
AL-MAHKUM FIIH
Mahkum fîh diartikan sebagai perbuatan hamba yang menjadi obyek khithab Syâri'. Dengan meneliti dalil-dalil syara yang berkaitan dengan perbuatan manusia maka tampak jelas beberapa keadaan berikut ini.
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
ا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Rasulullah bersabda:
وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
Rasulullah bersabda:
مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍ
Rasulullah bersabda:
مَنْ أُصِيبَ بِقَتْلٍ أَوْ خَبْلٍ فَإِنَّهُ يَخْتَارُ إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ يَقْتَصَّ وَإِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ فَإِنْ أَرَادَ الرَّابِعَةَ فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ وَمَنْ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
AL-MAHKUM ALAIH
Mahkum 'alaih ditujukan pada manusia (sebagai subyek hukum) yang perbuatannya terkait dengan khithab Syâri'. Dengan mendalami dalil-dalil syara yang terkait dengan topik ini tampak jelas bahwa keadaan yang paling menonjol yang berkaitan dengan hal itu adalah sebagai berikut:
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةً لِّلنَّاسِ
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُم بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ
وَوَيْلٌ لِّلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ
Dan masih banyak lagi ayat yang lainnya.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ شَهَٰدَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ حِينَ ٱلْوَصِيَّةِ ٱثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ أَوْ ءَاخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنتُمْ ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَأَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةُ ٱلْمَوْتِ

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
حَتَّىٰ يُعْطُوا۟ ٱلْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَٰغِرُونَ
ا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
- a. Jika mahkum alaih belum baligh.
- b. Jika gila total sehingga seluruh akalnya hilang.
- c. Apabila terlelap tidur sehingga tidak menyadari apa yang ada di sekitarnya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَشِبَّ وَعَنْ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ
- a. Jika dihilangkan/dirampas kehendaknya secara paksa dengan bentuk yang mematikan (ikrah al-mulji) atau yang setara dengannya.
- b. Apabila lupa (tidak ingat) akan kewajibannya sama sekali.
- c. Apabila suatu perbuatan dilakukan karena kesalahan –tidak disengaja- bukan atas kehendaknya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah :
أَنْ لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَكْرَهَةِ حَدٌّ
Bahwa tidak ada hukuman atas orang yang dipaksa.
DALIL-DALIL SYARA
Dalil menurut pengertian bahasa adalah yang menunjukkan terhadap sesuatu. Terkadang dalil diartikan dengan مافه دلالة وإرشاد artinya perkara yang didalamnya terdapat petunjuk. Inilah yang dinamakan dalil menurut para fuqaha. Sementara itu, ulama ushul mendefinisikan dalil dengan:
الذي يمكن أن يتوصل بصحيح النظرفه إلى العلم بمطلوب خبري
I. AL-QURAN
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw dalam bentuk wahyu melalui perantaraan Jibril as, lafadz dan maknanya (dari Allah), menjadi mukjizat, membacanya adalah ibadah, yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir. Dalil aqli telah menunjukkan bahwa al-Quran adalah kalam Allah. Al-Quran adalah kalam yang berbahasa Arab. (Oleh karena itu muncul kemungkinan bahwa) al-Quran berasal dari bangsa Arab, atau mungkin dari Muhammad, atau mungkin dari Allah. Tidak ada kemungkinan selain dari ketiga hal ini.
وَإِن كُنتُمْ فِى رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا۟ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِۦ وَٱدْعُوا۟ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ
أَمْ يَقُولُونَ ٱفْتَرَىٰهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا۟ بِسُورَةٍ مِّثْلِهِۦ وَٱدْعُوا۟ مَنِ ٱسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa al- Quran itu bukan berasal dari bangsa Arab, karena mereka tidak mampu membuat yang serupa dengan al-Quran. Dan mereka sendiri mengakui akan ketidakberdayaannya itu. Sampai saat ini mereka tetap tidak memiliki kemampuan untuk membuat yang semisal dengan al-Quran, bahkan hingga hari kiamat.
مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ
Sampai diturunkannya ayat terakhir, yaitu:
وَٱتَّقُوا۟ يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Kita akan menemukannya senantiasa pada puncak balaghah dan fashahah, tinggi pemikirannya, kuat susunan katanya. Kita tidak akan menemukan di dalam al-Quran satu redaksi pun yang cacat atau lemah. Tidak ada satu pemikiran pun yang rendah (nilainya). Al-Quran merupakan satu kesatuan yang kuat dan agung. Seluruh uslub al-Quran, baik secara global maupun rinciannya bagaikan satu kesatuan yang integral. Hal ini menunjukkan bahwa al-Quran ada diluar jangkauan kemampuan manusia yang senantiasa mengetengahkan tata bahasa dan makna yang berbeda-beda. Kenyataan tersebut menetapkan bahwa al-Quran bukanlah perkataan Muhammad , juga bukan perkataan orang-orang Arab, sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa al-Quran adalah firman Allah Rabbul ‘Alamin:
لَّا يَأْتِيهِ ٱلْبَٰطِلُ مِنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِۦ ۖ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَٰهُ لِتَقْرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَٰهُ تَنزِيلًا
Setelah al-Quran diturunkan kepada Rasulullah , kemudian diperintahkan agar dijaga (dihafalkan) di dalam benak, dan mencatatnya pada lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, daun, kaghid
wafat al-Quran telah tertulis di hadapan Rasul dan atas legislasi Rasul. Akan tetapi lembaran ayat-ayat tersebut pada masing-masing surat belum tersusun rapi satu sama lainnya. Meskipun demikian al-Quran telah dihafal di dalam benak (para sahabat). Rasulullah
wafat sementara al-Quran telah dihafal dan ditulis dengan cara seperti itu. Ialah makna dari hadits menurut sebagian riwayat bahwa Rasulullah
tidak meninggalkan sesuatu kecuali perkara yang ada diantara dua jilid (cover). Artinya, al-Quran ditinggalkan dalam kondisi telah tertulis seluruhnya di hadapan Nabi
. Dari Abdul Aziz bin Rafi‟ dia berkata: "Aku dan Saddad bin Ma’qal masuk ke rumah Ibnu Abbas. Kemudian Saddad berkata kepada Ibnu Abbas: "Apakah Nabi
meninggalkan sesuatu? Ibnu Abbas berkata: "Nabi
tidak meninggalkan sesuatu kecuali apa yang ada di antara dua jilid (yaitu al-Quran)." Abdul Aziz bin Rafi berkata: "Kami masuk ke rumah Muhammad bin Hanafiyyah, kemudian kami bertanya kepadanya (tentang peninggalan Nabi). Dia berkata: "Nabi
tidak meninggalkan sesuatu kecuali apa yang ada di antara dua jilid (yaitu al-Quran)."


لَا تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا إِلَّا الْقُرْآنَ
Pengumpulan al-Quran disebabkan adanya peperangan dari orang-orang murtad terhadap kaum Muslim, Abu Bakar merasa khawatir akan banyaknya penghafal al-Quran yang mati syahid. Mereka adalah orang-orang yang telah menghafal al-Quran secara sistematis menuruti susunan pada surat-suratnya. Lalu Abu Bakar memerintahkan untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang telah tercatat atas setiap surat pada satu tempat tertentu yang tersusun (sistematis) sesuai dengan susunan yang telah dilegislasi oleh Rasulullah
. Maka dikumpulkanlah lembaran-lembaran yang tertulis ayat-ayat setiap surat secara tertib, disertai dengan penelitian yang cermat, dan setelah adanya keputusan yang meyakinkan bahwa tulisan tersebut memang telah ditulis di hadapan Rasulullah
.
Para sahabat meminta kesaksian dua orang dari mereka terhadap setiap lembaran yang tercantum tulisan al-Quran di dalamnya. Kedua orang saksi ini bersaksi bahwa lembaran tersebut telah ditulis di hadapan Rasulullah . Para sahabat tidak merasa cukup dengan kesesuaian tulisan al-Quran dengan hafalan saja, karena mereka mengetahui bahwa setiap ayat telah dihafal oleh segolongan sahabat secara mutawatir. Oleh karena itu ketika mereka menjumpai bahwa akhir surat at-Taubah tidak dapat menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan ditulisnya akhir surat tersebut di hadapan Rasul kecuali Khuzaimah saja, maka mereka tidak menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah
telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, (yaitu) bahwa kesaksiannya sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka menghimpun lembaran itu yang disaksikan oleh Khuzaimah, karena mereka mengetahui bahwa para sahabat telah menghafalnya. Itu dilakukan untuk memperkuat ketetapan dari mereka, dan mereka ingin menghimpun lembaran-lembaran yang telah ditulis di hadapan Rasulullah
, bukan sekedar menulisnya dari hafalan mereka saja.
Dengan demikian kodifikasi yang dilakukan Abu Bakar as-Shiddiq adalah kodifikasi terhadap lembaran-lembaran yang di dalamnya tertulis ayat-ayat al-Quran, serta susunan ayat-ayat pada surat-suratnya, seperti yang telah dilegislasi oleh Rasulullah . Dengan kata lain Abu Bakar as-Shiddiq telah menjadikan lembaran-lembaran tersebut menjadi satu tempat (satu kesatuan). Apa yang dilakukannya adalah menghimpun surat-surat al-Quran. Zaid bin Tsabit berkata: "Abu Bakar telah mengutus Ma'qal (orang yang pernah mengikuti perang Yamamah) kepadaku. Saat itu Umar bin Khatab berada di dekatnya. Abu Bakar berkata: "Umar datang kepadaku kemudian berkata: "Perang Yamamah telah banyak mengorbankan para penghafal al-Quran. Dan aku khawatir peperangan terus terjadi di desa-desa dan kampung-kampung tempat tinggal penduduk yang akan melenyapkan banyak al-Quran. Dan aku berpendapat untuk mengkodifikasikan al-Quran? Aku berkata kepada Umar: "Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
? Umar berkata: "Demi Allah perkara ini sungguh baik? Umar tidak henti-hentinya membujukku sehingga Allah melapangkan dadaku untuk (menerima) perkara ini. Dan aku memiliki pendapat yang sama dengan Umar. Zaid berkata: Abu bakar berkata: "Sesungguhnya engkau (Zaid) adalah lelaki muda yang pintar dan tidak ada orang yang meragukanmu, engkau adalah pencatat wahyu bagi Rasulullah
, maka telusurilah al-Quran dan kodifikasikanlah? "Demi Allah jikalau manusia memintaku untuk memindahkan satu gunung dari beberapa gunung, tentulah hal itu merupakan perkara yang lebih ringan daripada perkara yang telah diperintahkan kepadaku, yaitu mengkodifikasikan al-Quran? Aku berkata (Zaid): "Bagaimana mungkin engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
? Abu Bakar berkata: “Demi Allah perkara ini sungguh baik? Abu Bakar tidak henti-hentinya membujukku sehingga Allah melapangkan dadaku untuk (menerima) perkara ini, sebagaimana Allah telah melapangkan dada Abu bakar dan Umar
. Kemudian aku menelusuri al-Quran dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, tulang-tulang pipih dan batu-batu yang tipis (yang tertulis ayat-ayat al-Quran), begitu juga dari dada (hafalan) orang-orang, sehingga aku menemukan akhir surat at-Taubah ada pada Khuzaimah al-Anshari dan tidak ditemukan selain darinya, yaitu Firman Allah:
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ
Hingga akhir surat at-Taubah ayat 128. Maka terwujudlah shuhuf (lembaran-lembaran yang berisi al-Quran yang telah dikodifikasikan) semasa hidup Abu Bakar, kemudian (disimpan) semasa hidup Umar, dan (disimpan) semasa hidupnya Hafshah binti Umar. Pada masa (kekhilafahan) Utsman, beliau meminta mushhaf tersebut dari tangan Ummul Mukminin, Hafshah. Setelah Utsman menyalin (ke dalam beberapa) mushhaf dari mushhaf induk (yang ada pada Hafsah) beliau mengembalikannya kepada Hafshah. Mushhaf tersebut tetap ada pada Hafshah hingga masa Marwan bin Hakam (yang ketika itu menjadi gubernur Madinah). Dia mengambilnya dari Hafshah dan memusnahkannya. Dari Ibnu Shihab berkata, telah memberitakan kepadaku Salim bin Abdullah bin Umar, dia berkata: "Marwan mengutus (seorang) utusan kepada Hafshah -ketika dia menjadi gubernur dari pihak Muawiyah- untuk meminta shuhuf (mushhaf induk) yang menjadi sumber penulisan al-Quran. Tetapi Hafshah tidak memberikannya? Salim berkata: "Ketika Hafshah wafat dan kami telah pulang dari pemakamannya, Marwan mengutus (seorang) utusan kepada Abdullah bin Umar agar dia mengirimkan mushhaf induk kepadanya. Kemudian Abdullah bin Umar memberikannya. Setelah itu Marwan memerintahkan untuk memusnahkannya (membakarnya). Dan dia berkata: "Aku melakukan hal ini karena aku khawatir apabila telah berlalu masa yang lama akan ada orang yang meragukan mushhaf ini?
Penyalinan Mushhaf-Mushhaf
Pada masa Utsman hadir lembaran-lembaran yang di dalamnya tertulis ayat-ayat al-Quran, yakni shuhuf yang telah dikodifikasi pada masa Abu Bakar dan disimpan pada Hafshah Ummul Mukminin. Utsman membentuk semacam team untuk menyalin beberapa (buah) mushhaf yang berasal dari mushhaf induk. Kemudian beliau mengirimkannya ke beberapa kota sehingga orang-orang tidak berbeda pendapat tentang al-Quran. Utsman memerintahkan al-Quran yang ditulis oleh sebagian kaum Muslim yang bertentangan dengan mushhaf yang mutawatir untuk dibakar. Suatu ketika Huzaifah bin Yaman datang kepada Utsman (pada masa pemerintahannya). Huzaifah sendiri telah turut serta memerangi penduduk Syam dengan menaklukkan Armenia dan Azerbaijan beserta penduduk Irak. Huzaifah terperanjat atas perbedaan (bacaan) tentang al-Quran. Maka Huzaifah berkata kepada Utsman: "Wahai Amirul Mukminin, aku menjumpai umat ini sebelum berselisih tentang al-Quran seperti perselisihannya Yahudi dan Nasrani? Lalu Utsman mengirimkan utusan kepada Hafshah agar mengirimkan mushhaf induk kepadanya untuk dibuatkan beberapa mushhaf salinannya. Setelah itu dikembalikan lagi. Hafshah pun mengirimkan mushhaf tersebut kepada Utsman. Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, Abdurrahman bin Harits bin Hisyam
Abu Daud meriwayatkan dari Mush'ab bin Saad. Utsman berkata: "Siapa orang yang biasa menulis? Dijawab: "Penulis Rasulullah saw adalah Zaid bin Tsabit? Utsman bertanya lagi: "Lalu siapa orang yang paling pintar bahasa Arabnya? Dijawab: "Said bin Ash? Utsman kemudian berkata: "Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid untuk menuliskan al-Quran? Mereka (team penulisan al-Quran) telah menyelesaikan penyalinan beberapa mushhaf. Setelah itu Utsman mengembalikan mushhaf induk kepada Hafshah, dan mengirimkan mushhaf-mushhaf yang telah disalin dari mushhaf induk ke setiap daerah. Beliau memerintahkan bacaan-bacaan lain (yang berbeda) pada shahifah (lembaran-lembaran lain) atau mushhaf (lain) untuk dibakar. Tatkala proses penyalinan mushhaf berjalan mereka pernah mengalami kesulitan, yaitu adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata (التابوت ). Tirmidzi telah meriwayatkan bahwa Ibnu Shihab mengatakan: Team penyalinan al-Quran telah berbeda pendapat tentang kata (التابوت ) dan التابوة. Kaum Quraisy berpendapat harus ditulis dengan kata (التابوت). Zaid bin Tsabit berkata, bahwa yang benar adalah (التابوة). Peristiwa itu disampaikan kepada Utsman bin Affan. Utsman berkata: Tulislah dengan kata (التابوت), karena al-Quran diturunkan dengan bahasa orang-orang Quraisy.
Dalam masalah ini mungkin muncul pertanyaan, bagaimana mungkin bisa terjadi perbedaan pendapat tentang penulisan kata itu, padahal mereka hanya menyalin tulisan yang sama yang ada pada lembaran-lembaran yang mereka salin. Setelah saya mempelajari topik ini, akhirnya saya mengetahui bahwa sebab-sebab perbedaan adalah sebagai berikut:


Telah terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah mushhaf yang dikirimkan Utsman ke daerah-daerah lain. Ada yang berpendapat jumlahnya enam, dan setiap kota mendapatkan satu mushhaf, yaitu Basrah, Kufah, Syam, Makkah, dan (satu) mushhaf diperuntukan bagi penduduk Madinah, serta (satu) mushaf lagi khsusus disimpan oleh Utsman, yang kemudian disebut dengan mushhaf induk. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah. Lima mushhaf masing-masing dikirimkan ke Basrah, Kufah, Syam, Makkah dan Madinah. Yang keenam dikirimkan ke Yaman, dan yang ketujuh dikirimkan ke Bahrain. Mushhaf-mushhaf yang disalin pada masa Utsman itu telah menghimpun bacaan-bacaan mutawatir yang berasal dari Rasulullah dan yang kebanyakannya ditulis dengan satu tulisan. Adapun bacaan yang mutawatir dari Rasulullah saw tetapi ditulis dengan tulisan yang berbeda, contohnya adalah firman Allah:
[فإن الله هوالغني الحميد]
Dan yang bacaannya mirip seperti itu adalah:
فان الله الغ الحميد





إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَٰفًا كَثِيرًا
لَّا يَأْتِيهِ ٱلْبَٰطِلُ مِنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِۦ ۖ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Sesungguhnya Allah telah menjaga al-Quran dan telah menentukan baginya orang yang menghimpun dan menjaganya dari perombakan dan perubahan, hingga al-Quran ini sampai kepada kita secara mutawatir. Para sahabat ra telah menukil (menyalin) al-Quran yang diturunkan berdasarkan wahyu dan memerintahkan Rasulullah untuk menuliskannya. Al-Quran akan tetap terjaga hingga bumi dan penghuninya lenyap dengan izin Allah.
