Menimbang Ulil Amri Presiden Jokowi-JK
K etua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyatakan bahwa kepemimpinan nasional adalah khalifah bagi bangsa Indonesia, termasuk bagi umat Muslim di Tanah Air.
“NKRI sudah sesuai jalan Islam. Pak Jokowi (Joko Widodo) khalifah kita sekarang, pemimpin bangsa Indonesia, termasuk umat Islam,” kata Said Aqil usai penutupan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Jakarta, Minggu (2/11).
Seorang alumni King Saud University, juga da’i dan muballigh terkenal serta pimpinan salah satu pesantren salafi di Yogyakarta; sebelumnya telah mengajak jama’ahnya untuk tidak memilih Jokowi sebagai presiden pada pilpres lalu, namun kini mengajak kaum muslimin untuk taat dan mendoakan kebaikan bagi Jokowi-JK.
“Kita taat kepada beliau (Jokowi-JK), dan kaum muslimin harus taat kepada Ulil Amri. Kita mendoakan mereka dalam kebaikan,” demikian tegas pengisi tetap Radio Muslim Yogyakarta ini kepada gemaislam.com via sambungan sellular, Senin (20/10/2014).
Benar atau tidaknya pernyataan tersebut harus diukur menurut tinjauan Fiqih dan Ushul Fiqih. Untuk mendudukkan suatu hukum berdasarkan ushul dan kaedah fiqh apakah hukumnya wajib, haram, mandub, ataupun makruh; harus ditinjau dari tiga hukum wadh’i.
Pertama, adakah sebab. Kedua, adakah syarat. Dan ketiga, apakah tidak ada mâni’ (penghalang) untuk dikukuhnya suatu hukum agar bisa diterapkan. Maka dari itu bilamana sebabnya batil, syaratnya tidak dijalankan dan ada mâni’; maka hukumnya menjadi gugur dan tidak diakui. Demikian juga dengan kelayakan seseorang diangkat sebagai Ulil Amri kaum muslimin, tidak lepas dari tiga hukum wadh’i ini.
Sebab Terpilihnya Jokowi
Semua orang mengakui bahwa terpilihnya Jokowi bukan atas musyawarah Ahlul Halli wal ‘Aqdi dari umat Islam, melainkan melalui jalan demokrasi. Padahal demokrasi adalah budaya kafir dan bukan bagian dari Islam berdasarkan kesepakatan ulama’ Islam; sampai guru-guru besar ‘Kelompok Berjubah Salaf’ sendiri telah mengatakannya musyrik.
Allah berfirman, “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai dien (jalan yang diikuti), maka sekali-kali tidaklah diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang merugi.” (Qs. Ali Imran: 85)
Maka dari itu, bila sebabnya batil maka musabbabnya pun batil dan menjadi gugur kelayakannya menjadi Ulil Amri umat Islam.
Makna Ulil Amri
Kalimat Ulil Amri adalah gabungan dari dua kata; Ulil dan Amri. Berasal dari kata ‘ulû’ bentuk jamak, artinya ‘yang empunya’; dan mufradnya (bentuk tunggalnya) adalah ‘ulu’. Dan tidak bisa menjadi kalimat yang dipahami kecuali jika dirangkai dengan kata yang lainnya. Contohnya (Ulil Ilmi; yang punya ilmu), (Ulil Albab; yang punya akal) dan (Ulil Aidi; yang punya kekuatan besar). Kalimat-kalimatsemacam ini banyak disebutkan dalam al-Qur’an. (Lisanul-’Arab,11/27).
Sedang ‘amri’, artinya adalah perintah, urusan, kekuasan dan pengaruh. Jadi makna Ulil Amri secara bahasa adalah yang punya perintah, urusan, kekuasaan dan pengaruh. Maka dari itulah para ulama’ tafsir berbeda pendapat terhadap makna istilah Ulil Amri.
Makna Ulil Amri yang wajib ditaati sebagaimana dalam ayat al-Qur’an, terbagi kepada empat pendapat.
Pertama, artinya adalah umara’ atau para penguasa; demikian menurut Abu Hurairah, Zaid ibnu Aslam, as-Suddiy, Muqatil dan Ibnu Abbas dalam satu riwayat. Kedua, artinya adalah ulama’; menurut Ibnu Abbas, Jabir ibnu Abdillah, Hasan Bashri, Abul Aliyah, Atho’, an-Nakha’i, adh-Dhahak dan Mujahid. Ketiga, menurut Bakr ibnu Abdillah al-Muzanni dan Mujahid dalam riwayat lainnya; mereka adalah para sahabat Nabi . Dan keempat, mereka adalah Abu Bakar dan Umar ibnul Khatthab; dan ini pendapat Ikrimah. (Ibnul Jauzi dalam Zâdul-Masîr, 1/424; dan Tafsir al-Khâzin, 1/392).
Berdasarkan keempat pendapat di atas, maka pendapat pertama dan kedua adalah lebih banyak digunakan oleh para ulama’. Namun bila kita mengamati sebab turunnya ayat Qs. Ali Imran ayat 59; maka artian umara’ dan penguasa adalah lebih mendekati kebenaran.
“Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengartikan mereka sebagai umara’ dan para penguasa; berdasarkan hadits-hadits shahih dari Rasulullah SAW yang menyuruh untuk taat kepada para pemimpin dan penguasa, yang taat kepada Allah dan (bekerja) untuk maslahat (kebaikan) kaum muslimin.”[1]
Jika demikian, Ulil Amri bagi umat Islam adalah pemimpin yang taat kepada Allah, dan bekerja hanya untuk maslahat umat Islam bukan umat kafir. Adapun kafir dzimmi, adalah mereka yang patuh kepada syariat Islam dan membayar jizyah (upeti).
Bagi Ulil Amri juga menjalankan tugas-tugasnya demi kemurnian tauhid dan keamanan para pemeluknya agar tidak ditindas orang-orang kafir; seperti yang tertera dalam konteks Qs. an-Nuur ayat 55. Dan bila syarat ini tidak terpenuhi pada seorang pemimpin, maka dia tidak layak disebut Ulil Amri.
Syarat Ditaatinya Ulil Amri
Betul, bahwasanya haram bagi umat Islam memberontak dan memerangi pemimpinnya, dan tidak boleh menyelisihi perintahnya selama tidak maksiat kepada Allah. Ini telah dicontohkan para salaf, seperti Imam Ahmad yang tetap mendo’akan kebaikan atas al-Ma’mun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq, para khalifah ‘Abbasiyah. Baca keterangannya pada tema, “Kenapa Imam Ahmad Tidak Mengkafirkan al-Ma’mun”.
Karena Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul-Nya dan ulil amri dari kalian.” (Qs. An-Nisâ: 59)
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo'akan kalian dan kalian mendo'akan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka." Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka?" maka beliau bersabda: "Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka."[2]
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَرَّادٍ الْأَشْعَرِيُّ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالُوا حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ
إِنَّ خَلِيلِي أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ جَمِيعًا عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَا فِي الْحَدِيثِ عَبْدًا حَبَشِيًّا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ و حَدَّثَنَاه عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ كَمَا قَالَ ابْنُ إِدْرِيسَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abdullah bin Barrad Al Asy'ari dan Abu Kuraib mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris dari Syu'bah dari Abu Imran dari Abdullah bin Shamit dari Abu Dzar dia berkata, "Sesungguhnya kekasihku (Rasulullah) berwasiat kepadaku untuk selalu mendengar dan taat walaupun terhadap budak yang pesek hidungnya." Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Ishaq telah mengabarkan kepada kami An Nadlr bin Syumail mereka semua dari Syu'bah dari Abu 'Imran dengan isnad ini, dan dia menyebutkan dalam haditsnya, "Seorang budak Habsyi yang berhidung pesek." Dan telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Mu'adz telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu 'Imran dengan isnad ini, sebagaimana perkataan Ibnu Idris, yaitu, "Seorang budak yang berhidung pesek."[3]
Inilah syarat selanjutnya agar diakui sebagai Ulil Amri yang wajib ditaati, yaitu menegakkan hukum Allah dan menjadikannya sebagai asas tunggal negara yang wajib oleh seluruh rakyatnya.
Ali ibnu Abi Thalib RA berkata, “Wajib atas pemimpin untuk memerintah dengan hukum Allah dan menunaikan amanah. Dan apabila telah dijalaninya, maka wajib bagi rakyat mendengarnya dan mematuhinya.”[4]
دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
"Rasulullah pernah memanggil kami, lantas kami membai'at beliau. Dan di antara yang kami ambil janji adalah, berbai'at untuk selalu taat dan mendengar baik dalam keadaan lapang atau terpaksa, mementingkan kepentingannya dari pada kepentingan diri sendiri, dan tidak memberontak pemerintahan yang berwenang." Beliau bersabda: "Kecuali jika kalian melihat ia telah melakukan kekufuran yang jelas, dan kalian memiliki hujjah di sisi Allah."[5]
Imam Nawawi berkata, “Bahwasanya tidak boleh keluar dari kepemimpinan khalifah hanya karena zhalim atau fasik; selama dia tidak merubah sesuatu dari pondasi Islam.”[6]
Pondasi Islam manakah yang tidak diubah oleh para pemimpin negara sekuler hari ini? Bahkan al-Qadhi ‘Iyadh membatalkan ketaatan kepada pemimpin yang terjebak pada kufur bawwâh; menganggapnya sebagai ijma’ ulama’ dan wajib mencopotnya bila memungkinkan.[7]
Bila demikian, masih layakkah Jokowi dan sekutu-sekutunya yang sekuler di negara manapun dikatakan sebagai Ulil Amri? Kecuali hanya keluar dari lisan orang-orang yang tak berilmu atau suka mengolok-ngolok Islam.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kita bisa menimbang status Ulil Amri Jokowi dari tiga sudut pandang hukum wadh’iy, sebagai berikut:
- Pertama, Sebab (as-Sababu). Sebab pemimpin disebut Ulil Amri adalah jika dpilih oleh ahlu halli wal aqdi, taat kepada Allah (muslim) dan melaksanakan tugas kepemimpinan untuk kemashalahatan muslimin. Pada diri Jokowi, hal-hal ini tidak terpenuhi.
- Kedua, Syarat (as-Syarthu). Syarat pemimpin disebut Ulil Amri adalah menegakkan kitabullah (hukum Allah) yang terangkum dalam dua poin, yaitu hifdzu ad-Diin (menjaga agama Islam) dan siyasah ad-Dunya bihi (mengatur negara dengan hukum Islam). Syarat ini tidak terpenuhi, bahkan hukum sekuler dan syirik yang diberlakukan di Indonesia.
- Ketiga, Penghalang (al-Mani’u). Diantara hal yang menghalangi pemimpin dari mendapat status Ulil Amri adalah melakukan tindakan kekufuran yang nyata. Dan demokrasi serta menerapkan undang-undang thaghut adalah bentuk kekufuran yang nyata yang disepakati oleh para ulama ahlu sunnah. Inilah yang nampak dari penguasa Indonesia, sejak kurun Soekarno hingga era Jokowi.
W alhasil, pak Jokowi ‘tidak memenuhi syarat’ sebagai Ulil Amri, toh Jokowi sendiri dan PDIP sebagai pengusungnya tidak pernah mengklaim statusnya sebagai Ulil Amri, dan lebih bangga disebut sebagai Presiden RI. Apalagi status Jokowi sebagai kader partai yang jelas-jelas mengusung demokrasi. Beliau lebih pantas disebut presiden RI dan kader PDIP daripada Ulil Amri.
Back to The Title
FoodNote:
(1) Imam ath-Thabari dalam tafsirnya [8/502]
(2) MUSLIM NO - 3447, 3448. AHMAD NO - 22856, 22874. AD DARIMI NO - 2677.
(3) MUSLIM NO - 3420. IBNU MAJAH NO - 2853. Shahih al-Jâmi’ ash-Shaghir, 7861.
(4) Tafsir al-Baghawi, 2/240
(5) MUSLIM NO - 3427. BUKHARI NO - 6532. AHMAD NO - 21623.
(6) Syarah Shahih Muslim, 12/243-244
(7) Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi, 12/229
Tidak ada komentar:
Posting Komentar