حيات الدنيا حيات قليلة فلا تلغ حياة أبدية

Sabtu, 28 Maret 2015

Bid'ah Hasanah Beserta Dalilnya


بسم الله الرحمن الرحيم

Pada kesempatan ini penulis ingin membahas tentang bid'ah secara terminologi (Syar'i) karena bila juga dibahas dari segi etimologi (Bahasa) maka ruang artikel ini takkan cukup, pembahasan secara etimologinya kita pasrahkan kepada mahasiswa fakultas sastra arab saja. Kembali ke masalah pembahasan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid‘ah menurut terminologi syar‘i (istilah syari‘at). Ada yang menjadikannya sebagai lawan dari sunnah; dan ada pula yang menjadikannya sebagai perkara umum, yang mencakup semua perkara yang diada-adakan setelah zaman Rasul, baik yang terpuji maupun yang tercela. Hal itu akan kami terangkan pada uraian berikut ini.


Pendapat pertama:
Segala sesuatu yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah adalah bid‘ah, baik yang terpuji maupun yang tercela.

1. Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i Ulama ini adalah mujtahid besar dan pendiri madzhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas warga sunni di dunia Islam, beliau berkata:

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ )رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)


“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela.”[1]

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.


“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela.” (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari). Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.


2. Al-Imam al-Hafizh Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi

Ketika mengomentara pendapat al-Imam asy-Syafi’i, al-Qurthubi berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan asy-Syafi’i tentang pembagian bid’ah), saya katakan bahwa makna Hadits Nabi yang berbunyi ‘Seburuk-buruk perkara adalah hal yg baru, semua hal yang baru adalah Bid’ah, dan semua Bid’ah adalah sesat’ bermaksud hal-hal yang tidak sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah Rasul dan perbuatan Sahabat Rasul. Sesungguhnya hal ini telah diperjelas oleh Hadits lainnya, yaitu:


عَنْجَرِيْرِبْنِعَبْدِاللهِالْبَجَلِيِّقَالَقَالَرَسُوْلُاللهِصلىاللهعليهوسلممَنْسَنَّفِياْلإِسْلاَمِسُنَّةًحَسَنَةًفَلَهُأَجْرُهَاوَأَجْرُمَنْعَمِلَبِهَابَعْدَهُمِنْغَيْرِأَنْيَنْقُصَمِنْأُجُوْرِهِمْشَيْءٌوَمَنْسَنَّفِياْلإِسْلاَمِسُنَّةًسَيِّئَةًكَانَعَلَيْهِوِزْرُهَاوَوِزْرُمَنْعَمِلَبِهَامَنْبَعْدَهُمِنْغَيْرِأَنْيَنْقُصَمِنْأَوْزَارِهِمْشَيْءٌ.رواهمسلم


“Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, Rasulullah bersabda: ”Barang siapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR.Muslim).

Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya Bid’ah pada Bid’ah yang baik dan Bid’ah yang sesat.”[2]
3. Al-Imam Ibn Abdilbarr Al-Imam Abu Umar Yusuf bin Abdilbarr Al-Namiri Al-Andalusi,hafizh dan faqih bermadzhab Maliki. Beliau membagi bid’ah menjadi dua. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan pernyataan beliau:

وَأَماَّ قَوْلُ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ فِيْ لِسَانِ الْعَرَبِ اِخْتِرَاعُ مَا لَمْ يَكُنْ وَابْتِدَاؤُهُ فَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ فِي الدِّيْنِ خِلاَفاً لِلسُّنَّةِ الَّتِيْ مَضَى عَلَيْهَا الْعَمَلُ فَتِلْكَ بِدْعَةٌ لاَ خَيْرَ فِيْهَا وَوَاجِبٌ ذَمُّهَا وَالنَّهْيُ عَنْهَا وَاْلأَمْرُ بِاجْتِنَابِهَا وَهِجْرَانُ مُبْتَدِعِهَا إِذَا تَبَيَّنَ لَهُ سُوْءُ مَذْهَبِهِ وَمَا كَانَ مِنْ بِدْعَةٍ لاَ تُخَالِفُ أَصْلَ الشَّرِيْعَةِ وَالسُّنَّةِ فَتِلْكَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ.


“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baik bid’ah.”[3]


4. Al-Imam Al-Nawawi Al-Imam Al-Nawawi juga membagi bid’ah pada dua bagian. Ketika membicarakan masalah bid’ah, dalam kitabnyaTahdzib Al-Asma’ wa al-Lughat(3/22), beliau mengatakan:

هِيَ أَيِ الْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى حَسَنَةٍ وَقَبِيْحَةٍ.


“Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk).”


5. Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari
Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari, pakar hadits dan bahasa, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian; Bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Dalam kitabnya, Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar, beliau mengatakan:

الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةُ هُدًى وَبِدْعَةُ ضَلاَلٍ فَمَا كَانَ فِيْ خِلاَفِ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ وَرَسُوْلِهِفَهُوَ مِنْ حَيْزِ الذَّمِّ وَاْلإِنْكَارِ وَمَا كَانَ وَاقِعًا تَحْتَ عُمُوْمٍ مِمَّا نَدَبَ اللهُ إِلَيْهِ وَحَضَّ عَلَيْهِ اللهُ وَرَسُوْلُهُفَهُوَ فِيْ حَيْزِ الْمَدْحِ وَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثَالٌ مَوْجُوْدٌ كَنَوْعٍ مِنَ الْجُوْدِ وَالسَّخَاءِ وَفِعْلِ الْمَعْرُوْفِ فَهُوَ فِي اْلأَفْعَالِ الْمَحْمُوْدَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ فِيْ خِلاَفِ مَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ


“Bid’ah ada dua macam; bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dhalal (sesat). Maka bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah, tergolong bid’ah tercela dan ditolak. Dan bid’ah yang berada di bawah naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji. Sedangkan bid’ah yang belum pernah memiliki kesamaan seperti semacam kedermawanan dan berbuat kebajikan, maka tergolong perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal tersebut menyalahi syara’.”


6. Al-Hafizh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki

Al Imam Al-Qadhi Abu Bakar Ibn Al ‘Arabi Al-Maliki, seorang hafidz,mufassir dan faqih madzhab Maliki, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian.[4] Beliau berkata:


“Ketahuilah bahwa bid‘ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah Bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan dengan apa yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan oleh para Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar, maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia baru.


Allah SWT berfirman:

مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلاَّ اسْتَمَعُوْهُ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ


“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur`an pun yang baru (muhdats) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main” (QS. al-Anbiya`: 2)


Dan perkataan Sayyidina `Umar RA:

"Alangkah bagusnya bid‘ah ini" Kesimpulannya, Bid‘ah tercela hanyalah perkara baru yang bertentangan dengan Sunnah, atau perkara baru yang diadakan dan membawa kita pada kesesatan.”
7. Hujjatul-Islam al-Imam al-Ghazali

Ketika mengulas masalah penambahan ‘titik’ pada huruf ayat-ayat al-Qur’an, al-Imam al-Ghazali berkata: “Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti shalat tarawih secara berjama’ah, ia adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Khalifah`Umar Radhiallahu ‘anhu, tetapi dipandang sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah atau yang bisa merubah Sunnah itu.[5]


8. Al Imam Al ‘Aini

Al Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad Al ‘Aini,hafidz dan faqih bermadzhab Hanafi membagi bid’ah menjadi dua bagian. Beliau mengatakan:


وَالْبِدْعَةُ فِي اْلأَصْلِ إِحْدَاثُ أَمْرٍ لَمْ يَكُنْ فِيْ زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ ثُمَّ الْبِدْعَةُ عَلَى نَوْعَيْنِ إِنْ كَانَتْ مِمَّا يَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا يَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ بِدْعَةٌ مُسْتَقْبَحَةٌ


“Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah . Kemudian bid’ah itu ada dua macam. Apabila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Dan apabila masuk di bawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka disebut bid’ah tercela.”[6]


9. ar Rabi` ar Rabi`

Beliau juga meriwayatkan dari al Imam asy-Shafi`i bahwa beliau berkata:“Perkara baru yang diada-adakan itu ada dua macam: Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar Sahabat atau ijma’ ulama’, maka bid‘ah itu adalah sesat (fa hadhihil-bid‘atu dalalatun). Kedua, perkara baru yang diadakan dari segala kebaikan (ma uhditsa min al-khair) yang tidak bertentangan dengan hal yang disebutkan, yang ini bukan bid‘ah dicela (wa hadhihi muhdatsatun ghairu madzmumah).[7]


10. Ibnu Hazm az Zahiri Ibn Hazm al Zahiri

Beliau berkata:“Bid‘ah dalam agama adalah segala hal yang datang pada kita dan tidak disebutkan didalam al-Qur’an atau Hadits Rasulullah . Ia adalah perkara yang sebagiannya memiliki nilai pahala, sebagaimana yang diriwayatkan dari Khalifah `Umar radhiallahu ‘anhu: “Alangkah baiknya bid‘ah ini.” Ia merujuk pada semua amalan baik yang dinyatakan oleh nash (al-Qur’an dan Hadits) secara umum, walaupun amalan tersebut tidak ddijelaskan dalam nas secara khusus. Namun, Di antara hal yang baru, ada yang dicela dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya.[8]


Kesimpulan pendapat yang pertama

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap kurun waktu mulai dari Al Imam Al-Syafi’i, Ibn Abdilbarr, Ibn Al ‘Arabi, Ibn Al Atsir, Izzuddin bin Abdissalam, Al-Nawawi, Al Hafidz Ibn Hajar, Al ‘Aini, Al Shan’ani, dan masih banyak ulama-ulama lain yang tidak dikutip di sini, membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah.


Demikianlah pendapat para imam besar yang telah terekam dalam berbagai kitab turats (klasik). Masih banyak lagi yang tidak sempat terekam pendapatnya, karena memang ketika itu penulisan kitab tidak semudah sekarang. Setidaknya, ketika mereka diam berarti mereka setuju, karena kalau memang mereka menganggap pendapat asy Syafi’i sebagai kesesatan, maka tidaklah mungkin mereka diam saja tanpa menulis buku kritikan. Pendapat asy Syafi’i diterima oleh ulama di zaman beliau hingga ulama berikutnya. Barulah pada abad akhir ini muncul segolongan ulama yang menyalahkan pendapat para Imam besar hujatul-Islam tersebut, bahkan berani menganggap pendapat mereka sesat.


Saudaraku, Ketika kita sama-sama berguru dan berpendapat menurut guru, maka bersyukurlah karena kita berguru pada Imam-imam besar seperti asy Syafi’i sang perintis madzhab, an Nawawi sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih Muslim, al Ghazali sang Hujjah penulis Ihya Ulumiddin, al Baihaqi sang ahli dan perawi Hadits, as-Suyuthi sang pakar berbagai disipliln Ilmu Islam, al Asqalani sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih al Bukhari, al Qurthubi sang pakar dan penulis kitab Tafsir, al Qusthallani sang ahli Hadits penuli Syarah Shahih al Bukhari dan sebagainya.


Kalau guru-guru kita itu dianggap sesat. Lalu siapa ulama yang bisa dibanggakan oleh umat Islam. Mereka yang dianggap sesat itu telah mengharumkan nama Islam dengan pemikiran dan karya-karya mereka. Coba kita tanyakan pada hati kita, seandainya kita harus memilih, siapa yang sebaiknya tidak pernah hidup di dunia ini, apakah asy Syafi’i dan sebagainya atau ulama abad ini yang menganggap asy Syafi’i sesat ?


Apa yang kita miliki kalau kita mencoret nama-nama mereka dan membuang karya-karya mereka dari rak buku kita. Apa yang tersisa dari khazanah keilmuan Islam kalau kita membuang kitab-kitab asy Syafi’i, Syarah Shahih Muslim (an-Nawawi) kitab Ihya’ Ulumiddin, Fathul Bari, Irsyadussari, Syarah Muwattha’ (az Zarqani), Syarhul Misykah dan sebagainya. Kalau mereka dianggap sesat dan karya-karya mereka dicekal, maka yang tersisa dari kekayaan umat Islam adalah ulama pencaci maki dan buku-buku yang dipenuhi dengan mengupat ulama salaf.”


Pendapat kedua

Kata bid‘ah hanya digunakan untuk menyebut amalan-amalan yang bertentangan dengan sunnah Nabi.[9]


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:“Dalam kaidah sunnah dan bid‘ah telah kami tegaskan, bahwasanya bid‘ah dalam agama adalah amal ibadah yang tidak disyari‘atkan Allah dan Rasul-Nya. Bid‘ah adalah amal ibadah yang tidak diwajibkan dan tidak pula dianjurkan. Adapun amal ibadah yang diwajibkan atau dianjurkan, yakni yang berdasarkan dalil syar‘i, maka amal tersebut termasuk ajaran agama yang disyari‘atkan Allah, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang sebagian hukumnya. Sama saja halnya, baik amal ibadah itu pernah dilaksanakan pada zaman Rasulullah maupun belum. Amal apa pun yang dilaksanakan sepeninggal Rasulullah atas dasar perintah beliau, misalnya memerangi kaum yang murtad dan kaum Khawarij, menyerang bangsa Persia, Turki, dan Romawi, mengeluarkan bangsa Yahudi dari Jazirah Arab, ataupun perbuatan lain yang semisalnya, maka semua itu termasuk sunnah Rasulullah .”[10]


Al-Imam asy Syathibi mendefinisikan bid‘ah sebagai berikut:“Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta'ala.” Demikianlah menurut pendapat ulama yang tidak menggolongkan perkara adat (kebiasaan) ke dalam bid‘ah, yaitu mereka yang mengkhususkan bid‘ah hanya pada perkara-perkara ibadah.


Adapun menurut ulama yang menggolongkan perkara adat ke dalam bid‘ah, mereka berkata:


“Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah sama dengan yang dimaksud dari penerapan syari‘at.”[11]


Beberapa Dalil Pendapat Kedua

a. Dalil dari as Sunnah

1.Hadits riwayat Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata: “Apabila Rasulullah berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya memuncak, hingga seolah-olah beliau sedang memberikan peringatan kepada pasukan perang. Beliau bersabda: ‘Siap siagalah kalian setiap saat!’ Setelah itu, beliau bersabda: ‘(Antara) aku diutus dan (terjadinya) Kiamat adalah seperti kedua (tangan) ini,” seraya memberi isyarat dengan kedua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah.’ Beliau meneruskan:


أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ‘


Amma ba’du, sesungguhnya perkataan yang terbaik adalah Kitabullah, petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad, dan perkara yang terburuk adalah perkara baru (bid‘ah), dan setiap bid‘ah adalah sesat.’[12]


2.Hadits riwayat al-Irbadh bin Sariyah, ia berkata: “Pada suatu hari, Rasulullah shalat mengimami kami. Setelah selesai, beliau menghadap ke arah kami dan menasihati kami dengan nasihat yang mendalam, hingga membuat air mata kami berlinang dan hati tergetar. Seorang hadirin berkata: ‘Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasihat perpisahan. Jika demikian, apa yang akan engkau wasiatkan kepada kami?’ Beliau menjawab:


أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ


Aku berwasiat kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah, selalu patuh dan taat (kepada yang memimpin kalian), meskipun ia seorang budak dari habasyah (berkulit hitam). Sebab, siapa saja dari kalian yang masih hidup sepeninggalku pasti akan melihat perselisihan yang begitu banyak. Maka dari itu, berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian (maksudnya, peganglah sunnah itu erat-erat), dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan. Karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah sesat.”[13]


b. Dalil dari atsar

1. Perkataan Abdullah bin ‘Abbas:“Tidaklah datang satu masa kepada umat manusia, kecuali di dalamnya mereka berbuat bid‘ah dan mematikan sunnah Nabi , sehingga maraklah perbuatan bid‘ah dan matilah sunnah.” [Al-Haitsami berkata dalam kitabnya, Majmaa’uz Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir, dan para perawinya adalah orang-orang yang dianggap tsiqah (tepercaya).”[14]


2.Perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud:“Ikutilah sunnah Nabi dan janganlah kalian berbuat bid‘ah, karena sesungguhnya sunnah Nabi itu telah cukup bagi kalian.” Hadits dan atsar di atas menunjukkan bahwa setiap bid‘ah yang muncul di dalam syara’ (syari‘at Islam) itu tercela.[15]


Pendapat yang kuat Menurut pendapat versi "kedua":

Kata bid‘ah itu hanya digunakan untuk menyebut perkara yang menyalahi sunnah Nabi. Dengan demikian, tidak ada bid‘ah yang terpuji atau baik. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:“Ketahuilah bahwa kaidah ini, yaitu kaidah menetapkan hukum bid‘ah atas sesuatu yang makruh, merupakan kaidah umum yang sangat agung. Kaidah ini merupakan jawaban sempurna atas pendapat yang bertentangan dengannya. Hal itu disebabkan ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bid‘ah itu terbagi dua: bid‘ah hasanah (baik) dan bid‘ah qabiihah (buruk). Mereka beralasan dengan ucapan Umar:‘Bid‘ah yang terbaik adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).’”


Namun, orang-orang yang tidak sependapat dengan pendapat ini (yakni bahwasanya semua bid‘ah adalah buruk) mengemukakan sanggahan:“Tidak semua bid‘ah itu sesat.”

Bantahan atas sanggahan tersebut adalah: “Sabda Rasulullah : ‘Sesungguhnya perkara yang paling buruk adalah perkara yang diada-adakan, dan seluruh bid‘ah (perkara yang diada-adakan) adalah sesat, dan setiap kesesatan itu akan menjerumuskan ke Neraka,’ juga peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan, semua seruan itu merupakan penegasan Rasulullah . Jika demikian, tidak seorang pun boleh menolak apa yang ditunjukkan nash ini, yaitu celaan terhadap bid‘ah. Siapa saja yang membantahnya berarti ia termasuk salah seorang penentang as-Sunnah.” Tidak seorang pun boleh menentang nash yang umum dari Rasulullah itu, yaitu sabdanya: ‘Setiap bid‘ah itu sesat,’ dengan me­mentah­kan pengertian umum nash tersebut, yaitu dengan mengatakan bahwa tidak setiap bid‘ah itu sesat. Sebab, perbuatan ini lebih tepat disebut penentangan terhadap Rasul daripada disebut takwil.[16]

Adapun shalat Tarawih, shalat ini bukanlah bid‘ah dalam syari’at (Islam), tetapi termasuk sunnah Nabi. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah dan pelaksanaan beliau atas shalat ini secara berjamaah. Mengerjakan shalat Tarawih secara berjamaah bukanlah bid‘ah, melainkan sunnah. Rasulullah melaksanakan shalat ini secara berjamaah pada tiga malam awal bulan Ramadhan. Namun pada malam keempat, beliau bersabda:


فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا


“Sesungguhnya keadaan kalian (yang melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah) tidaklah samar bagiku. Hanya saja, aku khawatir shalat ini akan diwajibkan kepada kalian, kemudian kalian tidak mampu mengerjakannya.”[17]


Rasulullah menjelaskan alasan mengapa beliau tidak keluar (pada malam keempat itu), yaitu karena khawatir shalat Tarawih akan diwajibkan kepada umat Islam. Dengan demikian, diketahuilah alasan di balik tindakan beliau yang tidak keluar rumah untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah. Seandainya tidak ada kekhawatiran tersebut, niscaya beliau akan keluar untuk menunaikannya bersama mereka.


Pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab, ia me­ngumpulkan kaum Muslimin (di masjid untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah) dengan diimami seorang imam. Ia pun menerangi masjid untuk mereka. Sehingga, keadaan ini—yakni berkumpulnya mereka di masjid dengan dipimpin seorang imam dan dengan menerangi masjid merupakan perbuatan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Karena itulah, perbuatan tersebut dinamakan bid‘ah. Sebab dalam bahasa Arab, perbuatan itu (yakni amalan yang belum pernah dilakukan sebelumnya) memang dinamai demikian (bid‘ah). Namun, yang dimaksud darinya bukanlah bid‘ah dalam syari‘at. Pasalnya, sunnah Nabi menghendaki perbuatan itu termasuk bagian amal shalih, seandainya tidak ada kekhawatiran akan diwajibkannya shalat Tarawih kepada umat Islam.


Sekarang, kekhawatiran itu telah hilang karena Rasulullah telah wafat, sehingga tidak akan ada wahyu yang turun untuk mewajibkannya. Karena kekhawatiran akan kewajiban amal tersebut sudah hilang, maka hilang pula hambatan untuk melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah. [Ketika itu, yang menjadi imam adalah Sahabat yang mulia Ubayy bin Ka’ab.[18]


Mengenai perkataan Umar: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksud­nya, shalat Tarawih berjamaah),” maka perlu diketahui sikap mayoritas orang yang berargumentasi dengan ucapan Sahabat seperti ini. Jika kita akan menetapkan suatu hukum syari‘at dengan perkataan Umar yang notabene merupakan perkataan Sahabat yang tidak dipertentangkan, niscaya orang-orang itu akan berkata: “Perkataan Sahabat bukanlah hujjah (nash yang dapat dijadikan dalil)” Jika demikian adanya, bagaimana mungkin mereka menjadikan ucapan Sahabat yang bertentangan dengan sabda Rasul di atas sebagai hujjah ? Padahal, orang-orang yang meyakini bahwa perkataan Sahabat merupakan hujjah tidak meyakininya sebagai hujjah apabila bertentangan dengan hadits Nabi !


Dengan kata lain, penggunaan istilah bid‘ah untuk shalat Tarawih yang diucapkan oleh ‘Umar adalah dalam lingkup pengertiannya secara bahasa (etimologi), bukan dalam bingkai pengertian syar‘i (terminologi). Sebab, menurut pengertian bahasa, bid‘ah itu mencakup seluruh perbuatan yang dibuat pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya.


Adapun bid‘ah menurut pengertian syar‘i adalah segala perbuatan yang tidak didukung oleh dalil syari‘at. Apabila Rasulullah telah menyatakan bahwa sebuah amal itu mustahab (dianjurkan/disunnahkan) atau wajib dilakukan setelah beliau wafat, atau menyatakan hukum tersebut secara mutlak, lalu amal itu baru dilakukan setelah Rasulullah wafat, seperti pengamalan terhadap ketentuan nishab zakat dari Rasulullah yang dikeluarkan oleh Abu Bakar; jika perbuatan itu dilakukan setelah Rasulullah wafat, maka perbuatan ini dapat disebut bid‘ah menurut pengertian bahasa. Sebab, perbuatan itu merupakan perbuatan yang baru pertama kali dilakukan. Demikian pula halnya shalat Tarawih, mengumpulkan al-Qur-an dalam satu mushaf, dan pengusiran yang Umar lakukan terhadap kaum Yahudi Khaibar dan Nashrani ke Najran serta penduduk kafir di berbagai tempat lainnya di jazirah Arab.[19]



===========================

Dengan lengkapnya pembahasan tentang bid'ah baik yang istiqamah dengan pendapatnya bahwa bid'ah terbagi dua, maupun mereka yang konsisten bahwa kullu bid'atin dhalalah maka terjadilah dialog antara mereka. Mereka yang fanatik dengan bid'ah ada dua bagian adalah si salaf dan mereka yang istiqamah dengan kullu bid'atin dhalalah penulis namai si salafi, beriku ini dialog keduanya:


Mereka yang fanatik dengan bid'ah ada dua bagian adalah si salaf dan mereka yang istiqamah dengan kullu bid'atin dhalalah penulis namai si salafi, beriku ini dialog keduanya:

Salaf:
Membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keniscayaan dari pembacaan terhadap sekian banyak teks al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Kami, selaku pengikut ulama salaf membagi bid’ah menjadi dua, karena berangkat dari sekian banyak dalil. Para ulama mendefinisikan bid’ah sebagai berikut. Al-Imam ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdissalam (577-660 H/1181-1262 M), ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i, mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’idal-Ahkam sebagai berikut:

اَلْبِدْعَةُفِعْلُمَالَمْيُعْهَدْفِيْعَصْرِرَسُوْلِاللهِصلىاللهعليهوسلم.(الإمامعزالدينبنعبدالسلام،قواعدالأحكام،۲/١٧۲).


“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah ”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).


Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (631-676 H/1234-1277 M), hafidz dan faqih dalam madzhab Syafi’i. Beliau berkata:

هِيَإِحْدَاثُمَالَمْيَكُنْفِيْعَهْدِرَسُوْلِاللهِصلىاللهعليهوسلم.(الإمامالنووي،تهذيبالأسماءواللغات،٣/۲۲)


“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah ”. (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat,3/22 ). Pembagian bid’ah menjadi dua, berangkat dari hadits-hadits berikut ini:


عَنْجَابِرِبْنِعَبْدِاللهِقَالَقَالَرَسُوْلُاللهِصلىاللهعليهوسلم:إِنَّخَيْرَالْحَدِيْثِكِتَابُاللهِوَخَيْرَالْهُدَىهُدَىمُحَمَّدٍوَشَرُّاْلأُمُوْرِمُحْدَثَاتُهَاوَكُلُّبِدْعَةٍضَلاَلَةُ.(رواهمسلم).


“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim). Hadits di atas menegaskan bahwa setiap bid’ah itu kesesatan. Kemudian jangkauan hukum hadits tersebut dibatasi oleh sekian banyak dalil, antara lain hadits berikut:


عَنْجَرِيْرِبْنِعَبْدِاللهِالْبَجَلِيِّقَالَقَالَرَسُوْلُاللهِصلىاللهعليهوسلممَنْسَنَّفِياْلإِسْلاَمِسُنَّةًحَسَنَةًفَلَهُأَجْرُهَاوَأَجْرُمَنْعَمِلَبِهَابَعْدَهُمِنْغَيْرِأَنْيَنْقُصَمِنْأُجُوْرِهِمْشَيْءٌوَمَنْسَنَّفِياْلإِسْلاَمِسُنَّةًسَيِّئَةًكَانَعَلَيْهِوِزْرُهَاوَوِزْرُمَنْعَمِلَبِهَامَنْبَعْدَهُمِنْغَيْرِأَنْيَنْقُصَمِنْأَوْزَارِهِمْشَيْءٌ.رواهمسلم


“Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR.Muslim).

Dalam hadits pertama, Rasulullah menegaskan,bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam,maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi , atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi .”


Salafi: “Maaf, kami tetap menolak pembagian bid’ah menjadi berapapun berdasarkan hujjah sebagai berikut. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata:

قَوْلُهُ(كُلُّبِدْعَةٍضَلاَلَةٌ)كُلِّيَّةٌ،عَامَّةٌ،شَامِلَةٌ،مُسَوَّرَةٌبِأَقْوَىأَدَوَاتِالشُّمُوْلِوَالْعُمُوْمِ(كُلٌّ)، أَفَبَعْدَهَذِهِالْكُلِّيَّةِيَصِحُّأَنْنُقَسِّمَالْبِدْعَةَإِلَىأَقْسَامٍثَلاَثَةٍ،أَوْإِلَىأَقْسَامٍخَمْسَةٍ؟أَبَدًاهَذَالاَيَصِحُّ.


“Hadits “semua bid’ah adalah sesat”, bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kull(seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian ? Selamanya, ini tidak akan pernah benar.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khatharal-Ibtida’, hal. 13, dan Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 2 hal. 315, cet.5 Dar Ibn al-Jauzi, Riyadh 1419 H).


Salaf:
“Ooo, jadi Anda menolak pembagian bid’ah hasanah menjadi dua, dan lima, dengan mengambil hujjah dari pernyataan Syaikh Ibnu Utsaimin, bahwa dalam hadits kullu bid’atin dhalalah terdapat lafal kullu,yang bermakna keseluruhan bid’ah itu tersesat tanpa terkecuali, sehingga hadits berikutnya, yang kami sampaikan di atas, menurut Anda tidak membatasi terhadap hadits kullu bid’atin dhalalah. Bagus kalau begitu. Sekarang di sini kami akan menolak hujjah Anda dengan pernyataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga dalam kitab yang sama, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah. Penolakan pembagian bid’ah menjadi dua bagian berdasarkan logika di atas, harus dipertimbangkan. Karena tidak semua kosa kata “kullu” dalam al-Qur’an dan hadits, bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian. Dalam hal ini, Syaikh al-‘Utsaimin sendiri misalnya berkata:

أَنَّمِثْلَهَذَاالتَّعْبِيْرِ(كُلُّشَيْءٍ)عَامٌّقَدْيُرَادُبِهِالْخَاصُّ،مِثْلُقَوْلِهِتَعَالىَعَنْمَلِكَةِسَبَأٍ:(وَأُوْتِيَتْمِنْكُلِّشَيْءٍ)، وَقَدْخَرَجَشَيْءٌكَثِيْرٌلَمْيَدْخُلْفِيْمُلْكِهَامِنْهُشَيْءٌمِثْلُمُلْكِسُلَيْمَانَ.


“Redaksi seperti “kullu syay’in (segala sesuatu)”adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan pada makna yang terbatas,seperti firman Allah tentang Ratu Saba’: “Ia dikarunia segala sesuatu”.(QS. al-Naml : 23). Padahal banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya, seperti kerajaan Nabi Sulaiman AS.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarhal-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 1 hal. 430). Dalam pernyataan di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin jelas sekali, bahwa kalimat kullu dalam ayat al-Qur’an yang dibawakan oleh beliau, tidak bermakna keseluruhan, akan tetapi bermakna sebagian. Nah, mengapa ketika menghadapi hadits kullu bid’atin dhalalah, beliau tidak konsisten dengan kaedah yang digunakan tersebut ? Apa bedanya hadits dengan al-Qur’an ? Jadi, kalau Anda menolak bid’ah hasanah dengan alasan lafal kullu, Anda juga tertolak dengan lafal kullu versi Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga.


Nah, sekarang Anda harus menjelaskan makna hadits man sanna sunnatan seperti yang dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi, sebagai pen-takhshish (yang membatasi jangkauan hukum) hadits kullu bid’atin dhalalah.”

Salafi: “hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul . Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna filIslaam sunnatan hasanatan. Disamping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Anda jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
Salaf:
“Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (prilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy min qaulin au fi’lin au taqrir (segala apa yang datang dari Nabi , baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya,Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang berlawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.

Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu ushul fiqih telah kita kenal kaedah, al-‘ibrah bi’umum al-lafdzi la bi-khusush al-sabab,(peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”


Salafi: “Bagaimanapun kami tidak menerima bid’ah hasanah. Hadits kullu bid’atin dhalalah masih diperkuat oleh hadits lain yang berbunyi:

قالرسولاللهصلىاللهعليهوسلم:مَنْأَحْدَثَفِيْأَمْرِنَاهَذَامَالَيْسَمِنْهُفَهُوَرَدٌّ.رواهمسلم


“Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk dari bagiannya, maka jelas tertolak.” HR. Muslim. Allah juga menegaskan, bahwa Islam telah sempurna, sehingga tidak perlu ditambah-tambahi lagi. Dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:


اَلْيَوْمَاَكْمَلْتُلَكُمْدِيْنَكُمْوَأَتْمَمْتُعَلَيْكُمْنِعْمَتِيْ.


“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”


Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”

Salaf: “Kalau begitu Anda tidak menjawab hujjah kami, dan berarti Anda lemah secara logika agama. Anda tidak punya dalil. Sedangkan hadits yang Anda ajukan barusan, justru memperkuat pandangan kami, bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Hadits tersebut berbunyi begini:

قالرسولاللهصلىاللهعليهوسلم:مَنْأَحْدَثَفِيْأَمْرِنَاهَذَامَالَيْسَمِنْهُفَهُوَرَدٌّ.رواهمسلم


“Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk dari bagiannya, maka jelas tertolak.” HR. Muslim.


Hadits ini jelas memperkuat bid’ah hasanah. Karena dalam hadits tersebut dinyatakan secara tekstual, “mengada-ada dalam urusan kami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk dari bagiannya, maka jelas tertolak”. Di sini, sangat jelas bahwa yang ditolak adalah sesuatu yang diada-ada dan bukan bagian dari agama. Berarti secara mafhum (pemahaman),sesuatu yang diada-ada di dalam agama, tetapi termasuk bagian dari agama, maka sesuatu tersebut tidak ditolak. Bukankah begitu ? Bukankah ini yang namanya bid’ah hasanah ?

Sedangkan ayat 3 al-Maidah yang Anda sampaikan, tidak bisa dijadikan dalil anti bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud kesempurnaan agama dalam ayat tersebut, bukan penolakan bid’ah hasanah. Silahkan Anda baca penafsiran ayat tersebut dalam al-Durr al-Mantsur, karyaal-Imam Jalaluddin al-Suyuthi yang menghimpun semua penafsiran ulama salaf.Sebagian ada yang menafsirkan kesempurnaan agama, dengan sempurnanya dalil-dalil halal dan haram. Sebagian ada juga yang menafsirkan dengan penaklukan kota Makkah. Oleh karena itu, apabila ayat 3 al-Maidah tersebut dipaksakan sebagai penolak bid’ah hasanah, justru malah sebaliknya, adanya bid’ah hasanah termasuk bagian dari kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya diambil dari ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi .”

Salafi: “Anda mengada-ada. Di dalam al-Qur’an tidakada dalil bid’ah hasanah.”
Salaf: “Dalam al-Qur’an ada isyarat yang membenarkan bid’ah hasanah. Dalam al-Mu’jam al-Ausath karya al-Imamal-Thabarani disebutkan:

عنأبيأمامةالباهليقال: سمعترسولاللهصلىاللهعليهوسلميقول: إناللهفرضعليكمصومرمضانولميفرضعليكمقيامهوإنماقيامهشيءأحدثتموهفدومواعليهفإنناسامنبنيإسرائيلابتدعوابدعةفعابهماللهبتركهافقال: { رهبانيةابتدعوهاوماكتبناهاعليهمإلاابتغاءرضوانالله} إلىآخرالآية


“Abu Umamah al-Bahili berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kamu puasa Ramadhan, dan tidak mewajibkan qiyam (ibadah sunnah pada malam harinya) padakamu. Qiyam tersebut hanyalah sesuatu yang kamu ada-adakan, maka teruslah melakukannya. Karena sekelompok manusia dari kaum Bani Israil membuat-buat bid’ah, lalu Allah mencela mereka sebab meninggalkannya. Allah berfirman: “dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.”. (HR al-Thabarani, al-Mu’jam al-Ausath [7450]. Al-Hafizh al-Haitsami berkatadalam Majma’ al-Zawaid, dalam sanad nya terdapat Zakariya bin Abi Maryam, yang didha’ifkan oleh al-Nasa’i dan lainnya.).


Hadits di atas, meskipun sanadnya dha’if, lemah,akan tetapi maknanya benar. Ayat al-Qur’an tersebut memberikan isyarat terhadap otoritas bid’ah hasanah. Karena Allah mencela kaum Bani Israil bukan karena mereka mengada-adakan rahbaniyyah, akan tetapi mencela mereka karena tidak istiqomah dan meninggalkan rahbaniyyah yang mereka ada-adakan. Ayat tersebutjuga menjadi dalil, bahwa seseorang yang telah melakukan bid’ah hasanah, maka hendaklah, istiqomah melakukan bid’ah hasanah tersebut selamanya.”


Salafi:

“Kami tetap menolak pembagian bid’ah menjadi dua, karena hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, di atas bukan pen-takhshih (membatasi jangkauan hukum) hadits kullu bid’atin dhalalah. SyaikhIbnu ‘Utsaimin berkata, bahwa yang dimaksud man sunnatan hasanatan adalahal-mubadaratu bifi’liha (segera melakukan), bukan yang pertama kali melakukan.(Lihat, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 2 hal.319)”


Salaf:

“Kalau begitu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin perlu dipertanyakan. Mengapa? Karena dalam kitab-kitab kamus, tidak ada yang mengartikan sanna sunnatan dengan al-mubadartu bifi’liha. Justru yang ada adalah sebagai berikut:


سنّفُلَانالسّنةوَضعهَاوكلمنابْتَدَأَأمراعملبِهِقوممنبعدهفَهُوَالَّذِيسنه


“Si fulan men-sunnahkan suatu sunnah (perbuatan), maksudnya membuatnya. Setiap orang yang memulai suatu perkara, yang diamalkan oleh orang sesudahnya, maka dialah yang memulainya.” (al-Mu’jam al-Wasithi,hal. 455).


Salafi:

“Syaikh Ibnu ‘Utsaimin itu seorang ulama, dan jelas lebih alim dari pada Anda. Kutipan dari kitab Kamus yang Anda kemukakan tentu tidak ada dasar haditsnya.”


Salaf:

“Maaf, Syaikh Ibnu Utsaimin memang alim, akan tetapi para ulama yang kami bela, dan menetapkan bid’ah hasanah, justru ulama salaf dan jauh lebih alim dari pada Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Mereka yang menetapkan adanya bid’ah hasanah mulai dari Khulafaur Rasyidin, Sayyidina AbuBakar, Sayyidina Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhum. Kemudian Imamal-Syafi’i dan lain-lain. Sedangkan kutipan dari kitab Kamus, itu tidak perlu ada dasar dari hadits. Karena makna suatu bahasa, itu sudah tradisi. Justru makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang belum kita fahami harus kita cari dikamus. Sedangkan bahwa lafal sanna sunnatan itu bermakna memulai perbuatan pertama kali, justru sangat banyak dasar haditsnya. Misalnya dalam kasus, tata cara makmum masbuq dalam shalat berjama’ah, orang yang pertama kali melakukannya adalah Sayyidina Mu’adz bin Jabal, tanpa ada tuntunan sebelumnya dari Nabi . Lalu Nabi bersabda tentang perbuatan Mu’adz tersebut:


قدسنلكممعاذوهكذافاصنعوا


“Mu’adz telah memulai cara baru dalam shalat untuk kalian. Dan demikianlah seharunya kamu lakukan.” (HR. Ahmad, al-Thabarani dan lain-lain.”


Nah, dalam hadits ini, jelas sekali, sanna disabdakan oleh Nabi untuk tata cara makmum masbuq yang dibuat pertama kali oleh sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. Dan tentu saja masih ada hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa kalimat sanna sunnatan bermakna memulai suatu perbuatan, dari tidak ada menjadi ada.”


Salafi:

“Maaf, mungkin maksud pernyataan Khalifah Umar, itu tentang shalat tarawih, beliau berkata, ini sebaik-baik bid’ah. Nah, itu Anda berarti tidak tahu. Itu maksudnya bid’ah lughawiyah, bid’ah secara bahasa.”


Salaf:

“Maaf, Anda beralih dari persoalan tadi.Berarti Anda mengaku kalah dan lemah dengan hujjah kami. Sekarang saya bertanya, apakah Anda sebagai juru bicara Sayyidina Umar ?


Salafi:

“Ya tentu saja bukan.”


Salaf:

“Yang mengakatan, bahwa maksud bid’ah dalam perkataan Khalifah Umar, sebagai bid’ah secara bahasa, apakah Khalifah Umar sendiri atau justru dari Anda ?”


Salafi:

“Ya itu penafsiran dari golongan kami yang anda katakan Wahabi itulah, bukan beliau Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu.”


Salaf:

“Nah itu letak kesalahan Anda. Yang jelas,Khalifah Umar menyampaikan pernyataannya, bukan dalam kapasitas sebagai dosen bahasa di perguruan tinggi. Akan tetapi dalam kapasitas sebagai Khalifah syar’i yang Rasyid. Oleh karena itu, pernyataan beliau harus diartikan secara syar’i, bukan lughawi. Lagi pula Rasulullah bersabda tentang Khalifah Umar:


عنابنعمرقالقالرسولاللهصلىاللهعليهوسلم:إناللهجعلالحقعلىلسانعمروقلبه


“Ibnu Umar berkata: “Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran melalui lidah Umar dan hatinya.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi, hadits hasan shahih).


Seandainya pernyataan Khalifah Umar tentang shalat tarawih di atas kita artikan dengan bid’ah lughawi, tentu sabda Nabi diatas akan tersia-sia. Karena anda akan berkata, bahwa kebenaran yang dijadikan Allah melalui lidah Umar dan hatinya adalah kebenaran secara bahasa/lughawi, bukan secara syar’i. Apakah begitu ?”

Salafi:

“Sebagian ulama mendefinisikan bid’ah,tidak seperti definisi yang dikutip oleh anda. Tetapi ada definisi bid’ah versi yang lain. Dalam hal ini al-Imam Asy-Syatibi dalam Al I’tishom mengatakan bahwa bid’ah adalah :


عِبَارَةٌعَنْطَرِيْقَةٍفِيالدِّيْنِمُخْتَرَعَةٍتُضَاهِيالشَّرْعِيَّةَيُقْصَدُبِالسُّلُوْكِعَلَيْهَاالمُبَالَغَةُفِيالتَّعَبُدِللهِسُبْحَانَهُ


“Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”


Salaf:

“Kalau begitu Anda beralih ke persoalan lain, dan membuktikan bahwa anda kehabisan hujjah. Bukti bahwa pendapat kaum Wahabi yang anda ikuti sangat lemah dan rapuh sekali. Justru menurut saya, definisi versi al-Syathibi yang anda kutip, termasuk definisi bid’ah versi bid’ah, bukan definisi bid’ah versi sunnah. Mengapa begitu ? Dalam hadits shahih, Nabi telah mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:


كلمحدثةبدعة


“Setiap perkara baru adalah bid’ah.” (HR. Muslim).


Nah, dalam hadits di atas, Nabi mendefinisikan bid’ah dengan, “Setiap perkara baru”, secara mutlak. Definisi bid’ah versi al-Syathibi, ternyata banyak tambahan terhadap definisi bid’ah versi hadits shahih, karena itu sangat tidak tepat untuk diikuti.”

Salafi:

“Maaf, kami tidak setuju bid’ah hasanah,karena sahabat Ibnu Umar berkata:


أَعَنِابْنِعُمَرَ،قَالَ:" كُلُّبِدْعَةٍضَلالَةٌ،وَإِنْرَآهَاالنَّاسُحَسَنَةً"


“Ibnu ‘Umar, berkata: “Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah) [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].


Salaf:

“Ada tiga jawaban terhadap pernyataan anda. Pertama, dalil bid’ah hasanah adalah ayat al-Qur’an dan hadits shahih, sebagaimana anda tidak bisa menjawabnya tadi. Kalau sudah ada dalil ayat al-Qur’an dan hadits shahih, mengapa harus mengutip Ibnu Umar ? Kedua, maksud pernyataan Ibnu Umar tersebut, adalah bid’ah yang bertentangan dengan dalil-dalil syar’i (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’dan Qiyas). Jadi bukan semua bid’ah. Mengapa harus kita artikan demikian ? Karena Ibnu Umar sendiri termasuk pengamal bid’ah hasanah. Ada fakta yang tidak bisa Anda tolak, bahwa Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah ketika menunaikan ibadah haji adalah:


لَبَّيْكَاللَّهُمَّلَبَّيْكَ،لَبَّيْكَلاَشَرِيْكَلَكَلَبَّيْكَإِنَّالْحَمْدَوَالنِّعْمَةَلَكَوَالْمُلْكَلاَشَرِيْكَلكَ.


Tetapi Abdullah bin Umar sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:


لَبَّيْكَلَبَّيْكَوَسَعْدَيْكَوَالْخَيْرُبِيَدَيْكَلَبَّيْكَوَالرَّغْبَاءُإِلَيْكَوَالْعَمَلُ.


Hadits tentang doa talbiyah Nabi dan tambahan Ibnu Umar ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu Dawud(1812) dan lain-lain. Menurut Ibn Umar, Sayidina Umar juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184). Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayidina Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi dengan kalimat:


لَبَّيْكَمَرْغُوْبٌإِلَيْكَذَاالنَّعْمَاءِوَالْفَضْلِالْحَسَنِ.


Ketiga, pernyataan Ibnu Umar juga harus dipadukan dengan pernyataan para sahabat Nabi yang lain, misalnya Sayyidina Abdullahbin Mas’ud yang menetapkan bid’ah hasanah berdasarkan perkataan beliau:


مَارَأَىالْمُسْلِمُوْنَحَسَنًافَهُوَعِنْدَاللهِحَسَنٌوَمَارَأَوْاسَيِّئًافَهُوَعِنْدَاللهِسَيِّئٌ


“Apa saja yang dianggap baik oleh umat Islam, makahal itu baik menurut Allah. Dan apa saja yang dianggap buruk oleh umat Islam, maka menurut Allah juga buruk.” (HR Ahmad dalam al-Musnad [3600], dengan sanad hasan.”


Salafi:

“Tapi, sebagian ustadz-ustadz kami yang pakar hadits dan punya situs di internet, berpendapat bahwa pernyataan para ulama seperti al-Imam Izzuddin bin Abdussalam, al-Imam an-Nawawi dan lain-lain yang membagi bid’ah menjadi dua, itu bid’ah secara bahasa/lughawi,bukan bid’ah secara syar’iy. Bagaimana jawaban Anda ?”


Salaf:

Saya pikir ustadz-ustadz anda itu sedang di alam mimpi, bukan di alam sadar. Beliau mungkin sedang bermimpi bahwa Imam ‘Izzuddin dan Imam an-Nawawi berbicara bid’ah dalam kapasitas sebagai dosen bahasa di universitas wahabi. Itu namanya ya alam mimpi. Perlu Anda sadari (janganbermimpi), bahwa beliau berdua menjelaskan bid’ah dalam kapasitas sebagai ulama fiqih atau syari’at, dan dalam kitab fiqih dan syari’at, bukan kitab kamus. Karena itu pembagian bid’ah oleh mereka, jelas bid’ah secara syari’at, bukan bahasa. Jadi kalau kuliah ikuti dan simak dengan seksama.”


Salafi:

“Apakah Anda seorang pakar hadits ?”


Salaf:

“Saya hanyalah seorang santri dan pencari ilmu, bukan pakar hadits seperti seperti ustadz-ustadz salafi yang kalian banggakan. Maaf, mulai tadi Anda selalu beralih dari persoalan inti, dan bukti kalau hujjah Anda lemah semua, alias tidak kuat. Bukti ajaran yang diikuti anda itu lemah dan batil.”


Salafi:

“Saya memang meragukan kebenaran masalah ini. Tapi kenapa ya, hujjah kaum kami selalu lemah menghadapi kelompok anda, padahal ustadz-ustadz kami selalu mengaku pakar hadits?”


Salaf:

“Itu karena mereka, ustadz-ustadz anda cuma ngakunya saja sebagai pakar hadits. Kenyataannya mereka kurang menyeluruh mengkaji hadits, bila menjumpai sebuah hadits yang menghukumi "ini", langgung difonis "ini" tanpa mengkaji lebih lanjut, apakah ada lain hadits yang berkenaan dengan "ini". Atau mungkin juga karena faktor pengkultusan berlebihannya terhadap Syaikh al-Albani dan Syaikh yang lain "sebagai pakar hadits", akhirnya menafikan bahkan menganggap pakar hadits dan fiqih salaf yang terdahulu dianggab bathil. Sedangkan kami adalah sekelompok muslim yang berusaha dengan maksimal mungkin supaya kami terkatagorikan sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang selalu minta pertolongan kepada Allah SWT, supaya kami istiqamah mengikuti ajaran ulama salaf terdahulu yang diberi petunjuk.”


Salafi:

Kalau begitu saya harus banyak belajar lagi secara menyeluruh agar tidak gampang mengkelirukan pemahaman kelompok "salaf" yang lain, terima kasih ya akhi dan salam ukhuwah.


Salaf:

Sama sama berterimakasih, salam ukhuwah juga dan semoga kita bisa menjadi betul betul saudara fiddini waddun-ya wal akhirah, aamiin


والله أعلم



. . . . . . . . .



FootNote:

(1)

(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469)

(2)

Lihat Tafsir al-Imam al-Qurthubi, II : 87.

(3)

(Al-Istidzkar, 5/152)

(4)

Dalam kitabnya‘Aridhat Al Ahwadzi Syarh Jami’ Al Tirmidzi, (X : 146-147)

(5)

Al-Ghazzali, “Ihya’ `Ulumiddin, I : 276.

(6)

‘Umdat Al-Qari, 11/126

(7)

Diriwayatkan dari al-Rabi` oleh al-Bayhaqi didalam “al-Madkhal” dan “Manaqib asy-Syafi`i, I : 469 dengan sanad shahih dan dishahihkan juga oleh Ibnu Taimiyyah dalam “Dar’u Ta`arud al-`Aqli wan-Naqli, hal. 171 dan melalui al-Baihaqi oleh Ibn `Asakir dalam “Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam “Siyar”, VIII : 408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam, II : 52-53, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253.

(8)

Ibnu Hazm, “al-Ihkam fi Usul al-Ahkam”, I : 47.

(9)

Inilah pendapat asy Syathibi. [Lihat al-I’tisham (I/37)] Ibnu Hajar al-Asqalani [Lihat Fat-hul Baari (XIII/253)] Ibnu Hajar al-Haitami [Lihat al-Fataawa al-Haditsiyyah (hlm. 150-151)] Ibnu Rajab al-Hanbali [Lihat Jaami‘ul Uluum wal Hikam (hlm. 233-235)] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [Lihat catatan biografinya dalam kitab ad-Durarul Kaaminah (I/144-160), Dzail Thabaqaatul Hanabilah (II/378-408), Fawaatul Wafayaat (I/74-80), dan al Bidaayah wan Nihaayah (XIV/117-121)}, dan az Zarkasyi [Lihat al Mantsur fiil Qawaa‘id (I/217)]

(10)

Lihat Majmuu’ Fataawa (IV/107-108).

(11)

Lihat al-I’tishaam (I/37)

(12)

HR. Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi VI/153-154, Kitab “al-Jumu‘ah”), an-Nasa-i dalam Sunan-nya (III/189, Kitab “ash-Shalaatul ‘Iedain”) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/17, muqaddimah)].

(13)

HR. Ahmad dalam Musnad-nya (IV/126-127) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (‘Aunul Ma’buud XII/358-360, Kitab “al-Fitan”). Redaksi hadits tersebut adalah milik Abu Dawud. Hadits ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (Tuhfatul Ahwadzi [VII/438-442]), dan Tirmidzi berkata: “Derajat hadits ini hasan shahih.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/15-16, muqaddimah)].

(14)

Lihat Majmaa’uz Zawaa-id (I/188), Bab “al-Bida’ wal Ahwaa’”. Hadits ini juga diriwayatkan juga oleh Ibnu Wadhah dalam al-Bida’ (hlm. 39)].

(15)

Al-Haitsami berkata dalam kitab Majmaa’uz Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam al-Kabiir, dan para perawinya adalah para perawi kitab ash-Shahiih.” Lihat Majmaa’uz Zawaa-id (I/181), Bab “al-Iqtidaa’ bis Salaf”.

(16)

Lihat Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/582-588).

(17)

HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/251], Kitab “ash-Shalaatut Taraawih”, no. 2012) dan Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim [I/524], Kitab “ash-Shalaatul Musaafiriin”, no. 761 dan 178).

(18)

Lihat al-Muwaththa’ (I/114).

(19)

Lihat Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/589-592).



. . . . . . . . .



. . . . . . . . .


Back to Top

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to top