حيات الدنيا حيات قليلة فلا تلغ حياة أبدية

Selasa, 05 Juli 2016

SHALAT TARAWIH PADA ABAD KE IIIV, IX, X, XI DAN XII


SHALAT TARAWIH PADA ABAD KE IIIV, IX, X, XI DAN XII

Di abad ini shalat tarawih kenbaki pada 36 rakaat, hanya pelaksanaannya berbeda. Hal ini bisa kita lihat.[1] Abu Zar’ah menyantumkan hadits shalatnya Nabi pada suatu malam di masjid yang kemudian diikuti oleh orang-orang dan seterusnya, kemudian menerangkan hadits tersebut dan segala sesuatu yang berhubungan dengan fiqih hadits tersebut, baru kemudian mulai menyebutkan bilangan rakaat dalam tarawih dan perbedaan pendapat di dalamnya, serta komentar ulama tentang tambahan menjadi lebih dari 20 rakaat itu sunnah (kebiasaan) orang-orang Madinah, kemudian berkata, “Setelah orang tua saya menjadi imam di masjid Nabi , beliau mulai menghidupkan sunnah (kebiasaan) kebanyakan orang. Maka beliau memulai shalat tarawih pada awal malam dengan 20 rakaat seperti biasa, kemudian pada akhir malam menambah 16 rakaat, dengan demikian dalam satu bulan Ramadhan menghatamkan 2 kali hataman, dan pekerjaan orang Madinah seperti itu berlangsung juga setelah beliau dan mereka tetap seperti itu sampai sekarang.[2]

Kata-kata Abu Zar’ah: “Setelah orang tua saya menjadi imam di masjid Nabi , beliau menghidupkan kebiasaan mereka yang dulu” menunjukkan adanya perobahan dalam shalat tarawih dari jaman sebelum ayahnya. Sedang kata-kata, “Dan beliau shalat tarawih pada awal malam dengan 20 rakaat seperti biasa”, menunjukkan bahwa shalat tarawih sebelumnya juga 20 rakaat, bilangan ini sudah biasa dilakukan sudah sejak sebelumnya. Dan kata-kata, “Dan pekerjaan orang Madinah seperti itu (20 rakaat di awal malam dan 16 rakaat setelah tengah malam) berlangsung setelah beliau”, sebagai penyempurnaan sampai 36 rakaat seperti yang dulu. Sedang kata-kata, “Mereka tetap seperti itu sampai sekarang”, menunjukkan bahwa pekerjaan itu tetap ada pada waktu hidupnya pengarang (anak imam), sedang kita tidak bisa member hokum setelahnya. Sedang pengarang itu meninggal pada awal abad ke-9 pada tahun 818.

SHALAT TARAWIH PADA ABAD KESEMBILAN


Berdasarkan kata-kata Abu Zar’ah yang lalu maka tarawih tetap 36 rakaat yang terpisah seperti yang duku, 20 rakaat diawal malam dan 16 rakaat setelah tengah malam. Hal ini berlangsung sampai akhir abad ke-9 dan awal ke-10, seperti yang dikatakan oleh Syamhudi pada hal berikut ini.

SHALAT TARAWIH PADA ABAD KESEPULUH


Memasuki abad kesepuluh, shalat tarawih di masjid Nabi 36 rakaat.[3]. Dalm kekhususan Madinah dari daerah lain, yang nasnya sebagai berikut: (80) Kekhususan penduduknya dalam bulan Ramadhan, mereka melaksanakan shalat tarawih dengan 36 rakaat, menurut pendapat yang masyhur dalam pengikut Imam Syafi’i. Al Rofi’i dan An Nawawi berkata bahwa Imam Syafi’i berkata, “Saya melihat orang-orang Madinah melaksanakan shalat tarawih 39 rakaat, yang 3 rakaat untuk shalat witir, sahabat-sahabat kita berkata, “Selain orang-orang Madinah tidak berhak melakukan seperti itu, karena orang-orang Madinah mempunyai suatu kemulian berupa hijrahnya Rasulullah dan tempat dimakamkannya beliau .

As Syamhudi wafat pada tahun 911, dia bermadzhab Syafi’i, sedang anaknya menjadi imam untuk pengikut Imam Syafi’i di masjid Nabi setelah itu. Dalam kitab tersebut di halaman 85 disebutkan, “Shalat dengan bilangan rakaat ini di Madinah masih tetap sampai sekarang (abad ke-10), hanya mereka melakukannya 20 rakaat setelah Isya’, kemudian pada akhir malam 16 rakaat.” Syamhudi menyebutkan adanya bilangan rakaat dan cara mengerjakannya seperti yang dikatakan oleh Abu Zar’ah.

SHALAT TARAWIH PADA ABAD KESEBELAS


Kemungkinan besar pada abad ke-11 ini tidak ada perubahan dalam shalat tarawih, karena kita dapatkan kata-kata As Syamhudi yang wafat di tahun 911 menyatakan bahwa shalat tarawih 36 rakaat ditambah 3 rakaat umtuk shalat witir dam mereka mengerjakannya seperti apa yang dikerjakan oleh Abu Zar’ah. Kemudian pada abad XII Syeikh Abdul Ghani An Nabulisi dalam perjalannya menulis tentang Madinah, ia menyatakan bahwa shalat tarawih juga 39 rakaat. Hal ini menguatkan pendapat bahwa shalat tarawih berjalan tetap seperti itu sampai pada jamannya dan beliau sendiri menyaksikan seperti yang disebutkan secara terperinci pada halaman berikut:

SHALAT TARAWIH PADA ABAD KEDUA BELAS


Memasuki abad ke XII, shalat tarawihtetap seperti sebelumnya yaitu 20 rakaat pad awal malam dan 16 rakaat setelah tengah malam, yang dinamakan sittah asyriyyah (enam belasan) seperti yang adapada Syeikh Nabulusi ketika menguraikan perjalanannya ke Madinah dan apa yang tertulis di majalah Al Arabi edisi I bulan Zulkaidah tahun 1386 halaman 430 mengutip kata-kata An Nabulisi, ia berkata: “Kami shalat tarawih di tempat Syeikh Sayyid Ali As Syamhudi, yang menjadi imam adalah putranya, dia juga salah satu imam daripada imam pengikut Syafi’i waktu itu dan dikatakannya, “Biasanya orang-orang Madinah setelah selesai shalat tarawih, mereka keluar dari masjid Nabi dan pintu-pintunya ditutup. Setelah berjalan tiga atau empat jam, mereka kembali ke masjid dan membukanya serta menyalakan lampu-lampu barulah mereka melaksanakan shalat 16 rakaat dengan berjama’ah, shalat ini mereka namakan sittah asyriyyah (enam belasan)

Inilah yang menunjukan bahwa shalat tarawih tidak berubah seperti jamannya Syamhudi pada abad X. Tidak ada perubahan hanya saja mereka menamakan shalat yang di tengah malam dengan sittah asyriyyah (enam belasan), melihat banyaknya rakaat yamg dilaksanakan. Ini diantara yang menguatkan pendapat bahwa shalat tarawih setelah abad X tidak ada perubahan yaitu 39 rakaat dengan witirnya, 20 rakaat dilakukan pada awal malam dan 16 rakaat dilaksanakan pada tengah malam, hanya pada waktu itu imamnya banyak, sebanyak imam dalam shalat fardlu yang ada pada waktu itu, yaitu imam untuk madzhab Syafi’i dan Hanafi, sedangkan untuk khatibnya ditambah dengan madzhab Maliki, seperti yang ditulis dalam majalah Al ARABI EDISI 1 BULAN Syawal tahun 1386 halaman 334, mengutip perjalanan An Nabulisi yang nasnya sebagai berikut: Dalam Masjid Nabawi ada 15 imam, sebagian dari madzhab Hanafi dan sebagian dari madzhab Syafi’i, sedang khatibnya ada 21 khatib, 12 khatib dari madzhab Hanafi dan 8 khatib dari madzhab Syafi’i, sedang yang seorang dari madzhab Maliki.

Para imam itu shalat bergantian, setiap harinya satu imam dari madzhab Hanafi dan satu imam dari madzhab Syafi’i, dimulai dari shalat Dhuhur dampai Subuh. Imam dari madzhab Syafi’i shalat lebih dulu, baru imam madzhab Hanafi, kecuali pada shalat Maghrib imam dari madzhab Hanafi lebih dulu, karena mengakhirkannya makruh dalam madzhabnya. Imam dari madzhab Hanafi pada suatu hari shalat di mihrab Nabi yang berada di Raudlah, sedang imam dari madzhab Syafi’i di mihrab yang ada dibalakang mimbar (mihrab sultan Sulaiman), kemudian pada hari berikutnya juga begitu. Mereka dalam shalat tarawih juga shalat pada waktu masing-masing dan untuk jama’ah masing-masing, kecuali pada malam hataman untuk madzhab Syafi’i, mereka semua shalat Isya’ dan tarawih dibelakan satu imam yakni imam madzhab Syafi’i, imam Syafi’i waktu itu didahulukan. Dalam shalat fardlu imam dari madzhab Syafi’i shalat lebih dulu, dan dalam tarawih dia juga yang melakukan hataman lebih dulu dalam suasana yang lebih meriah penuh dengan penghormatan.

BENTUK HATAMAN DI MADINAH PADA ABAD XII


An Nabulisi menggambarkan kehadirannya pada hataman Al Qur’an dalam shalat tarawih di Raudlah bersama para pengikut madzhab Syafi’i. Apa yang disaksikannya itu diungkapkan di majalah Al Arabi edisi 1 bulan Rabiul Awal tahun 1386 halaman 9, yang nasnya sebagai berikut: ”Mereka menghatamkan seluruh isi Al Qur’an pada bulan Ramadhan di shalat tarawih, yaitu pada malam ke-27 sedang pengikut madzhab Hanafi pada malam ke-29.” Dan An Nabulisi penganut madzhab Hanafi berkata, “Kami duduk di Raudlah sampai tiba kumandang adzan Isya’, semua orang berkumpul didalamnya para ulama dan orang-orang tertentu, serta pembesar-pembesar dari segala tingkat, masing-masing membentangkan sajadah sesuai dengan kedudukannya. Hadir juga Syeikh Al Haram, khadam-khadam kamar suci, para khatib dan para imam. Sedang yang mulia Sa’ad bin Zaid, Amir Hijaz, tidak dapat hadir karena pergi bersama anak-anaknya dan keluarganya ke Mekkah.

Mungkin hal ini menunjukkan bahwa biasanya sang Amir datang pada saat-saat seperti itu. Kemudian ia berkata, “Dan para muadzin semua, sejurus seorang muadzin mengumandangkan iqamah untuk shalat dan imam shalat Isya’ bersama seluruh yang hadir melakukan shalat dengan satu imam, tidak seperti biasanya hari-hari yang lain. Hal ini sebagai pendahuluan untuk melakukan shalat tarawih bersama satu imam.

Kemudian dia berkata, “Pada waktu itu gilirannya jatuh pada seorang pemuda istimewa yang banyak mempunyai keutamaan yaitu Sayyid Umar bin Sayyid Syamhudi As Syafi’i untuk menjadi imam shalat tarawih sampai selesai. Kemudian An Nabulisi menerangkan cara hataman Al Qur’an dan penghormatannya”, maka para muadzin berkumpul di Raudlah dan mulai mendendangkan kasidah-kasidah kenabian dan masalah khusu’ dengan menangis kemudian melagukan kasidah-kasidah persiapan dengan bulan Ramadhan, semua orang yang mendengarkan hatinya bergetar, tersentuh karenanya, dan pada malam itu penuh dengan wibawa keagungan dan kekhusu’an.

Mereka menyalakan banyak lilin, dibariskan di Raidlah dan banyak lampu yang dinyalakan. Dikelilingnya terdapat wangi-wangian berupa dupa dan air bunga Mawar, seakan-akan yang dicurahkan. Setiap kelompok yang hadir, di depannya ada baki yang ditaruh didalamnya bunga-bunga Melati, Mawar dan beraneka macam wewangian. Setelah selesai Syeikhul Haram dikirimkan satu baki yang terbuat dari emas dan perak. Orang-orang saling meminta berkah kepada beliau di malam hataman yang berbahagia itu, sedang beliau duduk diatas mimbar Nabi , di tempat mulia itu telah didapatkan pahala yang sempurna di malam Lailatu Qadar yang lebih baik dari 1000 bulan. Kemudian kami berziarah ke makam Baginda Rasulullah .

Disebutkan bahwa ada seorang Yaman yang gila, dia membawa air sumur satu baki penuhdari masjid Nabi dan berkata, “Sifa-sifa” (sembuh-sembuh), tetapi tak seorangpun yang mau meminta air itu. Diterangkan juga setelah kesudahan hataman itu berakhir, semua orang pulang dan lampu-lampu serta lilin-lilin dipadamkan.

BERSAMBUNG KE ABAD TIGA BELAS




Back to The Title

NoteFood:


(1) Kitab Tharhut Tatsrib fi Syahrit Taqrib karya Imam Zainuddin Abul Fadl bapak dari Al Hafidz Waliyuddin Abu Zar’ah Al Iraqi yang lahir di tahun 725 dan meninggal 818, atau masa hidup mereka berdua antara awal abad VIII sampai awal abad IX.

(2) Lihat Kitab Tharhut Tatsrib juz I halaman 98.

(3) Kitab Wafa’ul Wafa’ bi Akhbari Daril Musthafa karangan sayyid Syamhudi juz I halaman 84 masalah ke-80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to top