KHILAFIYAH
NU-MUHAMMADIYAH
MASALAH TAHLIL
Dalam bahasa Arab,
Tahlil berarti menyebut kalimah “syahadah” yaitu “La ilaha illa Allah” (لااله الا الله). Dalam konteks Indonesia,
tahlil menjadi sebuah istilah untuk
menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka
mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.
Kegiatan tahlil sering juga disebut dengan istilah tahlilan. Tahlilan, sudah menjadi
amaliah warga NU sejak dulu hingga sekarang. Sementara kalangan Muhammadiyah
tidak membenarkan diselenggarakannya tahlilan.
Bacaan-bacaan doa serta urutan dalam acara tahlil juga
sudah tersusun sedemikian rupa, dan dihafal oleh warga NU. Begitu pula tentang
bagaimana tradisi pelaksanaannya, di mana keluarga sedang tertimpa musibah
kematian (shohibul mushibah) memberikan sedekah makanan bagi tamu yang diundang
untuk turut serta mendoakan.
NU menganggap bahwa acara tahlilan tidak bertentangan
dengan syariat Islam, melainkan justru sesuai dengan apa yang telah disunnahkan
oleh Rasulullah saw. Sementara Muhammadiyah menganggap bahwa acara tahlilan
merupakan sesuatu hal yang baru, tidak pernah dikerjakan dan diperintahkan
rasulullah (bid’ah).
NU membenarkan bahwa bacaan doa, kiriman pahala dari
membaca ayat-ayat al-Qur’an, dan shodaqah, bisa dikirimkan kepada orang yang
sudah meninggal, sementara Muhammadiyah berpendapat bahwa membaca al-Qur’an,
dan bacaan lain, serta bersodaqah yang dikirimkan kepada orang yang sudah
meninggal pahala tersebut tidak akan sampai.
Perbedaan pendapat seputar tahlil ini terjadi,
dikarenakan terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap ayat al-Qur’an dan
hadis yang berkaitan dengan masalah tersebut. Selain juga karena dalil yang
digunakan serta metode pengistimbathan hukumnya yang berbeda. Untuk lebih
jelasnya, baiknya langsung kita pahami bersama dasar-dasar penolakan dan
penerimaan tahlil dari NU dan Muhammadiyah.
- Muhammadiyah
Sebagaimana sudah dikenal, bahwa ajaran agama Muhammadiyah cenderung ingin
memurnikan syariat Islam (tajdid). Islam yang menyebar luas di Indonesia,
khususnya di jawa, tidak dipungkiri merupakan perjuangan dari para pendakwah
Islam pertama, di antaranya adalah Wali Sanga. Dalam menyebarkan agama Islam,
Walisanga menggunakan pendekatan kultural, yang mana tidak membuang keseluruhan
tradisi dan budaya Hindu dan Budha, dua ajaran yang menjadi mayoritas pada masa
itu, melainkan memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi dan kepercayaan
Hindu Budha. Salah satu tradisi agama Hindu, yaitu ketika ada orang yang
meninggal adalah kembalinya ruh orang yang meninggal itu ke rumahnya pada hari
pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus, dan seterusnya. Dari tradisi
itulah kemudian muncul tradisi yang kemudian dikenal dengan tahlil.
Sebagaimana sudah pernah dibahas dalam Majalah Suara Muhammadiyah dan
dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II yang diterbitkan Muhammadiyah, tahlilan
tidak ada sumbernya dalam ajaran Islam. Tradisi selamatan kematian 7 hari, 40
hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk orang yang meninggal dunia, sesungguhnya
merupakan tradisi agama Hindu dan tidak ada sumbernya dari ajaran Islam.
Muhammadiyah menganggap bahwa keberadaan tahlil pada dasarnya tidak bisa
dilepaskan dari tradisi tarekat. Ini bisa diketahui dari terdapatnya
gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk melafalkan bacaan tahlil
sebagai bagian dari metode mendekatkan diri pada Allah. Dari tradisi tarekat
inilah kemudian berkembang model-model tahlil atau tahlilan di kalangan umat
Islam Indonesia.
