Video

Selasa, 05 Juli 2016

Pembahasan Tentang Hataman di Masjid Nabawi pada waktu Sekarang


Pembahasan Tentang Hataman di Masjid Nabawi pada Tahun 1390 H. dan Dalil-dalilnya

Amalan dan kegiatan yang ada di masjid Nabi mempunya arti sendiri bagi seluruh dunia Islam, dulu Imam Malik mengatakan bahwa ulama-ulama Madinah bisa dijadikan hujjah (dalil) dengan dasar mereka mewarisi apa-apa yang ada di salaf (sahabat) dan Madinah merupakan sumber sunnah. Begitu juga Madinah sekarang ini mempunyai nilai tersendiri di hati kaum muslimin dan dalam pandangan mereka, karena Madinah hijrahnya Rasulullah dan tempat diturunkannya syafa’at.

Hataman pada akhir tarawih dan shalat malam pada bulan Ramadhan di tahun ini (1390), banyak tersebar dan terdengar di seluruh penjuru dunia, juga didatangi oleh banyak orang dari bebagai tempat. Tentunya akan menjadi tempat tanda Tanya bagi mereka, dari manakah asal disyari’atkannya, apalagi bagi mereka yang betul-betul teliti bahwa dalam beribadah harus ada dalil syar’inya. Hal ini sudah ditanyakan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal kepada ayahnya. Dalam masalah ini madzhab apa yang dianut, dan apa dalilnya?

Bagi ulama-ulama dan para penuntut ilmu dimasa ini (thn 1390) yang berhati-hati dalam sunnah dan bid’ah bertanya-tanya tentang hal ini, yang menjadi tanda Tanya dalam pikiran mereka ada dua hal:
  1. Bahwa Nabi belum pernah melakukan shalat tarwih di masjid sebulan penuh secara sempurna dan belum pernah membaca Al Qur’an dalam shalat tarawih dan shalat malam satu Qur’an penuh, dengan demikian maka Nabi tidak pernah berdo’adengan doa hataman ini dan juga tidak ada tempat untuk do’a itu. Kalau begitu dari mana asal syari’at do’a tersebut ?
  2. Bahwa pada waktu imam membaca Al Qur’an selama 1 bulan, para makmum tenang, diam dan mendengarkan, tetapi ketika mendengar do’a hataman mereka mengis sampai terisak-isak. Maka bagaimana mungkin do’a lebih berbekas dan berpengaruh dari pada firman Allah

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu akan lebih baik kalau kami tuliskan hal-hal dibawah ini:

Tentang Dalilnya


Rasulullah pernah bersabda, ”Barang siapa shalt fardlu maka dia mempunya do’a yang mustajab dan siapa menghatamkan Al Qur’an, maka dia mempunya do’a yang mustajab.” (HR. Thabrani)[1]

Dan dari Tsabit bin Anas bin Malik radhiallhu ‘anhum bahwasannya apabila hatam Al Qur’an, keluarga dan anak-anaknya dikumpulkan dan berdo’a untuk mereka, diriwayatkan oleh Thabrani, dengan perawinya tsiqah (dapat dipercaya)
Juga dalam Sunan Daromi, dari riwayat Tsabit al Banani, bahwasannya bila telah hamper hatam Al Qur’an pada waktu malam membiarkan sampai pagi, untuk mengumpulkan keluarganya dan menghatamkannya bersama mereka.
Disana ada hadits marfu’ (hadits yang dinisbatkan kepada Nabi) tapi dengan sanad yang dha’if, dan ada juga atsar mauquf (hadits yang dinisbadkan pada sahabat) sedang perawinya dapat dipercaya (tsiqah) maka saling menguatkan.

Dan dalam kitab Ibnu Qatadah diterangkkan bahwa Fadl din Ziad berkata, “Saya bertanya kepada Abu Abdillah, “Hataman Al Qur’an itu pada Shalat tarawih atau pada shalat witir”, “Taruhlah pada shalat tarawih, sehingga kita mempunyai do’a antara keduanya”, jawabnya. Saya bertanya lagi, “Bagaimana caranya?” dijawabnya, “Bila kamu telah menyelesaikan akhir surat Al Qur’an maka angkatlah tanganmu sebelumruku’ dan berdo’alah untuk kita pada waktu kita shalat dan panjangkanlah do’anya”. Saya bertanya lagi, “Dengan apa saya berdo’a ?” dijawab, “Terserah kamu”. Akhinya saya kerjakan apa yang beliau katakana pada saya, sedang beliau berdiri dibelakang saya dan mengangkat tangannya.[2]

Nas di atas tersebut meneraangkan secara terperinci cara hataman Al Qur’an, serta tempat dan bebasnya berdo’a didalamnya. Dari Imam Hanbal juga ada nas sebagai berikut:
“Saya mendengar Ahmad berkata dalam hataman Al Qur’an, kalau selesai membaca “Qul a’udzu bi robbinnas” maka angkatlah tanganmu dalam berdo’a sebelum kamu ruku’, saya bertanya, “Madzhab apa yang dipakai?” dijawab, “Saya melihat orang-orang Mekkah melakukan hal ini, sedang Sofyan bin Uyainah-lah yang menjadi imam mereka di Mekkah. Abbas bin Abd Adzim berkata, “Begitu juga saya melihat orang-orang Bashrah dan Mekkah dan orang-orang Madinah meriwayatkan hal ini dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.”

Di sisni kita lihat Fadl bin Ziad betanya pada Ahmad bukan tentang disyari’atkannya doa’a pada waktu hataman, tetapi tentang tempatnya pada waktu shalat dan cara mengerjakannya, sedang Ahmad menyetujui hal itu, juga menerangkan cara dan tempatnya, hal ini menunjukkan bahwa asal disyari’atkannya do’a hataman itu sudah dimaklumi oleh mereka.

Maka sekarang tidak perlu lagi bertanya-tanya tentang asal disyari’atkannya hataman itu, hal ini sudah ditanyakan kepada Ahmad bin Hambal mengenai madzhab yang dianut ataupundalilnya. Dijawab oleh Ahmad bahwa semua itu berdasar pada apa yang dilihat dan yang dikerjakan oleh imam yang mulia Sofyan bin Uyainah bersama meraka, juga apa yang diriwayatkan oleh orang-orang Madinah, serta yang dikerjakan oleh orang-orang di daerah-daerah penting yakni Mekkah, Madinah dan Bashrah yang merupakn derah ilmu dan ulama, juga tempat untuk berkiblat. Kemudian yang diriwayatkan oleh orang-orang Madinah dari Utsman bin Affan, juag apa yang kita lihat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu.

Dari sini jelas bahwa do’a hataman Al Qur’an itu disyari’atkan, baik yang umum atau yang ada dalam shalat tarawih dengan cara yang diterangkan oleh Ahmad. Ini semua cukup kita jadikan dalil, dengan dasar bahwa apa-apa yang asalnya disyari’atkan maka boleh boleh dikerjakan dengan embel-embelnya asal do’a itu disyari’atkan, maka adanya embel-embel setelah hataman Al Qur’an tidak menghalangi disyari’atkannya, seperti halnya qunut juga do’a dalam shalat.

Bagaimanapun yang kita terangkan terdahulu dari hal yang dikerjakan oleh para salaf bisa memberikan keterangan bahwa itu disyari’atkan dan merupakan amalan mengikuti para salaf di tiga daerah; Bashrah, Mekkah dan Madinah. Tentang mengapa pengaruh do’a lebih besar daripada pengaruh bacaan Al Qur’an maka hal ini seperti membandingkan antara keadaan para makmum dalam mendengarkan bacaan surat Al Qur’an selama satu bulan yang tenang dan hening dengan keadaan mereka pada waktu mendengarkan do’a yang penuh dengan tangis dan takut serta merengek-rengek, dua keadaan yang berbeda.

Meskipun dalam bentuknya, keduanya berbeda tetapi sebenarnya keduanya satu dalam arti dan hakikatnya karena adab dalam mendengarkan ayat Al Qur’an itu diam dan mendengarkan dengan baik, sedang dalam do’a itu khusu’ dan merengek-rengek. Dan do’a itu mempunyai tempat yang tidak boleh dicampurkan dengan bacaan Al Qur’an, seperti halnya sujud yang merupakan tempat seorang hamba akan lebih dekat dengan Tuhannya, meskipun dekat seperti itu namun tidak boleh ada dalam sujud itu bacaan Al Qur’an, tetapi diharuskan untuk bersungguh-sungguh dalam berdo’a, seperti halnya dalam keadaan-keadaan yang ada nasnya untuk berdo’a pada waktu pagi atau malam, juga waktu masuk masjid, do’a iftitah dan qunut.

Selain Al Qur’an mempunyai adab kesopanan juga isi-isi yang didengar oleh pendengar terdiri atas nasihat-nasihat, khabar, syari’at, halal, haram dan lain-lain yang berpindah-pindah di otak pendengar dari satu arti ke arti yang lain. Pada do’a orang yang mendengar dan orang yang berdo’a, maka pikiran, perasaan dan hati mereka terpusat ke satu arah yaitu merengek, memohon serta mengharap kepada Allah . Bahkan insting manusia dalam keadaan terpaksa bisa mengarah hati untuk ikhlas berdo’a dan sangat mengharap, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah : ”Do’a itu inti dan jiwa ibadah.”

Kalau para ulama, sejarawan dan para pengembara ilmu seperti Nabulisi, Ibnu Jubair, Ibnu Batutoh dan Iyasi menulis dan mengabarkan adanya haflah secara besar-besaran dalam hataman di masjid Nabi dan Masjid Haram dengan menyalakan lilin-lilin dan lampu-lampu serta disebarkannya bunga-bunga dan wewangian juga tak ketinggalan qasidah-qasidah dan lain-lain maka sekarang ini sudah tidak ada lagi, lilin-lilin sudah diganti dengan listrik. Sungguh malam hataman pada jaman itu merupakan idaman setiap orang, mereka yang datang dari penjuru kerajaan dengan tujuan untuk mendapatkan berkahnya, mendapatkan fadhilahnya di Masjid Nabi dan di tempat yang agung itu.

BERSAMBUNG KE Pemahasan Masalah Imam dan Witir




Back to The Title

NoteFood:


(1) Kitab Majma’uz Zawa’id juz 1 halaman 172, hadits Irbad bin Sariyah. Hadits tersebut didalamnya ada sanad yang dianggap lemah (dha’if) yaitu yang bernama Abdul Hamid bin Sulaiman. Namun dikuatkan oleh beberapa hadits yang tsiqah (dapat dipercaya)

(2) Kitab Al Mughni juz 2 halaman 171 pasal tentang hataman Al Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar