Video

Selasa, 12 Juli 2016

Pengaruh Liberalisme dalam Kultur Pemikiran Nahdliyyin


Pengaruh Liberalisme dalam Kultur Pemikiran Nahdliyyin

NAHDLATUL ULAMA (NU) adalah jam’iyyah yang didirikan oleh para kiyai pengasuh pesantren di Indonesia. Tujuan didirikannya NU diantaranya adalah:
  • Memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dengan mengikuti pola madzhab empat; Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali.
  • Mempersatukan langkah-langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya.
  • Melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.[1]

Sementara itu, berdirinya NU secara ideologis dan teologis juga tidak dapat dilepaskan dari keprihatinan para kiyai pesantren terhadap masuknya ajaran-ajaran non Ahlussunnah wal Jama’ah ke Indonesia yang mulai mengancam akidah ummat. Hadratusysyeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah menyebutkan beberapa aliran yang mulai masuk dan menyerang kaum muslimin di Indonesia sejak tahun 1330 H. diantaranya adalah aliran Wahhabi dan gerakan pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha.
Tidak dapat dipungkiri bahwa liberalisme merupakan upaya westernisasi atau pembaratan ideology dan ajaran Islam. Liberalism ini lahir dari rahim seorang pemikir yaitu Muhammad Abduh dan Wahhabi yang membuka kran ijtihad seluas-luasnya telah menghilangkan otoritas para ulama mujtahid sejak generasi salaf dan diganti dengan otoritas ijtihad individu tanpa memenuhi criteria dan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh para ulama.

Sementara Muhammad Abduh, dengan pemikirannya yang cenderung toleran terhadap peradaban dan pemikiran Barat telah melahirkan tokoh-tokoh liberan angkatan pertama dalam Islam pada abad 19 masehi seperti Qasim Amin, Thaha Husain,Muhammad Husain Haikal, Ali Abdirraziq dan lain-lain. Melalui tangan-tangan mereka, wacana pemikiran kaum orientalis barat yang anti Islam mulai masuk kedalam ranah pemikiran intelektual Muslim yang belajar di Mesir sejak pertengahan abad 20 yang lalu. Tak ayal apabila di kemudian hari, liberalism juga menyerang ranah kaum intelektual warga Nahdliyyin, yang seharusnya menjadi benteng ASWAJA.

Tradisi Bahtsul Masail

Diantara tradisi keilmuan NU yang memiliki otoritas di kalangan warga Nahdliyyin adalah tradisi Bahtsul Masail (mengkaji berbagai persoalan dari perspektif hukum Islam) Bahtsul Masail adalah suatu upaya bersama untuk mencarikan jawaban hokum Islam terhadap berbagai persoalan yang dihadapi ummat. Selama ini, dikalangan ulama Nahdliyyin ada yang dikenal dengan istilah ”Al Kutub Al Mu’tabarah” yaitu kitab-kitab yang dianggap otoritatif yang menjadi pedoman dan rujukan para ulama dalam keputusan Bahstul Masail. Sebagaimana dimaklumi, tradisi Bahtsul Masail lahir dari rahim tradisi keilmuan para kiyai pesantren ketika mereka belajar di Mekkah al Mukarramah dan kemudian mereka bawa ke tanah air, lalu dikembangkan dalam organisasi NU yang mereka dirikan.

NU mengadakan Bahtsul Masail sejak jam’iyyah ini didirikan. Dijelaskan bahwa Bahtsul Masail di dalam Jam’iyyah Nadlatul Ulama pertama kali diadakan pada 21 Oktober 1926 di Surabaya.[2] Kini hasil-hasil keputusan Bahtsul Masail tersebut telah dibukukan secara lengkap sejak Bahtsul Masail Mu’tamar NU pertama hingga Bahtsul Masail Mu’tamar NU yang ke-32 di Makassar Sulawesi Selatan enam tahun yang lalu. Persoalan yang dikaji dalm tulisan ini adalah, ”Mungkinkah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama’ dipengaruhi oleh pemikiran liberal ???”

Liberalisme Gender

Untuk mengkaji kenyataan di atas, tentang sejauh mana masuknya pengaruh liberalism dalam ranah Bahtsul Masail di kalangan Nahdlatul Ulama, di sini akan dicoba mengetengahkan keputusan Bahtsul Masail NU dari masa ke masa, sehingga maraknya pemikiran liberal di tengah-tengah intelektual kaum Nahdliyyin, dengan mengangkat persoalan gender atau berkaitan dengan ahkamun nisa’ hukum-hukum yang berkaitan dengan kaum perempuan.

1.

Hasil keputusan Mu’tamar NU ke-8, 12 Muharam 1352 H/7 Mei 1933 M.

133

Wanita Mendatangi Kegiatan Keagamaan.

Soal:

Bagaimana hukum para wanita yang keluar dari rumahnya dengan berpakaian rapi dan memakai wangi-wangian mendatangi rapat-rapat keagamaan yang tidak termasuk fardhu ‘ain? Haram, makruh, ataukah sunnat? (Gresik)


Jawab:

Hukumnya haram apabila berkeyakinan mendapat fitnah, walaupun tidak berpakaian rapid an tidak memakai wangi-wangian, atau tidak diijinkan suaminya atau sayyidnya, dan termasuk dosa besar. Apabila tidak yakin, tetapi menyangka adanya fitnah, maka haram tapi dosa kecil...[3]


(Catatan: dalam keputusan di atas Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama mengharamkan wanita muslimah menghadiri rapat-rapat keagamaan yang tidak termasuk fardhu ‘ain)

2.

Hasil Keputusan Mu’tamar NU ke-10, 10 Muharam 1354 H/7 Mei 1935 M.


160.

Munculnya Perempuan untuk Pidato Keagamaan.

Soal:

Bagaimana hukumnya orang perempuan berdiri di tengah-tengah leleki lain untuk pidato keagamaan? Boleh ataukah tidak? (Ponorogo)

Jawab:

Mu’tamar memutuskan bahwa berdirinya orang perempuan di tengah-tengah lelaki itu haram, kecuali kalau bisa sunyi dari larangan agama Islam, seperti dapat menutup auratnya dan selamat dari segala fitnah, maka hukumnya boleh (ja’iz) karena suara orang perempuan bukan termasuk aurat.[4]


(Catatan: dalan keputusan di atas Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama mengharamkan seorang perempuan berdiri di tengah-tengah kaum lelaki untuk berpidato keagamaan, dengan sebuah catatan).

3.

Hasil Keputusan Mu’tamar NU ke-16, 26-29 Maret 1946 M.


273.

Perempuan Berpakaian Seragam Tentara

Soal:

Bagaimana hukumnya orang perempuan berpakaian uniform seperti T.R.I. (Tentara Republik Indonesia) dan sampai dimana batas-batas perjuangan kaum perempuan dalam pertempuran?

Jawab:

Perjuangan perempuan dalam soal jika perang itu telah mejadi fardhu ‘ain atas mereka (perempuan) maka tidak ada batas yakni sama dengan laki-laki, begitu juga dengan latihannya. Hanya saja pasti di tempat yang tersendiri dari orang-orang laki-laki, sebagaimana mestinya. Mereka diwaktu latihan atau berjuang boleh beruniform tentara wanita untuk meringankan gerakannya, asal saja pakaian uniform itu menutup aurat...[5]


(Catatan: dalam keputusan di atas Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama melegalkan kaum perempuan berpakaian uniform seperti tentara dalam kondisi perang itu telah menjadi fardhu ‘ain. Berkaitan dengan latihan sebagai meliter, kaum perempuandibolehkan asal di tempat yang tersendiri dari orang-orang laki-laki).

4.

Hasil Keputusan Rapat Dewan Partai NU, Jumadil Ula 1381 H./25 Oktober 1961 M.


309.

Perempuan Menjadi Kepala Desa

Soal:

Bagaimana hukumnya perempuan menjadi kepala desa? Bolehkah atau tidak? (Fraksi NU DPRGR Pusat).

Jawab:

Sebenarnya mencalonkan orang perempuan intuk pilihan kepala desa itu tidak boleh, kecuali dalam keadaan memaksa, sebab disamakan dengan tidak bolehnya orang perempuan menjadi hakim. Demikianlah menurut Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali dan yang dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf. Tetapi Madzhab Hanafi memperbolehkan dalam segala urusan apa saja...[6]


(Catatan: dalam putusan di atas Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama mengharamkan seorang perempuan mencalonkan diri menjadi kepala desa).

5.

Keputusan MUNAS Alim Ulama, tahun 1418 H./1997 M. di Lombok.


Kedudukan Wanita dalam Islam

Pengaruh kultur yang masih bersifat patrilinier dan kenyataan pada tingkat perbandingan proporsional antara laki-laki dan wanita ditemukan bahwa laki-laki (karena kondisi, social dan budaya) memiliki kelebihan atas wanita.[7]

Kedudukan wanita dalam proses system Negara-bangsa telah terbuka lebar, terutama perannya dalam masyarakat majemuk ini.[8]


(Catatan: dalam keputusan di atas Munas Alim Ulama telah melonggarkan dan membuka kran peran kaum perempuan yang sebelumnya telah diputuskan haram olah para kiyai sepuh radhiallahu ‘anhum wa askanahum a’la faradisil jinan).

6.

Keputusan Mu’tamar ke-30, 21-27 Nopember 1999.


Islam dan Kesetaraan Gender

Terdapat tiga bidang yang menjadi halangan terciptanya ”hubungan gender” yang lebih adil, yaitu bidang yang berkaitan dengan teologi (pandangan keagamaan), kebudayaan dan politik. Dibidang teologi, terdapat penafsiran keagamaan terhadap ayat atau hadits yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan gender, sebaiknya malah bias laki-laki. Dalam penafsiran ini, perempuan didudukkan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Sumber penafsiran ini antara lain adalah kata ”qawwamuna” dalam surat An Nisa’ ayat 34, serta hadits ”lan yufliha qaumun wallau amrahum imra’atan”. Kedua ayat dan hadits itu ditafsirkan menurut referensi Islam yang menegaskan kedudukan laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan. Dari sudut penafsiran ini pula, terdapat pemahaman mengenai dua wilayah yang terpisah antara laki-laki dan perempuan...[8] Untuk itu, maka diperlukan langkah-langkah berikut:

  1. Menafsirkan ulang beberapa nuktah dalam pemahaman keagamaan. Karena adanya perkembangan dalam masyarakat yang menuntut terciptanya keadilan gender, maka penafsiran kembali paham keagamaan yang bias laki-laki merupakan keharusan yang tak bisa dielakkan. Dalam kaitan ini, beberapa hal harus dilakukan:
    • Menggunakan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis untuk memahami ayat Al Qur’an atau Hadits yang berkaitan dengan soal gender. Penafsiran-penafsiran dalam khasanah fiqih yang bias laki-laki hendaknya dilihat sebagai cerminan dari kondisi sosial tertentu yang masih mendudukkan laki-laki pada posisi dominan.
    • Sesuai dengan prinsip keadilan gender serta prinsip umum Islam mengenai keadilan, maka diskriminasi atas perempuan dalam posisi publik tidak bisa dibenarkan. Kepemimpinan perempuan merupakan hak yang dimiliki perempuan, serta dengan hak yang sama juga dimiliki laki-laki. ayat ”qawwamuna” dalam Al Qur’an Surat An Nisa’ ayat 34 hendaknya diletakkan dalam lonteks hubungan domistik dalam rumah tangga, sehingga tidak bisa digunakan untuk menghalangi hak perempuan atas posisi-posisi publik.
    • Penafsiran atas ayat Al Qur’an dan Hadits yang berhubungan dengan gender tidak hanya dianggap sebagai bagian “agama” itu sendiri, tetapi memerlukan ijtihad yang kedudukannya adalah relatif, dan tergantung pada perkembangan masyarakat yang terus berubah.[9]
    • Dibutuhkan penafsiran agama yang lebih sesuai dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan gender untuk mengatasi diskriminasi atas perempuan di berbagai sektor kehidupan.[10]
  2. Merombak praktik-praktik politik yang mendiskriminasikan perempuan. Dalam kaitan ini, hal-hal yang harus dilakukan adalah membangun sistem sosial dan politik yang demokratis dan bebas dari diskriminasi gender, dengan mengedepankan lima prinsip berikut:
    • Persamaan (musawah atau equality)
    • Keadilan (adalah atau justice)
    • Kebebasan (hurriyyah atau freedom)[11]
(Catatan: dalam keputusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama pada akhir kepemimpinan Gus Dur dan awal kepemimpinan KH. Hasyim Mizadi tersebut, telah benar-benar liberal dan menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan oleh Kyai Sepuh

Apabila kita menyimak keputusan di atas, terjadi perubahan yang cukup radikal dalam kultur pemikiran Nahdlautul Ulama dalam Bahtsul Masail, yang semula pada masa-masa kyai sepuh dahulu, sangat konsisten dengan Al Kutub Al Mu’tabarah, kitab-kitab salaf yang otoritatif, sehingga tanpa malu-malu dan dengan sangat tegas para kyai sepuh mengharamkan kaum perempuan untuk sekedar menghadiri rapat-rapat yang tidak fardhu ‘ain, berpidato di depan kaum laki-laki, menjadi kepala desa dan sesamanya.

Kini, sejak munas tahun 1997, tepatnya sejak Munas Alim Ulama di Lombok, sedikit demi sedikit, Nahdlatul Ulama melangkah dengan pasti menuju liberalism pemikiran, dan puncaknya terjadi pada Mu’tamar Nahdlatul Ulama ke-30 di Kediri, dimana dengan tanpa malu-malu Mu’tamar Nahdlatul Ulama mengajak warga Nahdliyyin untuk mengusung ajaran kesetaraan gender dan menafsir ulang teks-teks keagamaan dengan pemikiran yang ditransfer dari Barat.
Pertanyaannya disini adalah, ”Mungkinkah keputusan Munas Alim Ulama di Lombok tahun 1997 dan Mu’tamar di Lirboyo tahun 1999 itu diluruskan, direvisi dan dikembalikan ke Bahtsul Masail para Kyai Sepuh yang konsisten dengan Al Kutub Al Mu’tabarah? والله أعلم

Semoga Bermanfa’at, aamiin...




Back to The Title

FoodNote:


(1) Latar belakang berdirinya NU dalam perspektif keorganisasian, seperti ditulis dalam muqaddimah Aswaja An Nahdliyyah halaman 1.

(2) Kitab Ahkamul Fuqaha’ hasil Mu’tamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004).

(3) Ahkamul Fuqaha’ halaman 127.

(4) Qaul ashah. (Ahkamul Fuqaha’, halaman 154.

(5) Ahkamul Fuqaha’, halaman 279.

(6) Ahkamul Fuqaha’, halaman 127.

(7) Ahkamul Fuqaha’ halaman 626.

(8) Ahkamul Fuqaha’, halaman 649.

(9) Ahkamul Fuqaha’ halaman 650-651.

(10) Ahkamul Fuqaha’ halaman 651.

(11) Ahkamul Fuqaha’ halaman 652.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar