
Mempersempit Akan Hakikat Pengertian Dalil
Pernyataan diatas bisa benar bisa salah. Benarnya karena memang hampir semua ulama sejak zaman dahulu pasti menjunjung tinggi hadits Nabi. Salahnya karena telah mempersempit pengertian dalil hanya pada shahih tidaknya hadits saja.
Segala sesuatu yang memungkinkan untuk mengantarkan kepada sesuatu yang diinginkan yang bersifat khabari/ berita dengan analisis yang benar.
Artinya para ulama dari sejak zaman salaf tak pernah gegabah menentukan sebuah hukum hanya bermodal kepada satu hadits shahih saja. Karena hadits shahih saja belum cukup menjadi produk hukum kecuali setelah melewati pemahaman yang shahih pula.
, Mashlahat Mursalah, Urf, dan juga istihsan.Beberapa kali ada teman bertanya kepada saya tentang rute sebuah alamat. Saya berikan peta plus saya gambarkan rutenya. Hanya saja ada beberapa teman yang nyasar di jalan.
Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil syar’i.
Hal itu cukup beralasan, kenapa? Karena dalil bagi orang yang awam itu ya buat apa? Semacam tidak manfaatnya. Ibarat orang yang tidak memiliki kemampuan memasak bahkan malah tidak punya alat untuk memasak, untuk apa diberi bahan mentah?
Dasarnya adalah ada dan tidaknya dalil bagi orang awam itu sebenarnya sama saja. Karena mereka belum bisa mengambil faedah dari dalil-dalil itu. Menganalisis dalil-dalil syar’i bukanlah tugas mereka. Bahkan tidak boleh sama sekali mereka melakukan itu.
Untuk menjawab hal itu, memang butuh kesadaran diri. Tak jarang ada yang beranggapan bahwa kalau sudah ustadz berarti tidak awam, jika sudah lulus sarjana syariah berarti sudah lulus keawamannya.
Mana mungkin Hadits Nabi
yang shahih itu bisa menyesatkan? Bukan haditsnya yang menyesatkan. Tetapi pemahaman yang belum tuntaslah yang biasanya bisa membuat orang nyasar.
Hadits itu bisa jadi menyesatkan kecuali bagi fuqaha’.
Penulis akan sajikan beberapa bukti yang berkenaan dengan ini;
Syarat menjadi faqih adalah tahu banyak hadits beserta tahu cara memahaminya. Hanya saja kadang orang yang hafal banyak hadits, tidak tahu banyak terhadap kandungan hadits yang dihafalkan itu. Hal itu sebagaimana sabda Nabi Muhammad
:
Banyak orang yang hanya disampaikan kepadanya suatu hadits, dan dia lebih paham daripada orang yang mendengarkannya langsung. Banyak yang menyampaikan fiqih tetapi tidak faqih/ faham. Dan banyak pembawa fiqih, dia membawakannya kepada orang yang lebih faham darinya.
Ibn Wahab (w. 197 H) salah seorang murid dari Imam Malik bin Anas (w. 179 H) pernah suatu ketika berkata:
Kalau saja saya (Ibnu Wahab) tidak bertemu dengan Imam Malik (w. 179 H) dan al-Laits bin Saad (w. 175 H), maka celakalah saya. Dahulu saya menyangka segala sesuatu yang datang dari Nabi itu pasti harus diamalkan.
Awalnya Ibnu Wahab (w. 197 H) menyangka bahwa semua yang datang dari Nabi
itu mesti diamalkan. Untungnya beliau bertemu dan berguru kepada ulama sekelas Imam Malik bin Anas (w. 179 H) dan al-Laits bin Saad (w. 175 H).
Nabi Muhammad
bersabda:
Ketika kalian buang air besar, maka jangan menghadap kiblat atau membelakanginya. Tetapi menghadaplah ke TIMUR atau ke BARAT. (HR. Bukhari dan Muslim)
melarang buang air menghadap atau membelakangi kiblat, tetapi beliau menyuruh menghadap ke timur atau ke barat. Jika kita di Indonesia, bukankah kiblatnya ke arah barat? Disinilah pemahaman terhadap hadits harus tepat.Dalam sebuah Hadits shahih riwayat Imam Bukhari disebutkan:
Zaid bin Khalid Al Juhaini pernah bertanya kepada Utsman bin Affan, apakah yang dilakukan seseorang jika berjima’ dengan istri tetapi tidak keluar mani? Utsman bin Affan menjawab: Berwudhu sebagaimana wudhu’ akan shalat dan memcuci dzakarnya, hal itu saya dengar dari Rasulullah
.
Hadits shahih riwayat Imam Muslim juga menyebutkan:
Air (wajib mandi) itu karena air (keluar mani).
Ketika seorang duduk diantara empat cabang kaki wanita dan kedua khitan saling bersentuhan, maka dia harus mandi besar. (Muttafaq alaih)
Contoh perbuatan Shahabat berbeda dengan Periwayatan
Ada hal menarik ketika membaca sejarah para shahabat Nabi
. Beberapa riwayat menyebutkan ada beberapa shahabat Nabi tidak mengamalkan hadits yang mereka riwayatkan sendiri.
Setiap wanita yang menikah tanpa ijin walinya, maka nikahnya batil.
Contoh lainnya adalah hadits Abu Hurairah tentang banyaknya basuhan sesuatu yang terkena jilatan anjing; Abu Hurairah meriwayatkan hadits dibasuh 7 kali, sedangkan beliau sendiri melakukan basuhan 3 kali.
Maka dalam hal seperti ini, hanya bermodal hadits sudah shahih saja belum cukup menjadi dalil hukum. Bagaimana mungkin seorang shahabat Nabi
yang meriwayatkan sendiri hadits, malah dalam perbuatannya berbeda dengan hadits yang diriwayatkan.
Ahli Hadits Tetapi Tidak Mengamalkan Hadits Nabi 
Dalam contoh yang lebih nyata, para Ahli Hadits malah “tidak mengamalkan” hadits Nabi
yang mereka tuliskan dalam kitab-kitab mereka. Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim dalam shahih-nya; Nabi Muhammad
melarang menuliskan sesuatu apapun terkait beliau selain al-Qur’an.
Rasulullah
bersabda: Janganlah kalian menulis tentang saya, siapa yang menuliskan sesuatu tentang saya selain al-Qur’an maka hapuslah. Dan tidaklah mengapa, Sampaikanlah hadits saya.
Larangan menulis sesuatu tentang Nabi
ini malah tertulis dalam kitab-kitab hadits para ulama ahli hadits. Artinya para ahli hadits malah tidak mengindahkan larangan Nabi
, padahal haditsnya shahih.
Tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah. (Muttafaq alaih)
Bicara Hadits Tetapi Hanya di Mulut Saja
Ada hadits yang cukup serius berbicara tentang orang-orang yang ngomongnya pakai hadits, tapi malah mendapat kritikan dari Nabi
:
“Akan datang di akhir zaman, suatu kaum yang muda usianya, bodoh cara berpikirnya dan berbicara dengan sabda Rasulullah
sebaik-baiknya Makhluq. Iman mereka tidak sampai melewati tenggorokannya Mereka keluar dari Islam seperti anak panah tembus keluar dari badan binatang buruannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tentu hadits ini umum, tak hanya menuding kelompok ini atau itu, tetapi lebih sebagai pengingat. Anak muda, baik secara umur atau keilmuan yang punya cukup semangat menebarkan hadits dan sunnah Nabi
tentu sangat bagus. Tetapi bisa jadi orang yang sedikit-sedikit membawa dalil hadits Nabi
, belum tentu benar-benar mewakili apa yang Nabi Muhammad
syariatkan.
Cara Aman Agar Tak Tersesat
Contoh-contoh hadits shahih yang tidak diamalkan diatas sebenarnya sudah tuntas dibahas oleh para ulama terdahulu. Ulama madzhab fiqih yang empat, telah menuntun kita dengan membuat formulasi cara memahami teks-teks dalil agama. Formulasi pemahaman teks agama itu disebut ilmu ushul fiqih. Hal itu agar tak terjadi penyimpangan pemahaman terhadap teks-teks agama.
FootNote;
. . . . . . . . .
. . . . . . . . .
Back to Top



Tidak ada komentar:
Posting Komentar