Dalam tanya jawab masalah Agama di Suara Muhammadiyah disebutkan
macam-macam tahlil atau tahlilan. Di lingkungan Keraton terdapat tahlil rutin,
yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam Jum'at dan Selasa Legi; tahlil
hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika keraton mempunyai hajat-hajat
tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja, labuhan, hajat perkawinan,
kelahiran dan lainnya. Di masyarakat umum juga berkembang bentuk-bentuk tahlil
dan salah satunya adalah tahlil untuk orang yang meninggal dunia.
Muhammadiyah yang notabenenya mengaku masuk dalam kalangan para pendukung
gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian ajaran
Islam, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai bid'ah
yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.
Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai perbuatan bid'ah
bukan terletak pada membaca kalimat la
ilaha illallah, melainkan pada hal pokok yang menyertai tahlil, yaitu;
1.
Mengirimkan bacaan ayat-ayat
al-Qur'an kepada jenazah atau hadiah pahala kepada orang yang meninggal,
2.
Bacaan tahlil yang memakai pola
tertentu dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu.
Berikut akan kami berikan argumentasi penolakan Muhammadiyah terhadap
tahlil:
Argumentasi Pertama: Bahwa mengirim hadiah pahala untuk orang yang sudah
meninggal dunia tidak ada tuntunannya dari ayat-ayat al-Qur'an maupun hadis
Rasul. Muhammadiyah berpendapat bahwa ketika dalam suatu masalah tidak ada
tuntunannya, maka yang harus dipegangi adalah sabda Rasulullah saw, yang
artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan (agama)
yang tidak ada perintahku untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim dan Ahmad]
Dalam situs
pdmbontang.com memuat sebuah artikel yang berjudul “Meninggalkan Tahlilan,
siapa takut?”, sebuah artikel yang bersumber dari MTA-online. Dalam artikel
tersebut disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw ketika masih hidup pernah mendapat
musibah kematian atas orang yang dicintainya, yaitu Khodijah. Tetapi Nabi saw
tidak pernah memperingati kematian istrinya dalam bentuk apapun apalagi dengan
ritual tahlilan. Semasa Nabi hidup juga pernah ada banyak sahabatnya dan juga
pamannya yang meninggal, di antaranya Hamzah, si singa padang pasir yang
meninggal dalam perang Uhud. Beliau juga tidak pernah memperingati kematian
pamannya dan para sahabatnya.
Demikian pula setelah
Rasulullah saw wafat, tahlilan atau peringatan hari kematian belum ada pada
masa khulafaur Rasyidin. Pada masa Abu Bakar tidak pernah memperingati kematian
Rasulullah Muhammad saw. Setelah Abu Bakar wafat Umar bin Khaththab sebagai
kholifah juga tidak pernah memperingati kematian Rasululah Muhammad saw dan Abu
Bakar ra. Singkatnya semua Khulafaur Rasyidin tidak pernah memperingati
kematian Rasulullah saw.
Dalil aqli atas
sejarah tersebut adalah, kalau Rasulullah saw tidak pernah memperingati
kematian, para sahabat semuanya tidak pernah ada yang memperingati kematian,
berarti peringatan kematian adalah bukan termasuk ajaran Islam, sebab yang
menjadi panutan umat Islam adalah Rasulullah saw dan para sahabatnya, bukan?
Selain itu, berkaitan dalam masalah tahlil, Muhammadiyah menolaknya dengan
dasar dari hadist Rasulullah , yang artinya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Apabila manusia telah mati, maka putuslah
segala amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat
baginya, dan anak saleh yang mendoakannya.” [HR. Muslim]
Berkaitan dengan hadis tersebut, yang juga digunakan oleh Ulama atau
kalangan yang membolehkan tahlilan, Muhammadiyah memandang bahwa hadist
itu berbicara tentang mendoakan, bukan mengirim pahala doa dan bacaan ayat-ayat
Al Qur'an. Mendoakan orang tua yang sudah meninggal yang beragama Islam memang
dituntunkan oleh Islam, tetapi mengirim pahala doa dan bacaan, menurut
kepercayaan Muhammadiyah, tidak ada tuntunannya sama sekali.
