Video

Selasa, 05 Juli 2016

Pembahasan Masalah Imam dan Witir yang terjadi di Masjid Nabawi masa pemerintahan Saudi menurut Syeikh Athiyyah Salim



Pembahasan ini memaksa kita (mushannif) untuk membicarakan penyatuan satu imam yakni imam yang bisa, juga banyaknya shalat witir pada bulan Ramadhan di Masjid Nabawi yang mulia. Kita (mushannif) katakana ”memaksa” karena hal ini bukan termasuk pembahasan inti dalam pembicaraan shalat tarawih dan perkembangannya tetapi mempunyai hubungan yaitu penyatuan imam pada masa pemerintahan Saudi dan menyendirinya pengikut Imam Hanafi dalam shalat witir dari imam yang bisa. Ada dua pernyataan yang perlu diajukan:
  1. Mengapa imam dijadikan satu, padahal sebelumnya banyak sesuai dengan banyaknya madzhab? Disatukan dalam madzhab apa? Perlu diketahui bahwa imam-imam itu seluruhnya mengambil sumber dari Al Qur’an dan Al Hadits.
  2. Apa sebab para pengikut Imam Hanafi menyendiri dalam shalat witir, sedang dalam shalat tarawih, fardhu dan shalat malam mereka bersatu dan bersama imam biasa

Demikian kita dihadapkan pada dua soal tadi dan kita (mushannif) harus berusaha menjawabnya, akan tetapi terus terang kami (mushannif) katakana bahwa menjawab hal itu bukanlah suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan, maksudnya hanya sekedar memberikan jawaban yang sifatnya memaparkan dan menganalisa hal-hal yang telah lampau dan mengambil penilaian dari yang ada sekarang (1390 H.), sedang hukumnya dikembalikan kepada para pembaca sendiri, hal itu karena metode pembahasan ini adalah memaparkan sejarah dan menganalisa fiqih.
Dua masalah ini telah dibahas oleh banyak penulis dan pengarang dalam buku-buku karangan mereka, dengan mengemukakan pendapat mereka didalamnya. Sebagian ada yang menuliskan dalam risalah khusus. Untuk itu kami 9mushannif) ingin menuliskan jawaban tersebut:

Tentang soal pertama, yaitu dari segi penyatuan imam, maka sebenarnya satu hal yang tidak perlu kita perselisihkan dan dipertanyakan, kalau tidak terpaksa, karena bigitulah asalnya dalam semua shalat. Segala sesuatu yang sudah sesuai dengan asalnya tidak perlu dipertanyakan dengan kata-kata ”mengapa” , pertanyaan itu bisa dilontarkan untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan asalnya. Meski bunyi pertanyaan itu; Mengapa harus ada banyak imam untuk satu shalat dalam satu masjid?’ Dengan dilakukannya shalat berkali-kali dengan banyak imam, hal ini tidak sesuai dengan asalnya, yaitu yang dikerjakan sebelum periode Saudi itu. Tetapi hal ini sudah berlalu, tidak perlu dibicarakan lagi.

Seperti yang diketahui dengan jelas bahwa dalam agama, persatuan umat adalah tujuan utama agama Islam. Persatuan mereka dalam shalat termasuk perwujudan yang besar dari persatuan yang menyeluruh dimana barisan dan cara melakukannya tidak ada perbedaan antara yang kecil dan yang besar, rakyat jelata dengan penguasa, yang kaya dengan yang miskin, semuanya berdiri sejajar berdampingan. Yang menetang hal ini dianggap merongrong dan keluar dari barisan persatuan yang diharapkan, apalagi di Masjid Nabi yang merupakan sumber persatuan dan kiblat ummat serta sebagai contoh.

Sejak dulu sampai abad ketujuh, kecuali pada shalat tarawih, sebabnya bukan karena banyaknya madzhab tetapi karena makmum waktu itu mencari imam yang bacaannya baik. Hal ini Sayyidina Umar tidak senang, akhirnya semua dijadikan satu imam yakni Ubay bin Ka’ab. Untuk menghindarkan perpecahan, Sayyidina Umar telah mengumpulkan bantak qari’ (imam) untuk menilai bacaan mereka masing-masing. Akhirnya diputuskan bagi yang bacaannya cepat membaca 50 ayat, sedang yang bacaannya lambat 30 ayat dan seterusnya.

