
Mengapa Imam Syafi’i Tidak memakai Hadits Imam Bukhari & Imam Muslim?
Banyak yang berpikir bahwa keshahihan suatu hadits itu adalah wahyu yang turun dari langit. Banyak orang awam yang belum pernah belajar ilmu hadits berimajinasi seolah-olah keshahihan hadits merupakan wangsit khusus yang diberikan kepada tokoh-tokoh tertentu secara ghaib. Seolah-olah informasi keshahihan hadits itu secara khusus Allah anugerahkan kepada sosok tertentu, rada mirip-mirip dengan sosok Imam Mahdi di akhir zaman.
Padahal sebenarnya 100% keshahihan hadits itu hasil ijtihad, yaitu merupakan hasil penilaian subjektif dari seorang peneliti hadits lewat analisa logis tapi tetap tidak bisa lepas dari subjektifitasnya sendiri. Oleh karena hanya sekedar ijtihad, maka apa yang dibilang shahih oleh seorang peneliti hadits, bisa saja disanggah dan ditolak oleh peneliti lain, bahkan bisa dikeluarkan hasil ijtihad lainnya yang justru bertentangan.
Imam Bukhari dan Muslim Berijtihad
Begitu juga hadits yang tertuang dalam kitab Shahih Muslim. Imam Muslim (204-261 H)
sebagai penyusunnya tidak lain adalah seorang yang melakukan ijtihad, dalam arti penellitian ilmiyah untuk memilah mana yang beliau anggap shahih dan tidak. Pertimbangannya tanpa didasari wahyu dari langit. Hanya mengandalkan penilaian manusiawi semata.Tetapi menjadi keliru sekali ketika kita mengandalkan keshahihan hadits Bukhari dan Muslim sebagai satu-satunya rujukan dalam masalah agama. Mengapa? Karena selain hasil ijtihad keduanya, masih ada ribuan peneliti dan ahli hadits lain yang juga melakukan penelitian. Dan tidak sedikit yang kualitasnya malah lebih tinggi dari apa yang diijtihadkan oleh keduanya.
Penelitian Hadits Sebelum Zaman Bukhari dan Muslim
Sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Bukhari dan Imam Muslim termasuk ulama yang hidup di abad ketiga hijriyah. Artinya, keberadaan dua kitab Shahih, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim baru muncul di abad ketiga, atau setelah 200 tahun Rasulullah wafat. Yang jadi pertanyaan adalah : Lalu umat Islam yang hidup di abad pertama dan kedua, sebelum Bukhari dan Muslim lahir, menggunakan hadits apa dalam beragama?
Jawabnya mereka menggunakan semua hadits nabi juga. Tentunya bukan hadits-hadits yang dishahihkan oleh Bukhari atau Muslim, sebab Bukhari dan Muslim belum lahir. Dan hadits-hadits di masa itu juga sudah diteliti dengan baik oleh para ahli hadits di zamannya.

Jadi jangan keliru beranggapan bahwa hadits shahih itu hanya hadits Bukhari dan Muslim saja. Maka tidak salah kalau kita katakan bahwa tidak ada satu pun shahabat nabi yang menggunakan hadits shahih riwayat Bukhari. Dan tidak satupun tabi’in yang menggunakannya juga. Mereka semua beragama tanpa menggunakan Shahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Madzhab
Para imam madzhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Mereka sama sekali tidak pernah menyentuh kitab Shahih Bukhari dan Muslim.
Kenapa ?

Kalau dalam bidang teknologi, memang semakin maju zamannya ke depan, ilmunya semakin lengkap dan sempurna. Karena penemuan yang dulu kemudian disempurnakan dengan penemuan terbaru. Sebaliknya, dalam bidang penelitian hadits, semakin mundur dan mendekati sumber aslinya, akan semakin baik.
Memang ada sementara tokoh saking antipatinya dengan madzhab fiqih, lalu mengarang-ngarang sebuah nama madzhab imaginer baru yang tidak pernah ada bukti kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut madzhab ‘ahli hadits’. Dari namanya saja sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak bermadzhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam madzhabnya. Padahal madzhab ahli hadits itu adalah madzhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).
Contohnya:
Al Bukhari meriwayatkan berdirinya Rasulullah ketika minum dalam kitab shahihnya:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ النَّزَّالِ قَالَ أَتَى عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى بَابِ الرَّحَبَةِ فَشَرِبَ قَائِمًا فَقَالَ إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَائِمٌ وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Mis'ar dari Abdul Malik bin Maisarah dari An Nazal dia berkata; Ali radliallahu 'anhu pernah datang dan berdiri di depan pintu rahbah, lalu dia minum sambil berdiri setelah itu dia berkata; "Sesungguhnya orang-orang merasa benci bila salah seorang dari kalian minum sambil berdiri, padahal aku pernah melihat Nabi melakukannya sebagaimana kalian melihatku saat ini." (HR. Bukhari No. 5184)
Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan tentang pelarangan Rasulullah terhadap sahabat yang minum berdiri:
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنْ الشُّرْبِ قَائِمًا
Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid; Telah menceritakan kepada kami Hammam; Telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas bahwa Nabi melarang minum sambil berdiri. (HR. Muslim No. 3771)
Al-Imam Asy-syafi’i sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang lebar tentang masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau sudah menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal itu.
Umat Terlalu Awam Terhadap Informasi Yang Telah Diplintir
Sayangnya banyak sekali orang awam yang tersesat mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang punya rasa dengki. Seolah-olah imam madzhab yang empat itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahinya seenak udelnya. Sejelek itu para perusak agama melancarkan fitnah keji kepada para ulama.
Entah orientalis mana yang datang menyesatkan agama, tiba-tiba datang generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan mudahnya dan teramat lancang menuduh keempat imam madzhab itu sebagai orang-orang bodoh dengan ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara dhahir dengan pendapat keempat madzhab, seolah-olah pendapat madzhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.
Padahal maksudnya bukan begitu. Para ulama madzhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata, ”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu.” Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam madzhab itu sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.
Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam madzhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.
Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Bukhari dan Muslim Bukan Penentu Satu-satunya Keshahihan Hadits
Ini perlu dicatat karena penting sekali. Shahih tidaknya suatu hadits, bukan ditentukan oleh Bukhari dan Muslim saja. Jauh sebelum keduanya dilahirkan ke dunia, sudah ada jutaan ahli ahli hadits yang menjalankan proses ijtihad dalam menetapkan keshahihan hadits.

Hadits di zaman Imam Bukhari sudah cukup panjang jalur periwayatannya. Untuk satu hadits yang sama, jalur periwayatan Bukhari bisa sampai enam atau tujuh level perawi yang bersambung-sambung. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma melewati tiga level perawi. Secara logika sederhana, kualitas keasliannya tentu berbeda antara hadits yang jalurnya tujuh level dengan yang tiga level. Lebih murni dan asli yang tiga level tentunya.
Menurunnya Kualitas Periwayatan Seiring Dengan Semakin Jauhnya Jarak
Semakin jauh jarak waktu antara sumber hadits dengan zaman penelitiannya, maka kualitasnya akan semakin menurun. Sebab jalur periwayatannya akan menjadi semakin panjang. Jumlah perawi yang harus diteliti jelas lebih banyak lagi.
Maka siapapun orangnya, kalau baru hari gini melakukan penelitian tentang para perawi, kelasnya rendah sekali. Semua hasil penelitian semata-mata mengandalkan data sekunder, yaitu hanya sekedar menelliti di tingkat literatur dalam perpustakaan. Sebuah pekerjaan yang sangat mudah, karena semua mahasiswa fakultas hadits semester pertama pun bisa mengerjakannya.
Maka kita tidak bisa menyamakan kualitas keshahihan hadits yang diteliti di abad kelimabelas ini, dengan kualitas penelitian hadits yang dilakukan di abad ketiga zaman Bukhari dan Muslim. Nilainya jauh berbeda. Dan kualitas penelitian hadits di abad pertama dan kedua tentu jauh lebih baik lagi.
Kadang-kadang umat Islam terkecoh dengan mudah dengan penampilan fisik. Asalkan ada orang pintar ceramah, kebetulan jenggotnya panjang, bajunya gamis ala arab, pakai surban melilit kepala, tangannya sibuk memutar-mutar biji tasbih, suaranya diberat-beratkan, langsung kita anggap dia adalah ulama yang tahu segala-galanya. Padahal satu pun hadits tidak dihafalnya.
Semoga Allah mengampuni kita semua. آمين يارب العالمين
FootNote:
. . . . . . . . .

. . . . . . . . .

Tidak ada komentar:
Posting Komentar