Argumentasi kedua: selain dasar sebagaimana sudah disebutkan,
Muhammadiyah juga mendasarkan argumentasinya pada al-Qur’an surat an-Najm ayat
39, ath-Thur 21, al-Baqarah 286, al-An’am 164, yang mana dalam ayat-ayat
tersebut diterangkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan apa yang telah
dikerjakannya sendiri. Berikut adalah petikan ayat-ayatnya:
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm: 39)
Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu
mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan
mereka[1426], dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.
tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [QS. ath-Thur (52): 21]
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa):
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.
beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong
kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S. al-Baqarah: 286)
Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain
Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang
membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada
Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan." [QS. al-An’am (6): 164]
Dalam menjelaskan
ayat-ayat tersebut, kalangan yang menolak tahlilan mengutip pendapat madzhab
Syafii yang dikutip Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya, di sana dikatakan bahwa
bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai, sebagaimana
disebutkan dalam dalam al-Qur’an
surat an-Najm ayat 39 di atas.
Selain itu, juga
dikuatkan dengan pendapat Imam Al Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah
yang mengatakan: "Mayit tidak boleh
dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin,
bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai
kepadanya." Sedang dalam Al Um Imam Syafi'i menjelaskan bahwa Rasulullah
saw memberitakan sebagaimana diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa
dirinya sendiri, seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan
untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain. (Al Umm juz 7,
hal 269).
Dasar selanjutnya
adalah, perbuatan Nabi yang tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah
keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan
menimbulkan kesedihan baru (Al Umm, juz I, hal 248). Juga perkataan Imam Nawawi
yang mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan
berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali (Al Majmu'
Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).
Sebagaimana sudah
menjadi keputusan Tarjih Muhammadiyah dalam masalah ini, bahwa ketika ada yang
meninggal yang seharusnya membuat makanan adalah tetangga atau kerabat dekat
untuk keluarga si mayit. Dasarnya adalah hadis dari Abdullah bin Ja'far, ia
berkata, yang artinya:
Setelah datang berita kematian Ja'far,
Rasulullah bersabda: "Buatlah
makanan untuk keluarga Ja'far, karena telah datang kepada mereka sesuatu yang
menyusahkan mereka”. (H.R Tirmidzi dengan sanad hasan).
Demikianlah pendapat Muhammadiyah dalam masalah tahlil. Penolakannya
terhadap tradisi tahlilan talah terang memiliki dasar. Lalu, bagaimana pendapat
NU? Dalil-dalil apa yang digunakan oleh Ulama NU sehingga sampai sekarang masih
mempertahankan tahlilan? Mari kita kaji bersama-sama.
- Nahdhatul Ulama
Di atas, kita telah tahu pengertian
tahlil secara bahasa maupun istilah. Bahwa tahlil, secara bahasa berarti
pengucapan kalimat la ilaha illallah. Sedang
tahlil secara istilah, sebagaimana ditulis KH M. Irfan Ms, salah seorang tokoh
NU, ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya
kepada Allah, tidak hanya mengkui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk
mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah. Pada perkembangannya,
tahlil diitilahkan sebagai rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam
rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya tahlil bisa
dilakukan sendiri-sendiri, namun kebiasaannya tahlil dilakukan dengan cara
berjamaah.
Dalam buku Antologi
NU diterangkan, sebelum doa dilakukan, dibacakan terlebih dahulu
kalimah-kalimah syahadad, hamdalah, takbir, shalawat, tasbih, beberapa ayat
suci al-Qur’an dan tidak ketinggalan hailallah (membaca laa ilaaha illahllaah)
secara bersama-sama.
Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak malam pertama orang meninggal
sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi apda hari ke -40, hari ke-100, dan
hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun dengan nama khol atau haul,
yang waktunya tepat pada hari kematiannya.
Setelah pembacaan doa biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman
kepada para jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk
makanan matang). Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat, bukan lagi dengan makanan
matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan, seperti mie, beras, gula, the,
telur, dan lain-lain. Semua itu diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya
dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai
manifestasi rasa dinta yang mendalam baginya.
Dalam menjelaskan masalah tahlil, H.M.Cholil
Nafis, tokoh pembesar NU, menjelaskan pula sejarah tahlil, sebelum memberikan
dasar-dasar dibolehkannya tahlil. Menurutnya, berkumpulnya orang-orang
untuk tahlilan pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang
Islam di tanah Jawa). Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling
berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan
dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode
kultural atau budaya.
Wali Songo tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar
kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya
diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan
tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi
begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta
membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun
acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti
pengertian di atas tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Warga NU sampai sekarang tetap mempertahankan tahlil, salah satu tradisi
yang dimunculkan pertama kali oleh Walisanga. KH Sahal Mahfud, ulama NU dari
Jawa Tengah, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya
terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka
melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.
Kalau kita tinjau apa yang disampaikan KH Sahal Mahfud, terdapat dua hikmah
dilakukannya tahlil, yaitu, pertama,
hamblumminannas, dalam rangka melaksanakan ibadah sosial; dan
kedua, hablumminallah, dengan meningkatkan dzikir kepada Allah.
Mari kita lihat perspektif Ulama NU tentang dua hikmah tahlil tersebut.
Pertama, bahwa dalam tahlil terdapat aspek ibadah sosial,
khususnya tahlil yang dilakukan secara berjamaah. Dalam tahlil, sesama muslil
akan berkumpul sehingga tercipta hubungan silaturrahmi di antara mereka. Selain
itu, dibagikannya berkat, sedekah
berupa makanan atau bahan makanan, juga merupakan bagian dari ibadah sosial.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, yang artinya:
Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian
saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah menjawab,
“Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR Ahmad)
Menurut NU, sebagaimana disampaiakan H.M.Cholil Nafis, memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada
orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa
memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika
dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang
pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada
tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati
tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah
kepada orang lain.
Dalam hadits shahih yang lain disebutkan, yang artinya:
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai
Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya
jika akan bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki
itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu
bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirmidzi)
Pembolehan sedekah untuk mayit juga dikuatkan dengan pendapat Ibnu Qayyim
al-Jawziyah yang dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang
dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan
haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan
kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa
dan haji.
Namun demikian, karena memberikan jamuan untuk tamu berupa berkat adalah hukumnya boleh, maka
kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tradisi NU
dalam memberi jamuan makan untuk tamu tidaklah sesuatu yang wajib. Orang yang
tidak mampu secara ekonomi, semestinya tidak memaksakan diri untuk memberikan
jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau
sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain, demikian dikatakan
KH. Cholil Nafis.
Semua jamuan dan doa dalam tahlilan pahalanya dihadiahkan kepada mayit.
Warga NU percaya bahwa bersedekah untuk mayit, pahalanya akan sampai kepada
mayit.
Dalam
buku Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan dikutip sebuah hadis di mana
Rasulullah pahala sedekah untuk mayit akan sampai.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki
berkata kepada rasulullah SAW. “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku
melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika
aku bersedekah untuknya?”. Rasulullah bersabda,”ya”. (HR.
Muttafaqu ‘alaih)
Perintah Rasulullah yang senada itu
juga dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut
amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akan pernah putus meskipun oranng yang
bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir
ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah
ditiggalkan oleh rohnya.
Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah
SAW.bersabda: 'Tatkala manusia meninggal maka putuslah semua amalnya,
kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang
sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Dalil lain adalah hadits yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru
besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal
Hayaah, sebagaimana dikutip KH.
Chilil Nafis, yang artinya sebagai berikut:
“Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu
dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa
sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah seraya
berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami
yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka;
apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda:
Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan
sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut,
sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila
hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!"
Jadi, menurut NU, doa dan sedekah yang pahalanya diberikan kepada mayit
akan diterima oleh Allah.
Argumentasi selanjutnya adalah, bahwa tahlil merupakan sarana
hablumminallah, sebab doa-doa atau bacaan-bacaan dalam tahlil merupakan bacaan-bacaan
dzikrullah yang mana apa yang dibaca tersebut sesuati dengan sunnah Nabi
Muhamamd .
Bahwa ummat Islam diperintahkan, tidak hanya berdoa untuk orang yang masih
hidup, tetapi juga untuk orang yang sudah meninggal.
Allah swt berfirman:
Orang-orang
yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan
kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu
daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
Maka
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah
dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki
dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu
tinggal. (QS. Muhammad: 19)
KH M. Irfan Ms pernah
mengatakan bahwa tahlil dengan serangkaian bacaannya yang lebih akrab disebut
dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan sanak kerabat yang
telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu tahlil dengan serentetan
bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar, kalimat thayyibah
dan seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia baik yang
bertalian dengan i’tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran prilaku
manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat kelak.
Dari susunan
bacaannya tahlilan terdiri dari dua unsur, yaitu syarat dan rukun.
Bacaan-bacaan yang termasuk syarat tahlil adalah:
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah
ayat 1 sampai ayat 5 الم ذلك الكتاب
5. Surat al-Baqarah
ayat 163 والهكم إله واحد
6. Surat al-Baqarah
ayat 255 الله لاإله إلا هو الحي القيوم
7. Surat al-Baqarah
ayat dari ayat 284 samai ayat 286 لله مافي السموات
8. Surat al-Ahzab
ayat 33 إنما يريد الله
9. Surat al-Ahzab
ayat 56 إن الله وملائكته يصلون على النبي
10. Dan sela-sela
bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih
Adapun bacaan yang
dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan:
1. Surat al-Baqarah
ayat 286 pada bacaan :واعف عنا واغفر لنا وارحمنا
2. Surat al-Hud ayat
73: ارحمنا ياأرحم الراحمين
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah لاإله إلاالله
6. Tasbih
Ayat-ayat serta
bacaan-bacaan dzikir di atas memiliki keutamaannya masing-masing sebagaimana
disebutkan dalam hadis-hadis Nabi saw.
Seperti, misalnya
sebuah hadis yang mengatakan bahwa “orang yang menyebut “la ilaha illa
Allah” akan dikeluarkan dari neraka." Dalam rangkaian tahlil biasanya
juga membaca surat Yasin secara berjamaah. Perbuatan ini sesuai dengan apa yang
diperintahkan Nabi SAW dalam beberapa haditsnya yang secara terang-terangan
memerintahkan supaya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur’an untuk orang yang
telah meninggal dunia.
Dari Mu’aqqol ibn
Yassar r.a: "barang siapa membaca surat Yasin karena mengharap ridlo
Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin
bagi orang yang mati diantara kamu.” (H.R. Al-Baihaqi, dalam Jami’us
Shogir: bab Syu’abul Iman)
Masih banyak
hadis-hadis berkaitan dengan keutamaan surat-surat al-Qur’an serta
bacaan-bacaan dzikir dalam serangkaian bacaan tahlil yang akan terlalu panjang
jika semuanya ditulis di sini.
Kemudian, tentang dzikir
yang dilakukan secara berjamaah, termasuk dalam acara tahlilan, juga masuk
perkara ikhtilaf antara NU dan Muhammadiyah. Permasalah ini akan kita bahas
pada bab tersendiri. Yang perlu dibahas lebih dalam disini, yang juga menjadi
kontroversi Ulama, adalah membaca surat
al-Fatiah untuk dihadiahkan kepada mayit.
Dalam pembacaan
tahlil, setelah jamaah bersama-sama melantunkan shahadat, sebelum dilanjutkan
dengan bacaan-bacaan dan doa-doa yang lain, biasanya pemimpin tahlil akan
menghadiahi fatihah yang ditujuakan kepada, Nabi Muhammad berserta
keluarga, para sahabat, kepada orang-orang sholih, dan kepada orang yang
meninggal. NU berpendapat bahwa membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan
kepada orang yang sudah meninggal hukumnya adalah boleh.
KH A Nuril Huda, mengutip pendapat Ibnu
'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali yang mengatakan:
"Disunnahkan menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi SAW.”
Ibnu 'Abidin telah
bertaka sebagaimana tersebut dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral Mukhtar:
"Ketika para
ulama kita mengatakan boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya
untuk orang lain, maka termasuk di dalamnya hadiah kepada Rasulullah SAW.
Karena beliau lebih berhak mendapatkan dari pada yang lain. Beliaulah yang
telah menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah tersebut termasuk salah
satu bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas budi baiknya.
Bukankah seorang yang
kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan
kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua
amal umatnya otomatis masuk dalam tambahan amal Rasulullah, jawabannya adalah
bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah memberitakan
dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi dengan mengatakan:
اَللّهُمَّ صَلِّي
عَلَى مُحَمَّدٍ
“Ya
Allah berikanlah rahmat kemuliaan buat Muhammad. Wallahu A’lam.”
(lihat dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral Mukhtar, jilid II, hlm. 244)
Bolehnya menghadiakan
al-Fatikhah juga diperkuat dengan pendapat Ibnu Hajar al Haytami dalam Al-Fatawa
al-Fiqhiyyah. Juga, Al-Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul
Muhkam al-Matin, yang mengatakan: "Menurut saya boleh saja seseorang
menghadiahkan bacaan Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi meskipun
beliau selalu mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya,
karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak
melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang.
Jika hadiah bacaan
Al-Qur'an termasuk al-Fatihah diperbolehkan untuk Nabi, maka, menurut Ulama NU,
menghadiahkan al-Fatihah untuk para wali dan orang-orang saleh yang jelas-jelas
membutuhkan tambahnya ketinggian derajat dan kemuliaan juga dihukumi boleh.
Selain hadiah
al-Fatihal, hal yang juga menjadi tradisi NU, dan tidak terdapat di
Muhammadiyah adalah tradisi Haul. Masalah haul, barangkali tepat untuk sekalian
kita angkat di sini, sebab dalam acara haul yang ditradisikan oleh NU
dipastikan ada pembacaan tahlil.
Haul adalah
peringatan kematian yang dialukan setahun sekali, biasanya diadakan untuk
memperingati kematian para keluarga yang telah meninggal dunia atau para tokoh.
Tradisi haul diadakan berdasarkan hadits Rasulullah diriwayatkan:
Rasulullah berziarah ke makam Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang Uhud dan makam
keluarga Baqi’. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amal-amal yang
telah mereka kerjakan. (HR. Muslim)
Dalam hadis lain yang
diriwayatkan oleh Al-Wakidi disebutkan bahwa:
Rasulullah mengunjungi makam para pahlawan perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib (tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu’alaikum bimâ shabartum fani’ma uqbâ ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat
kesejahteraan ats kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah
tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga malakukan hal yang
serupa. (Dalam Najh al-Balâghah).
Para ulama
menyatakan, peringatan haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu
Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II, sebagaimana dikutip A. Khoirul Anam dalam artikelnya, menjelaskan,
para Sahabat dan Ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak
ada yang meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul yang
diadakan secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk
bersilaturrahim satu sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh
segala teladan dari para pendahulu; juga menjadi forum penting untuk
menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan.
Demikianlah pendapat
NU mengenai tahlil, yang intinya tahlil tidak bertentangan dengan syariat.
Karena dengan seseorang mengikuti tahlilan, baik sendiri-sendiri, berjamaah,
dalam acara haul atau tidak, maka mereka menjadi berdzikir dengan mengalunkan
kalimah syahadah, juga membaca ayat suci al-Qur’an serta bacaan dzikir yang
lain, yang semua itu tidak lain sebagai cara istighatsah kepada Allah agar
doanya diterima untuk mayit.
(Imron Lutfi bin
Abdurrahman Al Jambary)
Back to The Title
Tidak ada komentar:
Posting Komentar