Memang, imam tarawih banyak tetapi diatur secara bergantian, tidak bersama-sama dalam satu waktu dengan banyak imam, begitu juga dalam shalat witir. Hal seperti ini juga berlaku pada jaman SAYYIDINA Utsman dan Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhum, belum pernah terjadi adanya banyak imam dalam satu shalat kecuali pada abad ketujuh seperti yang telah diterangkan sebelumnya. Itulah sekilas sejarah tentang masalah banyaknya imam, tidak ada satupun perbuatan salaf yang bisa diikuti yang menyatakan adanya perselisihan secara jama’ah.

Secara sendiri-sendiri mungkin ada dalam tarawih atau witir, hal ini hanya disebabkan perbedaan penilaian mereka dalam menentukan paling afdhol. Ditinjau dari segi hukum fiqih, maka semua madzhab menyatakan bahwa setiap orang boleh bermakmumkepada siapa saja yang sah menjadi imam, meskipun tidak sama madzhabnya. Belum pernah kita dapatkan dari madzhab empat yang mensyaratkan dalm shalat jama’ah bahwa imam madzhab harus sama dengan madzhab makmum, ahkan mereka satu dengan yang lain pernah bermakmum di belakang yang lain.

Seperti yang terjadi bahwa Abu Yusuf teman Imam Abu Hanifah berkumpul dan bermakmum kepada Imam Malik, Imam Malik tidak menentangnya. Begitu Imam Syafi’i, Imam Malik dan Muhammad teman Abu Hanifah, masing-masing pernah shalat makmumdi belakang yang lain, mereka tidak berselisih. Imam Ahmad juga pernah shalat bersama dengan Imam Syafi’i mereka tidak berselisih. Begitulah telah berlangsung lebih dari tujuh abad di Madinah tidak pernah ada yang tidak mau shalat makmum di belakang imam karena berlainan madzhab. Selain itu jama’ah haji yang datang ke Madinah dari seluruh penjuru dunia, juga terdiri pengikut madzhab empat

Penyatuan jama’ah shalat pada satu imam adalah perbuatan salaf dan mengikuti asal syari’at serta merealisasikan tujuan penting Islam dalam persatuan ummat Islam, hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam seluruh madzhab sendiri. Ini berkenaan dengan shalat pada umumnya yaitu shalat lima waktu dan shalat tarawih. Madzhab yang dipakai dalam penyatuan itu adalah madzhab Imam Ahmad bin Hambal. Pemilihan madzhab Imam Ahmad bin Hambal adalah satu hal yang wajar, karena akan terealisasi persatuan yang diharapkan. Sebab madzhab Imam Ahmad bin Hambal yang umum dan berjalan di Saudi waktu itu, maka tidak mungkin adanya imam dengan madzhab yang lain (apapun madzhab itu) di daerah-daerah Hijaz apalagi Masjid Nabawi. Penyatuan imam pada madzhab imam Ahmad terbukti betul-betul satu hal yang wajar dan bisa merealisasikan maslahat yang diharapkan dalam persatuan ummat Islam serta di Masjid Rasulullah

Satu hal yang lebih menguatkan lagi bahwa menjadi imam bukan hanya dari orang-orang Hambali saja, tetapi juga dari madzhab masing-masing dipilih menjadi imam dan diserahi untuk mengimami salah satu shalat lima waktu yang makmumnya seluruh orang muslim, seperti yang telah kita bicarakan. Syeikh Muhammad Kholil, dulu sebelum pemerintahan Saudi , menjadi imam untuk orang-orang Syafi’i diserahi untuk menjadi imam shalat Dhuhur, Syeikh Maulud dulu sebelum pemerintahan Saudi menjadi imam orang-orang Maliki untuk mengimami shalat Ashar dan Syiekh As’ad menjadi imam orang-orang Hanafi untuk mengimami shalat Isya’. Sdang shalat Maghrib dan subuh diserahkan pada Syiekh Rozaq Hamzah dibantu oelh Syeikh Taqyuddin Hilali dan juag dibantu oleh Syeikh Muhammad Abdullah pengikut Madzhab Maliki.

Itulah kenyataan sejarah dalam masalah imam di Masjid Nabawi pada jaman pemerintahan Saudi, yang menunjukkan bahwa (katanya red.) pemilihan madzhab Hambali dalam shalat jama’ah tidak menjadi penghalang adanya imam madzhab yang lain. Hal ini merupakan realisasi dari tujuan persatuan di daerah tersebut.
Mengenai jawaban untuk pertanyaan yang kedua, mengapa orang-orang Hanafi menyendiri dalam shalat witir saja, padahal sebelum jaman Saudi tidak demikian. Yang jelas hal ini (katanya red.) merupakan ekor dari pada yang ada sebelum pemerintahan Saudi, yaitu pada abad ke 12, seperti yang dikatakan oleh Syeik Syamhudi dala kitabnya ”Wafaul Wafa’” , bahwa dia menyaksikan pada waktu itu ia menasehati mereka agar mau meninggalkan perbedaan pendapat itu dan mau bersatu, akhirnya mereka mau mematuhi nasehatnya tapi tak lama kemudian kembali seperti semula. (kenapa ??? red.)

Dalam hal ini Syamhudi pernah menulis suatu buku yang berjudul ”Mashabihud Dhalam fi Qiyami Syahri Ramadhan” , saying mushannif belum menemukan buku tersebut, sehingga tidak mengetahui isi nasihatnya. Disini kami (mushannif) tidak bisa membicarakan masalah ini secara hokum fiqih ataupun mengadakan studi perbandingan dan memberikan penilaian mana yang lebih kuat ataupun suasana yang lebih cocok antara madzhab Hanafi dengan madzhab tiga yang lainnya, walaupun demikin juga tidak bisa meninggalkan secara keseluruhan, kami mwmbahasnya secara global yang kami anggap perlu saja, yaitu tentang sebab adanya perbedaan itu agar kita mengetahui sebab-sebab mengapa orang-orang Hanafi menyendiri dalam shalat witir.

Sebab tumbuhnya perbedaan mereka itu berpangkal dalam memahami hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat witir, dari segi mafhum dan manthuqnya, juga dari segi derajat shahihnya begitu juga dalam memahami atsar-atsar dalam bentuk dan jumlah rakaat serta cara mengejakannya. Perbedaan mereka bisa disimpulkan dalam point-point berikut;
  1. Dalam hukum.

    Orang-orang Hanafi mengatakan wajib, sedang jumhur (kebanyakan ulama) manyatakan sunnah mu’akkad (sunnah yang dikuatkan) tetapi perlu diperhatikan bahwa istilah wajib bagi orang-orang Hanafi tidak sama dengan istilah wajib bagi jumhur ulama. Yang jelas bahwa wajib bagi orang-orang Hanafi adalah dibawah fardhu diatas sunnah maka tidak perlu adzan dan bagi yang meninggalkan tidak dianggap kafir.
  2. Dalam bilangan rakaat.

    Madzhab Hanafi mengerjakan tiga rakaat atau lebih, tidak boleh kurang dari tiga rakaat sedang jumhur boleh dengan satu rakaat. Tetapi mereka semua sepakat bahwa batas paling banyak adalah tiga belas rakaat, hanya berbeda dalam pelaksanaan bagi madzhab Hanafi harus dijadikan satu salam.
  3. Cara mengerjakannya.

    Kalau tiga rakaat madzhab Hanafi berpendapat harus dijadikan satu takbiratul ihram dan satu salam sedang di tengah-tengah harus ada tasyahhud persis shalat Maghrib. Sedang bagi jumhur dipecah; dua rakaat satu salam dan ditambah satu rakaat satu salam.
  4. Tempat qunut.

    Madzhab Hanafi berqunut sebelum ruku’ dalam berdo’a dengan suara pelan, mereka bertakbir sebagai tanda perpindahan antara selesai membaca ke do’a, sedang madzhab Hambali dan Syafi’i berqunut setelah ruku’ dan dalm berdo’a dengan suara keras.

