Video

Sabtu, 09 Juli 2016

ETIKA dalam Bermadzhab


ETIKA dalam Bermadzhab

Siapa yang tak kagum dengan ilmu yang dimiliki ulama sekaliber Imam Al Ghazali juga Al Bukhari yang demikian mendalam ilmu haditsnya? Begitu pula Imam An Nawawi dan Imam Ar Rafi’i yang begitu mendalam ilmu fiqihnya? Tetapi, mereka tidak berani memproklamasikan diri sebagai mujtahid, bahkan lebih memilih titik aman dengan bertaklid. Mereka bukan tidak hafal beribu-ribu hadits dan tidak mengerti Al Qur’an. Tetapi merasa lebih jauh dari syarat-syarat menjadi mujtahid, sehingga memilih bertaklid pada imam mujtahid sebelumnya, yaitu Imam As Syafi’i.
Di sisi lain, bertaklid dijadikan kebanggaan tersendiri oleh sebagian ulama, sehingga mereka perlu menulis madzhab yang diikuti di akhir namanya. Misal, pakar tafsir Al Baghawi (w. 316 H), ia bangga menulis dibelakang namanya sebutan As Syafi’i (pengikut madzhab Asy Syafi’i). pakar tafsir lain seperti Ibnu Katsir (w. 774 H) dan Sulaiman bin Umar Al Ujaili (w. 1204 H), juga demikian.

Jadi, taklid bukanlah tindakan yang dapat menghilangkan potensi akal atau sikap membebek yang buta, melainkan tindakan bijaksana dan hati-hati dalam beragama. Yakni demi keselamatan umat Islam dan diri sendiri, seperti yang dilakukan Al Ghazali dan An Nawawi.
Taklid adalah mengikuti pandapat seorang mujtahid yang telah menggali hukum dari sumber aslinya. Taklid sendiri merupakan kewajiban bagi orang yang tidak mampu mencapai tingkatan Mujtahid Mutlak, walaupun sudah mencapai tingkatan Mujtahid Madzhab dan Mujtahid Fatwa. Sedang bagi Mujtahid Mutlak sendiri, haram hukumnya bertaklid pada pendapat mujtahid lain. Ia harus menganalisa dalil sendiri tanpa ada ikatan dengan pemikiran ulama lain.

Dalam masalah taklid, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang muqallid (orang yang betaklid).
Pertama, harus mengikuti salah satu dari empat madzhab resmi dalam Islam, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i atau Hanbali. Ibnu Shalah mengatakan, ”Konsensus ulama telah sepakat bahwa dilarang bertaklid pada selain madzhab yang empat, hatta untuk dikerjakan pribadi, apalagi untuk difatwakan. Dalam hal ini bukan berarti mengesampingkan ilmu dan ijtihad ulama dari selain madzhab empat, namun disebabkan kurangnya sikap militansi murid-murid selain madzhab empat, untuk menjaga pemikiran gurunya, sehingga dikhawatirkan terjadinya penyimpangan dan perubahan.
Misalnya madzhab Zaidiyah yang diafiliasikan pada Imam Zaid bin Ali bin Al Husain. Dunia Islam bukan tidak mengakui kemampuan dan intelektualitas Imam Zaid sebagai seorang mujtahid, karena selain sebagai pemikir Islam yang memiliki kredibilitas tinggi dalam tingkatan keilmuan, beliau tergolong ulama yang shalih. Hanya saja, murid-muridnya mengabaikan usaha gurunya, sehingga tak mampu menjaga hasil karya Imam Zaid. Hal ini tidak terjadi pada madzhab yang empat, murid-murid dari empat madzhab ini mampu menjaga ilmu gurunya, bahkan mengembangkannya lebih jauh.
Kedua, harus menguasai perangkat hukum dalam masalah yang ia ikuti, berupa syarat dan kewajiban. Semisal dalam wudhu’, maka muqallid dituntut untuk mengetahui syarat dan rukun wudhu’ yang telah dirumuskan oleh mujtahid yang akan ia ikuti. Ketika seseorang akan mengikuti pendapat Imam Malik, misal dimana madzhab Maliki menghukumi tidak batal bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan tanpa ada tujuan dan adanya rasa lezat maka tidak sah taklidnya sampai mengetahui segala kewajiban yang harus dipenuhi dalam wudhu’ madzhab Maliki, seperti kewajiban mengusap semua rambut kepala, menggosok anggota wudhu’ serta cepat-cepat (muwalat) dalam melaksanakan rukun-rukun wudhu’.
Ketiga, ada niatan mengikuti sebelum mengerjakan. Maka dari itu, umpama ada seseorang mengerjakan suatu ibadah dan menyalahi kriteria yang berlaku pada umumnya tanpa ada niatan untuk mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya, maka ibadahnya dihukumi batal dan wajib mengulangi. Boleh bertaklid setelah mengerjakan asal memnuhi dua syarat:
  1. Ketika mengerjakannya tidak mengetahui bahwa tindakannya itu dapat membatalkan pada amalnya. Bahkan ia mengerjakan karena lupa terhadap hal yang dapat membatalkan, atau karena tidak mengetahuinya.
  2. Imam yang akan diikuti memperbolehkan taklid setelah amal. Jadi, umpama ada seorang akan mengikuti pendapat dalam madzhab Hanafi, maka ia harus mengetahui dulu apakah dalam madzhab Hanafi diperbolehkan taklid setelah amal.
Keempat, tidak mengikuti yang ringan-ringan saja. Artinya, dalam bermadzhab seorang muqallid tidak boleh memilih pendapat-pendapat ulama yang ringan dan sesuai selera. Dalam syarat ini, sebenarnya terjadi khilaf antara kalangan fiqih dan ushul fiqih, namun dalam kitab Jam’ul Jawami’ disebutkan pelarangan mengambil hukum yang ringan-ringan saja. Jadi, tidak boleh ketika seseorang kesulitan air untuk wudhu’ dan debu untuk bertayamum dan yang ada hanya pasir yang suci, ternyata tidak bertayamum dengan pasir karena bertaklid pada Madzhab Syafi’i yang tidak memperbolehkan bertayamum dengan pasir. Di satu sisi, ia tidak shalat lihurmatil waqti dan tidak mengqadha’nya dengan mengikuti pendapat Madzhab Maliki yang memperbolehkan tidak shalat dan tidak wajib mengqadha’nya ketika tidak menemukan air, debu dan pasir. Padahal dalam posisi demikian Madzhab Syafi’i mewajibkan shalat lihurmatil waqti dan wajib mengqadha’nya ketika sudah ada benda untuk bersuci, baik air atau debu ketika berada di tempat yang tayamummnya dapat menggugurkan pada shalat.
Kelima, yang diikuti adalah seorang mujtahid, walaupun Muhtahid Fatwa, seperti Imam Rafi’i, Imam Ramli dan Ibnu Hajar Al Haitami. Artinya seorang muqallid tidak diperbolehkan mengikuti pendapat yang lemah. Tetapi, seperti yang diungkap oleh Sayyid Abdullah bin Umar Al Alawi (1209-1265 H), boleh mengikuti pendapat yang lemah dari dua pendapat yang berbeda asal sudah ditarjih oleh sebagian ulama yang memiliki kapabilitas dalam tarjih. Bahkan Imam Kurdi mengatakan, “Mengamalkan pendapat lemah dalam satu madzhab dengan beberapa syarat yang ada, lebih baik daripada berpindah madzhab.” Beliau juga menyebutkan, “Baik untuk memberi fatwa pendapat yang lemah ketika dalam keadaan darurat dengan tujuan mempermudah.[1] Walaupun juga beliau menyatakan larangan mengamalkan dan memberikan fatwa pendapat yang lemah jika tidak dalam keadaan darurat.
Keenam, tidak boleh mengikuti pendapat seorang imam yang telah dicabut oleh imam itu sendiri, seperti yang terjadi pada Imam Syafi’i dengan qaul qadim-nya. Sebab, pendapat kedua dari mujtahid yang sama berstatus nasikh (menghapus) pada pendapat pertama, sehingga muqallid tidak boleh mengamalkan salah satu dari dua pendapat yang berbeda dari satu mujtahid kecuali sudah mengetahui mana pendapat yang awal dan yang akhir. Lantas bagaimana dengan sebagian qaul qadim Imam Syafi’i yang masih dipakai? Sebenarnya, pendapat tersebut sudah tidak murni lagi dari pendapat Imam Syafi’i, melainkan hasil tarjih dari sekumpulan Mujtahid Madzhab yang telah meneliti dan membandingkan antara dua dalil lantas memilih pendapat yang qadim dari Imam Syafi’i.
Ketujuh, tidak mencampur aduk (talqif) pendapat dua imam dalam satu amal ibadah (qadiyyah) sehingga kedua imam tersebut sepakat akan kebatalan ibadah tersebut. Syarat ini menurut pendapat yang mu’tamad dalam Madzhab Syafi’i, Hanafi dan Hanbali. Berbeda dengan ketiganya adalah pendapat dalam Madzhab Maliki yang memperbolehkan talqif dalam masalah ibadah saja, tidak pada yang lain.

Maksud tidak mencampur aduk, dalam etika bermadzhab,
muqallid dituntut mengikuti pendapat imam seutuhnya dalam perangkat hukum yang telah dirumuskan dalam madzhabnya. Ketika mengikuti Imam Syafi’i, misalnya dalam masalah wudhu’, maka ketentuan dalam Madzhab Syafi’i seperti syarat, rukun dan yang membatalkan wudhu’, semuanya harus diikuti.
Contoh talqif yang tidak diperbolehkan adalah seorang laki-laki ketika wudhu’ mengusap sebagian kepala karena mengikuti Madzhab Syafi’i, lalu ketika bersentuhan kulit dengan perempuan, ia mengikuti pendapat Madzhab Hanafi yang menghukumi tidak batal. Kemudian ia shalat, maka shalatnya dihukumi batal karena baik Madzhab Syafi’i atau Madzhab Hanafi semua sepakat akan kebatalan wudhu’ orang tersebut.

Hal menarik yang perlu diketahui seperti yang dikutip Imam As Suyuti dari banyak ulama, dimana mereka memberikan fatwa pada masyarakat sesuai dengan madzhab yang empat, sekalipun pada orang awam yang sama sekali tidak meyakini suatu madzhab dan tidak tahu kaidahnya.

والله أعلم SEMOGA BERMANFA'AT, aamiin...




Back to The Title

FoodNote:


(1) Kitab Qawa'idul Fiqh juz 1 halaman 576

Tidak ada komentar:

Posting Komentar