Jangan Serahkan Kepemimpinan Kita Kepada Orang-orang Non-Muslim !!!
Sungguh miris bila penulis melihat perkembangan sistem pemilihan di Negeri ini yang menganut sistem “demokrasi” dimana para pemilihnya adalah mayoritas Muslim baik pemilihan presiden, gubenur dan bupati atau wali kota, namun mayoritas dari pada pemilih tersebut telah mengabaikan risalah “Petunjuk Hidupnya” yaitu Al Qur’an, Hadits, Ijma’ Shahabat dan Ijma’ Ulama’ dalam hal cara memilih pemimpin yang benar dan tepat.
Memang benar bahwa Kemajuan negara dan kemakmuran rakyat memang tidak ditentukan oleh faktor agama pemimpinnya. Negara akan tetap maju dan rakyat akan tetap makmur bila pemimpinnya adil meskipun pemimpin tersebut bukan seorang Muslim. Begitu pula, negara akan hancur dan rakyat akan sengsara jika pemimpinnya dhalim, meskipun dia seorang Muslim.
Raja Najasyi, raja Abbesinia yang akhirnya memeluk Islam pada masa Rasulullah, menyatakan:
المُلْكُ يَبْقَى مَعَ الكُفْرِ وَلاَ يَبْقَى مَعَ الظُّلْمِ
Negara bisa berjalan bersama dengan kekafiran, tapi tidak bisa berjalan bersama dengan kedhaliman.
Meskipun demikian, Islam tetap melarang umatnya mengangkat pemimpin dari kalangan non Muslim. Sebab, ajaran Islam tidak hanya berbicara mengenai kemakmuran dan kesejahteraan. Ada yang lebih inti dari kemakmuran dan kesejahteraan, yaitu tegaknya kebenaran dan tercapainya keselamatan akhirat. Adanya pemimpin dari kalangan non Muslim sangat mengganggu bagi misi penegakan kebenaran. Sebab, agama dan pandangan hidup seorang pemimpin sangat mudah menjalar kepada rakyatnya.
Ketika Dinasti Umayah berkuasa di ujung Abad Pertama Hijriah dengan beranekaragam kecenderungan penguasanya, di Arab lahir sebuah pepatah yang sangat masyhur:
النَّاسُ عَلَى دِيْنِ مُلُوْكِهِمْ
Masyarakat sangat bergantung kepada agama (kecenderungan) para penguasanya.
Itulah salah satu alasan utama, kenapa hampir semua ulama dari berbagai mazhab sepakat bahwa umat Islam dilarang mengangkat (memilih) pemimpin dari kalangan non Muslim. Landasan dasar para ulama tersebut rata-rata merujuk kepada firman Allah :
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[1] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali (mu). Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui". Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran Ayat 28)
Syekh Syatha al-Bakri ad-Dimyathi (ulama mazhab Syafii) menyatakan, “Sultan (penguasa) disyaratkan harus Muslim. Sedangkan orang kafir tidak sah menjadi penguasa, dan tidak sah kepemimpinannya.” [2]
Imam Ibnu Jamaah, salah satu pemuka mazhab Syafii, menyatakan, “Tidak diperbolehkan mengangkat seorang dzimmi (non Muslim) untuk menjadi pejabat yang mengurus kaum Muslimin, kecuali sebagai petugas pengumpul pajak dari sesama kafir dzimmi atau pengumpul pajak dari perdagangan yang dilakukan oleh non Muslim.” [3]
Imam Ibnu al-Arabi, pemuka ulama mazhab Maliki, menyatakan bahwa Sayidina Umar bin al-Khatthab melarang Abu Musa al-Asy’ari mengangkat pejabat dari kafir dzimmi. Umar memerintahkan agar Abu Musa memecat pejabat yang dia angkat dari kalangan kafir dzimmi di Yaman.
Hal senada dinyatakan oleh Abu Bakar al-Jasshash, pakar fikih dan usul fikih mazhab Hanafi. Beliau menyatakan, bahwa tidak ada wilâyah (kekuasaan) bagi orang kafir untuk orang Islam. [4]
Syekh asy-Syanqithi (ulama mazhab Hanbali) menyatakan, “Hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah menunjukkan bahwa beliau tidak pernah menyerahkan satu urusan kaum Muslimin kepada orang kafir, sama sekali. Beliau mematuhi ajaran Allah untuk menjaga kaum Muslimin dari penguasaan orang kafir. [5]
Intinya, ajaran Islam sangat tegas melarang pemeluknya untuk memilih pemimpin dari kalangan non Muslim. Sayangnya, kita kalah opini, sehingga dalam kasus Pilgub DKI Jakarta misalnya, tokoh-tokoh Muslim justru ‘mengutuk’ orang Islam yang bersuara lantang untuk tidak memilih pemimpin dari kalangan non Muslim. Mereka menganggap hal tersebut sebagai fanatisme golongan. Padahal, semua fanatisme itu tercela, kecuali fanatisme kita terhadap kebenaran. Dan, kebenaran tertinggi itu ada pada agama !!!
FootNote:
(1) Wali jamaknya auliyaa : berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.
(2) I‘ânatuth-Thâlibîn: IV/246
(3) Tahrîrul-Ahkâm: 147
(4) Rawâ’i‘ul-Bayân: I/403
(5) Syarh Zâdul-Mustaqni‘: III/268
. . . . . . . . .
Back to The Title
Tidak ada komentar:
Posting Komentar