat yang berpengaruh terhadap hukum, dan memberikan arti terhadap peng-'illatan. Contohnya, marah merupakan sifat yang mempengaruhi larangan bagi hakim dalam menjatuhkan vonis, karena perasaan marah akan menyebabkan terganggunya pemikiran yang akan mempengaruhi vonis (hukum). Oleh karena itu, sifat marah -dalam keadaan seperti itu- layak dijadikan sebagai 'illat yang melarang seorang hakim untuk menjatuhkan vonis dalam keadaan marah. Lain halnya –misalnya- dengan tinggi badan seorang hakim, sifat seperti ini tidak mempengaruhi pemberian keputusan, sehingga tinggi badan seorang hakim tidak mempengaruhi terhadap boleh atau tidaknya menjatuhkan vonis. Oleh karena itu sifat tinggi (badan) tadi tidak layak menjadi 'illat atas boleh atau tidaknya menjatuhkan hukuman. Sifat tersebut merupakan sifat yang tidak mempengaruhi hukum. Begitu juga dengan sifat-sifat sejenisnya, seperi berkulit putih, hitam, pendek, dan lain-lain. Seluruhnya adalah sifat yang tidak memiliki pengaruh dan tidak pantas dijadikan sebagai 'illat, karena antara sifat tersebut dan hukum yang telah diceritakan tidak terdapat kesesuaian. Sifat seperti itu tidak memberikan arti peng-'illatan.
  6. 'Illat tidak boleh semata-mata hanya mengandalkan adanya kesamaan yang mempengaruhi. Misalnya, tentang shalat subuh. Shalat subuh adalah shalat yang tidak boleh dijamak dan diqashar, lalu diqiyaskan dari shalat subuh itu tidak bolehnya menjamak shalat maghrib, karena sama-sama sebagai shalat yang tidak boleh diqashar. Pernyataan semacam ini nyata-nyata salah. Persamaan seperti itu tidak layak dijadikan 'illat dan Qiyas.
  7. Dalam penta'lilan dengan 'illat tidak boleh adanya pembatalan, Jadi, 'illat harus mutharidah (teratur dan berkesinambungan), sehingga hukumnya tidak (saling) bertentangan, disertai adanya perkara yang didakwa sebagai 'illat. Seperti perkataan imam Syafi'i tentang zakat perhiasan bahwa perhiasan adalah harta yang tidak berkembang, sehingga tidak wajib dizakati seperti halnya pakaian. Kemudian orang yang menentang pendapat Syafi'i berkata bahwa pendapat tersebut dibatalkan atas perhiasan yang diharamkan. Sesungguhnya perhiasan tersebut tidak berkembang, meskipun demikian wajib dizakati. Contoh lain seperti perkataan orang-orang yang menjadikan keringanan berbuka pada saat dalam perjalanan sebagai 'illat, bahwa 'illatnya adalah masyaqqah (adanya kesulitan). Orang-orang yang menentang pendapat tersebut berkata bahwa orang yang membawa benda-benda berat sementara tidak dalam perjalanan (ada di tempat tinggalnya), tidak diberikan keringanan untuk berbuka, meskipun (derajat) kesulitannya melebihi kesulitan orang yang berada di dalam perjalanan, terutama (jika dibandingkan dengan) perjalanan yang nyaman, seperti perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang, kendaraan, dan lain-lain. Begitulah, contoh-contoh tersebut bukanlah 'illat dan tidak layak diqiyaskan.
  8. Illat harus berpengaruh pada tempat perselisihan. Apabila tidak seperti itu maka tidak layak dijadikan sebagai 'illat dalam Qiyas, meskipun sesuai dengan hukumnya. Sebagai contoh, bahwa permasalahan yang menjadi tempat perselisihan yang ingin digali hukumnya adalah boleh atau tidaknya perwalian wanita atas dirinya. Orang yang berpendapat tidak boleh menyandarkannya kepada tidak sahnya seorang wanita menikahkan dirinya tanpa ada kafa'ah. Hal semacam ini tidak layak dijadikan sebagai 'illat karena yang menjadi tempat perselisihan adalah fakta tentang sahnya seorang wanita menikahkan dirinya, baik dengan adanya kafa'ah atau tidak ada. Seandainya terdapat dalil yang tidak mensahkan pernikahan wanita itu dengan perwalian dirinya sendiri karena tidak kafa'ah, berarti tidak layak pengqiyasan tidak sahnya pernikahan dengan perwalian dirinya sendiri dalam seluruh keadaan. Ini mengharuskan adanya dalil lain.
  9. Tidak boleh berupa hikmah, yang diartikan sebagai tujuan dimana syara telah mendorongnya dalam pensyariatan. Kami akan menjelaskannya kemudian –atas izin Allah-.
  10. 'Illat harus selamat, (yaitu) tidak bertolak belakang dengan nash yang berasal dari al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma sahabat.


Jenis-jenis 'Illat


Telah kami jelaskan bahwa 'illat adalah dalil terhadap suatu hukum, dan tanda bagi hukum serta yang memberitahu (adanya) hukum. 'Illat adalah sesuatu yang mendorong disyari'atkannya hukum. Oleh karena itu 'illat harus terdapat di dalam dalil, baik secara jelas (shurahah), penunjukkan (dilalah), penggalian (istinbath) atau secara qiyas. Insya Allah keempat jenis 'illat ini akan kami paparkan secara singkat.


Pertama: Illat yang terdapat secara jelas (shurahatan), yaitu:
1. 'Illat yang terdapat pada nash dengan kata (lafadz) yang dipahami 'illatnya secara jelas, yaitu dengan menggunakan lafadz min ajli dan yang semisalnya. Contohnya, sabda Rasulullah :

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادَّخِرُوا الثُّلُثَ وَتَصَدَّقُوا بِمَا بَقِيَ قَالَتْ فَلَمَّا كَانَ بَعْدُ ذَلِكَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ كَانَ النَّاسُ يَنْتَفِعُونَ مِنْ ضَحَايَاهُمْ وَيَجْمُلُونَ مِنْهَا الْوَدَكَ وَيَتَّخِذُونَ مِنْهَا الْأَسْقِيَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا ذَاكَ أَوْ كَمَا قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَهَيْتَ عَنْ إِمْسَاكِ لُحُومِ الضَّحَايَا بَعْدَ ثَلَاثٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتْ عَلَيْكُمْ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَادَّخِرُوا

Rasulullah bersabda: "Simpanlah sepertiga, dan sedekahkan sisanya!" Aisyah berkata; kemudian setelah itu Rasulullah ditanya; wahai Rasulullah, dahulu orang-orang mendapatkan manfaat dari kurban mereka dan mereka mencairkan lemak, dan membuat tempat minum dari kulitnya, kemudian Rasulullah berkata: "Ada apa dengan hal tersebut?" Mereka berkata; wahai Rasulullah, engkautelah melarang dari memakan daging kurban setelah tiga hari. Kemudian beliau berkata: "Sesungguhnya aku melarang hal tersebut, karena sekelompok orang yang terburu-buru datang kepada kalian. Makanlah, sedekahkan, serta simpanlah!"
[24]

أَعْلَمُ أَنَّكَ تَنْظُرُ لَطَعَنْتُ بِهِ فِي عَيْنِكَ إِنَّمَا جُعِلَ الِاسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ

Sesungguhnya dijadikannya keharusan meminta izin (ketika akan masuk ke rumah) adalah karena (menjaga dari) penglihatan.
[25]

Allah Swt berfirman:


مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (TQS. al-Maidah [5]: 32)

2. 'Illat yang terdapat di dalam nash dengan menggunakan kata (lafadz) yang dipahami sebagai 'illat secara jelas (shurahatan). Yaitu dengan menggunakan salah satu dari huruf-huruf ta'lil, diantaranya kaiy dan lam. Contoh yang menggunakan huruf kaiy adalah:

لِكَىْ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِىٓ أَزْوَٰجِ أَدْعِيَآئِهِمْ

Supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka. (TQS. al-Ahzab [33]: 37)

كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ

Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)

Contoh yang menggunakan huruf lam adalah:


لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةٌۢ بَعْدَ ٱلرُّسُلِ

Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. (TQS. an-Nisa [4]: 165)

Tetapi huruf-huruf tersebut agar bisa memberikan arti 'illat disyaratkan tidak boleh ada dalil yang menunjukkan indikasi bahwa huruf tersebut tidak dimaksudkan sebagai peng-'illatan. Contohnya:


أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir. (TQS. al-Isra [17]: 78)

Huruf lam dalam ayat ini tidak memberikan arti 'illat melainkan sebagai sabab.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Allah tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya merekamenyembah-Ku. (TQS. adz-Dzaariyat [51]: 56)

Huruf lam dalam ayat ini memberikan arti hikmah.


لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka. (TQS. al-Hajj [22]: 28)

Huruf lam dalam ayat ini memberikan arti hikmah.


فَٱلْتَقَطَهُۥٓ ءَالُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا

Maka dipungutlah ia oleh keluarga Firaun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. (TQS. al-Qashash [28]: 8)

Huruf lam dalam ayat ini memberikan arti akibat hikmah. Penjelasan tentang hikmah insya Allah akan dipaparkan lebih rinci pada topik yang membahas tentang hikmah.

Kedua: 'Illat yang terdapat pada nash secara dilalah (penunjukkan). Diantaranya adalah dilalah tanbih dan îmâ (isyarah) -yang akan kami paparkan nanti-. Ta'lil diambil dari lafadz (yang lazim), yaitu dilalah iltizâm. Suatu lafadz tidak menunjukkan 'illat sejak diletakkannya. 'Illat diambil dari mafhum lafadz, bukan dari manthuqnya. Ini terjadi dalam dua keadaan:
Kondisi pertama, menggunakan huruf-huruf yang ditinjau dari asalnya secara bahasa (dilihat dari sisi manthuq) tidak diletakkan untuk memberi arti 'illat. Lafadz yang memberikan arti 'illat diambil dari lazimnya lafadz, yaitu dilihat dari aspek mafhum. Yang termasuk huruf jenis ini adalah fa ta'qib dan hatta ghayah.

1. fa ta'qib dan tasbib.

Rasulullah bersabda:


مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ

"Siapa yang memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya (tanah tak bertuan), maka orang itu yang paling berhak atasnya."
[26]

فَإِنْ شِئْتِ أَنْ تَمْكُثِي تَحْتَ هَذَا الْعَبْدِ وَإِنْ شِئْتِ أَنْ تُفَارِقِيهِ

Pilihlah jika kamu mau, apakah engkau akan tetap tinggal di bawah budak ini (tetap menjadi istrinya) atau engkau berpisah darinya.
[27]

Kepemilikan tanah sebagai akibat dari menghidupkan tanah yang mati karena adanya fa tasbib. Oleh karena itu menghidupkan (tanah mati) menjadi 'illat bagi kepemilikan. Barangsiapa yang menghidupkan (tanah mati) bagaimanapun caranya, baik dengan memagari, menanami, membangun, memotong sebagian dari tanah yang mati, maka dia telah memiliki tanah itu.
Dalam hadits yang kedua, perkara yang memberikan arti 'illat kebebasan adalah memiliki dirinya. Hukum kebebasan datang sebagai akibat dari memiliki dirinya (sendiri) karena adanya fa ta'qib. Fa ta'qib memberi arti 'illat. Tatkala terdapat 'illat pemilikan dirinya maka muncul kebebasan.
Memiliki diri sendiri bisa saja dengan adanya sebab atau dengan tidak adanya sebab. Seperti melalui penebusan diri atau yang sejenisnya, membeli kemerdekaannya, atau karena kematian pemilik budak jika dia ummul walad, dan yang sejenisnya, selama di dalamnya terwujud kepemilikan dirinya yang berimplikasi kepada adanya hukum, yaitu bebas (memilih).
Karena fa secara bahasa tidak diciptakan untuk memberikan arti illat, maka:

1. Disyaratkan fa harus merupakan kelaziman dari sisi maknanya. Secara bahasa fa adakalanya datang dengan makna al-wawu ketika menginginkan berkumpul; adakalanya datang dengan makna tsumma ketika yang dimaksudkan untuk mengakhirkan dengan jeda waktu yang cukup lama. Fa juga tampak dalam ta'qib yang berarti jauh dari perkara selainnya.
2. Disyaratkan pula adanya illat ini sebagai kelaziman terhadap makna fa, yaitu hukum yang merupakan implikasi dari 'illat yang memungkinkannya menjalar dan menular karena adanya kesamaan 'illat. Apabila terbatas atau tidak menular dan merembet kepada yang lainnya, maka hal ini merupakan sabab.

Contohnya adalah firman Allah:


وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (TQS. al-Maidah [5]: 38)

ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (TQS. an-Nur [24]: 2)

فَرُجِمَ وَكَانَ قَدْ أُحْصِنَ

(Diriwayatkan) tatkala Maiz berzina, Rasulullah merajamnya.
[28]

Meskipun fa di dalam nash-nash ini memberikan arti 'illat akan tetapi 'illatnya terbatas dan tidak menjalar kepada yang lain. Fa dalam hal ini menjadi sabab, sehingga dikatakan bahwa mencuri menjadi sabab potong tangan, dan berzina menjadi sabab rajam.

3. Fa yang disyaratkan disini bukan perkara yang menyempurnakan sahnya perkara yang sesudahnya. Fa jenis ini bukan termasuk 'illat melainkan syarat, seperti firman Allah:

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ

Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu. (TQS. al-Maidah [5]: 6)

2. Hatta, asalnya merupakan huruf ghayah. Allah Swt berfirman:

Contoh lain sabda Rasulullah :


وَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ إِلَّا أَرْبَعٌ فَلَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا وَفِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ فَفِيهَا شَاةٌ

Pada kambing yang digembala di padang rumput apabila berjumlah empat puluh maka padanya zakat satu ekor kambing hingga seratus dua puluh ekor.
[31]

Zakat ditetapkan dalam kondisi si pemilik hewan tidak memberi makan (ternaknya), tetapi menggembalakannya dipadang penggembalaan. Kata as-sâ-imah disini merupakan sifat mafhum.
Contoh lainnya adalah sabda

Rasulullah :


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسَمَ فِي النَّفَلِ لِلْفَرَسِ بِسَهْمَيْنِ وَلِلرَّجُلِ بِسَهْمٍ

(Pasukan) pejalan kaki itu satu saham, sedangkan pasukan berkuda itu tiga saham.
[32]

Penetapan saham (pembagian ghanimah-pen) dibagi menjadi dua golongan, merupakan pemahaman dari –pasukan pejalan kaki dan pasukan penunggang kuda-.

2. Menyebutkan hukum beserta pertanyaan yang menyangkut obyek pertanyaan.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah ditanya tentang (boleh tidaknya) jual beli (barter) kurma basah dan kurma kering.
Nabi bersabda:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ عَنْ اشْتِرَاءِ التَّمْرِ بِالرُّطَبِ فَقَالَ لِمَنْ حَوْلَهُ أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ قَالُوا نَعَمْ فَنَهَى عَنْ ذَلِكَ

Rasulullah pernah ditanya tentang menjual kurma kering dengan kurma basah. Maka beliau bersabda kepada orang di sekitarnya; "apakah kurma basah berkurang jika ditukar dengan kurma kering?" mereka menjawab; Ya, lalu beliau melarang hal itu.
[33]

Dalam hadits ini dapat dipahami bahwa adanya penyusutan nilai merupakan 'illat larangan jual beli (barter) antara kurma basah dengan kurma kering.

3. Menyebutkan hukum beserta pertanyaan, akan tetapi diluar topik pertanyaannya.

Contohnya adalah hadits:


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa ada seorang wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya?". Beliau menjawab: "Tunaikanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmnu jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya?. Bayarlah hutang kepada Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar."
[34]

Hadits di atas tentang wanita Khuts'amiyah yang bertanya kepada Rasulullah tentang haji. Sementara Rasulullah menceritakan tentang hutang terhadap sesama manusia. Haji dilihat dari sisi hutang sama (kedudukannya) dengan hutang kepada sesama manusia. Penuturan tentang hutang dalam hadits tersebut merupakan penyataan antara hak Allah dan hak manusia, serta antara hak manusia dengan hak manusia yang lainnya.
Kata dain (hutang) merupakan sifat yang sesuai dengan mafhum yang membawa implikasi keharusan untuk membayar. Dalam riwayat lain yang bertanya adalah seorang lelaki, sebagaimana yang telah diceritakan.

Hadits ini juga bisa dijadikan argumen bahwa Rasulullah telah menunjukkan kepada manusia penggunaan Qiyas beserta dengan syarat-syaratnya.

Ketiga: 'Illat yang terdapat pada nash dengan jalan istinbath Susunan nash memberikan arti adanya 'illat melalui istinbath atas suatu hukum. 'Illat seperti ini tidak disebutkan, baik secara sharih ataupun secara dilalah. Contohnya antara lain:... Bersambung
Klik Disini

FootNote:
1.
^ Ahmad: 21423; IBNU MAJAH: 2359 ad-Daruquthni: 4/212; Tirmidzi menceritakan hadits tersebut dari Ja?far bin Muhammad dari bapaknya dari Ali: 1265.
2.
^ BUKHARI: 2465, 4714; Abu Daud: 3127; at-Tirmidzi: 1071; an-Nasai: 3278; Ahmad: 4/284.
3.
^ Hal itu berlaku dalam masalah syariat (din). Adapun dalam perkara-perkara yang bersifat keduniaan, ilmiah dan sains, seperti tata cara pertanian berdasarkan ilmu pengetahuan modern, atau tata cara industri berdasarkan ilmu pengetahuan modern, seperti pembajakan tanah, mengawinkan pohon, cara membangun kota atau pabrik, atau pembuatan kendaraan dan yang sejenisnya, maka mengikuti Rasul dalam seluruh perkara tersebut tidak diwajibkan, karena Rasul berkata: Engkau lebih mengetahui urusan dunia kalian.
4.
^ Bukhari: 1788, 1828, 1830, 6701, 6755; Muslim: 1844 dari Ibnu Umar; TIRMIDZI: 709; AHMAD; 13566
5.
^ Bukhari-al-Adzan-595, 5549; ad-Darami ash-Shalat-1225; Ahmad: 5/53; Baihaqi: 2/345.
6.
^ Muslim-Haji-2286; an-Nasa'i-Haji-3012; Abu Daud-Manasik-1680; Musnad Ahmad: 1389 14091.
7.
^ Imam Ahmad: 2/177; Ijma sahabat: Nidham 'Uqubat, karangan Abdurahman al-Maliki.
8.
^ Bukhari: 327; Ahmad: 18721; ABU DAUD: 274; NASA'I: 318.
9.
^ Sanad yang paling shahih (asshahhu al-asânid) adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Anas dari Nafi maula Umar dari Ibnu Abbas. Sedangkan sanad yang paling agung (ajallu al-asânid) adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Imam Syafi'i dari Imam Malik dari Nafi dari Ibnu Umar. Sanad ini dinamakan rantai emas (silsilah adz-dzahab).
10.
^ TIRMIDZI; 1372; IBNU MAJAH: 2588.
11.
^ Abu Daud: 1863; Hakim dan dishahihkan Ibnu Majah: 2008.
12.
^ Bukhari: 9, 6003; MUSLIM: 57; ABU DAUD: 2122; AHMAD: 6541; AD DARIMI: 2600.
13.
^ Bukhari: 1, 52, 2344, 3609, 6195, 6439; Muslim: 3530
14.
^ Bukhari: 828, 833, 868; Muslim: 1394; ABU DAUD: 289; AHMAD: 4839; AD DARIMI: 1493; IBNU MAJAH: 1088; MALIK: 213.
15.
^ Bukhari: 694; Muslim: 586, 587, 588 589;
16.
^ Bukhari: 13, 14; Muslim: 63; Ahmad: 12349; ad-Darimi: 2624.
17.
^ Apabila seorang sahabat mengatakan, kami diperintahkan terhadap sesuatu (umirna bi kadza) atau dilarang dari sesuatu (nuhîna 'an kadza) atau sesuatu termasuk sunnat (minal sunnah kadza), maka perkataan seorang sahabat tadi hukumnya sama dengan hadits marfu' menurut pendapat jumhur ahli hadits.
18.
^ Apabila seorang tabi'in mengatakan sesuatu termasuk sunnah, maka hukumnya sama dengan hadits mursal.
19.
^ Ahli fiqih yang tujuh (al-fuqaha as-sab'ah) adalah Sa?id bin Musayyab, Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, 'Urwah bin Zubair, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Abu Salamah bin Abdurahman bin Auf, Ubaidillah bin Abdullah bin Atabah, dan Sulaiman bin Yasar.
20.
^ Tirmidzi: 662; an-Nasa'i: 2291; Ibnu Majah: 1690; Abu Daud: 2098; dan Tirmidzi berkata: menurut pendapat yang paling shahih hadits itu adalah hadits mauquf atas Ibnu Umar.
21.
^ Banu al-a'yan adalah saudara-saudara laki-laki atau perempuan yang seibu sebapak. Banu al-a'lat adalah saudara-saudara laki-laki dan perempuan yang sebapak. Banu al-akhyaf adalah saudara-saudara perempuan yang seibu.