Dengan perbedaan-perbedaan inilah madzhab Hanafi berselisih pendapat dengan jumhur. Dengan demikian orang-orang Hanafi shalat berjama’ah bersama imam dalam shalat fardhu dan tarawih karena tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah itu, tetapi mereka menyendiri dalam shalat witir guna melakukannyasesuai dengan apa yang mereka anut. Semua itu ecara hokum fiqih mungkin boleh terjadi, tetapi secara praktek dengan cara yang demontrativ itu tentunya akan menimbulkan suatu pertanyaan dan mengundang perhatian. Padahal sebenarnya mempunyai nas-nas yang bisa menyatukan mereka dengan yang lain dan menghapuskan perselisihan itu. Juga bagi mereka sebenarnya sah hukumnya shalat witir di belakang imam yang bermadzhab selain Hanafi. Dalam kitab mereka dari Nadhoman Ibnu Wahhabin dikatakan yang artinya; “Kalau ada orang Hanafi berjemaah di belakang seorang muslim apapun madzhabnya untuk shalat witir kemudian menyempurnakannya sampai ntiga rakaat maka witiwnya sah.”

Pengarang ”Fathul Qadir Syarah kitab Al Hidayah” dari Abu Bakar Ar Razi telah menerangkan secara terperinci dalam masalah ini, bahwa seorang bermadzhab Hanafi bila shalat witir di belakang orang yang bukan bernadzhab Hanafi ada dua pilhan:
  1. Tidak ikut salam pada rakaat kedua kemudian mengikuti imam pada rakaat ketiga, hal ini dengan dasar bahwa salam imam tidak memutuskan shalat karena pada waktu itu tempat ijtihad dan berarti dia mengikuti imam sampai selesai.
  2. Tidak mengikuti waktu salam pada rakaat kedua tetapi terus menyelesaikan sendiri rakaat ketiganya.

Yang jelas itulah bentuk yamg bisa menghilangkan perselisihan dengan tidak menjadikan seseorang keluar dari madzhabnya. Sekali lagi kami (mushannif) tidak ingin membicarakan masalah ini dari segi madzhab, nas-nas sudah cukup banyak sedangmasalahnyapun sudah jaelas.
Tetapi yang menarik perhatian dan kurang sedap dipandang adalah adanya perselisihan antara kaum muslimin yang terlihat dalam melaksanakan ibadah kepada Allah, apalagi hal ini terjadi di masjid Nabi . Hal ini menimbulkan dampak negatif terutama bagi orang awam, setelah shalat witir besama imam yang biasa kemudian mereka melihat orang-orang Hanafi shalat witir lagi, mereka menyangka bahwa pekerjaan orang-orang Hanafi itu termasuk tambahan sunnah dalam bulan Ramadhan dan di masjid yang mulia itu. Akhirnya merekapun ikut shalat witir lagi dengan orang-orang Hanafi, dengan demikian mereka shalat witir dua kali karena tidak mengerti bahwa perbuatan seperti itu dilarang oleh Rasul dalam sabdanya: ”Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.”

Kalau kita tinjau masalah ini sekali lagi dalam kitab-kitab orang Hanafi, akan kita dapati bahwa shalat witir seorang diri lebih afdhal bagi mereka diluar Ramadhan, sedang shalat witir berjama’ah di masjid pada bulan Ramadhan keafdhalanya masih diragukan. Dalam kitab ”Marokil Falah” dikatakan yang artinya: ”Shalat witir dengan berjama’ah pada bulan Ramadhan lebih afdhal dari pada dikerjakan sendiri-sendiri padaa akhir malam.” Tetapi yang lainmenyatakan sebaliknya juga dalam keterangan kitab itu. Ulama-ilam kita memilih shalat witir di rumah tidak dengan berjema’ah, dengan mengetengahkan kata-kata Al Rozi terdahulu yang menyatakan sahnya shalat witir dibelakang orang Islam yang bermadzhab lain, baik dengan menyelesaikan sendiri atau mengikuti imam.

