حيات الدنيا حيات قليلة فلا تلغ حياة أبدية

Selasa, 05 Juli 2016

SHALAT TARAWIH PADA JAMAN IMAM EMPAT


SHALAT TARAWIH PADA JAMAN IMAM EMPAT

A. Imam Malik, Imam Darul Hijrah


Imam Malik masih mengetahui hidupnya Umar bin Abdul Aziz selama 18 tahun, karena Umar wafat pada tahun 111 Hijriyah sedang Malik lahir pada tahun 93, Umar wafat 18 tahun setelah lahirnya Imam Malik, beliau waktu itu masih dalam masa-masa aktifnya menuntut ilmu. Banyak nas menyatakan bahwa sewaktu Imam Malik masih hidup bilangan rakaat tarawih 36 rakaat, bahkan hal ini sampai umur Imam Malik 34 tahun, seperti yang ada dalam riwayat Wahab bin Kaisan, dia berkata, ”Orang-orang masih shalat tarawih 36 rakaat dan witir 3 rakaat pada bulan Ramadhan sampai hari ini.” Sedang Wahab bin Kaisan meninggak di tahun 127.

Ada nas dari Malik rahimahullah yanh lebih jelas lagi, yaitu yang datangnya dari Ibnu Aiman dalam Al Marwizi, Malik berkata, ”Saya senang kalau orang-orang tarawih di bulan Ramadhan dengan 36 rakaat, kemudian imam salam bersama makmum, untuk shalat witir bersama mereka 1 rakaat.”

Pekerjaan ini berlaku di Madinah sebelum Harroh sejak 100 tahun lebih. Malik berkata dalam hal ini, ”Pekerjaan ini berlaku di Madinah sebelum Harroh sejak 100 tahun lebih, yakni dengan bilangan 39 rakaat, termasuk di dalamnya witir sudah ada sebelum Umar bin Abdul Aziz.” Dan bilangan rakaat ini bilangan yang diakui dan disenangi serta dilakukan oleh Imam Malik.

Untuk itu Imam Malik tidak senang kalau kurang dari bilangan ini (39 rakaat), seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Qasim, dia berkata, “Saya mendengar Malik menyebutkan bahwa Ja’far bin Sulaiman diutus kepadanya untuk bertanya, “Apakah bilangan rakaat tarawih pada bulan Ramadhan dikurangi?” Imam Malik melarang hal itu. Ada yang bertanya kepada Ja’far, apakah Malik tidak suka pada hali itu, dijawab; ya.

Orang-orang sudah mengerjakan hal ini sejak dulu, pernah Malik ditanya, berapa rakaat mengerjakannya/ dijawab 39 denga witir. Nas Imam Malik akan penulis paparka secara terperinci di dalam bab nas-nas madzhab, sedang yang dimaksud di atas adalah keadaan tarawih pada jaman Imam Malik di Masjid Nabawi. Imam Syafi’I mengambil riwayat darinya dan ketika itu Imam Malik masih hidup, Imam Syafi’I juga mengatakan bahwa bilangan rakaat ini (36) ada di Madinah. Al Ja’farani berkata bahwa Syafi’I berkata, “Saya melihat orang-orang tarawih di Madinah 36 rakaat.”

Kalau Madzhabnya ditunjukkan oleh kata-katanya setelah itu, “Yang lebih aku sukai adalah 20 rakaat, demikian juga orang-orang mekkah melakukan shalat tarawih.” Dia berkata, “Dalam hal ini tidak ada kesulitan, juga tidak ada batasan tertentu (berapa rakaat), karena hal ini sunnah, maka bila berdirinya lama dan sujudnya pendek, ini juga baik, dan ini yang saya senangi, dan apabila sujudnya lama maka itu juga baik.”

Al Marwizi berkata berkata, “Dan dia (Abu Zinad) bila shalat tarawih pada bulan Ramadhan membaca ta’awwudz sampai merasa Allah tidak meninggalkan itu.” Abu Zinad wafat di tahun 130 H setelah Umar bin Abdul Aziz dan sebelum Malik. Dikatakan juga bahwa imam-imam pada jaman Umar bin Abdul Aziz tidak berta’awwudz pada bulan Ramadhan. Dan mungkin inilah maksud Abu Zinad dengan kata-katanya, “Saya dapatkan para imam, yaitu imam-imam pada jaman Umar bin Abdul Aziz.” Karena jarak antara wafatnya dan dengan wafatnya Umar bin Abdul Aziz hanya 19 tahun saja.

Hal ini tetap berlangsung setelah Abu Zinad sampai jaman Sa’id bin Iyas, dia berkata, “Saya lihat orang-orang Madinah bila selesai membaca Al Fatihah (ولا الضالين) pada bulan Ramadhan mereka mengucapkan:

ربنا انا نعوذ بك من الشيطان الرجيم

(Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari setan yang terkutuk)

Tentang hukum masalah ini menurut Imam Malik seperti yang dikatakan oleh Al Baji dalam syarahnya untuk Al Muwaththo’, masalah membaca isti’adzah bagi imam tidak apa-apa, dalam riwayat Ibnu Qasim dari Malik pada “Al Mudawwanatul Kubro”. Asyhab meriwayatkan dalam kitab Al Utaibiyyah dari Malik, bahwa meninggalkan hal itu (ta’awwudz) lebih saya senangi. Dan Al Baji telah memberikan pengarahan tentang masing-masing dari dua riwayat, sebenarnya basmalah seperti yang dikatakan, suatu huruf, ada dalam riwayat qiro’ah sab’ah (bacaan tujuh) yang menyatakan adanya, dan ada riwayat lain yang meniadakannya, kedua-duanya dari Nafi’ rahimahullah, sedang riwayat Qolun menyatakan adanya basmalah, ini dinyatakan dalam bait tentang qiro’ah:

قالون بين السورتين بسملا وورش عنه الوجهان نقلا

“Sedang menurut Qolun antara dua surat ada basmalah, dan menurut Warsyin dua-duanya boleh.”

Nafi’ adalah Faris (penunggang kuda) Madinah, dan Malik mengambil riwayat darinya, sedangkan Malik menguatkan bacaan Qolun dan riwayat Marsyi yang hanya mangatakan adanya basmalah. Mengenai pendahuluan bacaan pada awal bulan Ramadhan, telah dikatakan oleh Al Marwizi, bahwa Abu Husain berkata, “Orang-orang Madinah bila datang bulan Ramadhan mereka memulai pada malam pertama: إنا افتحنا لك فتحا مبينا

PEBANDINGAN ANTARA TARAWIH ORANG-ORANG MEKKAH DENGAN ORANG MADINAH PADA WAKTU ITU


Kata Imam Malik yang lalu bahwa dia lebih senang bila orang-orang tarawih dengan 38 rakaat, dan berwitir 1 rakaat, atau dengan kata lain keseluruhannya 39 rakaat.
Dan kata-kata Imam Syafi’I yang terdahulu bahwa dia mendapatkan orang-orang Madinah shalat tarawih dengan 39 rakaat. Semuanya itu menerangkan keadaan shalat tarawih di Madinah pada jaman Imam Malik dan Syafi’i. Akan tetapi Imam Syafi’i melajutkan dengan kalimat, “Dan yang paling kusenangi adalah 20 rakaat”, dan dia berkata, “Begitulah orang-orang Mekkah bertarawih”, kemudian berkata, “Hal itu sunnah tidak ada batasan di dalamnya,” Dari kata-kata itu semua, akan timbul pertanyaan: ‘Mengapa orang-orang Madinah bertarawih dengan 39 rakaat dan Malik menyenanginya, sedangkan orang-orang Mekkah melakukannya dengan 20 rakaat, dan itu lebih disenangi oleh Imam Syafi’i?”

Tentang kata-kata Imam Syafi’I rahimahullah (dan paling saya senangi 20 rakaat) dan hal itu dilakukan oleh orang-orang Mekkah. Maka yang jelas wallahua’lam (Allah lebih tahu) bahwa hal itu sebagai yang asli, atau dengan kata lain yang telah dilakukan pada jaman tiga khalifah; sayyidina Umar, Utsman dan Ali radhiallahu ‘anhum, semua sahabat bersepakat bahwa mereka telah melkukan dengan bilangan itu di masjid Nabawi Madinah, dan sayyidina ALI sendiri yang melakukan pada jamannya, dan dia sendiri menyuruh untuk shalat 20 rakaat, dan dia sendiri yang menjadi imam witirnyal.

Abu Zahroh dalam kitabnya: “Rahasia mengapa 20 rakaat, yaitu bahwa shalat sunnah di lain bulan Ramadhan 10 rakaat, maka di bulan Ramadhan dilipat gandakan, karena waktu itu untuk bersungguh-sungguh dan waktu untuk menyingsingkan lengan, yang jelas itu adalah termasuk sunnah (kebiasaan) Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin radhiallahu ‘anhum sedang orang-orang Mekkah selalu mengerjakan yang asli, dan disana tidak ada yang mewajibkan adanya tambahan yang lebih dari 20 rakaat. Meskipun seperti dikatakan oleh Imam Syafi’i, bahwa hal itu sunnah dan tidak ada batasan rakaatnya.[1]

Mengenai shalat tarawihnya orang-orang Madinah dengan 36 rakaat, itu lebih dari yang asli. Meskipun hal itu sunnah, tetapi mengapa Imam Maliki lebih menyenanginya? Mengapa orang-orang di Madinah menambahnya dari yang asli, padahal mestinya mereka pertama yang melakukan hal yang asli (20 rakaat) ? Jawabnya seperti yang diceritakan oleh Imam Nawawi dalam Majmu’ Syahrul Muhadzdzab bahwa masalah ini termasuk dalam bab ijtihad dalam ta’at, dan berlomba-lomba dalam kebaikan, sedang hal pokok yang mengharuskan hal itu, yaitu bahwa orang0orang Mekkah bila shalat tarawih sekali mereka bertawaf tujuh putaran, dan shalat sunnah tawaf dua rakaat, baru kemudian kembali shalat tarawih.

Dan seperti diketahui bahwa tarawih itu empat rakaat dengan dua salam, sedang istirahatnya terletak diantara 4 rakaat, dengan demikian mereka mempunyai kesempatan untuk bertawaf 4 kali, maka orang-orang Madinah ingin mendapat gantinya, maka mereka mengganti setiap 1 tawaf dengan 1 tarawih (4 rakaat). Imam Nawawi berkata dalam kitab Al Majmu’ yang nasnya sebagai berikut: ”Mengenai apa yang dikatakan pekerjaan orang-orang Madinah, sahabat-sahabat kita berkata, “Sebabnya karena orang-orang Mekkah bertawaf setiap diantara dua tarawih, dan shalat sunnah tawaf 2 rakaat, sedang pada tarawih ke 5 mereka tidak tawaf, maka orang-orang Madinah ingin menyamai mereka, dan mereka menggantikan setiap tawaf dengan 4 rakaat, maka mereka menambah dengan 3 rakaat, maka jumlah seluruhnya 39 rakaat. والله أعلم

Imam Zarkasyi yang tergolong orang alim tahun 800-an, berkata: Al Mawardi dan Ar Royani berselisih pendapat tentang sebab dalam hal itu (tambahan atas 20 rakaat tersebut), disini ada 3 pendapat:

  1. Bahwa orang-orang mekkah kalau shalat tarawih 1 kali mereka tawaf 7 kali, kecuali tarawih yang ke 5, mereka langsung witir tanpa tawaf dulu. Maka mereka mengerjakan 5 tarawih dan 4 tawaf. Karena bagi orang-orang Madinah tidak mungkin menyamai orang-orang Mekkah dalam tawaf 4 kali, mereka orang-orang Madinah ingin menyamai orang-orang Mekkah dalam 5 tarawih dan menggantikan 4 tawaf dengan 4 tarawih sehingga menjadi 9 tarawih, maka jumlahnya 36 rakaat, agar shalat mereka sama dengan shalat dan tawaf orang-orang Mekkah.
  2. Sebabnya ialah bahwa Abdul Malik bin Marwan mempunyai 9 orang anak, dan dia ingin semuanya shalat tarawih di Madinah, akhirnya setiap anak datang ke Madinah dan shalat tarawih 1 kali, maka berjumlah 36 rakaat.
  3. Bahwa 9 kabilah dari bangsa Arab berselisih dalam shalat dan saling bertengkar, yang akhirnya setiap kabilah mengajukan 1 orang untuk menjadi imam 1 kali tarawih, hingga menjadi 9 tarawih, maka 9 dikali 4 rakaat menjadi 36 rakaat.

Dan pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang pertama.[2]


Yang jelas, sebab yang paling benar adalah sebab yang pertama, karena yang kedua meskipun memberi gambaran kepada kita bahwa para amir dan khalifah serta orang-orang terhormat lainnya berlomba-lomba untuk keluar shalat tarawih bersama orang-orang di Masjid Rasulullah , tapi mungkin hal itu dengan bergantian, setiap satu malam, sedang bilangan rakaatnya tetap seperti semula. Kalau yang ke pendapat yang ketiga, hal itu memberikan gambaran adanya rasa fanatisme terhadap golongan yang tidak mungkin terjadi pada orang-orang muslim periode pertama, apalagi masjid Nabawi sudah mempunyai imam tersendiri, sedang orang-orang pun mau bermakmum kepada imam itu dalam shalat fardhu (Isya’), bagaimana mungkin mereka bertengkar dalam shalat sunnah?

BILANGAN ITU (39) KHUSUS UNTUK ORANG-ORANG MADINAH


Apakah pekerjaan (shalat tarawih 39 rakaat) itu dikerjakan oleh orang-orang Madinah saja, atau semua yang ingin berlomba-lomba dalam kebaikan? Para ulam telam membicarakan masalah ini: Kebanyakan pengikut Imam Syafi’I berkata, “Hal itu hanya untuk orang-orang Madinah.”
Imam Zarkasyi berkata: “Kawan-kawan kita berkata, “Bagi orang-orang selain Madinah tidak boleh meniru orang-orang Mekkah dan menandingi mereka.[3] Waliuddin Al Iraqi Al Syafi’i berkata: “Al Hulami serang sahabat kita menyebutkan dalam karya ilmiyahnya yaitu kitab Minhaj, “Barang siapa yang meniru orang-orang Mekkah dengan shalat tarawih 20 rakaat, hal itu baik, dan siapa yang meniru orang-orang Madinah terus shalat tarawih dengan 36 rakaat, hal itu juga baik, karena mereka melakukan itu semua dengan maksud meniru atau mengikuti orang-orang Mekkah dalam memperbanyak pahala, bukan untuk menyaingi yang dikira oleh sebagian orang.”[4]

Dengan demikian tidak ada dalil yang mengatakan bahwa bilangan itu (36 rakaat) khusus untuk orang Madinah, memang yang mengerjakan yang terdengar oleh kita hanya mereka, sampai sebelum abad ketujuh, atau dengan kata lain sampai akhir pemerintahan Al Asyrof sebelumpemerintahan Saudi. Telah kita ketahui, mengapa tarawih orang-orang Madinah lebih banyak daripada tarawih orang-orang Mekkah? Yaitu karena orang-orang Mekkah setiap diantara dua tarawih bertawaf tujuh putaran, dan shalat sunnah tawaf dua rakaat, maka orang-orang Madianh mengganti setiap tawaf dengan satu tarawih, sehingga jumlah tarawih mereka 36 rakaat.

Ini secara umum menyatakan seakan-akan pekerjaan itu (tawaf) dilakukan oleh seluruh penduduk Mekkah, tetapi kenyataannya lain, yaitu bahwa orang-orang Mekkah shalat tarawih dengan 4 imam madzhab 4, sedangkan keempat imam itu tidak ada yang melakukan tawaf kecuali pengikut Imam Syafi’I, hal ini berdasarkan atas apa yang disebutkan Ibnu Zubair dalm perjalanannya, dia berada di Mekkah tahun 579. Ia berkata: ”Imam Syafi’i dalam masalah shalat tarawih, imam yang paling banyak berijtihad, beliau menyempurnakan shalat tarawih yang biasa 10 kali salam, dan memasukkan tawaf pada jama’ah, bila selesai dari tujuh tawafan dan shalat sunnah tawaf, beliau memasukkan tongkat khutbah dengan keras suaranya, seakan-akan panggilan kembali untuk shalat tarawih, kemudian bila selesai dia salam, kembali mereka bertawaf, begitu seterusnya hingga selasai sepuluh salam, maka sempurnalah 20 rakaat, kemudian shalat dua rakaat terus satu rakaat (witir dua kali salam) dan kemudian pulang. Sedang imam-imam lainnya tidak menambah sesuatu pada yang biasa.

Dengan demikian selesailah abad II. Kenudian mulai penulisan, pembukuan, ijtihad, istimbat (mengambil kesimpulan) dan imam-imam madzhab empat. Pada awal abad II mulai ada perbedaan madzhab empat, insyaallah akan dijabarkan satu persatu secara terperinci pada akhir pembahasan ini, sesudah membahas shalat tarawih sepanjang sejarah. Di sana akan muncul studi perbandingan antara pendapat-pendapat madzhab dalam masalah shalat tarawih, banyak rakaatnya, qiro’ah didalamnya, khataman baik khataman orang-orang Mekkah maupun orang-orang Madinah Al Munawwaroh.

BERSAMBUNG KE ABAD KETIGA




Back to The Title

NoteFood:


(1) Dalam kitab “Thorhut Tatsrib” (طرح التثريب) JUZ 1 HAL. 98

(2) Kitab اعلام الساجد باحكام المساجد (Memberi Ilmu orang-orang yang sujud tentang hukum-hukum masjid) halaman 260.

(3) Kitab “I’lamus Sajid” bab ciri Madinah dalam masalah ke-20

(4) Kitab Tharoqut Tatsrib juz 1 hal. 98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to top