
Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang agung kedudukannya, sangat penting dan banyak sekali faidahnya. Faidahnya adalah kokoh dalam menghasilkan kemampuan yang seseorang mampu dengan kemampuan itu untuk mengeluarkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya dengan landasan yang selamat. Dan yang pertama kali mengumpulkan menjadi suatu bidang tersendiri adalah al imam asy Syafi’i Muhammad bin Idris
, kemudian para ulama sesudahnya mengikutinya dalam hal tersebut. Maka mereka menulis dalam ilmu ushul fiqih tulisan-tulisan yang bermacam-macam. Ada yang berupa sya’ir, tulisan ringkas dan tulisan yang panjang, sampai ilmu ushul fiqih ini menjadi bidang tersendiri keberadaannya.
Hukum syara’ menurut istilah pakar ushul fiqih adalah seruan (khithab) Syâri' yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), berupa tuntutan (al-iqtidla), penetapan (al-wadl‟i) dan pemberian pilihan (at-takhyir). Dalam definisi tersebut dikatakan as-Syâri', tidak dikatakan Allah agar bisa mencakup juga Sunnah dan Ijma‟, sehingga tidak ada dugaan bahwa yang dimaksud dengan khithab itu hanya al-Qur‟an saja. Disebutkan pula (dalam definisi) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), tidak menggunakan kata mukallaf; agar bisa mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan anak kecil dan orang gila. Seperti hukum tentang zakat atas harta yang dimiliki anak kecil dan orang gila.
Dari definisi tersebut jelas sekali bahwa hukum syara' terbagi dua bagian:
Bagian pertama kita bisa melihatnya dengan jelas bahwa ia berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia). Begitu pula bagian yang kedua bisa dilihat dengan jelas keterkaitannya dengan perbuatan hamba.(meski tidak secara langsung). Karena perkara yang terkait dengan perkara lain yang berhubungan dengan sesuatu berarti terkait pula dengan sesuatu tersebut. Dengan demikian, hukum syara adalah seruan Syâr'i yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia), baik berupa iqtidla (tuntutan), takhyir (pilihan) ataupun wadl'i. Sebelum menjelaskan kedua bagian hukum syara' tersebut kita mesti mengetahui terlebih dahulu siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan ataupun benda; atau biasa disebut dengan istilah al-Hâkim. Inilah yang akan kami jelaskan pada pasal pertama dari bab ini.
SIAPA YANG BERHAK MENGELUARKAN HUKUM ATAS PERBUATAN DAN BENDA? SIAPAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN AL-HAKIM?
Maksud dari dikeluarkannya suatu hukum adalah menentukan sikap manusia atas suatu perbuatan. Apakah dia akan mengerjakannya atau akan meninggalkannya, atau memilih (salah satu) diantara keduanya. Begitu pula atas suatu benda, apakah akan mengambilnya atau meninggalkannya, atau akan memilih (salah satu) diantara keduanya. Semuanya tergantung pada pandangan manusia terhadap sesuatu; apakah perkara tersebut baik atau buruk; atau tidak baik dan juga tidak buruk. Berdasarkan hal ini maka obyek pengeluaran suatu hukum atas perbuatan atau benda adalah menetapkan hasan (baik) dan qabih (buruk)nya suatu perbuatan atau benda. Penetapan tersebut bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu:
Untuk aspek pertama dan kedua, maka penetapan dan pengeluaran suatu hukum diserahkan kepada manusia itu sendiri, yakni kepada akalnya. Contohnya, akal manusia menetapkan bahwa ilmu itu baik, dan bodoh itu buruk; karena berdasarkan kenyataan ilmu dan bodoh itu memperlihatkan adanya kesempurnaan atau kekurangan. Akal juga mampu menetapkan bahwa menyelamatkan orang yang tenggelam itu baik, dan membiarkannya celaka adalah buruk; karena tabiat manusia cenderung untuk menyelamatkan orang yang akan binasa. Sedangkan aspek ketiga, yakni aspek pahala dan siksa, maka penetapannya hanya bisa dilakukan oleh Allah
, yakni Syâr'i. Seperti, iman itu baik dan kufur itu buruk, ta‟at itu baik dan maksiat itu buruk. Terhadap perkara-perkara ini akal tidak mampu mengeluarkan hukum.
Karena akal didefinisikan sebagai pemindahan (pencerapan) atas fakta yang telah diindera ke dalam otak dibarengi dengan adanya informasi sebelumnya yang akan menafsirkan fakta tersebut, kemudian mengkaitkan antara fakta dengan informasi. Berdasarkan definisi di atas maka akal tidak akan mampu mengeluarkan hukum atas sesuatu yang tidak bisa diindera, seperti petunjuk (huda), kesesatan (dlalal), halal, haram, ta‟at, maksiat, dan sejenisnya. Menentukan apakah suatu perbuatan itu diridhai Allah sehingga akan diberikan pahala, atau dibenci Allah sehingga akan dikenakan siksa, adalah diluar kemampuan akal, kecuali jika telah ada berita (informasi) dari Allah. Itulah dalil aqli tentang penetapan hasan dan qabih. Sedangkan dilihat dari aspek dalil syar'i, maka syara telah menjadikan penetapan hasan dan qabih terbatas pada perintah syara semata, yaitu perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini bisa dijelaskan dengan mengambil nash-nash dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Allah Swt berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (النساء:٦٥)
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Rasulullah
bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ وَأَهْلِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Dari penuturan diatas jelas bahwa yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan benda adalah syara, bukan akal. Hal itu dilihat dari aspek pahala dan siksa atas suatu perbuatan. Dalam perkara ini tidak dikecualikan dua aspek yang telah dijelaskan sebelumnya, karena akal mampu menetapkan baik dan buruknya suatu perbuatan atau benda dilihat berdasarkan faktanya dan dari aspek kesesuaian atau tidaknya dengan tabi‟at manusia. Sedangkan dari aspek pahala dan siksa, akal tidak akan mampu mengeluarkan hukum karena hal ini termasuk kedalam aspek ketiga sebagaimana yang telah dijelaskan. Anda mampu menetapkan berdasarkan akal bahwa ilmu itu baik, akan tetapi menetapkan bahwa ilmu itu berpahala atau membawa implikasi pada siksaan tidak mampu ditentukan oleh akal. Yang mampu menentukannya adalah syara. Anda dengan akal mampu menetapkan bahwa menolong orang tenggelam itu adalah (perbuatan) baik, akan tetapi menetapkan bahwa menolong orang yang tenggelam itu akan mendapatkan pahala, tidak bisa ditentukan oleh akal, tetapi ditentukan oleh syara. Ini telah dijelaskan dalam pembahasan aspek yang ketiga.
KHITHAB TAKLIFI SERUAN SYAR'I YANG TERKAIT DENGAN PERBUATAN HAMBA BERUPA TUNTUTAN DAN PEMBERIAN PILIHAN YANG MENJELASKAN HUKUM ATAS PERBUATAN MANUSIA
Tuntutan (al-iqtidla) dan pemberian pilihan (at-takhyir), keduanya termasuk jenis perintah (al-amru) dengan berbagai jenisnya, atau memiliki satu pengertian dengan amr sesuai dengan gaya bahasa Arab. Karena amr merupakan salah satu bagian dari al-Qur‘an dan as-Sunnah maka rinciannya insyaAllah akan dibahas pada bab keempat nanti. Meskipun demikian pada pasal ini kami akan mengutarakan sebagian perkara yang mesti diketahui untuk memahami seruan asy-Syâri‘.
1. Pengertian asal dari amr
Para pakar ushul fiqih berbeda pendapat tentang pengertian amr. Ada yang mengatakan bahwa amr itu memberikan arti wajib; ada yang mengatakan memberikan arti sunnat dan ada juga yang mengatakan bahwa amr memberikan arti ibahah. Masing-masing berusaha menetapkan pendapatnya dengan menyertakan berbagai macam dalil. Makna amr harus dicari menurut aspek bahasa, karena syara tidak menentukan maknanya. Untuk memahami makna amr kita harus membatasi pengertiannya menurut penjelasan secara bahasa. Kata amr menurut bahasa berarti tuntutan yang datangnya berasal dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya (at-thalabu „ala wajhi al-isti‟la). Amr berarti juga tuntutan atau sesuatu yang diperintahkan (al-ma‟mur bihi). Berdasarkan pengertian bahasa ini maka asal dari makna amr adalah tuntutan saja. Yang menentukan jenis amr apakah (bersifat) pasti atau tidak, atau berupa pilihan, adalah (adanya) qarinah (indikasi).
2. Hukum asal tentang perbuatan manusia
Perbuatan manusia perlu diketahui hukum syaranya, karena tolok ukur perbuatan menurut seorang muslim adalah perintah dan larangan Allah. Allah
mewajibkan setiap muslim agar memperhatikan setiap perbuatan yang akan dikerjakannya, dan mengetahui hukum syara atas perbuatan tersebut sebelum dikerjakan, karena Allah akan meminta pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak. Allah
berfirman:
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
وَمَا تَكُونُ فِى شَأْنٍ وَمَا تَتْلُوا۟ مِنْهُ مِن قُرْءَانٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ
juga menjelaskan kewajiban agar perbuatan manusia sesuai dengan hukum Allah, sesuai dengan hukum Islam.مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
selalu bertanya kepada Rasulullah
tentang aktivitas mereka sampai diketahui (lebih dahulu) hukum Allah-nya sebelum dilaksanakan. Ibnu al-Mubarak mengeluarkan hadits:كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ لَنَا شَيْءٌ فَقُلْنَا أَلَا نَسْتَخْصِي فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ
, dan saat itu kami tak punya apa-apa. Kemudian kami pun berkata, "Apakah kami harus mengebiri?" Dan ternyata beliau pun melarang kami untuk melakukannya, lalu beliau memberikan rukhshah kepada kami, yakni menikahi wanita meskipun dengan mahar kain.فَقَالَ حُذَيْفَةُ إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ فَأَحْدَقَهُ الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقَالَ إِنِّي أَرَى الَّذِي تُنْكِرُونَ إِنِّي قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ هَذَا الْخَيْرَ الَّذِي أَعْطَانَا اللَّهُ أَيَكُونُ بَعْدَهُ شَرٌّ كَمَا كَانَ قَبْلَهُ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَمَا الْعِصْمَةُ مِنْ ذَلِكَ قَالَ السَّيْفُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ مَاذَا يَكُونُ قَالَ إِنْ كَانَ لِلَّهِ خَلِيفَةٌ فِي الْأَرْضِ فَضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَأَطِعْهُ وَإِلَّا فَمُتْ وَأَنْتَ عَاضٌّ بِجِذْلِ شَجَرَةٍ قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا قَالَ ثُمَّ يَخْرُجُ الدَّجَّالُ مَعَهُ نَهْرٌ وَنَارٌ فَمَنْ وَقَعَ فِي نَارِهِ وَجَبَ أَجْرُهُ وَحُطَّ وِزْرُهُ وَمَنْ وَقَعَ فِي نَهْرِهِ وَجَبَ وِزْرُهُ وَحُطَّ أَجْرُهُ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا قَالَ ثُمَّ هِيَ قِيَامُ السَّاعَةِ
tentang kebaikan, sementara aku bertanya beliau tentang keburukan." Orang-orang sepontan memperhatikan Hudzaifah dengan pandangan tajam, Hudzaifah melanjutkan, "Aku tahu apa yang kalian ingkari (cemaskan). Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, apakah setelah kebaikan yang Allah berikan kepada kita ini, akan muncul keburukan setelahnya seperti masa-masa sebelumnya?" Beliau menjawab: "Benar." Aku bertanya lagi, "Bagaimana bisa selamat dari hal itu?" beliau menjawab: "Dengan pedang." Aku bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, lantas apa yang bakal terjadi?" Beliau menjawab: "Jika Allah mempunyai Khalifah di muka bumi, lalu ia memukul punggung dan mengambil hartamu, maka taatilah ia. Jika tidak begitu, maka matilah kamu dalam keadaan menggigit akar pohon (tidak taat dan pergi menyepi)." Aku bertanya lagi, "Lalu apa yang akan terjadi?" beliau menjawab: "Akan muncul dajjal dengan membawa sungai dan api. Siapa yang jatuh ke dalam apinya, maka ia akan mendapatkan pahala dan akan dihapus dosanya. Dan siapa yang jatuh ke dalam sungainya, maka ia akan mendapat dosa dan digugurkan pahalanya." Aku bertanya lagi, "Lalu apa lagi?" beliau menjawab: "Kiamat akan datang."3. Hukum asal tentang benda.
Benda berbeda dengan perbuatan. Benda adalah materi yang akan digunakan oleh manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan adalah aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik menyangkut perbuatan ataupun perkataan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Perbuatan itu biasanya berhubungan dengan benda. Makan adalah perbuatan, yang terkait dengan roti, apel, daging babi, dan lain-lain. Minum adalah perbuatan, yang terkait dengan air, madu, khamar, dan lain-lain.
berfirman:قُلْ أَرَءَيْتُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَٰلًا
وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ ٱلْكَذِبَ هَٰذَا حَلَٰلٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِ
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ
كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا
أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ
Dari nash-nash tersebut jelas bahwa Syâr'i telah membolehkan seluruh benda, yakni menghalalkannya. Karena ibahah atas benda artinya halal, lawan dari haram. Oleh karena itu mengharamkan sebagian benda membutuhkan nash yang mengecualikannya dari benda-benda yang pada asalnya dibolehkan. Dengan demikian hukum asal atas benda adalah ibahah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
4. Hukum-hukum atas perbuatan manusia.
Telah kami katakan bahwa asal dari perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara. Hukum syara yang terkait dengan perbuatan manusia adalah hukum-hukum yang dipahami dari seruan asy-Syâr'i berupa tuntutan atau memberikan pilihan, yaitu sesuai dengan bentuk tuntutan (sighat ath-thalab) yang dipahami dan bermakna al-iqtidla dan takhyir; atau makna dari amr dan sesuatu yang pengertiannya sama seperti yang telah kami jelaskan. Yang menentukan jenis dari tuntutan (thalab) adalah adanya qarinah (indikasi), baik yang ada pada nash itu sendiri, atau pada nash lain. Dengan meneliti dilalah khitab (penunjukan seruan) asy-Syâr'i yang menjelaskan hukum perbuatan manusia, maka hukum itu dibatasi menjadi lima, yaitu:
1. Fardlu atau wajib.
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
إِلَّا تَنفِرُوا۟ يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Contoh lainnya adalah firman Allah:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
Dan dirikanlah shalat. (TQS.an-Nuur [24]: 56)
سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ(٤٢) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ(٤٣)
2. Mandub.
:صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Shalat jamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.
memerintahkan untuk shalat jamaah, meskipun tuntutan (thalab)nya tidak berbentuk kata perintah (sighat amr). Tetapi mengambil bentuk yang semakna dengannya. Hal ini akan kami jelaskan nanti. Qarinah atas tuntutan tersebut memberikan arti ketidakpastian. Dengan dalil diamnya Rasulullah saw terhadap segolongan kaum Muslim yang shalat sendirian. Karena shalat jamaah tergolong upaya taqarrub kepada Allah, maka hukum shalat jamaah itu (hukumnya) mandub.3. Haram atau mahzhur.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
4. Makruh.
Rasulullah
bersabda:
عَنْ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ التَّبَتُّلِ
melarang membujang. 5. Mubah.
Allah
berfirman:
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَٱصْطَادُوا۟
menyuruh untuk berburu setelah ihram selesai. Akan tetapi perintah tersebut tidak menunjukkan bahwa berburu setelah ihram selesai adalah fardlu atau mandub. Hal itu hanya menunjukkan mubah, dengan adanya qarinah lain, yaitu bahwa Allah memerintahkan berburu setelah ihram, padahal Allah telah melarangnya selama ihram. Firman-Nya:غَيْرَ مُحِلِّى ٱلصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ
Contoh lain adalah firman Allah:
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ
Berarti bertebaran (di muka bumi untuk mencari rizki) setelah shalat jum‟at hukumnya mubah, karena kembali kepada hukum asalnya sebelum shalat dan sebelum adanya larangan. Qarinah-Qarinah yang menjelaskan jenis suatu tuntutan. Qarinah menurut bahasa, diambil dari qarana asy-syai-a, yang berarti mengumpulkan dan menyertainya. Ini berarti, segala sesuatu yang menjelaskan jenis suatu tuntutan dan membatasi pengertiannya apabila digabungkan dan disertakan dengan tuntutan tersebut. Untuk membatasi hukum syara tentang perbuatan manusia harus ditempuh dua langkah berikut.
Qarinah itu terbagi menjadi tiga bagian:
سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ(٤٢) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ(٤٣)
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلًا مِّنَ ٱللَّهِ
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلْيَتَٰمَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
أَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ , أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟
Rasulullah
bersabda:
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ
senantiasa menetapi thariqah (metode) tertentu untuk menegakkan Daulah (negara), yaitu thalabun nushrah. Dalam menjalankannya Rasulullah
menanggung beban kesulitan tetapi tidak merubah thariqah tersebut. Hal ini menunjukan bahwa thalabun nushrah untuk menegakkan Daulah Islamiyah hukumnya wajib. Ibnu Hisyam dalam (kitab) sirahnya berkata, Ibnu Ishak berkata, ketika Abu Thalib meninggal orang-orang kafir Quraisy mempunyai kesempatan untuk menyakiti Rasul tidak seperti pada masa hidupnya Abu Thalib. Kemudian Rasul keluar ke (daerah) Thaif untuk mencari pertolongan dari bani Tsaqif dan memperoleh pembelaan dari kaumnya. Dengan harapan mereka mau menerima Islam yang dibawa Rasul dari Allah
. Setelah itu Rasul keluar sendirian menuju bani Tsaqif, …sampai perkataan … namun mereka menolak, malahan menyuruh orang-orang yang lemah akalnya dan hamba-hamba sahaya mereka untuk menghujat dan melempari beliau. Ibnu Ishak berkata, Ibnu Syihab az-Zuhri telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah
mendatangi kabilah Kindah di tempat tinggal mereka dan (mendatangi) para pembesarnya. Kemudian beliau mengajak mereka (menyembah) Allah
dan agar mereka (menjadi) pengikut beliau. Akan tetapi mereka menolaknya. Ibnu Ishak berkata, sebagian sahabat kami telah menceritakan, dari Abdullah bin Malik, bahwa Rasulullah
mendatangi tempat tinggal kabilah Hanifah, lalu mengajak (untuk menyembah) Allah dan agar mereka (menjadi) pengikut beliau. Akan tetapi tidak seorangpun dari orang-orang Arab itu yang lebih kejipenolakannya selain mereka. Ibnu Ishak berkata, telah berkata az-Zuhri bahwasanya Rasulullah mendatangi bani Amir bin Sha‟sha‟ah, mengajak (untuk menyembah) Allah dan agar mereka (menjadi) pengikut beliau. Lalu salah seorang dari mereka yang bernama Baiharah bin Firas berkata: "Demi Allah, seandainya aku mengambil (dan mengikuti) pemuda Quraisy ini, maka orang-orang Arab akan menyerang kita". Kemudian melanjutkan perkataannya, "Bagaimana pendapatmu jika kami membaiatmu agar tunduk pada perkara (yang engkau bawa) kemudian Allah memenangkan pengikut-pengikutmu, apakah kami yang akan memperoleh (kepemimpinan) setelah engkau? Rasul menjawab: "Perkara itu adalah urusan Allah, Dialah yang akan memberikannya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya". Orang itu berkata lagi: "Apakah pandangan orang-orang Arab kepada kami tidak akan sempurna tanpa kehadiranmu. Dan apakah Allah akan memenangkanmu dengan perkara ini tanpa (dukungan) kami? Kami tidak memerlukan perkara engkau‟. Dan merekapun menolak. Aktivitas thalabun nushrah juga dilakukan beliau terhadap bani Syaiban, mereka menyambutnya, dan mereka tidak akan memerangi pasukan berkuda Rasulullah (yang melewati daerah mereka). Namun, ketika mereka mengetahui bahwa Rasul meminta mereka untuk membela Islam, dan agar menyampaikannya kepada seluruh manusia, namun mereka menolak. Rasulullah
tetap melakukan aktivitas thalabun nushrah terhadap berbagai kabilah, tanpa merubah thariqahnya dengan thariqah yang lain, meskipun mengalami penolakan dan kesulitan sebagaimana yang telah terjadi, meskipun mengalami pengainiayaan yang amat berat terhadap fisik Rasul yang mulia. Hal itu terus berlanjut sampai Allah memberikan pertolongan dengan sikap (penerimaan) orang- orang Anshar yang menyambut seruannya. Lalu terjadi baiat Aqabah kesatu dan kedua, diikuti hijrah ke Madinah dan berdirinya Daulah Islamiyah. Sabda Rasulullah
:لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ
:يَرْمِي عَلَى رَاحِلَتِهِ يَوْمَ النَّحْرِ
Ambillah dariku manasik (haji) kalian.
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.
Firman Allah
:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ
Rasulullah
bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا۟ بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ ۗ
فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
berdiri malakukan shalat dan memanjangkan (memperlama) berdirinya, kemudian ruku dan memanjangkan ruku'nya, lalu mengangkat kepalanya dan memperlama berdirinya namun lebih singkat dari berdiri yang pertama. Setelah itu ruku dan memperlama rukunya namun lebih singkat dari ruku yang pertama. Kemudian sujud …… sampai akhir hadits.يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu- ibumu. (TQS. an-Nisa [4]: 23)
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ
Rasulullah
bersabda:
لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ مِنْ الدَّهْرِ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا أَوْ زَوْجُهَا
إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ
وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ
إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
ا يَتَّخِذِ ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلْكَٰفِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ ٱللَّهِ فِى شَىْءٍ
Rasulullah
bersabda:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ
l. Apabila tercakup dalam kaidah:
:تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
Tersenyum di hadapan saudaramu adalah sedekah.
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ
Sesungguhnya Allah Maha Baik, dan menyukai kepada yang baik, Maha Bersih dan menyukai kepada yang bersih.
لِلْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ أَرْبَعُ خِلَالٍ يُشَمِّتُهُ إِذَا عَطَسَ وَيُجِيبُهُ إِذَا دَعَاهُ وَيَشْهَدُهُ إِذَا مَاتَ وَيَعُودُهُ إِذَا مَرِضَ
شَرُّ الْكَسْبِ مَهْرُ الْبَغِيِّ وَثَمَنُ الْكَلْبِ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ
melarang (pekerjaan) berbekam.أَلَمْ أَكُنْ نَهَيْتُكُمْ عَنْ أَكْلِ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسَانُ
tentang larangan berobat dengan perkara yang diharamkan. (khamar). Rasulullah bersabda:إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ
Sesungguhnya (khamar) itu bukan obat tetapi penyakit.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا اجْتَوَوْا فِي الْمَدِينَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَلْحَقُوا بِرَاعِيهِ يَعْنِي الْإِبِلَ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَلَحِقُوا بِرَاعِيهِ فَشَرِبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا حَتَّى صَلَحَتْ
memerintahkan mereka supaya menemui penggembala beliau dan meminum susu dan kencing unta, mereka lalu pergi menemui sang penggembala dan meminum air susu dan kencing unta tersebut sehingga badan-badan mereka kembali sehat.c. Apabila suatu aktivitas tergolong taqarrub kepada Allah, tetapi tidak termauk cakupan pada pembahasan poin kesatu. Contohnya adalah sabda Rasulullah
:مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
مَا تَصَدَّقَ أَحَدٌ بِصَدَقَةٍ مِنْ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ إِلَّا أَخَذَهَا الرَّحْمَنُ بِيَمِينِهِ وَإِنْ كَانَتْ تَمْرَةً فَتَرْبُو فِي كَفِّ الرَّحْمَنِ حَتَّى تَكُونَ أَعْظَمَ مِنْ الْجَبَلِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ فَصِيلَهُ
ثَلَاثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ
Rasulullah
bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
"Sesungguhnya doa adalah ibadah."
أَنَّهُ ذُكِرَ الْقِيَامُ فِي الْجَنَائِزِ حَتَّى تُوضَعَ فَقَالَ عَلِيٌّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَعَدَ وَفِي الْبَاب عَنْ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَلِيٍّ حَدِيثٌ صَحِيحٌ وَفِيهِ رِوَايَةُ أَرْبَعَةٍ مِنْ التَّابِعِينَ بَعْضُهُمْ عَنْ بَعْضٍ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَهَذَا أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَهَذَا الْحَدِيثُ نَاسِخٌ لِلْأَوَّلِ إِذَا رَأَيْتُمْ الْجَنَازَةَ فَقُومُوا و قَالَ أَحْمَدُ إِنْ شَاءَ قَامَ وَإِنْ شَاءَ لَمْ يَقُمْ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ رُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَامَ ثُمَّ قَعَدَ وَهَكَذَا قَالَ إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَبُو عِيسَى مَعْنَى قَوْلِ عَلِيٍّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَازَةِ ثُمَّ قَعَدَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى الْجَنَازَةَ قَامَ ثُمَّ تَرَكَ ذَلِكَ بَعْدُ فَكَانَ لَا يَقُومُ إِذَا رَأَى الْجَنَازَةَ
berdiri kemudian duduk. Hadits semakna diriwayatkan dari Al Hasan bin Ali dan Ibnu Abbas. Abu Isa berkata; "Hadits Ali merupakan hadits shahih pada masalah itu. Juga ada riwayat empat orang Tabiin, sebagian mengambil dari yang lainnya. ini pendapat yang dipakai oleh sebagian ulama. Syafi'i berkata; 'Ini adalah riwayat yang paling sahih dalam masalah ini. Hadits ini juga menjadi penghapus hadits; 'Jika kalian melihat jenazah maka berdirilah'.' Ahmad berkata; 'Jika mau dia berdiri, dan jika tidak, maka tidak mengapa, dengan dalil bahwa diriwayatkan dari Nabi
bahwa beliau berdiri lalu duduk. Demikian juga pendapat Ishaq bin Ibrahim." Abu Isa berkata; "Makna perkataan Rasulullah
berdiri pada suatu jenazah lalu duduk adalah Rasulullah
jika melihat jenazah berdiri kemudian beliau meninggalkannya, yaitu beliau tidak berdiri lagi jika melihat jenazah."الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلْأَنْهَٰرَ
ٱللَّهُ ٱلَّذِى سَخَّرَ لَكُمُ ٱلۡبَحۡرَ لِتَجۡرِىَ ٱلۡفُلۡكُ فِيهِ بِأَمۡرِهِ
كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللهِ
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. (TQS. al-A‟raaf [7]: 31)أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
انْظُرُوا إِلَىٰ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ
فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِ
أَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ الَّذِي يُقَالُ لَهُ سَيْفُ اللَّهِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ خَالَتُهُ وَخَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَوَجَدَ عِنْدَهَا ضَبًّا مَحْنُوذًا قَدِمَتْ بِهِ أُخْتُهَا حُفَيْدَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ مِنْ نَجْدٍ فَقَدَّمَتْ الضَّبَّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ قَلَّمَا يُقَدَّمُ إِلَيْهِ طَعَامٌ حَتَّى يُحَدَّثَ بِهِ وَيُسَمَّى لَهُ فَأَهْوَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ إِلَى الضَّبِّ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْ النِّسْوَةِ الْحُضُورِ أَخْبِرْنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا قَدَّمْتُنَّ لَهُ قُلْنَ هُوَ الضَّبُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ أَحَرَامٌ الضَّبُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا وَلَكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ قَالَ خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ يَنْظُرُ فَلَمْ يَنْهَنِي
melihatnya.KHITHAB SYARI‟ YANG BERKAITAN DENGAN PERBUATAN HAMBA DENGAN PENETAPAN WADL'I, YANG MENJELASKAN PERKARA YANG DITUNTUT KEBERADAANNYA OLEH HUKUM, DISEBUT JUGA KHITHAB AL-WADL'I
Bersambung Klik Disini(Footnotes)
. . . . . . . . .
. . . . . . . . .
Back to Top



Tidak ada komentar:
Posting Komentar