Ta’wil (pengalihan dari makna dhahirnya kepada makna yang
lain) adalah senjata paling berbahaya yang digunakan ahli hawa nafsu dalam
menetapkan dasar-dasar mereka yang rusak, dan pegangan mereka yang paling
penting dalam menggunakan landasan dalil untuk pendapat-pendapat mereka yang
rusak. Dan ta’wil itulah cara yang dijadikan tempat berlindung dalam menggempur
nash-nash (teks ayat dan hadits) dan menolaknya dengan terang-terangan, atau
menolak keargumentasiannya, hukumnya, dan makna-maknanya.
Ta’wil itulah pintu yang dimasuki oleh seluruh aliran batil untuk menghancurkan
pokok-pokok Islam.
Golongan Jahmiyah mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah di bawah lambang ta’wil.
Golongan Mu’tazilah mengingkari sifat-sifat Allah juga di bawah panji-panji ta’wil.
Semuanya itu mengingkari ru’yatullah (melihat Allah, bagi penghuni surga) dan hal-hal yang ghaib (as-sam’iyyat) –mereka ingkari– dengan ta’wil.
Orang-orang mutakallimin (ahli ilmu Kalam) dari golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah menafikan sebagian (‘aththoluu) sifat-sifat dan af’al (perbuatan-perbuatan) Allah dengan ta’wil.
Golongan Rafidhah/ Syi’ah, kebatinan, ghulat/ ekstrimis, shufi, dan falsafi merusak kaidah-kaidah dan pokok-pokok agama dengan ta’wil.
Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Imam Ahmad telah mengingkari metode ahli bid’ah yang menafsiri Al-Quran dangan pendapat dan ta’wil mereka tanpa berlandaskan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wassallam , (mereka mengingkari pula) kata-kata shahabat dan tabi’in, yang kepada tabi’in itu telah disampaikan makna-makna Al-Quran oleh para sahabat. Sebagaimana para sahabat telah menyampaikan lafal-lafal Al-Quran kepada tabi’in, dan mereka (tabi’in) menukilnya seperti para sahabat telah menukilnya (dari Nabi Shallallahu'alaihi wassallam ). Tetapi Ahli Bid’ah menta’wilkan nash-nash dengan ta’wil-ta’wil yang menyelisihi kehendak Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mengaku-aku bahwa ta’wil itulah yang dipelajari oleh orang-orang yang ilmunya mendalam. Mereka (Ahli Bid’ah) itu dalam keadaan batil dalam hal ta’wil itu, lebih-lebih ta’wilan-ta’wilan Qaramithah, golongan kebatinan, golongan mulhid (ingkar ) dan demikian pula Ahli Kalam yang baru yaitu Jahmiyah, Qadariyah dan lainnya.” (Ibnu Taimiyyah, Al-Fatawa 17/ 415).
Golongan Jahmiyah mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah di bawah lambang ta’wil.
Golongan Mu’tazilah mengingkari sifat-sifat Allah juga di bawah panji-panji ta’wil.
Semuanya itu mengingkari ru’yatullah (melihat Allah, bagi penghuni surga) dan hal-hal yang ghaib (as-sam’iyyat) –mereka ingkari– dengan ta’wil.
Orang-orang mutakallimin (ahli ilmu Kalam) dari golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah menafikan sebagian (‘aththoluu) sifat-sifat dan af’al (perbuatan-perbuatan) Allah dengan ta’wil.
Golongan Rafidhah/ Syi’ah, kebatinan, ghulat/ ekstrimis, shufi, dan falsafi merusak kaidah-kaidah dan pokok-pokok agama dengan ta’wil.
Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Imam Ahmad telah mengingkari metode ahli bid’ah yang menafsiri Al-Quran dangan pendapat dan ta’wil mereka tanpa berlandaskan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wassallam , (mereka mengingkari pula) kata-kata shahabat dan tabi’in, yang kepada tabi’in itu telah disampaikan makna-makna Al-Quran oleh para sahabat. Sebagaimana para sahabat telah menyampaikan lafal-lafal Al-Quran kepada tabi’in, dan mereka (tabi’in) menukilnya seperti para sahabat telah menukilnya (dari Nabi Shallallahu'alaihi wassallam ). Tetapi Ahli Bid’ah menta’wilkan nash-nash dengan ta’wil-ta’wil yang menyelisihi kehendak Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mengaku-aku bahwa ta’wil itulah yang dipelajari oleh orang-orang yang ilmunya mendalam. Mereka (Ahli Bid’ah) itu dalam keadaan batil dalam hal ta’wil itu, lebih-lebih ta’wilan-ta’wilan Qaramithah, golongan kebatinan, golongan mulhid (ingkar ) dan demikian pula Ahli Kalam yang baru yaitu Jahmiyah, Qadariyah dan lainnya.” (Ibnu Taimiyyah, Al-Fatawa 17/ 415).
PERTANYAAN PENULIS:
اللَّهُ نُورُ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
Makna
dhahirnya:
Allah adalah
CAHAYA bagi langit dan bumi
Apakah ayat
tersebut tak perlu dita’wil ?
Sedangkan
CAHAYA adalah makhluk !!!!
PENDAPAT YANG KEDUA:
Ada dua
metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama benar :
Pertama : Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga
abad hijriyah pertama. Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil ayat-ayat
mutasyabihat secara global (takwil ijmali), yaitu dengan mengimaninya
serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism (sesuatu yang
memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan
dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan
makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman
Allah :
﴿ لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى:
۱۱)
Maknanya: “Dia
(Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi
maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S.
asy-Syura: 11)
Takwil
ijmali ini adalah
seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga Allah meridlainya- :
" ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا
جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ r عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ
اللهِ "
"Aku
beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah
dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah r sesuai
dengan maksud Rasulullah", yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan
oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat benda (makhluk)
yang tentunya mustahil bagi Allah.
Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (takwil
tafshili) seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti
bahwa dalam Shahih al Bukhari, kitab tafsir al Qur'an tertulis :
" سُوْرَةُ الْقَصَصِ ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ
مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ " اهـ.
"Surat
al Qashash, كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ
وَجْهَهُ (Q.S. al Qashash : 88) yakni kecuali kekuasaan dan
pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya
atau amal
yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya". Kekuasaan Allah adalah sifat
Allah yang azali (tidak memiliki permulaan) , tidak seperti kekuasaan yang Ia
berikan kepada makhluk-Nya. Dalam Shahih al Bukhari juga masih terdapat
takwil semacam ini di bagian yang lain seperti dlahik yang terdapat
dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (ar-Rahmah al
Khashshah).
Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf
mentakwil firman Allah : [ رَبُّكَ ﴿ وَجَاءَ secara tafshili (terperinci),
ia mengatakan : yakni datang kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) ".
Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang
ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i : "Setelah al
Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas
keduanya atau mendekati kapasitas keduanya ". Komentar al Bayhaqi terhadap
sanad tersebut ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al
Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al Bayhaqi dan ad-Daraquthni terdapat
dalam bukunya al Wasyyu al Mu'lam. Al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i sendiri
menurut al Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru dari para guru kami",
beliau hidup pada abad VII Hijriyah.
Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa
imam Ahmad mentakwil secara terperinci (tafshili), di antaranya al
Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi yang merupakan salah seorang tokoh besar
madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau banyak mengetahui nash-nash
(teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam Ahmad.
Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang
secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi
adalah seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi
sebagai imam dari para imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir
dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.
Kedua : Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara
terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata
tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami
ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan
diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan
orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih
(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang
memaki Iblis :
﴿ مَا مَنَعَكَ
أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ﴾ (سورة ص :
75)
Ayat ini
boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al
'Inayah (perhatian khusus) dan al Hifzh (memelihara dan menjaga).
PERTANYAAN PENULIS:
Ada hadits
Shahih Bukhari no. 764 yang kalimat terakhirnya berbunyi:
فَيَضْحَكُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْهُ ثُمَّ يَأْذَنُ لَهُ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ فَيَقُولُ
تَمَنَّ فَيَتَمَنَّى حَتَّى إِذَا انْقَطَعَ أُمْنِيَّتُهُ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
مِنْ كَذَا وَكَذَا
Maka Allah
Azza Wa Jalla tertawa mendengarnya. Lalu Allah mengizinkan orang itu memasuki
surga. Setelahitu Allah Azza Wa Jalla berfirman: 'Bayangkanlah! '
Apakah
Ta’wil kalimat “TERTAWANYA ALLAH” ????
Penjelasan tentang TA'WIL silahkan KLIK DI SINI
Memang apakah arti dar "TA'WIL" itu sendiri?
BalasHapusMohon penjelasannya..
Pro Kontra Tentang Ta'Wil >>>>> Download Now
BalasHapus>>>>> Download Full
Pro Kontra Tentang Ta'Wil >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Pro Kontra Tentang Ta'Wil >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK eJ