22.
^ Bukhari: 1721, 1722, 4048; Ahmad: 1792; AD DARIMI: 1761
23.
^ Abu Daud: 2037; Ahmad: 132, 350; ad-Darimi: 1661; Baihaqi: 4/218.
24.
^ Muslim: 3643; Abu Daud: 2429; Malik: 918.
25.
^ Bukhari: 5772; Muslim: 4013, 4014.
26.
^ BUKHARI: 2167; NASA'I: 3693.
27.
^ Ahmad: 24294.
28.
^ Bukhari: 4866, 6316, 6317; Muslim: 3202.
29.
^ Yang dimaksud makna (sejalan) dengan sifat dan mafhumnya adalah adanya hubungan implikasi antara sifat dan hukum. Misalnya, "Seorang qadli tidak boleh memutuskan perkara sementara (keadaannya) sedang marah." (Kondisi) marah merupakan sifat yang sesuai untuk pemahaman dilarangnya mengadili (menjatuhkan keputusan). "Si pembunuh tidak berhak memperoleh waris." Seorang anak yang membunuh bapaknya sesuai dengan (hukum) tidak dapatnya warisan dari bapaknya (yang dibunuhnya). Itulah pengertian dari sifat yang sesuai dengan pemahamannya. Namun, bukan berarti (sifat lain) seperti seorang qadli yang berkulit hitam misalnya. Hal (sifat) semacam ini tidak ada hubungannya dengan larangan qadli menjatuhkan hukuman karena warna kulitnya hitam. Begitu juga (sifat lain seperti) pembunuh (yang tinggi badannya) tidak berhak memperoleh waris, misalnya. Tinggi badan tidak ada hubungannya dengan waris. Bahkan badannya tinggi ataupun pendek tidak ada hubungannya dengan mafhum maupun kesesuaiannya dengan hukum. Semua itu tidak tergolong sifat yang sesuai dengan mafhumnya. Jadi, sifat yang sesuai dengan mafhum adalah yang berhubungan dengan implikasi di dalam hukum. Pada kondisi semacam ini layak dijadikan ta’lil, dan memberi petunjuk. Contohnya (kondisi) marah di dalam peradilan, atau kasus pembunuhan dalam perkara warisan. Selain dari itu –yang bukan menjadi sifat yang sesuai dengan mafhum- seperti warna kulit dalam peradilan dan tinggi badan (dalam pembunuhan karena) waris tidak layak disebut sifat yang sesuai dengan mafhum.
30.
^ IBNU MAJAH: 2725; DARIMI: 2951; TIRMIDZI: 2035, ia berkata tidak shahih; Ahmad: 1/49.
31.
^ BUKHARI: 1362; Abu Daud: 1339; al-Baihaqi: 4/99.
32.
^ MUSLIM: 3308; At-Tirmidzi: 1475, ia berkata, (hadits ini) hasan shahih; Abu Daud: 2358; Ibnu Majah: 2845; ad-Darami: 2362.
33.
^ At-Tirmidzi: 1146; an-Nasa'i: 3592; Abu Daud: 2915; Ibnu Majah: 2255; Ahmad: 1433; Malik: 1139.
34.
^ Bukhari: 1720, 6205; NASA'I: 5299; Ahmad: 1901; AD DARIMI: 1766

. . . . . . . . .



. . . . . . . . .


Back to Top

وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ٱسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَٰمَ ٱللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُۥ

Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengarkan firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. (TQS. at-Taubah [9]: 6)

'Illat kebolehan menerima seorang musyrik itu adalah diperdengarkannya kalam Allah, yaitu penyampaian dakwah. Ini diambil dari dilalah iltizam dari huruf hatta, yang pada awalnya diletakkan untuk memberikan makna tujuan, dilihat dari sisi manthuq.

Kondisi kedua, adalah Syâri' menyebutkan hukum yang sejalan dengan sifat dan mafhumnya
[29]
, (yaitu) memberikan arti (adanya) 'illat.

1. Menyebutkan hukum (pada awalnya) tanpa ada pertanyaan.

Contohnya sabda Rasulullah :


الْقَاتِلُ لَا يَرِثُ

Seorang pembunuh tidak berhak menerima warisan.


Kondisi ini mengeluarkan si pembunuh dari orang-orang yang berhak menerima waris, karena ia membunuh. Ini adalah sifat mafhum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar