
Di dalam banyak kajian keislaman masalah aurat muslimah terbagi dua pendapat, yaitu (1) Keseluruhan tubuhnya kecuali wajah dan tangan. (2) Seluruh tubuh Perempuan tanpa terkecuali, sehingga mereka wajib bercadar. Untuk kali ini penulis lebih condong terhadap pendapat yang pertama, dengan alasan sebagaimana ulasan berikut:
.Dari al-Quran, mereka mengutip firman Allah
sebagai berikut:
...وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ...
juga berfirman:يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
berfirman:وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى
mereka mengutip riwayat bahwa Nabi
telah bersabda:حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُوَرِّقٍ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
bersabda: "Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki." Abu Isa berkata; "Ini merupakan hadits hasan gharib."[1]حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ نَبْهَانَ مُكَاتَبِ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ تَقُولُ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كَانَ لِإِحْدَاكُنَّ مُكَاتَبٌ فَكَانَ عِنْدَهُ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ
pernah berkata kepada kami: "Apabila salah seorang di antara kalian memiliki budak mukatab dan budak tersebut memiliki sesuatu yang dapat ia bayarkan, maka hendaknya ia memasang hijab darinya." [2]كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أَمَرَنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لَا يُبْصِرُنَا وَلَا يَعْرِفُنَا قَالَ أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا لَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ
, Ibnu Ummi Maktum ingin bertemu dengannya dan akhirnya ia pun bertemu dengan beliau. Peristiwa itu terjadi setelah diperintahkannya kami memaki hijab." Rasulullah
pun lantas bersabda: "Pakailah hijab kalian berdua darinya!" kami bertanya; "Wahai Rasulullah! Bukankah ia seorang yang buta, tidak bisa melihat kita dan tidak mengetahui kita." Beliau menjawab; "Apakah kalian berdua juga buta, bukankah kalian berdua melihatnya." [3]Ada juga riwayat yang menyebutkan demikian:
وَأَرْدَفَ الْفَضْلَ بْنَ الْعَبَّاسِ وَكَانَ رَجُلًا حَسَنَ الشَّعْرِ أَبْيَضَ وَسِيمًا فَلَمَّا دَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِالظُّعُنِ يَجْرِينَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهِنَّ فَأَخَذَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ فَوَضَعَهَا عَلَى وَجْهِ الْفَضْلِ فَحَوَّلَ الْفَضْلُ رَأْسَهُ مِنْ الشِّقِّ الْآخَرِ
bertolak, beliau melewati beberapa orang wanita yang berlari, lalu Al Fadhl mulai melihat kearah mereka, Nabi
memegang tangannya dan langsung meletakkannya di wajah Al Fadhl, kemudian Al Fadhl memalingkan wajahnya ke sisi yang lain…. [4]
yang berbunyi, Waqarna fî buyûtikunna (Hendaklah kalian tetap di rumah-rumah kalian—QS al-Ahzâb [33]: 33), tidak ada hubungannya sama sekali dengan kaum Muslimah secara keseluruhan. Kedua ayat di atas (maksudnya ayat ke-33 dan, sebelumnya, ayat ke-32, pen) tersebut dikhususkan bagi istri-istri Rasulullah
. Makna kedua ayat tersebut sangat jelas jika dibaca secara keseluruhan. Keduanya, satu sama lain, saling berkaitan, baik dari segi lafadz maupun maknanya.Sementara itu, Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِ مِنْكُمْ وَاللَّهُ لا يَسْتَحْيِ مِنْ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعاً فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَداً إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيماً
yang memperkuat bahwa ayat ini khusus ditujukan bagi istri-istri Rasulullah
adalah hadits yang diriwayatkan dari Umar radhiallahu’anhu ketika beliau bertutur demikian:قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَدْخُلُ عَلَيْكَ الْبَرُّ وَالْفَاجِرُ فَلَوْ أَمَرْتَ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِالْحِجَابِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ الْحِجَابِ
sementara mereka sedang bersama dengan kaum Muslimah lain di Masjid. ‘Umar lantas berkata, ‘Andai saja mereka mengenakan hijab, hal itu lebih utama bagi mereka atas kaum wanita lainnya, sebagaimana mereka menikahi lelaki yang paling utama (Muhammad
).Tidak lama kemudian, ayat tentang hijab turun.
dan tidak diperuntukkan bagi kaum Muslimah lainnya. Sementara itu, potongan ayat yang berbunyi, Waqarna fî buyûtikunna (Hendaklah kalian tetap tinggal di rumah-rumah kalian), juga khusus ditujukan kepada istri-istri Rasulullah
Lengkapnya teks ayat ini berbunyi sebagai berikut:يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنْ النِّسَاءِ إِنْ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفاً وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمْ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
dan Rasulullah
Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan kotoran dari kalian, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya. (QS al-Ahzâb [33]: 32-33)
karena seruannya pun hanya ditujukan kepada mereka, sebagaimana kalimat awal yang tercantum dalam ayat tersebut, yakni ungkapan, Yâ nisâ’ an-Nabî, lastunna ka’ahadin min an-nisâ’ (Wahai istri-istri Nabi kalian tidaklah sama dengan wanita lain).
Di akhir ayat itu sendiri terdapat tekanan, Innamâ yurîdullâhu liyudzhiba ‘ankum ar-rijsa ahlul bayti wa yuthahhirakum tathhîrâ (Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan kotoran dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya).
Mereka diperintahkan untuk melaksanakan apa yang telah dititahkan kepada mereka agar mereka dibebaskan dari kotoran dan disucikan, karena mereka termasuk ke dalam ahlul bait (keluarga) Nabi saw. Penegasan ini secara langsung terdapat pula pada ayat berikutnya setelah firman-Nya; wa yuthahhirakum tathhîrâ, yang berfungsi sebagai penguat. Ayat tersebut berbunyi:وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفاً خَبِيراً
adalah tempat turunnya wahyu. Ayat ini juga memerintahkan mereka agar tidak melupakan ayat-ayat yang dibacakan di dalam rumah mereka.
tidak ada satu petunjuk pun di dalamnya bahwa ketetapan hukumnya berlaku juga bagi para wanita Muslimah lain selain mereka. Di dalam ayat tersebut terdapat pula seruan yang juga ditujukan secara khusus bagi istri-istri Rasulullah saw., misalnya firman Allah
yang berbunyi:وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَداً
tidak boleh menikah setelah beliau wafat. Kenyataan ini berbeda dengan para wanita Muslimah lainnya, karena mereka boleh menikah jika telah lepas dari suaminya. Dengan demikian, kedua ayat mengenai hijab di atas khusus ditujukan bagi istri-istri Nabi
sebagaimana larangan bagi mereka untuk menikah setelah beliau wafat.Di sini tidak berlaku kaidah berikut:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Dalam konteks ini tidak bisa disimpulkan bahwa sebab turunnya ayat tersebut memang khusus berkaitan dengan istri-istri Nabi
tetapi patokan hukumnya berlaku umum bagi mereka maupun para wanita Muslimah lainnya. Pendapat seperti ini tidak bisa diterima. Sebab, yang disebut dengan sabab an-nuzûl (latar belakang turunnya) ayat adalah mengacu pada suatu peristiwa yang terjadi, sementara dalam ayat tersebut, istri-istri Nabi
bukanlah ‘peristiwa’ yang terjadi dan ditunjuk oleh ayat tersebut. Ayat tersebut merupakan nash tertentu yang menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Artinya, nashnya hanya menyangkut para istri Nabi
saja, sebagaimana firman Allah
:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنْ النِّسَاءِ
Dan dalam surat al Ahzab di ayat lain yang artinya;
). (QS al-Ahzâb [33]: 53)
dan adanya ketentuan yang hanya ditujukan untuk mereka saja, bukan yang lain, merupakan ‘illat (alasan) bahwa perintah untuk mengenakan hijab pun hanya khusus bagi mereka saja. Apalagi pernyataan pada ayat tersebut dilanjutkan dengan kalimat:
(QS al-Ahzâb [33]: 53)
Dengan demikian, kaidah, Al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (Hukum berlaku karena umumnya lafal, bukan karena khususnya sebab), tidak layak dipakai di sini.Dalam konteks ini pun tidak bisa dikatakan bahwa seruan terhadap para istri Rasulullah
berlaku juga bagi para wanita Muslimah lainnya. Sebab, kaidah yang menyatakan, “Seruan terhadap individu tertentu adalah berlaku pula bagi kaum Mukmin secara umum,” hanya diperuntukkan secara khusus bagi Rasulullah
atas kaum Mukmin, tidak berlaku bagi para istri beliau atas para wanita Mukmin. Seruan terhadap Rasulullah
memang berlaku pula bagi kaum Mukmin, sedangkan seruan kepada para istri Nabi
adalah khusus ditujukan bagi mereka saja. Sebab, Rasulullah
merupakan teladan (yang wajib diikuti oleh seluruh kaum Mukmin, pen) dalam setiap ucapan, perilaku, ataupun diamnya beliau—selama tidak ada pengkhususan bagi diri beliau. Sebaliknya, para istri beliau bukanlah teladan (maksudnya, yang wajib diikuti oleh seluruh kaum Mukmin, pen). Allah
sendiri telah berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
tidak wajib dijadikan suri teladan (bagi seluruh kaum Mukmin, pen), sehingga setiap Mukmin akan melakukan suatu perbuatan karena perbuatan tersebut dilakukan oleh mereka, ataupun mencontoh suatu sifat karena sifat tersebut ada pada diri mereka. Yang wajib diteladani dan dicontoh hanyalah Rasulullah
saja, sebab beliau tidak melakukan apa pun, kecuali senantiasa berlandaskan pada wahyu.
saja—yang terjaga kesuciannya dan di rumah-rumah mereka selalu dibacakan wahyu—diperintah untuk mengenakan hijab, maka sesungguhnya para wanita Muslimah lain adalah lebih layak lagi terkena seruan ini. Pendapat semacam ini tidak dapat diterima karena dua alasan:
terhadap sesuatu yang sepele, sehingga hal itu mengandung pengertian bahwa, larangan terhadap sesuatu yang sifatnya lebih besar—daripada sesuatu yang sifatnya sepele tersebut, pen—tentu dipandang lebih layak lagi. Allah
berfirman:فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
berfirman yang artinya:
dan tidak mengandung pengertian lain. Kata nisâ an-Nabî (istri-istri Nabi
) bukanlah sifat yang diambil dari proses pemahaman (washfan mufahhaman) sehingga dapat disimpulkan bahwa, selain istri-istri Nabi
adalah lebih layak (untuk mengenakan hijab, pen). Sebaliknya, kata tersebut merupakan nama yang sudah baku (ism jâmid) sehingga tidak mengandung konotasi (pengertian) lain. Dengan kata lain, ungkapan dalam ayat tersebut hanya berkaitan dengan apa yang secara khusus ditunjukkan oleh nash, tidak lebih, dan tidak mengandung pemahaman lain. Ayat tersebut juga tidak berkaitan sama sekali dengan topik min bâb al-ûlâ (mana yang lebih), baik secara tekstual (ditinjau dari segi lafal lahiriahnya) ataupun secara kontekstual (ditinjau dari segi konteksnya).
karena kedudukan mereka berbeda dengan wanita Muslimah pada umumnya. Selain itu, interaksi para sahabat dengan istri-istri Rasulullah
tanpa ada hijab akan mengganggu beliau.
dan prinsip min bâb al-ûlâ (mana yang lebih utama). Sebaliknya, terbukti pula bahwa, nash tersebut secara pasti hanya ditujukan bagi istri-istri Nabi
semata. Kedua ayat yang diperbincangkan di atas hanya berkenaan dengan istri-istri Rasulullah
saja, sehingga tidak terkait sama sekali—dari sisi mana pun—dengan kaum wanita Muslimah lainnya.
Atas dasar ini, kesimpulan hukum yang diambil dari proses penggalian dalil terhadap kedua ayat di atas—sehingga disimpulkan bahwa hijab atas wajah telah disyariatkan bagi para wanita Muslimah—telah gugur dengan sendirinya. Selanjutnya, mengenai ayat kedua yang dimunculkan adalah firman Allah
berikut:يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ
اَلْجِلْبَابُ كَسِرْدَابٍ وَكَسِنْمَارٍ: اَلْقَمِيْصُ وَالثَّوْبُ وَاسِعٌ لِلْمَرْأَةِ دُوْنَ اْلمِلْحَفَةِ أَوْ مَا تُغْطِيْ بِهِ ثِيَابَهَا كَالْمِلْحَفَةِ
Sedangkan dalam Kamus ash-Shihhâh, al-Jawhârî menyatakan:
اَلْجِلْبَابُ اْلمِلْحَفَةُ وَقِيْلَ الْمُلاَءَةُ
فَسَأَلَتْ أُخْتِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعَلَى إِحْدَانَا بَأْسٌ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا جِلْبَابٌ أَنْ لَا تَخْرُجَ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا وَلْتَشْهَد الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ
, "Apakah berdosa bila seorang dari kami tidak keluar (mengikuti shalat 'Ied) karena tidak memiliki jilbab?" Beliau menjawab: "Hendaklah kawannya memakaikan jilbab miliknya untuknya (meminjamkan) agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan mendo'akan Kaum Muslimin." [6]
memerintahkan agar saudaranya meminjamkan jilbab kepadanya yang akan dikenakan pada bagian luar pakaian keseharaiannya. Dengan demikian, ayat di atas bermakna bahwa, Allah
telah meminta Rasulullah
agar menyampaikan kepada para istri dan anak-anak wanitanya beserta istri orang-orang Mukmin supaya mengulurkan kain pada bagian atas pakaian keseharian mereka hingga ke bawah. Pengertian semacam ini didasarkan pada sebuah dalil, yakni berupa riwayat yang telah dikemukakakan dari Ibn ‘Abbas, yang menyatakan bahwa jilbab adalah kain luar yang berfungsi untuk menutupi (pakaian keseharian wanita) dari atas sampai ke bawah. Ayat tersebut menunjukkan perintah agar mengulurkan jilbab, yaitu kain yang luas dan lebar, hingga ke bawah, dan tidak menunjukkan makna yang lainnya.مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ؟ قَالَ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُرْخِيْنَ شِبْرًا. فَقَالَتْ: إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ: فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
sehingga Rasūlullāh
mengizinkan dengan mengatakan: "Hendaknya mereka menjulurkan rok mereka sehingga dengan panjang 1 jengkal." Maka Ummu Salamah masih berkata lagi: "Kalau begitu nanti kaki-kaki mereka akan tersingkap." Maka Rasūlullāh
mengizinkan dia menambah. Kata Rasūlullāh
: "Tambah lagi, julurkanlah sehingga dengan jarak sehasta." [7]
atas para wanita Muslimah. Sementara itu, hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh mereka tentang keharusan wanita Muslimah mengenakan hijab atas wajah sesungguhnya tidak menunjukkan pengertian ini. Sebab, hadits mengenai budak mukâtab—jika ia mampu membayar tebusannya—yang diperintahkan untuk mengenakan hijab di hadapan tuannya, adalah khusus terkait dengan istri-istri Nabi
Hadits ini diperkuat hadits lain. Abû Qilâbah bertutur:
tidak mengenakan hijab di hadapan budak mukâtab yang masih memiliki harta satu dinar (untuk tebusan).
kepadanya dan kepada Hafshah agar masing-masing mengenakan hijab atas wajah adalah hadits dha‘îf (lemah), sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Apalagi, hadits tersebut hanya khusus ditujukan bagi istri-istri Rasulullah
yakni Ummu Salamah dan Hafshah.Sementara itu, ‘Aisyah radhiallahu’anha bertutur:
كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
sedang berihram. Tatkala mereka mendekat ke arah kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari rambut ke wajahnya. Ketika mereka berlalu, kami membukanya kembali. [8]
pernah bersabda sebagai berikut:Dalam kitab Fath al-Bârî, disebutkan bahwa cadar adalah kain yang dikenakan di atas hidung atau di bawah lekukan mata. Dengan demikian, hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyebutkan bahwa wanita yang sedang berihram telah menutupi wajahnya tatkala di hadapannya lewat para pengendara (unta), sementara hadits Ibn ‘Umar menunjukkan larangan mengenakan cadar, artinya tidak menutupi apa pun kecuali bagian bawah wajah. Jika demikian kenyataannya, lantas bagaimana mungkin pengertian kedua hadits tersebut dikaitkan dengan upaya untuk menutupi wajah seluruhnya dengan kain dan menghamparkannya di atas wajah? Dengan merujuk pada kedua hadits tersebut, jelaslah bahwa, hadits ‘Aisyah bersumber dari penuturan Mujâhid. Yahyâ ibn Sa‘îd al-Qaththân telah menyatakan bahwa ia tidak pernah mendengar hadits tersebut dari ‘Aisyah. Sebaliknya, hadits yang dituturkan oleh Ibn ‘Umar adalah hadits sahih yang telah dikemukakan oleh Imam al-Bukhârî. Oleh karena itu, hadits yang dituturkan oleh ‘Aisyah dengan sendirinya tertolak karena dha‘îf dan bertentangan dengan hadits sahih, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.
wajahnya tampak. Buktinya, Fadhl sempat memandang wajahnya dan adanya kalimat terakhir yang tercantum dalam hadits tersebut yang berbunyi sebagai berikut:
memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain.
; “Ya Rasulullah, mengapa engkau memalingkan leher keponakanmu?” Rasulullah
menjawab, “Karena aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi yang tidak aman dari gangguan setan.”
sendiri melihat Khuts‘amiyah yang memperlihatkan wajahnya, sehingga beliau memalingkan pandangan Fadhl, karena ia memandang wanita tersebut dengan disertai syahwat, sebagaimana dinyatakan dalam hadits riwayat ‘Alî radhiallahu ‘anhu ‘….yang tidak aman dari gangguan setan’.
memalingkan wajah Fadhl, karena ia memandang wanita tersebut disertai syahwat, bukan memandangnya dengan pandangan biasa atau wajar. Padahal, memandang wanita asing yang disertai dengan syahwat—meskipun hanya melihat wajah dan kedua telapak tangan—adalah tindakan yang diharamkan.
memerintahkan Jarîr untuk memalingkan atau menundukkan pandangannya, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah
:قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
Yang dimaksud ayat ini adalah pandangan yang tiba-tiba terhadap selain wajah dan kedua telapak tangan wanita yang termasuk aurat, bukan pandangan terhadap wajah dan kedua telapak tangan. Sebab, melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita merupakan tindakan yang dibolehkan, meskipun secara sengaja. Dalilnya adalah adanya kebolehan untuk memandang wajah dan kedua telapak tangan wanita sebagaimana yang tercantum dalam hadits mengenai Khuts‘amiyah. Selain itu, Rasulullah
sendiri telah melihat wajah kaum wanita tatkala mereka membaiat beliau dan tatkala beliau memberikan nasihat kepada mereka. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, yang menjadi pokok masalah adalah pandangan yang tidak disengaja terhadap anggota badan wanita selain wajah dan dua telapak tangannya. Dalam konteks ini, Hadits Nabi
sebagaimana dituturkan oleh ‘Alî radhiallahu ‘anhu yang berbunyi, “Janganlah engkau mengikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya,” mengandung larangan untuk memandang wajah wanita secara berulang-ulang atau terus-menerus, bukan larangan agar tidak melihatnya sama sekali.
telah mensyariatkan wanita Muslimah untuk mengenakan hijab atas wajahnya (cadar), sebagaimana yang diserukan oleh mereka yang berpendirian seperti ini.
telah mewajibkan wanita Muslimah untuk mengenakan hijab atas wajahnya (cadar) atau bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita merupakan aurat, baik dalam waktu shalat maupun di luar waktu shalat. Dalil-dalil yang ditunjukkan oleh mereka tidak ada relevansinya dengan kewajiban untuk mengenakan hijab, apalagi riwayat dan penunjukkan dalilnya lemah.
yang berbunyi:وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
melarang wanita Muslimah untuk menampakkan perhiasannya atau untuk menampakkan bagian tubuh tempat melekatnya perhiasannya. Inilah maksud dari larangan tersebut. Pengecualian atas bagian tubuh selain tempat melekatnya perhiasan, yakni berupa apa yang biasa tampak, sudah sangat jelas. Artinya, pada diri wanita terdapat bagian-bagian tubuh tertentu tempat melekatnya perhiasannya yang biasa tampak. Bagian-bagian tubuh tersebut secara eksplisit memang tidak dimasukkan ke dalam larangan. Hal ini tidak memerlukan perincian lebih lanjut. Sebab, Allah
telah melarang para wanita Mukmin untuk menampakkan perhiasannya, kecuali apa yang biasa tampak pada dirinya. Tafsir mengenai bagian tubuh wanita yang mana yang dimaksud dalam potongan firman Allah
yang berbunyi, ‘illâ mâ zhahara minhâ’, dapat dikembalikan pada dua hal. (1) Tafsir secara literal atau tekstual (manqûl). (2) Tafsir secara konseptual (mafhûm), yakni melalui apa yang dapat dipahami dari kalimat mâ zhahara minhâ. Hal ini dapat ditempuh dengan cara mengimplementasikannya pada apa yang biasa tampak pada diri para wanita Muslim di hadapan Nabi
pada zamannya, yakni pada periode turunnya ayat tersebut.Imam al-Qurthubî juga berpendapat:
Pendapat ini didukung oleh Imam az-Zamakhsyarî yang menyatakan demikian:
yang berbunyi, ‘illâ mâ zhahara minhâ’.
. Kenyataan mereka seperti ini tidak bisa dipungkiri. Mereka biasa menampakkan wajah dan kedua telapak tangan mereka pada saat pergi ke pasar atau melewati jalan-jalan umum. Fenomena semacam ini sudah amat banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Di antaranya adalah sejumlah fakta sejarah atau riwayat berikut ini:Pertama, riwayat Jâbir ibn ‘Abdillâh. Ia bertutur demikian:
قَالَ شَهِدْتُ الصَّلَاةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِتَقْوَى اللَّهِ قَالَ تَصَدَّقْنَ فَذَكَرَ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ جَهَنَّمَ فَقَامَتْ امْرَأَةٌ مِنْ سَفِلَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُفْشِينَ الشَّكَاءَ وَاللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ فَجَعَلْنَ يَأْخُذْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ وَأَقْرَاطِهِنَّ وَخَوَاتِيمِهِنَّ يَطْرَحْنَهُ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ يَتَصَدَّقْنَ بِهِ
, beliau memulainya dengan shalat sebelum khutbah. Beliau kemudian berdiri dengan bersandar pada Bilal, hingga beliau datang kepada para wanita dan memberi nasehat mereka serta mengingatkan dan memerintahkan agar mereka bertakwa kepada Allah. Beliau bersabda: "Bersedekahlah." Kemudian beliau menyebutkan sebagian perkara Jahannam. Maka berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka yang kedua pipinya kehitam-hitaman. Wanita itu lalu berkata, "Kenapa wahai Rasulullah? Beliau menjawab: "Karena kalian banyak mengeluh, banyak melaknat, dan suka ingkar kepada suami." Kemudian mereka mengambil sebagian dari perhiasan, anting dan cincin mereka lalu melemparkannya ke dalam kain yang dibawa oleh Bilal sebagai sedekah." [9]Kedua, riwayat ‘Athâ’ ibn Abî Rabbâh. Ia menuturkan demikian:
قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ قَالَتْ أَصْبِرُ قَالَتْ فَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا
lalu berkata; Sesungguhnya aku terkena penderita epilepsi dan sering tersingkap auratku, maka berdoalah kepada Allah untukku. Beliau bersabda: "Jika engkau berkenan, engkau bersabar maka bagimu surga, dan jika engkau berkenan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu." Ia berkata; Tidak perlu bahkan aku akan bersabar. Namun berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap atau menyingkap dariku. Maka beliau mendoakan untuknya. [10]
dan menceritakan keadaannya. Beliau kemudian menyuruhnya untuk menunggu ‘iddah di rumah Ummu Syarîk seraya bersabda:لَا نَفَقَةَ لَكِ فَانْتَقِلِي فَاذْهَبِي إِلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَكُونِي عِنْدَهُ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ عِنْدَهُ
secara tidak langsung membiarkan Fâthimah binti Qays dilihat oleh kaum pria tatkala beliau menyuruhnya untuk menunggu masa ‘iddah-nya di rumah Ummu Syarîk. Namun demikian, beliau tidak membolehkan ia membuka pakaiannya di rumah Ummu Syarîk yang selalu didatangi oleh kaum pria agar tidak tampak apa yang diharamkan untuk dilihat. Beliau kemudian menyuruh Fâthimah binti Qays untuk pindah dan menghabiskan masa ‘iddah-nya di rumah Ummi Maktum.Keempat, riwayat Abû Bakar yang bersumber dari Ibn Jurayj. Ia menuturkan bahwa ‘Aisyah pernah berkata demikian:
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
dengan mengenakan kain yang tipis, maka Rasulullah
pun berpaling darinya. Beliau bersabda: "Wahai Asma`, sesungguhnya seorang wanita jika telah baligh tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini -beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya-." [12]Memang, ada riwayat dari ‘Aisyah tatkala ia berkata:
مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ إِلا امْرَأَةً يَمْلِكُهَا
sekaligus menunjukkan perbuatan Rasulullah
sendiri. Hadits ini jelas lebih kuat dibandingkan dengan pendapat ‘Aisyah. Oleh karena itu, para perawi hadits memandang kuat hadis Ummu ‘Athiyah ini. Mereka mengambil hadis ini dan karenanya membolehkan kaum pria berjabat tangan dengan kaum wanita.
memalingkan pandangannya terhadap seorang wanita yang sedang bersolek karena ia menampakkan bagian tubuh selain yang biasa tampak. Beliau lalu menjelaskan bahwa ia tidak boleh menampakkan bagian tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat, baik pada waktu shalat maupun di luar waktu shalat, karena ayatnya berbentuk umum:
berfirman:
memerintah para wanita Muslimah untuk mengulurkan kerudungnya di atas leher dan dada mereka. Keduanya wajib untuk ditutupi. Sebaliknya, para wanita Muslimah tidak diperintahkan untuk menutupi wajahnya dengan kainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, makna kata jayb bukanlah dada sebagaimana yang mereka pahami, melainkan tawqah (kain yang mengelilingi leher) yang terlipat dan terhampar di sekitar leher dan di atas dada. Memakai kerudung di atas jayb maknanya adalah mengulurkan kerudung di atas (lipatan) kerah pakaian di sekitar bagian leher sampai ke bagian dada. Sebab, perintahnya adalah menutup kepala hingga ke leher dan dada, kecuali wajah, sehingga hal itu menunjukkan bahwa wajah bukan aurat. Walhasil, tidak ada keharusan mengenakan hijab atas wajah bagi wanita. Allah
sendiri mensyariatkan hal semacam ini.Itulah dalil-dalil yang digali dari al-Quran.
sekaligus menyatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan merupakan aurat. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abû Dâwud yang bersumber dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha disebutkan bahwa, Asma binti Abû Bakar radhiallahu ‘anhu pernah memasuki ruangan Nabi
dengan mengenakan pakaian tipis, sehingga Rasulullah
pun berpaling seraya bersabda kepadanya:
pernah bersabda demikian:
pernah masuk ke kamar ‘Aisyah binti Abû Bakar, sementara ia bersama dengan saudara perempuannya, yaitu Asmâ’ binti Abû Bakar, yang saat itu sedang mengenakan pakaian tipis (transparan) yang bagian lengannya longgar. Ketika Rasulullah
melihatnya, beliau segera bangkit dan kemudian keluar kamar. ‘Aisyah lantas berkata sambil mengikuti Rasulullah
. Rasulullah tampak seperti melihat sesuatu yang tidak disukainya sehingga ‘Aisyah pun menghampirinya. Akan tetapi kemudian, Rasulullah
masuk kembali. Beliau lantas ditanya oleh ‘Aisyah, mengapa beliau sampai bangkit dan keluar? Beliau kemudian bersabda, “Tidakkah engkau melihat keadaannya? Ia seperti bukan wanita Muslimah yang seharusnya hanya menampakkan ini dan ini.” Beliau berkata demikian seraya mengambil kain dan menutupkannya pada kedua tangannya sehingga yang tampak hanya jari-jemarinya. Beliau kemudian melilitkan kain tersebut dengan kedua tangannya ke arah pelipis (kepala)-nya hingga yang tampak hanya bagian wajahnya.
tidak mensyariatkan agar para wanita menutupi wajah dan kedua telapak tangan mereka. Mereka pun tidak diperintahkan untuk mengenakan hijab atas wajah mereka. Sebab, jika hal itu memang disyariatkan, sudah pasti ayat di atas akan bertentangan dengan sejumlah hadits yang tidak memungkinkan adanya penafsiran atau penakwilan apa pun. Hadits-hadits yang ada bahkan mengisyaratkan secara jelas dan terang, bahwa wanita Muslimah terbiasa keluar menuju pasar dengan menampakkan wajah dan kedua telapak tangan mereka. Mereka juga terbiasa bercakap-cakap dengan pria asing (bukan-mahram) seraya tetap menampakkan wajah dan kedua telapak tangan mereka. Mereka melakukan berbagai interaksi sosial sebagaimana yang telah disyariatkan seperti jual-beli, memberi upah, mendapatkan upah, tolong-menolong, perwakilan (wakâlah), pengasuhan anak (kafâlah), dan lain-lain seraya tetap menampakkan wajah dan dua telapak tangan mereka. Hijab atas wajah, dalam hal ini, tidak disyariatkan oleh Allah
kecuali kepada istri-istri Rasulullah
.
dan kewajiban untuk menutupinya merupakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah diwajibkan oleh Allah Penguasa semesta alam. Dengan kata lain, pendapat semacam ini, selain tidak dianggap sebagai bagian dari hukum Islam, juga bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri yang secara jelas tercantum dalam nash.Ketiga, terkait dengan kaidah berikut:
- Sarana yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang haram tersebut harus diduga kuat memang dapat menghasilkan keharaman, artinya, akibat yang bakal ditimbulkannya (baca: keharaman) adalah sesuatu yang pasti dan diduga kuat tidak akan meleset.
- Keharaman yang ditetapkan itu memang telah dinyatakan secara jelas dengan nash, bukan dengan dilandaskan pada akal.
Dalam konteks ini, kedua aspek di atas tidak terdapat dalam topik tentang larangan untuk menampakkan wajah karena adanya kekhawatiran akan munculnya fitnah. Jika memang yang mereka katakan adalah kewajiban menutup wajah hanya karena adanya kekhawatiran munculnya fitnah—bukan karena adanya kepastian akan munculnya fitnah—berarti topik di seputar upaya menampakkan wajah karena khawatir akan adanya fitnah tidak relevan jika dikaitkan dengan kaidah di atas, yakni mengharamkan apa yang akan menyebabkan munculnya suatu keharaman. Dalam hal ini, harus diberi catatan, bahwa fitnah haram atas orang yang terfitnah (yakni pria yang terpesonan karena memandang wanita, pen). Yang pasti, bukan ini yang menjadi topik dasar dalam masalah ini. Apalagi kekhawatiran akan munculnya fitnah tidak disebutkan sama sekali dalam nash mana pun sebagai dalil bagi adanya pengharaman. Lebih dari itu, Allah
tidak mengharamkan fitnah itu sendiri atas orang yang membuat fitnah (dalam hal ini, wanita yang menampakkan wajahnya, pen) terhadap orang lain. Yang diharamkan adalah fitnah atas orang yang memandang wanita dengan pandangan yang akan menimbulkan fitnah bagi dirinya, bukan atas obyek yang dipandang. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abû Dâwud sebagai berikut:
tiba-tiba, datanglah Khuts‘amiyah untuk meminta pendapat. Fadhl lantas memandang wanita tersebut dan si wanita itu pun memandangnya. Karena itu, Rasulullah
kemudian memalingkan wajah Fadhl dari wanita itu.
memalingkan wajah Ibn ‘Abbas dari wanita tadi. Dalam riwayat lain, redaksi dari potongan hadits tersebut adalah sebagai berikut:
kemudian memegang Fadhl seraya memalingkan wajahnya dari sisi yang lain
menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dengan seorang pemudi yang tidak aman dari gangguan setan.”Atas dasar ini, jelaslah bahwa, Rasulullah
memalingkan wajah Fadhl dari Khuts‘amiyah. Sebaliknya, beliau tidak memerintahkan Khuts‘amiyah agar menutupi wajahnya, padahal wajahnya jelas terlihat. Seandainya fitnah itu diharamkan atas orang yang membuat fitnah (sebagaimana Khuts‘amiyah, pen), maka Rasulullah
pasti telah memerintahkan Khuts‘amiyah untuk menutupi wajahnya, karena jelas sekali pandangan Fadhl kepada wanita itu telah menimbulkan fitnah (keterpesonaan) pada dirinya. Namun demikian, beliau tidak menyuruh Khuts‘miyah untuk menutupi wajahnya. Beliau malah memalingkan pandangan Fadhl. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, pengharaman tersebut ditujukan bagi orang yang melihat (pria), bukan bagi yang dilihat (wanita). Atas dasar ini pula, pengharaman adanya fitnah pada diri seseorang karena memandang wanita sebetulnya tidak dinyatakan dalam satu nash pun yang menetapkan adanya keharaman atas wanita yang menimbulkan fitnah. Bahkan, nash yang ada justru menunjukkan tidak adanya keharaman fitnah tersebut atas wanita, sehingga—dengan sendirinya—apa yang dapat menimbulkan fitnah itu tidaklah haram, meskipun hal itu bersifat pasti. Meskipun demikian, Daulah Khilafah boleh saja menerapkan suatu kebijakan—sebagai upaya praktis dalam rangka mengurus umat—untuk menjauhkan seseorang dari pandangan yang dapat menimbulkan fitnah. Upaya ini dilakukan untuk menghindarkan sumber fitnah di tengah-tengah masyarakat, jika memang fitnah telah menyebar secara merata pada setiap individu yang ada. Kebijakan semacam ini pernah diterapkan oleh Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththâb terhadap Nashr ibn Hajjâj. Ia dipindahkan ke wilayah Bashrah karena banyak wanita terpikat oleh ketampanannya. Fenomena semacam ini bisa terjadi secara umum, baik pada pria maupun wanita.
والله أعلم بالصواب
sumber : kitab Nidzomul Ijtima’iy fil Islam.
FootNote:
(1) HR. Tirmidzi nomor 1093.
(2) HR. Abu Dawud nomor 3427.
(3) HR. Abu Dawud nomor 3585. Ahmad nomor 25326. Tirmidzi nomor 2702.
(4) HR. Ad Darimi nomor 1778
(5) HR. Ahmad nomor 242. Bukhari nomor 387.
(6) HR. Bukhari nomor 313. Muslim nomor 1475.
(7) HR. Tirmidzi no. 1731, kitab Al-Libas, bab Ma Ja'a fi Jarri Dzuyulin Nisa', diriwayatkan pula oleh selain Tirmidzi.
(8) HR. Abu Dawud nomor 1562.
(9) HR. Ahmad nomor 13900. Ad Darimi nomor 1560.
(10) HR. Ahmad nomor 3070, 9312. Bukhari nomor 5220. Muslim nomor 4673.
(11) HR. Muslim nomor 2709, 2711. Ahmad nomor 26063, 26072, 26079. Darimi nomor 2082. Nasa'i nomor 3193. Malik nomor 1064.
(12) HR. Abu Dawud nomor 3580. & التلخيص الحبير في تخريج أحاديث الرافعي الكبير, 3/455
(13) HR. Bukhari
Back to The Title



Tidak ada komentar:
Posting Komentar