حيات الدنيا حيات قليلة فلا تلغ حياة أبدية

Rabu, 01 April 2015

Dalil Shalat Sunnah Qabliyah Jum'at Bagi yang Mengamalkannya


Jum'at adalah yaumul mubarak dan ada juga yang mengatakan sayyidul ayyam, karena di dalamnya penuh dengan amaliyah-amaliyah kesunnahan yang tidak terhingga nilai keutamaannya, termasuk di dalamnya yang menjadi perdebatan klasik yang seolah tak pernah berkesudahan, yaitu masalah kesunnahan shalat sunnah qabliyah jum'at. Kali ini penulis ingin menyajikan menyajikan sumber rujukan dali bagi yang meng-sunnah-kan shalat qabliyah jum'at:


Pada dasarnya hukum Shalat Qabliyah dan Ba’diyah Jum’at hukumnya Sunnat, baik mengerjakannya dua raka’at atau empat raka’at agar lebih sempurna. Sedangkan pandangan sebagian kaum Wahabi, bahwa Shalat Qabliyah Jum’at hukumnya bid’ah dan haram, jelas keliru. Terdapat sekian banyak dalil bagi kesunnatan Shalat Qabliyah Jum’at. Dalil-dalil tersebut dapat kita klasifikasi sebagai berikut:


Pertama, Dalil Umum


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُغَفَّلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ يَشَاءُ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَالْمُرَادُ بِالْاَذَانَيْنِ اْلاَذَانُ وَاْلاِقَامَةُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ

“Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu’anh, dari Nabi , bersabda: “Di antara setiap dua adzan, terdapat shalat yang didirikan. Di antara setiap dua adzan, terdapat shalat yang didirikan. Di antara setiap dua adzan, terdapat shalat yang didirikan.” Nabi bersabda pada ucapan ketiga: “Bagi yang menghendakinya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).


Hadits di atas menjadi dasar bagi disunnahkannya Shalat Qabliyah apa saja atau secara umum, termasuk shalat Jum’at. Sedangkan yang dimaksud dengan adzan dalam hadits di atas, adalah antara adzan dan iqamah berdasarkan kesepakatan para ulama, sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi.

Dengan demikian, hadits di atas secara umum memberikan kesimpulan, bahwa di antara setiap adzan dan iqamah terdapat Shalat Qabliyah yang disunnahkan, termasuk shalat Jum’at.


Berkaitan dengan hadits Abdullah bin Mughaffal di atas, sebagian kaum Wahabi menampakkan inkonsistenya dalam memahami hadits-hadits Nabi . Di satu sisi, mereka menolak adanya bid’ah hasanah, berdasarkan keumuman hadits kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat). Padahal keumuman hadits ini, telah dibatasi oleh sekitar 300 hadits dan atsar ulama Salaf yang shalih. Di sisi lain, kaum Wahabi menolak keumuman hadits Abdullah bin Mughaffal di atas, yang berbunyi baina kulli adzanaini shalatun (setiap di antara adzan dan iqamah, terdapat shalat sunnah yang didirikan), dan mengecualikan shalat Jum’at dari keumuman hadits tersebut. Padahal hadits tersebut tidak ada yang membatasi jangkauan hukumnya. La haula wala quwwata illa billah.


Kedua, Dalil Khusus


Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:


( فَائِدَةٌ ) : لَمْ يَذْكُرْ الرَّافِعِيُّ فِي سُنَّةِ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا حَدِيثًا ، وَأَصَحُّ مَا فِيهِ مَا رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ … عَنْ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، وَعَنْ أَبِي سُفْيَانَ ، عَنْ جَابِرِ قَالَ : جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ : أَصْلَيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ ؟ قَالَ : لَا ، قَالَ : فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا . قَالَ الْمَجْدُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي الْمُنْتَقَى : قَوْلُهُ : قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُمَا سُنَّةُ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا ، لَا تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ


“Keterangan penting. Al-Imam al-Rafi’i tidak menyebutkan dasar hadits tentang shalat sunnah Qabliyah Jum’at. Dasar yang paling shahih mengenai hal tersebut adalah hadits riwayat Ibnu Majah … dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, dan dari Abi Sufyan dari Jabir, yang berkata: “Sulaik al-Ghathafani datang ketika Rasulullah sedang khutbah. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Apakah kamu sudah menunaikan shalat sebelum datang kemari?” Sulaik menjawab: “Tidak.” Rasulullah bersabda: “Shalatlah dua raka’at dan percepatlah.” Al-Imam Majduddin Ibnu Taimiyah (kakek Ibnu Taimiyah) berkata dalam kitab al-Muntaqa: “Sabda Nabi : “Sebelum datang kemari”, menjadi dalil bahwa kedua raka’at tersebut adalah shalat sunnah Qabliyah Jum’at, bukan shalat Tahiyyatal Masjid.”


Hadits Sulaik al-Ghathafani di atas menjadi dalil sunnahnya menunaikan shalat Qabliyah Jum’at. Mengomentari hadits tersebut, kaum yang menolak kesunnahan shalat Qabliyah Jum’at, yaitu Ibnu al-Qayyim berkata bahwa terjadi kekeliruan dalam catatan sebagian perawi Sunan Ibnu Majah. Redaksi yang tertulis qabla an taji’a yang menjadi dasar hukum shalat Qabliyah Jum’at, seharusnya tertulis qabla an tajlisa (sebelum kamu duduk), sehingga menurutnya hadits tersebut mengarah pada disunnahkannya shalat Tahiyyatal Masjid, bukan shalat Qabliyah Jum’at.

Tentu saja kekeliruan yang didakwakan oleh Ibnu al-Qayyim tersebut tidak pernah terjadi. Dalam beberapa naskah Sunan Ibnu Majah yang otentik, hadits tersebut memang tertulis dengan redaksi qabla antaji’a, bukan qabla antajlisa. Disamping itu, riwayat Ibnu Majah tersebut diperkuat oleh riwayat Abu Ya’la al-Maushili dalam Musnad-nya
[4]
dan riwayat Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
[5]
. Demikian ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Sirajuddin Ibnu al-Mulaqqin
[6]
.


Dalil lain yang memperkuat dalil di atas, adalah hadits Nubaisyah al-Hudzali. Al-Imam Majduddin Ibnu Taimiyah berkata dalam al-Muntaqa:


بَابُ التَّنَفُّلِ قَبْلَ الْجُمْعَةِ مَا لَمْ يَخْرُجِ اْلإِمَامُ وَأَنَّ انْقِطَاعَهُ بِخُرُوْجِهِ إِلاَّ تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ. عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ أَقْبَلَ إِلىَ الْمَسْجِدِ لاَ يُؤْذِيْ أَحَدًا فَإِنْ لَمْ يَجِدِ اْلإِمَامَ خَرَجَ صَلىَّ مَا بَدَا لَهُ وَإِنْ وَجَدَ اْلإِمَامَ قَدْ خَرَجَ جَلَسَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ حَتَّى يَقْضِيَ اْلإِمَامُ جُمْعَتَهُ وَكَلاَمَهُ إِنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِيْ جُمْعَتِهِ تِلْكَ ذُنُوْبُهُ كُلُّهَا أَنْ تَكُوْنَ كَفَّارَةً لِلْجُمْعَةِ الَّتِيْ تَلِيْهَا ). رواه أحمد


“Bab shalat sunnat sebelum Jum’at selama imam belum keluar. Habisnya waktu shalat sunnat adalah dengan keluarnya imam, kecuali shalat tahiyat al-masjid. Dari Nubaisyah al-Hudzali Radiyallahu’anh, Nabi bersabda: “Apabila seorang Muslim mandi pada hari Jum’at, lalu berangkat ke Masjid tanpa mengganggu atau menyakiti orang lain. Apabila ia tidak mendapati imam telah keluar, maka ia shalat sunnat sesuai yang telah ditetapkan. Apabila imam telah keluar, maka ia duduk mendengarkan khutbahnya sampai imam menyelesaikan Jum’at dan khuthbahnya. Maka apabila semua dosa orang tersebut tidak diampuni pada Jum’at itu, maka Jum’atnya menjadi penebus dosanya sampai Jum’at berikutnya.” (HR. Ahmad).


Dalam hadits di atas diterangkan tentang keutamaan seseorang yang menunaikan shalat sunnah Jum’at sebelum imam keluar atau datang ke Masjid. Tentu saja, shalat tersebut adalah shalat Qabliyah Jum’at.

, sekian banyak dalil kesunnahan shalat Qabliyah Jum’at, dan mematahkan argumentasi kelompok yang menganggapnya tidak sunnah.


Ketiga, Dalil Qiyas


Di antara dalil kesunnahan shalat Qabliyah Jum’at adalah dalil qiyas (analogi), yaitu diqiyaskan dengan shalat Dhuhur, sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi

. Dalam konteks yang sama, al-Imam al-Bukhari berkata dalam Shahih-nya:


بَاب الصَّلَاةِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ وَقَبْلَهَا … عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ. (صَحِيْحُ الْبُخَارِيُّ)


“Bab ini menjelaskan shalat sunnah Ba’diyah dan Qabliyah Jum’at. … Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah selalu menunaikan shalat sunnah dua raka’at sebelum Dhuhur dan sesudahnya.” (HR. al-Bukhari [937]).


Dalam kutipan di atas, al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya menulis bab khusus tentang kesunnahan shalat Qabliyah dan Ba’diyah Jum’at. Kemudian beliau menjelaskan dasar hukumnya, yaitu hadits Ibnu Umar bahwa Rasulullah menunaikan shalat sunnah dua raka’at sebelum dan sesudah shalat Dhuhur. Dalam hal ini, jelas sekali bahwa al-Imam al-Bukhari mengqiyaskan shalat Jum’at dengan shalat Dhuhur, dalam hal sunnah Qabliyah dan Ba’diyahnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh para ulama yang menulis kitab-kitab syarh (komentar) Shahih al-Bukhari, antara al-Hafizh Ibnu al-Mulaqqin

, al-Hafizh Ibnu Hajar
[10]
dan al-Imam al-Qasthalani
[11]
.


Beberapa ulama salaf dan ahli hadits juga menulis tentang kesunnahan Qabliyah Jum’at, antara lain al-Imam Abdurrazzaq al-Shan’ani dalam al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, al-Imam al-Tirmidzi dalam al-Sunan-nya dan lain-lain. Oleh karena itu, sangat menggelitik, apabila sebagian kaum Wahabi yang anti adzan dua kali dan anti shalat Qabliyah Jum’at, membid’ahkan dan mengharamkan shalat Qabliyah Jum’at, dengan alasan konsisten dengan hadits Nabi . Bukankah ahli hadits kenamaan seperti al-Bukhari, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, al-Tirmidzi dan lain-lain menganjurkan shalat Qabliyah Jum’at?


Keempat, Atsar Ulama Salaf


Selain dalil-dalil di atas, juga terdapat atsar beberapa sahabat yang menunaikan shalat sunnah Qabliyah Jum’at, mereka antara lain:

  1. Abdullah bin Mas’ud dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf
  2. Shafiyyah binti Huyay dalam riwayat al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah (hal. 143)


Di sisi lain, para ulama terdahulu yang tidak mensunnahkan Shalat Qabliyah Jum’at, tidak menganggapnya bid’ah apalagi haram. Mereka masih sebatas membolehkan dan menganggapnya baik. Hal ini sebagaimana penegasan Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa Shalat Qabliyah Jum’at tidak termasuk sunnah rawatib, tetapi mengerjakannya boleh dan bagus (jaizatun hasanatun)

. Pandangan tersebut berbeda dengan pandangan Wahabi yang justru membid’ahkan dan mengharamkannya.


Kesimpulan:


Shalat Qabliyyah Jum’at hukumnya sunnah menurut pendapat yang kuat berdasarkan hadits-hadits shahih, dalil qiyas dan amaliah para ulama salaf. Sedangkan pendapat mereka yang tidak menganggapnya sebagai sunnah rawatib, masih menganggapnya boleh dan baik mengerjakannya.


والله أعلم بالصواب


NoteFote:


(1)
^ Lihat kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (juz III, hal. 503)
(2)
^ (Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Talkhish al-Habir, juz II, hal. 74).
(3)
^ Lihat kitabnya Zadul-Ma’ad (juz I, hal. 543),
(4)
^ (juz III, hal. 449)
(5)
^ (juz VI, hal. 246)
(6)
^ Lihat dalam diskursusnya Sunnah al-Jum’ah al-Qabliyyah hal. 37.
(7)
^ Al-Imam al-Syaukani, menguraikan dalam kitabnya Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar (juz III, hal 314).
(8)
^ Lihat dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (juz III, hal. 503).
(9)
^ Lihat Kitab al-Taudhih li-Syarh al-Jami’ al-Shahih (juz VII, hal. 634).
(10)
^ Lihat dalam Kitab Fath al-Bari (juz III, hal 235).
(11)
^ dalam Irsyad al-Sari (juz II, hal 193).
(12)
^ Lihat dalam Majmu’ al-Fatawa juz 24 hal. 193-194.

. . . . . . . . .



. . . . . . . . .


Back to Top

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to top