Video

Selasa, 05 Juli 2016

SHALAT TARAWIH DALAM MADZHAB EMPAT


SHALAT TARAWIH DALAM MADZHAB EMPAT

Pembahasan kami yang lalu berjalan sesuai dengan perjalanan sejarah Islam dari jaman Nabi sampai abad ke 14 dan berkisar khusus tentang shalat tarawih di Masjid Nabi . Sebagai penyempurnaan kami bahas juga masalah ini dari segi hokum fiqh dengan menerangkan pendapat-pendapat Madzhab Empat dalam masalah shalat tarawih agar para pembaca dapat memahami masalah itu dengan jelas. Kami ongin memaparkan seluruh pendapat Madzhab Empat dengan sempurna tanpa memberikan perhatian khusus pada satu madzhab saja’ demi menghindari tuduhan ta’assub dan untuk berbakti pada semua madzhab apalagi semuanya itu saling berkaitan dalam masalah ini.

Agar para pembaca mengetahui sampai dimana persamaan yang ada tentang bilangan rakaatnya dan bahwa yang mashur adalah 20 rakaat, merekapun sepakat dengan apa yang telah dilakukan oleh penduduk Madinah, selain nas-nas yang telah kami tuliskan terdahulu yang mereka pakai sebagai dalil, termasuk apa yang telah dilakukan oleh salaf. Karena Imam Malik, imam Darul Hijrah (Madinah) maka kami menyebutkan dengan madzhab Malik:

SHALAT TARAWIH MENURUT MADZHAB MALIKI

Telah kami terangkan masalah shalat tarawih pada jaman Imam Malik di Madinah saja, sekarang akan kami terangkan madzhabnya secara umum untuk seluruh daerah tanpa terbatas dengan daerah tertentu. Literature utama dalam Madzhab Imam Malik ini adalah kitab Muwaththa’. Dalam masalh qiyam Ramadhan (bangun malam Ramadhan) Imam Malik menyebutkan dua bab berturut-turut pada kita Muwaththa’, yang pertama tentang anjuran secara umum untuk shalat pada bulan Ramadhan, dalam hal ini disebutkan dua hadits. Yang kedua, khusus tentang bangun malam pada bulan Ramadhan (qiyam Ramadhan) yaitu shalat tarawih.

Munkin yang kedua ini menunjukkan bahwa kata-kata tarawih belum masyhur waktu itu, yang masyhur adalah kata-kata ”qiyam”.

Imam Malik menyebutkan dalam Muwaththa’;


Anjuran shalat pada bulan Ramadhan:

حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى اللَّيْلَةَ الْقَابِلَةَ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Az Zubair dari Aisyah isteri Nabi , bahwa pada suatu malam Rasulullah shalat di masjid, dan orang-orang mengikutinya dari belakang. Pada malam berikutnya, beliau shalat lagi dan semakin banyak yang mengikutinya. Sehingga pada malam ketiga atau keempat, orang-orang berkumpul (di masjid) sementara Rasulullah tidak kunjung keluar. Pada pagi harinya, Rasulullah bersabda: "Saya tahu apa yang kalian lakukan, tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian, melainkan saya takut hal itu menjadi wajib bagi kalian." Hal itu terjadi pada bulan Ramadlan." (MALIK no. 229)

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَ بِعَزِيمَةٍ فَيَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ كَانَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِي خِلَافَةِ أَبِي بَكْرٍ وَصَدْرًا مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf dari Abu Hurairah, Rasulullah menganjurkan shalat malam pada bulan Ramadlan dengan perintah yang tidak mewajibkan. Beliau bersabda: "Barangsiapa shalat malam Ramadlan, dengan penuh iman dan berharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." Ibnu Syihab berkata; "Rasulullah meninggal dan perintahnya masih seperti itu. Begitu juga pada masa khalifah Abu Bakar dan pada masa khalifah Umar bin Khatthab." (MALIK no. 230)

Dalam nas ini Malik mengetengahkan dua hadits, pertama berupa perbuatan dan persetujuan (fi’il wa taqriri), yang kedua berupa berupa perkataan (qauli), kedua-duanya secara umum. Kemudian menambahkan atsar Ibnu Syihab untuk menyatakan bahwa hal itu tidak dihapus (mansukh) atau ditambah, juga untuk menyatakan dua Sayyid yang diridhai Allah (Abu Bakar dan Umar) telah melakukannya. Kemudian Malik berkata, “Dalil yang ada qiyam Ramadhan (tarawih).”

Hadits diriwayatkan oleh Malik dari Syihab dari Urwah bin Zubair dari Abd Rahman bin Abd Qari’ berkata, “Saya keluar bersama Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu pada bulan Ramadhan ke masjid ternyata kami melihat orang-orang berpencar-pencar ada yang shalat sendiri ada juga yang dimakmumi oleh beberapa orang, maka Umar berkata, “Demi Allah, kalau seandainya saya kumpulkan pada satu imam pasti akan lebih baik.” Akhirnya dikumpulkan pada Ubay bin Ka’ab, kemudian pada malam berikutnya saya keluar lagi bersamanya, sedang orang-orang shalat dibelakang imam mereka, maka Umar berkata, “Bid’ah yang baik adalah ini, waktu kamu tidur lebih baik daripada waktu bangun”. Maksudnya ialah tengah malam, sedang shalat pada awal malam.

Dan hadits diriwayatkan dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Sa’ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khattab mennyurauh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk shalat tarawih bersama oranr-orang dengan 11 rakaat sehingga kita harus bersandar pada tongkat karena lamanya berdiri dan kita harus pulang ketika mulai terbit fajar.
Dan hadits diriwayatkan dari Malik dari Yazid bin Ruman dia berkata’ “Orang-orang pada jaman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu shalat tarawih 23 rakaat.
Dan hadits diriwayatkan dari Malik dari Dawud bin Hasin bahwa dia pernah mendengar A’roj berkata, “Saya melihat orang-orang pada bulan Ramadhan melaknati orang-orang kafir sedang imam tarawih membaca surat Al Baqarah semuanya dalam 8 rakaat, apabila surat Al Baqarah itu dibaca dalam 12 rakaat, orang-orang mengatakan imam telah meringankan.”

Dan hadits diriwayatkan dari Malik dari Abdullah bin Abu Bakar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Saya mendengar ayah saya berkata’ “Kita pulang (dari shalat tarawih) pada bulan Ramadhan tergesa-gesa menyediakan makanan karena takut fajar (subuh) tiba.”
Dan hadits diriwayatkan dari Malik dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa Dzakwan, dia adalah hamba Aisyah isteri Rasulullah yang dimerekakan setelah beliau wafat, dia menjadi imam untuk beliau pada bulan Ramadhan.

Walhasil dari nas-nas itu, pada bab 1 nas-nas itu umum, baru setelah itu datang nas-nas secara terperinci, seakan-akan memberikan perincian dari hal yang umum. Ini menunjukkan ketelitian dan kemahiran dalam menyusun. Imam Malik menerangkan kepada kita bahwa Sayyidina Umar mengumpulkan mereka yang shalat pada 1 imam, atau dengan kata lain menyatukan jama’ah yang banyak itulah bid’ah (hal baru) yang baik, yaitu mengumpulkan mereka pada satu imam dan mereka melakukan shalat pada saat orang-orang tidur. Waktu itu lebih baik (afdhal).

Kemudian menerangkan kepada kita dalam hadits yang kedua, jumlah rakaat yang diperintahkan oleh sayyidina Umar yaitu 11 rakaat dengan memanjangkan bacaan sampai 100 ayat setiap rakaat, maka shalat lama sekali sehingga mereka bersandar pada tongkat dan baru selesai pada waktu menjelang fajar. Kemudian menentukan jumlah rakaat yang lain yaitu 23 rakaat sebagai ganti dari 11 rakaat.

Dan hadits keempat diteranglan bahwa membaca surat Al Baqarah dalam 8 rakaat adalah hal yang biasa sedang membaca surat Al Baqarah dalam 12 rakaat merupakan keringanan dari hal yang biasa, diterangkan juga bahwa pada qiyam Ramadhan terdapat qunut, juga menunjukkan adanya shalat lebih dari 8 rakkat, yaitu dari kata-kata ; membaca surat Al Baqarah dalam 12 rakaat.
Pada hadits kelima diterangkan bahwa mereka shalat tarawih sampai waktu sahur sehingga pulang dengan tergesa-gesa takut fajar
Kalau hadits keenam menerangkan adanya sebagian yang berjama’ah dengan imam, selain imam jama’ah (di masjid) terutama orang-orang perempuan di rumah.

Itulah ringkasan dari pendapat Imam Malik dalam Muwaththa’ yang merupakan asal dari segi sanad dan pengambilan hokum. Tentang nas-nas madzhabnya, para pengikut terakhir Imam Malik kembali kepada apa yang ada dalam kitab Mukhtashor oleh Kholil. Nasnya menyatakan, “Shalat Tarawih dengan sendirian tak mengapa kalau tidak menjadikan masjid sepi. Hataman di dalamnya satu surat yang cukup untuk 23 rakaat, kemudian dijadikan 36 rakaat… dan seterusnya.
Nas tersebut mengatakan bahwa asal shalat tarawih itu 23 rakaat, kemudian ditambah sampai menjadi 36 rakaat, sedang nas-nas Malik sendiri sudah kami sebutkan dari Muwaththa’.

Al Baji, seorang imam terkemuka dari pengikut Maliki menerangkan secara terperinci, ia mengatakan bahwa pasal tentang kata-kata 11 rakaat atau kata-kata Malik dal hadits Sa’ib binZaid yang mengatakan, “Mungkin Umar radhiallahu ‘anhu dalam hal ini mengikuti shalat Nabi seperti yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi shalat malam 11 rakaat”. Kemudian dikatakan oleh Baji , “Banyak riwayat yang berbeda dalam shalat pada bulan Ramadhan pada jaman Sayyidina Umar.”[1]

Said meriwayatkan 11 rakaat dan Yazid bin Ruman meriwayatkan 23 rakaat dan Nafi’ maula Ibnu Umar meriwayatkan bahwa ia melihat orang-orang shalt 39 rakaat termasuk didalamnya witir 3 rakaat dan inilah yang dipilih oleh Malik, sedang Imam Syafi’i memilih 20 rakaat ditambah witir seperti pada hadits Yazid bin Ruman. Ada kemungkinan Sayyidina Umar menyuruh orang-orang untuk shalat 11 rakaat dengan memanjangkan bacaan, dalam satu rakaat imam membaca 100 ayat, karena memanjangkan bacaan lebih afdhal dalam shalat. Tetapi setelah orang-orang tidak mampu melakukan hal tersebut, sayyidina Umar menyuruh mereka dengan 23 rakaat dengan memperingan bacaan, agar tidak terlalu lama berdiri dengan mengambil fadhilah yaitu menambah jumlah rakaat, dan sebelumnya imam mambaca satu surat Al Baqarah dalam 8 rakaat atau 12 rakaat seperti pada hadits A’raj.

Dikatakan juga bahwa imam membaca 30 sampai 20 ayat dan yang demikian itu berlangsung sampai waktu perang Harroh. Kemudian bacaannya dikurangi dan jumlah rakaatnya ditambah sehingga menjadi 36 rakaat ditambah dengan 3 witir rakaat, setelah mereka merasa berat berdiri. Begitulah keadaan shalat tarawih yang berlaku. Pada jaman Umar bin Abdul Aziz dia memerintahkan agar setiap rakaat imam membaca 10 ayat sedangkan Malik tidak senang kalau mereka melakukan kurang dari itu.

Itulah yang dilakukan oleh para imam dan disepakati oleh pendapat jama’ah, itulah yang afdhal yang berarti meringankan. “Hal ini berlaku dalam ayat-ayat panjang, mereka menambah lebih dari itu dalam ayat-ayat yang pendek”, kata Syiekh Abd Qasim. Imam Malik berkata,’Menurut saya berlaku dalam jama’ah-jama’ah dan masjid-masjid, kalau seseorang mampu melakukan untuk dirinya 11 rakaat, setiap rakaat ratusan ayat maka hal itu lebih afdhal.” Nabi pernah bersabda, ”Shalat yang afdhal adalah yang lama.” Kemudian diterangkan cara shalat seperti yang ada dalam hadits Yazid bin Ruman 23 rakaat, yang dimaksud ialah 20 rakaat selain witir dan 2 rakaat yang biasa dikerjakan bersamanya setiap tahun. Sedang yang 20 rakaat itu terdiri dari 5 shalat tarawih, setiap 4 rakaat 1 tarawih, dan setiap 2 rakaat salam, kebiasaan imam-imam antara 2 tarawih diselingi denagn 2 rakaat pendek, dikerjakan sendiri-sendiri, hal ini dimaksudkan:
  1. Untuk menhindar kesalahan menghitung rakaat
  2. Meraka yang ketinggalan rakaatnya dari imam bisa menyempurnakannya pada waktu itu.

CARA MENG-QADA’ RAKAAT YANG TERTINGGAL DALAM SHALAT TARAWIH


Seperti diketahui bahwa cara mengqada’ rakaat yang teritnggal dalam shalat tarawih mempunyai hubungan dengan cara mengerjakannya. Cara mengerjakannya seperti terdahulu; 5 tarawih, setiap tarawih 4 rakaat, setiap 2 rakaat salam dan antara 2 shalat tarawih ada waktu duduk beristirahat dari lamanya berdiri dan jumalhnya ada 20 rakaat. Tetapi kadang-kadang mereka shalat 2 rakaat sendiri-sendiri yaitu antar 2 tarawih, ini terhadi di Madinah, tetapi Imam Ahmad mengatakan itu makruh, akan kami terangkan nanti pada madzhabnya.