Menghimpun Bacaan-Bacaan yang Mutawatir Sebagian (generasi) tabi'in dan tabi'it tabi'in telah berusaha menghimpun bacaan mutawatir dan menetapkannya pada kitab-kitab dengan menjelaskan sanadnya dan mencatat hal-hal yang berkaitan dengannya. Mereka itu adalah para ulama berikut ini:
, dan dari Mujahid bin Jabr Abu al-Hajjaj bekas hamba sahaya Qais bin Sa'id, serta dari Darbas, bekas hamba sahaya Ibnu Abbas. Abdullah bin Saib mengambil bacaan al-Quran dari ayahnya sendiri, sedangkan Mujahid dan Darbas mengambil bacaan al-Quran dari Ibnu Abbas, dari Ubay bin Ka'ab dan Zaid bin Tsabit, dari Nabi
. Dua perawi Abdullah bin Katsir, yang pertama adalah al-Bazi. Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abi Bazah, muadzin kota Makkah. Nama kunyahnya adalah Abu al-Hasan. Beliau wafat di Madinah pada tahun 250 H. Sedangkan yang kedua adalah Qanbal, yaitu Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Said al-Makki al-Makhzumi. Nama kunyahnya adalah Ubu Amr yang juga digelari dengan nama Qanbal. Dinamakan Qanbal, nama dari penghuni suatu rumah yang dikenali dengan adanya lampu-lampu obor. Beliau wafat di Makkah pada tahun 291 H. Al-Bazi dan Qanbal meriwayatkan bacaan al-Quran dari Ibnu Katsir dengan menggunakan sanad.
. Beliau juga membaca al-Quran dihadapan Mughirah bin Abu Shihab al-Makhzumi. Sedangkan Mughirah mengambilnya dari Utsman, dari Nabi
. Dua orang perawi dari Abdullah bin Amr ini adalah (yang) pertama: Hisyam bin Amar bin Nashir yang menjadi qadli di Damaskus. Nama kunyahnya adalah Abul Walid, yang wafat pada tahun 245 H. Yang kedua adalah Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan, orang Damaskus. Nama kunyahnya adalah Abu Amr. Lahir tahun 173 H, dan wafat di Damaskus pada tahun 242 H. Keduanya meriwayatkan bacaan al-Quran dari Ibnu Amir dengan memakai sanad.
. Sedangkan
Zur mengambil dari Utsman dan Ibnu Mas'ud, dari Nabi
. Dua orang perawi dari 'Ashim bin Abi Najud adalah Syu?bah bin 'Iyas bin Salim al-Kufi al-Asadi -pemimpin mereka-. Nama kunyahnya adalah Abu Bakar. Wafat di Kufah pada tahun 194 H. Dan Hafsh bin Sulaiman bin Mughirah al-Asadi al-Bazzar al-Kufi, yang wafat menjelang tahun 190 H.
. Dua orang perawi dari Hamzah adalah Khalaf bin Hisyam al-Bazar. Nama kunyahnya adalah Abu Muhammad, yang wafat di Baghdad pada tahun 229 H. Yang kedua adalah Khalad bin Khalid al-Kufi. Nama kunyahnya adalah Abu Isa. Wafat pada tahun 220H. Keduanya meriwayatkan al-Quran dari Abi Isa, yaitu Salim bin Isa al-Hanafi al-Kufi dari Hamzah. Salim wafat pada tahun 189 H.
.
Dua orang perawinya adalah Abu al-Harits al-Laitsi bin Khuldi al-Baghdadi, yang wafat pada tahun 230 H dan Hafsh ad-Duri, beliau juga perawi dari Abi Amru seperti yang telah diceritakan. Mushhaf-mushhaf yang dicetak saat ini sesuai dengan qira'at Hafsh dari Hasyim, sama dengan tulisan yang telah disalin oleh Utsman. Akhir-akhir ini telah dicetak mushhaf-mushhaf yang sesuai dengan qira'at Warasy dari Nafi. Sebagian tafsir al-Quran juga menuliskan ayat-ayat al-Quran di dalamnya dengan tulisan yang sesuai dengan riwayat Abi Amru bin al-Ala, seperti tafsir al-Kasysyaf karya Imam az-Zamakhsyari. Di sebagian negeri-negeri Islam bacaan-bacaan al-Quran itu selalu ditulis dengan menggunakan (tulisan) tangan. Turunnya al-Qur'an dengan Tujuh Huruf Rasulullah bersabda:
إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مِنْهُ مَا تَيَسَّرَ
Sabdanya yang lain:
أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari ungkapan "tujuh huruf", tetapi berdasarkan penelitian bacaan-bacaan al-Quran yang mutawatir tampak jelas bahwa bacaan tersebut tidak keluar dari dialek tujuh kabilah Arab, yaitu: Quraisy, Tamim, Asad, Qais, Hudzail, sebagian dari kabilah Kinanah, dan sebagian dari Kabilah Thay.

Contoh pertama:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ
Ini adalah qiraatnya Ashim.
فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ
Ini adalah qiraatnya Ibnu Katsir.
Contoh kedua:
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى
Ini adalah qiraatnya Ashim.
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى
Contoh ketiga:
(فَكُّ رَقَبَةٍ (١٣) أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (١٤
Ini adalah qiraatnya Ashim.
(فَكُّ رَقَبَةٍ (١٣) أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (١٤
Ini adalah qiraatnya Abi Amru.
Contoh keempat:
وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ
Ini adalah qiraatnya Ashim.
وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ
Ini adalah qiraatnya Abi Amru.
Contoh pertama:
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
Ini terdapat pada mushhaf Makkah.
Contoh kedua:
فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
فَإِنَّ اللَّهَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Ini terdapat pada mushhaf-mushhaf Madinah dan Syam.
Contoh ketiga:
وَقَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا
Ini terdapat pada mushhaf-mushhafnya kecuali yang ada di Syam.
قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا
Ini terdapat pada mushhaf Syam.
Contoh keempat:
وَلَا يَخَافُ عُقْبَاهَا
فَلَا يَخَافُ عُقْبَاهَا
Pembubuhan Tanda Syakal pada Mushhaf Abu al-Aswad ad-Duali melaksanakan proses pensyakalan mushhaf atas perintah dari gubernur Basrah, setelah adanya peristiwa kritikan dari Muawiyyah bin Abu Sufyan atas kesalahan bacaan anaknya dalam tata bahasa. Yang dimaksud tanqith adalah pensyakalan huruf-huruf dengan fathah, dlamah dan kasrah. Dinamai dengan an-naqthu (naqthu mulanya berarti titik) karena Abu al-Aswad memilih seorang lelaki seraya berkata kepadanya: "Ambillah mushhaf, tinta dan pena yang berbeda warnanya dengan warna tinta pada mushhaf? Kemudian Abu Aswad berkata lagi kepadanya: "Aku akan membacakan al-Quran dihadapanmu. Jika aku membukakan kedua mulutku maka buatlah satu titik di atas huruf tersebut agar sama kedudukannya dengan fathah, apabila aku menyatukan mulutku ketika mengucapkan suatu huruf buatlah titik disamping huruf. Dan apabila aku menurunkan mulutku (membaca kasrah) maka buatlah titik di bawahnya?
Pensyakalan biasa disebut dengan naqthan (titik). Karena Abu Aswad ad-Duali menggunakan titik untuk menstandarisasi harakat suatu kata. Pada masa Daulah Abasiyyah, Khalil bin Ahmad telah menandai dlamah dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf dan kasrah dengan ya kecil di bawah huruf. Kemudian beliau membuat tanda syiddah dan sukun. Adapun at-tanqith dalam arti membubuhkan titik di bawah atau di atas huruf untuk membedakan satu huruf dari huruf yang lainnya, seperti membedakan ba dari ta dan tsa, telah dilakukan Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar atas perintah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi yang merujuk pada keputusan Abdul Malik bin Marwan, ketika al-Hajjaj menjadi gubernur di Irak.
مِنْهُ ءَايَٰتٌ مُّحْكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٌ
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Lafadz quru' di dalam ayat ini berarti suci dan haid.
أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ
أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ
Atau menyentuh perempuan. (TQS. al-Maidah[5]: 6)
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ
Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu. (TQS. ar-Rahman [55]: 27)
وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِى
مِمَّا عَمِلَتْ أَيْدِينَا
وَمَكَرُوا۟ وَمَكَرَ ٱللَّهُ
وَٱلسَّمَٰوَٰتُ مَطْوِيَّٰتٌۢ بِيَمِينِهِ
Ayat-ayat tersebut mengandung beberapa makna sesuai dengan pemahaman bahasa Arab, dan dengan memperhatikan uslub-uslub bahasa Arab. Dan sesuai dengan makna-makna syar'i. Semua itu tergolong ayat-ayat yang mutasyabih karena memiliki maknanya yang samar (tidak dapat dipastikan) bagi orang yang mendengarkannya. Mutasyabih bukan berarti bahwa ayat (al-Quran) tidak bisa dipahami maknanya, karena di dalam al-Quran tidak terdapat satu katapun yang tidak bisa dipahami maknanya. Jika al-Quran mengandung satu kata yang tidak bisa dipahami maka hal ini akan mengeluarkan al-Quran dari statusnya sebagai penjelas bagi manusia, sebagaimana firman Allah Swt:
هَٰذَا بَيَانٌ لِّلنَّاسِ
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Adapun huruf-huruf al-muqthi'ah yang terdapat pada awal-awal surat (tertentu) maka huruf-huruf tersebut memiliki makna, merupakan nama-nama bagi surat di dalam al-Quran dan yang mengenalkan surat-surat tersebut. Ini menurut pendapat yang paling kuat. Karena mutasyabih adalah perkara yang samar maknanya bagi pendengar, maka diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk memahaminya. Bagi kebanyakan manusia tidak mudah untuk memahaminya, dan hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya. Melalui mereka inilah diajarkan kepada yang lain. Allah berfirman:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ ۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا
Di dalam ayat ini terdapat wawu athaf. Sehingga maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat. Wawu pada ayat tersebut bukan wawu isti'naf yang memberikan arti bahwa takwil ayat-ayat mutasyabihat tidak diketahui oleh seorangpun selain Allah. Apabila diartikan demikian maka berarti al-Quran akan keluar dari statusnya sebagai penjelas bagi manusia. Ada orang yang mengatakan apabila wawu pada ayat di atas merupakan wawu athaf maka kalimat يقولون آمنابه كل من عند ربنا harus kembali kepada ma'thuf dan ma'thuf alaih sedangkan hal itu tidak mungkin. Jawaban atas pernyataan tersebut, bahwa perkataannnya memang benar jika tidak terdapat qarinah yaitu manthuq (makna eksplisit) kalimat itu sendiri, yang telah memalingkannya dari keberadaannya kembali kepada ma'thuf alaih yaitu lafadz الله. Sebab, mustahil menurut akal, Allah mengatakan امنابه كل من عند ربنا Dengan demikian kalimat tersebut dibatasi hanya kembali pada ma'thuf saja, yaitu lafadz الراشخون فى العلم.
Berdasarkan penjelasan ini maka wawu pada ayat tersebut adalah wawu athaf, yang menunjukkan pengertian bahwa Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui ta'wil ayat mutasyabihat. Penulisan Mushhaf Bersifat Tauqifi maksudnya adalah bahwa al-Quran tidak boleh ditulis dalam mushhaf kecuali sama dengan tulisan yang telah diakui oleh Rasulullah , dan telah dihimpun oleh Abu Bakar Shiddiq serta telah disalin oleh Utsman pada mushhaf-mushhaf.
Dalilnya adalah:
disertai adanya pengakuan Rasul. Hal ini telah kami jelaskan. Begitu juga para sahabat menangguhkan penghimpunan lembaran yang di dalamnya tertulis akhir surat at-Taubah sampai terdapat dalil yang menyatakan bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang saksi.
AS-SUNNAH
Sunnah menurut bahasa adalah jalan, metode dan arah. Menurut ulama ahli hadits, Sunnah adalah… Bersambung Klik Disini
FootNote:
. . . . . . . . .

. . . . . . . . .

Tidak ada komentar:
Posting Komentar