Sebagai akhir dari keterangan tentang perkembangan sejarah shalat tarawih di masjid Nabi, kami (mushannif) ingin mengajak para pembaca untuk bertanya apakah sepanjang sejarah lwbih 1000 tahun di masjid Nabi dari awal sampai sekarang (1390 H.) shalat tarawih hanya terbatas pada delapan rakaat atau kurang dari 20 rakaat ataukah selama 14 abad shalat tarwih itu antara 20 rakaat sampai 40 rakaat ? Apakah pernah dengar, mereka yang telah tinggal dan beriman sebelumnya atau dengan kata lain yang sudah meninggalkan kita dengan iman meski seorangpunberkata, ”Shalat tarawih tidak boleh lebih dari delapan rakaat dengan dalih hadits Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah tidak pernah shalat lebih dari 8 rakaat ?” ”Atau mereka memahami nas-nas yang mutlak, tidak terbatas dan nas-nas lebih bersungguh-sungguh pada bulan Ramadhan dari bulan yang lain dan pada malam 20-an lebih dari yang lain, dan malam 20-an mempunyai keistimewaan dari yang lain ?” Ataukah mereka mengerjakan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar, Ustman dan Ali di tengah-tengah para sahabat radhiallahu ‘anhum yang meraka mekihat dan menyaksikan kehidupan Rasulullah serta sejaman dengan Sayyidah Aisyah radhiallahu ‘anha dan mereka melihat cara Sayyidah Aisyah shalat dan bagaimana beliau menjadikan para pemuda yang pandai membaca Al Qur’an sebagai imam dalam shalat tarawih ?” ”apakah ini semua menunjukkan bahwa shalat tarawih itu 8 rakaat atau yang lain???”

Kalau sepanjang 14 abad tidak ada yang berkata tidak boleh shalat tarawih lebih dari 8 rakaat, juga tidak ada di masjid Nabi yang shalat tarawih dengan jama’ah hanya 8 rakaat maka sedikitnya bisa kita katakana kepada mereka yang tidak membolehkan shalat tarawih lebih dari 8 rakaat dan mereka tidak mau menyimpan pendapatnya untuk dirinya dan mengajak orang lain, kita katakana, ”Sesungguhnya mengikuti umat dari jaman khulafaurrasyidin radhiallahu ‘anhum sampai sekarang dan melakukan yang sesuai dengan mereka pada abad pertama sampai sekarang lebih baik dari pada menentangnya dan berbeda dengan mereka, terutama bagi mereka yang shalat di masjid Nabi, sesuai dengan hadits Abu Dzar pada kitab-kitab Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi juga yang terdapat pada kitab Baihaqi yang nasnya, ”Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah dan beliau tidak pernah tarawih shalat tarawih bersama kami sepanjang bulan sampai datang malam ke-23, Rasulullah bersama kita sampai pertiga malam, pada malam ke-24 tidak shalat bersama kami lagi dan pada malam ke-25 beliau shalat bersama kami sampai tengah malam, maka kami waktu itu berkata, “Wahai Rasulullah, alangkah senangnya kalau disunnahkan juga sisa malam itu (sampai pagi).” Maka Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya seorang yang shalat yang bersama imam sampai selesai maka Allah juga menuliskan sisa malamnya.” Rasulullah menjadikan shalat malam bersama imam sampai selesai seperti shalat sepanjang malam dan Rasulullah tidak memberi batas bagi imam, juga tidak menentukan bilangannya.

Bagi mereka yang shalat di rumah, diberi kebebasan untuk memperbanyak atau memperpendek, terserah pada dirinya tanpa ada hubungan dengan yang lain, dialah yang menentukan sendiri; Apa mau mengurangi jumlah rakaatnya tapi memanjangkan bacaannya atau memperbanyak jumlah rakaatnya tetapi meringankan bacaannya, terserah mana yang lebih disukai. Dalam hal ini kami (mushannif) hendak memaparkan pendapat imam empat dan apa yang dikerjakan oleh para pengikutnya agar setiap pembaca mengetahui serta memahami pendapat dan dalil mereka.

BERSAMBUNG KE Shalat Tarawih dalam Madzhab Empat




Back to The Title

Tidak ada komentar:

Posting Komentar