Dengan demikian bagi mereka yang ketinggalan dan hanya dapat mengikuti satu rakaat maka rakaat yang dapat diikutinya mungkin pada dua rakaat pertama dari tarawih atau pada rakaat terakhir dari shalat tarawih.
  1. Kalau pada dua rakaat yang terakhir maka cara mengqada’ yang ketinggalan pada waktu orang-orang sedang istirahat yaitu sewaktu imam shalat dua rakaat pendek.
  2. Dan kalau ada dua rakaat yang pertama, dikatakan dalam kitab Al Muwaththa’, diriwayatkan oleh Ibnu Qasim dari Malik bahwa baginya (yang ketinggalan satu rakaat pertama) tidak usah mengikuti imam pada waktu salam tetapi ikut berdiri bersama imam dan mengikutinya, apabila imam selesai mengerjakan rakaat pertama dari dua rakaat terakhir dan akan berdiri untuk rakaat kedua baginya (masbuq) tidak usah ikut berdiri, tetapi duduk melakukan tasyahhud kemudian salam maka dengan demikian dia telah menyelesaikan dua rakaat pertama dari shalat tarawih. Kemudian berdiri dan mengikuti rakaat terakhir dari dua rakaat terakhir, bila imam duduk untuk tasyahhud maka dia juga ikut duduk dan bila imam salam dia tidak ikut salam, tetapi berdiri melakukan satu rakaat yang tertinggal.

Mengeraskan Basmalah dan Ta’awwud pada Waktu Memulai Bacaac pada Madzhab Malik


Dari Abd Rahman bin Qasim bahwa Malik ditanya dalam masalah qiyam Ramadhan (tarawih): “Berapa ayat imam harus membaca ?” Sepulu-sepuluh dan bila datang surat-surat yang pendek hendaknya ditamabah, seperti surat Ash Shaf dan Tha’ si mim”, jawabnya. “Dengan lima ayat ?” Dijawab; “Bahkan sepuluh ayat”.

Telah disebutkan tentang bacaan basmalah dan ta’awwudz engan keras khusus pada qiyam Ramadhan (tarawih), Al Baji dalam masalah ini menyatakan; “Tiadak apa-apa dengan asti’adah, yaitu pada Ramadhan.[2] Dalam riwayat lain dikatakan; “Bahwa meninggalkan itu lebih aku senangi.”[3]

Alasan Ibnul Qasim tentang firman Allah :


فاذاقرات القران فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم

”Apabila kamu membaca Al Qur’an hendaklah kamu berta’awwudz kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

Bahwa ayat di atas menerut Ibnul Qasim untuk dinaca di luar shalat, karena lafadz ini tidak bisa diketahui, maka tidak disunnahkan membacanya pada waktu mambaca seperti halnya semua perkataan. Kalau kita berpendapat bahwa hal ini boleh maka Ibnul Hubaib telah meriwayatkan dari Malik dalam hal itu dengan suara keras.
Alasan Ibnul Hubaib bahwa dzikir yang masyhur waktu qiyam maka seakan-akan hokum pelan dan kerasnya seperti hukum bacaan. Sedang alasa riwayat Asyhab bahwa hal itu bukan termasuk Al Qur’an maka dia harus pelan untuk membedakan dengan Al Qur’an. Dan Ibnul Hubaib meriwayatkan dari Malik bahwa hal itu pada pembukaan imam. Ibnul Hubaib berkata, “Harus dibuka dengannya (ta’awwudz) pada setiap rakaat.”

Ringkasan Madzhab Malik dalam Shalat Tarawih


  1. Jumalah rakaat yang ada nas dan dilakukan adalah 23 rakaat, kemudian ditambah menjadi 36 rakaat, ditambah dengan 3 rakaat shalat witir maka jumlahnya menjadi 39 rakaat.
  2. Al Baji menerangkan penambahan akan menguatkan (mentarjih) untuk melakukan apa yang disebut riwayat Nafi’ maula Ibnu Umar, “Saya melihat orang-orang Madinah melakukan shalat tarawih 39 rakaat.”
  3. Diterangkan juga bahwa asalnya adalah 23 rakaat dan kebiasaan para imam melakukan shlst 2 rakaat sendiri-sendiri antara setiap shalat tarawih. Alasannya yaitu untuk mencocokkan bilangan rakaat serta member kesempatan bagi yang ketinggalan imam.
  4. Basmalah dan isti’adzah yang boleh diucapakan keras, begitu pula qunut dengan membaca انا فتحنا لك فتحا مبينا
  5. Yang afdhal adalah mengerjakannya sendiri bagi hafidz yang tidak malas dan masjid tidak menjadi sepi karenanya. Dengan berjama’ah lebih afdlal bagi yang lain.

BERSAMBUNG KE Madzhab Hanafi




Back to The Title

NoteFood:


(1) Syarah Muwaththa’ juz 1 halaman 208.

NoteFood:


(2) Syarah Muwaththa’ juz 1 halaman 208.

NoteFood:


(3) Riwayat Ibnul Qasim dari Malik dalam Kitab Al Mudawwanah, dan dan diriwayatkan dari Asyhab di Kitab Al Utaibiyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar