حيات الدنيا حيات قليلة فلا تلغ حياة أبدية

Jumat, 17 April 2015

Ushul Fiqih ala Pesantren Aswaja (bag.3)


AL-MAHKUM FIIH


Mahkum fîh diartikan sebagai perbuatan hamba yang menjadi obyek khithab Syâri'. Dengan meneliti dalil-dalil syara yang berkaitan dengan perbuatan manusia maka tampak jelas beberapa keadaan berikut ini.


1. Allah Swt tidak menuntut kita dan menghisab perbuatan kita sebelum adanya penjelasan terhadap kita. Allah berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul. (TQS. al-Isra [17]: 15)

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. (TQS. an-Nahl [16]: 44)

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (TQS. an-Nahl [16]: 7)

2. Allah Swt tidak memberikan beban kepada kita kecuali sesuai dengan kemampuan kita. Allah tidak akan menuntut suatu perbuatan yang tidak bisa dilakukan oleh kita. Allah berfirman:

ا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (TQS. al-Baqarah [2]: 286)

Rasulullah bersabda:


وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Apabila aku memerintahkan suatu perkara kepada kalian maka kerjakanlah apa yang kalian mampu.
[1]

3. Allah tidak akan menerima amal perbuatan kita kecuali dengan dasar mengikuti perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya. Allah Swt berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perseliskan. (TQS. an-Nisa [4]: 65)

فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)

Rasulullah bersabda:


مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Setiap perkara yang tidak aku perintahkan maka tertolak.
[2]

4. Di antara perbuatan manusia ada yang termasuk hak Allah. Bagi yang melanggarnya dikenakan sanksi hukum hudud. Dalam hal ini tidak ada pengampunan dan manusia tidak mempunyai otoritas untuk menggugurkannya. Rasulullah bersabda:

لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya.
[3]

Diantara perbuatan (manusia) ada pula yang menjadi hak hamba. Bagi yang melanggarnya dikenakan sanksi seperti qishas atau diyat. Dalam hal ini seorang hamba (manusia) memiliki wewenang untuk mengampuninya sesuai dengan hukum-hukum syara. Allah Swt berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (TQS. al-Baqarah [2]: 178)

Rasulullah bersabda:


مَنْ أُصِيبَ بِقَتْلٍ أَوْ خَبْلٍ فَإِنَّهُ يَخْتَارُ إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ يَقْتَصَّ وَإِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ فَإِنْ أَرَادَ الرَّابِعَةَ فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ وَمَنْ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Barangsiapa mendapat musibah berupa pembunuhan atau cacat anggota badan maka ia mempunyai tiga pilihan; minta qishas, memberi maaf, atau meminta tebusan denda. Jika ia menginginkan yang keempat maka halangilah, dan barangsiapa melampaui batas setelah itu maka baginya siksa yang pedih."
[4]

5. Apabila seruan Allah berkaitan dengan perbuatan manusia secara langsung, maka disebut dengan khithab taklifi. Dan jika tidak secara langsung, (yaitu) tidak terkait dengan perbuatan itu sendiri melainkan terkait dengan keadaan-keadaan tertentu atas suatu perbuatan, maka disebut dengan khithab wadl'i. Kami telah menjelaskan perkara-perkara tersebut sebelumnya tatkala membahas hukum syara.

AL-MAHKUM ALAIH


Mahkum 'alaih ditujukan pada manusia (sebagai subyek hukum) yang perbuatannya terkait dengan khithab Syâri'. Dengan mendalami dalil-dalil syara yang terkait dengan topik ini tampak jelas bahwa keadaan yang paling menonjol yang berkaitan dengan hal itu adalah sebagai berikut:


1. Khithab Syâri' untuk memeluk Islam, baik akidah maupun syariatnya, yang ditujukan kepada seluruh manusia, baik muslim maupun kafir. Mereka akan dihisab. Allah berfirman:

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةً لِّلنَّاسِ

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya. (TQS. Saba [34]: 28)

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua. (TQS. al-A‟raaf [7]: 158)

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu. (TQS. al-Baqarah [2]: 21)

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah. (TQS. Ali Imran [3]: 97) Hal ini dilihat dari aspek khithab. Adapun dilihat dari aspek hisab (Allah), maka bagi muslim sudah jelas. Sedangkan bagi orang kafir dijelaskan:

الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُم بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ

(Yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat. (TQS. Fushshilat [41]: 7)

وَوَيْلٌ لِّلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ

Dan celakalah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. (TQS. Ibrahim [14]: 2)

Dan masih banyak lagi ayat yang lainnya.


2. Dari non muslim, tidak akan diterima amal perbuatan apapun, karena Islam menjadi syarat sahnya (perbuatan tersebut), seperti shalat, zakat, shaum dan haji. Namun, akan diterima jika Islam tidak menjadi syarat sahnya (suatu perbuatan), seperti kesaksian terhadap wasiat dalam perjalanan. Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ شَهَٰدَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ حِينَ ٱلْوَصِيَّةِ ٱثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ أَوْ ءَاخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنتُمْ ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَأَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةُ ٱلْمَوْتِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. (TQS. al-Maidah [5]: 106)

3. Seorang muslim menerapkan hukum syara hanya karena mengikuti perintah Allah dan Rasulullah . Firman Allah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allahsebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (TQS. Ali Imran [3]: 102)

Sementara itu, hukum syara diterapkan kepada non muslim didalam Daulah Islamiyyah sebagai konsekwensi akad dzimmah. Allah berfirman:

حَتَّىٰ يُعْطُوا۟ ٱلْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَٰغِرُونَ

Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (TQS. at-Taubah [9]: 29)

Yaitu tunduk terhadap hukum-hukum Islam. Mereka dipaksa untuk tunduk terhadap hukum Islam, meskipun tetap tidak akan dipaksa untuk memeluk akidah Islam. Allah berfirman:

ا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

4. Taklif akan gugur dari mahkum alaih dari sisi pelaksanaannya secara langsung pada kondisi-kondisi berikut:
  • a. Jika mahkum alaih belum baligh.
  • b. Jika gila total sehingga seluruh akalnya hilang.
  • c. Apabila terlelap tidur sehingga tidak menyadari apa yang ada di sekitarnya.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah :


رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَشِبَّ وَعَنْ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ

Tidak dicatat dari tiga golongan manusia, yaitu anak kecil hingga baligh, orang yang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga sembuh.
[5]

Yang dimaksud dengan ungkapan "tidak dicatat" adalah diangkatnya taklif (digugurkan).

5. Sanksi akan digugurkan dari mukallaf karena alasan-alasan berikut:
  • a. Jika dihilangkan/dirampas kehendaknya secara paksa dengan bentuk yang mematikan (ikrah al-mulji) atau yang setara dengannya.
  • b. Apabila lupa (tidak ingat) akan kewajibannya sama sekali.
  • c. Apabila suatu perbuatan dilakukan karena kesalahan –tidak disengaja- bukan atas kehendaknya.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah :


أَنْ لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَكْرَهَةِ حَدٌّ

Bahwa tidak ada hukuman atas orang yang dipaksa.


Selain perkara di atas, manusia dibebankan untuk menerapkan hukum syara yang berkaitan dengannya.

DALIL-DALIL SYARA


Dalil menurut pengertian bahasa adalah yang menunjukkan terhadap sesuatu. Terkadang dalil diartikan dengan مافه دلالة وإرشاد artinya perkara yang didalamnya terdapat petunjuk. Inilah yang dinamakan dalil menurut para fuqaha. Sementara itu, ulama ushul mendefinisikan dalil dengan:


الذي يمكن أن يتوصل بصحيح النظرفه إلى العلم بمطلوب خبري


Perkara yang dengan penelaahan yang shahih bisa menghantarkan kepada pengetahuan terhadap mathlub khabari (hukum suatu perkara yang sedang dicari status hukumnya-pen). Dengan kata lain, dalil berarti perkara yang bisa dijadikan sebagai hujjah bahwa perkara yang dibahas adalah hukum syara. Suatu keterangan agar bisa dijadikan sebagai dalil atau hujjah harus memiliki dalil qath‟i atas kehujjahannya. Ini berarti suatu keterangan yang dianggap sebagai dalil harus ditetapkan bahwa asalnya adalah dari Allah Swt, (yaitu) dibawa (dijelaskan) oleh wahyu. Keterangan yang memenuhi kriteria tersebut hanya ada empat macah yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma sahabat, dan Qiyas. Keempat perkara ini insya Allah akan kami bahas dengan rincian seperlunya.

I. AL-QURAN


Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw dalam bentuk wahyu melalui perantaraan Jibril as, lafadz dan maknanya (dari Allah), menjadi mukjizat, membacanya adalah ibadah, yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir. Dalil aqli telah menunjukkan bahwa al-Quran adalah kalam Allah. Al-Quran adalah kalam yang berbahasa Arab. (Oleh karena itu muncul kemungkinan bahwa) al-Quran berasal dari bangsa Arab, atau mungkin dari Muhammad, atau mungkin dari Allah. Tidak ada kemungkinan selain dari ketiga hal ini.

Pendapat yang menyatakan bahwa al-Quran itu berasal dari bangsa Arab adalah kemungkinan yang batil. Karena mereka tidak mampu (lemah) untuk membuat yang sebanding dengan al-Quran hal ini telah ditetapkan secara mutawatir yang memberikan kepastian dan keyakinan-. Al-Quran sendiri telah menantang mereka sebagai bangsa yang ahli bahasa, fashahah dan bayan. Firman Allah:

وَإِن كُنتُمْ فِى رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا۟ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِۦ وَٱدْعُوا۟ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (TQS. al-Baqarah [2]: 23)

أَمْ يَقُولُونَ ٱفْتَرَىٰهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا۟ بِسُورَةٍ مِّثْلِهِۦ وَٱدْعُوا۟ مَنِ ٱسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ

Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (TQS. Yunus [10]: 38)

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa al- Quran itu bukan berasal dari bangsa Arab, karena mereka tidak mampu membuat yang serupa dengan al-Quran. Dan mereka sendiri mengakui akan ketidakberdayaannya itu. Sampai saat ini mereka tetap tidak memiliki kemampuan untuk membuat yang semisal dengan al-Quran, bahkan hingga hari kiamat.

Pendapat yang mengatakan bahwa al-Quran itu berasal dari Muhammad, juga tidak benar, karena Muhammad termasuk salah satu dari bangsa Arab. Bagaimanapun tingginya tingkat balaghah seseorang, tetap saja dia tidak bisa keluar (melampaui) zamannya. Jika bangsa Arab tidak mampu membuat yang semisal dengan al-Quran demikian pula halnya dengan Muhmammad, karena beliau termasuk bagian dari mereka, sehingga tidak mungkin mampu membuat/menyusun suatu perkataan yang tidak mampu dilakukan oleh kaumnya. Telah diriwayatkan dari Muhammad dengan jalan mutawatir sabdanya:

مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya (yang terbuat) dari api neraka
[7]

Selain itu, apabila perkataan Muhammad dibandingkan dengan al-Quran niscaya tidak akan tampak adanya kesamaan sedikitpun diantara keduanya. Seluruh penyair, para penulis, filosof dan pemikir yang ada di dunia, pada mulanya mereka akan memulai karyanya dengan uslub (gaya bahasa) yang mengandung kelemahan. Setelah itu gaya bahasanya secara berangsur-angsur meningkat hingga sampai pada puncak kemampuan mereka. Gaya bahasa mereka berbeda-beda kuat lemahnya. Dalam perkataan mereka biasanya dijumpai pemikiran-pemikiran yang rendah nilainya dan redaksi-redaksi yang cacat. Berbeda halnya jika kita mencermati gaya bahasa al-Quran. Sejak permulaan diturunkannya ayat pertama:

ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (TQS. al-Alaq [96]: 1)

Sampai diturunkannya ayat terakhir, yaitu:


وَٱتَّقُوا۟ يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (TQS. al-Baqarah [2]: 281)

Kita akan menemukannya senantiasa pada puncak balaghah dan fashahah, tinggi pemikirannya, kuat susunan katanya. Kita tidak akan menemukan di dalam al-Quran satu redaksi pun yang cacat atau lemah. Tidak ada satu pemikiran pun yang rendah (nilainya). Al-Quran merupakan satu kesatuan yang kuat dan agung. Seluruh uslub al-Quran, baik secara global maupun rinciannya bagaikan satu kesatuan yang integral. Hal ini menunjukkan bahwa al-Quran ada diluar jangkauan kemampuan manusia yang senantiasa mengetengahkan tata bahasa dan makna yang berbeda-beda. Kenyataan tersebut menetapkan bahwa al-Quran bukanlah perkataan Muhammad , juga bukan perkataan orang-orang Arab, sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa al-Quran adalah firman Allah Rabbul ‘Alamin:


لَّا يَأْتِيهِ ٱلْبَٰطِلُ مِنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِۦ ۖ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Yang tidak datang kepadanya (al-Quran) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (TQS. Fushshilat [41]: 42)

Turunnya al-Quran dan Penulisannya Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad selama 23 tahun. Al-Quran terkadang diturunkan secara terus menerus, terkadang tenggat waktu diturunkannya lagi agak lama, yang dihunjamkan kepada diri Nabi secara berangsur- angsur karena terdapat hikmah, sebagaimana dijelaskan oleh Allah:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ

Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya. (TQS. al-Furqan [25]: 32)

وَقُرْءَانًا فَرَقْنَٰهُ لِتَقْرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَٰهُ تَنزِيلًا

Dan al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (TQS. al-Isra [17]: 106)

Setelah al-Quran diturunkan kepada Rasulullah , kemudian diperintahkan agar dijaga (dihafalkan) di dalam benak, dan mencatatnya pada lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, daun, kaghid

, juga dalam al-aktaf dan al-likhaf, yakni pada tulang yang pipih dan pelepah kurma serta batu-batu yang tipis. Nabi saw menjelaskan letak ayat-ayat al-Quran secara tertib di dalam surat-suratnya. Ketika Rasulullah wafat al-Quran telah tertulis di hadapan Rasul dan atas legislasi Rasul. Akan tetapi lembaran ayat-ayat tersebut pada masing-masing surat belum tersusun rapi satu sama lainnya. Meskipun demikian al-Quran telah dihafal di dalam benak (para sahabat). Rasulullah wafat sementara al-Quran telah dihafal dan ditulis dengan cara seperti itu. Ialah makna dari hadits menurut sebagian riwayat bahwa Rasulullah tidak meninggalkan sesuatu kecuali perkara yang ada diantara dua jilid (cover). Artinya, al-Quran ditinggalkan dalam kondisi telah tertulis seluruhnya di hadapan Nabi . Dari Abdul Aziz bin Rafi‟ dia berkata: "Aku dan Saddad bin Ma’qal masuk ke rumah Ibnu Abbas. Kemudian Saddad berkata kepada Ibnu Abbas: "Apakah Nabi meninggalkan sesuatu? Ibnu Abbas berkata: "Nabi tidak meninggalkan sesuatu kecuali apa yang ada di antara dua jilid (yaitu al-Quran)." Abdul Aziz bin Rafi berkata: "Kami masuk ke rumah Muhammad bin Hanafiyyah, kemudian kami bertanya kepadanya (tentang peninggalan Nabi). Dia berkata: "Nabi tidak meninggalkan sesuatu kecuali apa yang ada di antara dua jilid (yaitu al-Quran)."

Penjelasan di atas dihubungkan kepada al-Quran yang ditulis oleh para penulis wahyu di hadapan Rasulullah . Namun, terdapat riwayat yang shahih bahwa diantara kaum Muslim ada juga yang menulis al-Quran untuk dirinya. Hal itu disandarkan pada al-Quran yang ditulis oleh para penulis wahyu dan atas legislasi Rasulullah . Beliau bersabda:

لَا تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا إِلَّا الْقُرْآنَ

Janganlah kalian mencatat dariku kecuali al-Quran.
[9]

Pengumpulan al-Quran disebabkan adanya peperangan dari orang-orang murtad terhadap kaum Muslim, Abu Bakar merasa khawatir akan banyaknya penghafal al-Quran yang mati syahid. Mereka adalah orang-orang yang telah menghafal al-Quran secara sistematis menuruti susunan pada surat-suratnya. Lalu Abu Bakar memerintahkan untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang telah tercatat atas setiap surat pada satu tempat tertentu yang tersusun (sistematis) sesuai dengan susunan yang telah dilegislasi oleh Rasulullah . Maka dikumpulkanlah lembaran-lembaran yang tertulis ayat-ayat setiap surat secara tertib, disertai dengan penelitian yang cermat, dan setelah adanya keputusan yang meyakinkan bahwa tulisan tersebut memang telah ditulis di hadapan Rasulullah .

Para sahabat meminta kesaksian dua orang dari mereka terhadap setiap lembaran yang tercantum tulisan al-Quran di dalamnya. Kedua orang saksi ini bersaksi bahwa lembaran tersebut telah ditulis di hadapan Rasulullah . Para sahabat tidak merasa cukup dengan kesesuaian tulisan al-Quran dengan hafalan saja, karena mereka mengetahui bahwa setiap ayat telah dihafal oleh segolongan sahabat secara mutawatir. Oleh karena itu ketika mereka menjumpai bahwa akhir surat at-Taubah tidak dapat menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan ditulisnya akhir surat tersebut di hadapan Rasul kecuali Khuzaimah saja, maka mereka tidak menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, (yaitu) bahwa kesaksiannya sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka menghimpun lembaran itu yang disaksikan oleh Khuzaimah, karena mereka mengetahui bahwa para sahabat telah menghafalnya. Itu dilakukan untuk memperkuat ketetapan dari mereka, dan mereka ingin menghimpun lembaran-lembaran yang telah ditulis di hadapan Rasulullah , bukan sekedar menulisnya dari hafalan mereka saja.

Dengan demikian kodifikasi yang dilakukan Abu Bakar as-Shiddiq adalah kodifikasi terhadap lembaran-lembaran yang di dalamnya tertulis ayat-ayat al-Quran, serta susunan ayat-ayat pada surat-suratnya, seperti yang telah dilegislasi oleh Rasulullah . Dengan kata lain Abu Bakar as-Shiddiq telah menjadikan lembaran-lembaran tersebut menjadi satu tempat (satu kesatuan). Apa yang dilakukannya adalah menghimpun surat-surat al-Quran. Zaid bin Tsabit berkata: "Abu Bakar telah mengutus Ma'qal (orang yang pernah mengikuti perang Yamamah) kepadaku. Saat itu Umar bin Khatab berada di dekatnya. Abu Bakar berkata: "Umar datang kepadaku kemudian berkata: "Perang Yamamah telah banyak mengorbankan para penghafal al-Quran. Dan aku khawatir peperangan terus terjadi di desa-desa dan kampung-kampung tempat tinggal penduduk yang akan melenyapkan banyak al-Quran. Dan aku berpendapat untuk mengkodifikasikan al-Quran? Aku berkata kepada Umar: "Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ? Umar berkata: "Demi Allah perkara ini sungguh baik? Umar tidak henti-hentinya membujukku sehingga Allah melapangkan dadaku untuk (menerima) perkara ini. Dan aku memiliki pendapat yang sama dengan Umar. Zaid berkata: Abu bakar berkata: "Sesungguhnya engkau (Zaid) adalah lelaki muda yang pintar dan tidak ada orang yang meragukanmu, engkau adalah pencatat wahyu bagi Rasulullah , maka telusurilah al-Quran dan kodifikasikanlah? "Demi Allah jikalau manusia memintaku untuk memindahkan satu gunung dari beberapa gunung, tentulah hal itu merupakan perkara yang lebih ringan daripada perkara yang telah diperintahkan kepadaku, yaitu mengkodifikasikan al-Quran? Aku berkata (Zaid): "Bagaimana mungkin engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ? Abu Bakar berkata: “Demi Allah perkara ini sungguh baik? Abu Bakar tidak henti-hentinya membujukku sehingga Allah melapangkan dadaku untuk (menerima) perkara ini, sebagaimana Allah telah melapangkan dada Abu bakar dan Umar . Kemudian aku menelusuri al-Quran dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, tulang-tulang pipih dan batu-batu yang tipis (yang tertulis ayat-ayat al-Quran), begitu juga dari dada (hafalan) orang-orang, sehingga aku menemukan akhir surat at-Taubah ada pada Khuzaimah al-Anshari dan tidak ditemukan selain darinya, yaitu Firman Allah:


لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. (TQS. at-Taubah [9]: 128)

Hingga akhir surat at-Taubah ayat 128. Maka terwujudlah shuhuf (lembaran-lembaran yang berisi al-Quran yang telah dikodifikasikan) semasa hidup Abu Bakar, kemudian (disimpan) semasa hidup Umar, dan (disimpan) semasa hidupnya Hafshah binti Umar. Pada masa (kekhilafahan) Utsman, beliau meminta mushhaf tersebut dari tangan Ummul Mukminin, Hafshah. Setelah Utsman menyalin (ke dalam beberapa) mushhaf dari mushhaf induk (yang ada pada Hafsah) beliau mengembalikannya kepada Hafshah. Mushhaf tersebut tetap ada pada Hafshah hingga masa Marwan bin Hakam (yang ketika itu menjadi gubernur Madinah). Dia mengambilnya dari Hafshah dan memusnahkannya. Dari Ibnu Shihab berkata, telah memberitakan kepadaku Salim bin Abdullah bin Umar, dia berkata: "Marwan mengutus (seorang) utusan kepada Hafshah -ketika dia menjadi gubernur dari pihak Muawiyah- untuk meminta shuhuf (mushhaf induk) yang menjadi sumber penulisan al-Quran. Tetapi Hafshah tidak memberikannya? Salim berkata: "Ketika Hafshah wafat dan kami telah pulang dari pemakamannya, Marwan mengutus (seorang) utusan kepada Abdullah bin Umar agar dia mengirimkan mushhaf induk kepadanya. Kemudian Abdullah bin Umar memberikannya. Setelah itu Marwan memerintahkan untuk memusnahkannya (membakarnya). Dan dia berkata: "Aku melakukan hal ini karena aku khawatir apabila telah berlalu masa yang lama akan ada orang yang meragukan mushhaf ini?


Penyalinan Mushhaf-Mushhaf


Pada masa Utsman hadir lembaran-lembaran yang di dalamnya tertulis ayat-ayat al-Quran, yakni shuhuf yang telah dikodifikasi pada masa Abu Bakar dan disimpan pada Hafshah Ummul Mukminin. Utsman membentuk semacam team untuk menyalin beberapa (buah) mushhaf yang berasal dari mushhaf induk. Kemudian beliau mengirimkannya ke beberapa kota sehingga orang-orang tidak berbeda pendapat tentang al-Quran. Utsman memerintahkan al-Quran yang ditulis oleh sebagian kaum Muslim yang bertentangan dengan mushhaf yang mutawatir untuk dibakar. Suatu ketika Huzaifah bin Yaman datang kepada Utsman (pada masa pemerintahannya). Huzaifah sendiri telah turut serta memerangi penduduk Syam dengan menaklukkan Armenia dan Azerbaijan beserta penduduk Irak. Huzaifah terperanjat atas perbedaan (bacaan) tentang al-Quran. Maka Huzaifah berkata kepada Utsman: "Wahai Amirul Mukminin, aku menjumpai umat ini sebelum berselisih tentang al-Quran seperti perselisihannya Yahudi dan Nasrani? Lalu Utsman mengirimkan utusan kepada Hafshah agar mengirimkan mushhaf induk kepadanya untuk dibuatkan beberapa mushhaf salinannya. Setelah itu dikembalikan lagi. Hafshah pun mengirimkan mushhaf tersebut kepada Utsman. Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, Abdurrahman bin Harits bin Hisyam

untuk menyalin mushhaf induk menjadi beberapa mushhaf.

Abu Daud meriwayatkan dari Mush'ab bin Saad. Utsman berkata: "Siapa orang yang biasa menulis? Dijawab: "Penulis Rasulullah saw adalah Zaid bin Tsabit? Utsman bertanya lagi: "Lalu siapa orang yang paling pintar bahasa Arabnya? Dijawab: "Said bin Ash? Utsman kemudian berkata: "Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid untuk menuliskan al-Quran? Mereka (team penulisan al-Quran) telah menyelesaikan penyalinan beberapa mushhaf. Setelah itu Utsman mengembalikan mushhaf induk kepada Hafshah, dan mengirimkan mushhaf-mushhaf yang telah disalin dari mushhaf induk ke setiap daerah. Beliau memerintahkan bacaan-bacaan lain (yang berbeda) pada shahifah (lembaran-lembaran lain) atau mushhaf (lain) untuk dibakar. Tatkala proses penyalinan mushhaf berjalan mereka pernah mengalami kesulitan, yaitu adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata (التابوت ). Tirmidzi telah meriwayatkan bahwa Ibnu Shihab mengatakan: Team penyalinan al-Quran telah berbeda pendapat tentang kata (التابوت ) dan التابوة. Kaum Quraisy berpendapat harus ditulis dengan kata (التابوت). Zaid bin Tsabit berkata, bahwa yang benar adalah (التابوة). Peristiwa itu disampaikan kepada Utsman bin Affan. Utsman berkata: Tulislah dengan kata (التابوت), karena al-Quran diturunkan dengan bahasa orang-orang Quraisy.

Dalam masalah ini mungkin muncul pertanyaan, bagaimana mungkin bisa terjadi perbedaan pendapat tentang penulisan kata itu, padahal mereka hanya menyalin tulisan yang sama yang ada pada lembaran-lembaran yang mereka salin. Setelah saya mempelajari topik ini, akhirnya saya mengetahui bahwa sebab-sebab perbedaan adalah sebagai berikut:

Seperti diketahui bahwa yang mendiktekan adalah Said bin Ash, dan yang menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit. Semua itu dilakukan di hadapan para sahabat. Ketika Said mendiktekan kata (التابوت) maka Zaid bin Tsabit menuliskannya sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar, yaitu (التابوة), karena memang begitulah menurut bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya. Tetapi (anggota) team lain memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu ditulis di dalam lembaran-lembaran dengan ta maftuhah (التابوت).
Dan mereka memperlihatkannya kepada Zaid. Zaid bin Tsabit memandang perlu untuk menyampaikan hal itu kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin teguh. Utsman lalu memberitahu mereka agar kata itu ditulis dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran yaitu dengan ta maftuhah. Sebab, hal itu merupakan bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka. Begitu juga kata tersebut ditulis seperti itu di hadapan Rasulullah . Pada akhirnya ditulislah kata tersebut dengan ta maftuhah. Mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkara itu, karena mereka hanya menulis (menyalin) tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran al-Quran, dan bukan berdasarkan pada ijtihad mereka. Dengan demikian rampunglah penyalinan mushhaf-mushhaf dengan satu (jenis) tulisan yang ada pada lembaran-lembaran al-Quran yang dihimpun oleh Abu Bakar Shiddiq dan yang ditulis dihadapan Rasul .

Telah terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah mushhaf yang dikirimkan Utsman ke daerah-daerah lain. Ada yang berpendapat jumlahnya enam, dan setiap kota mendapatkan satu mushhaf, yaitu Basrah, Kufah, Syam, Makkah, dan (satu) mushhaf diperuntukan bagi penduduk Madinah, serta (satu) mushaf lagi khsusus disimpan oleh Utsman, yang kemudian disebut dengan mushhaf induk. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah. Lima mushhaf masing-masing dikirimkan ke Basrah, Kufah, Syam, Makkah dan Madinah. Yang keenam dikirimkan ke Yaman, dan yang ketujuh dikirimkan ke Bahrain. Mushhaf-mushhaf yang disalin pada masa Utsman itu telah menghimpun bacaan-bacaan mutawatir yang berasal dari Rasulullah dan yang kebanyakannya ditulis dengan satu tulisan. Adapun bacaan yang mutawatir dari Rasulullah saw tetapi ditulis dengan tulisan yang berbeda, contohnya adalah firman Allah:


[فإن الله هوالغني الحميد]



Maka sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Kaya lagi Maha terpuji. (TQS. al-Hadid [57]: 24)

Dan yang bacaannya mirip seperti itu adalah:


فان الله الغ الحميد



yang ada pada surat al-Hadid maupun (surat) lainnya. Ayat tersebut telah ditulis secara terpisah- pisah pada mushhaf-mushhaf yang ditulis dan dikirim ke kota-kota di atas. Tulisan yang pertama terdapat pada mushhaf ini, dan tulisan yang kedua ditulis pada mushhaf yang lainnya, karena Rasulullah telah mengakui kedua bacaan dan tulisan ayat tersebut. Di dalam mushhaf Utsman bin Affan telah dijaga seluruh bacaan-bacaan yang mutawatir seperti yang telah ditulis di hadapan Rasulullah , baik dengan satu (macam) tulisan -ini yang mayoritas- atau dengan tulisan yang berbeda-beda, yang mencakup kira-kira sepuluh ayat atau lebih yang dibagi-bagi oleh Utsman bin Affan pada mushhaf-mushhaf yang dikirimkannya ke berbagai kota sebagaimana yang telah kami ceritakan. Pada masa-masa berikutnya kaum Muslim menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari mushhaf tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita pada saat ini sebagaimana yang telah dituliskan dihadapan Rasulullah dan telah diakui oleh para sahabat . Allah telah menjamin terjaganya al-Quran, yang tidak akan datang kebatilan pada al-Quran, baik dari depan ataupun dari belakang. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu huruf pun dari al-Quran kecuali hal itu akan terungkap:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (TQS. al-Hijir [15]: 9)

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (TQS. al-Qiyamah [75]: 17)

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَٰفًا كَثِيرًا

Kalau sekiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (TQS. an-Nisa [4]: 82)

لَّا يَأْتِيهِ ٱلْبَٰطِلُ مِنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِۦ ۖ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Yang tidak datang kepadanya (al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (TQS. Fushshilat [41]: 42)

Sesungguhnya Allah telah menjaga al-Quran dan telah menentukan baginya orang yang menghimpun dan menjaganya dari perombakan dan perubahan, hingga al-Quran ini sampai kepada kita secara mutawatir. Para sahabat ra telah menukil (menyalin) al-Quran yang diturunkan berdasarkan wahyu dan memerintahkan Rasulullah untuk menuliskannya. Al-Quran akan tetap terjaga hingga bumi dan penghuninya lenyap dengan izin Allah. Menghimpun Bacaan-Bacaan yang Mutawatir Sebagian (generasi) tabi'in dan tabi'it tabi'in telah berusaha menghimpun bacaan mutawatir dan menetapkannya pada kitab-kitab dengan menjelaskan sanadnya dan mencatat hal-hal yang berkaitan dengannya. Mereka itu adalah para ulama berikut ini:

  1. Nafi' bin Abdurrahman bin Abi Nu'aim al-Laitsi, Abu Ruwaim al-Mukri al-Madani. Beliau berkulit hitam, berasal dari daerah Asfahan. Beliau membacakan al-Quran kepada 70 orang tabi'in, diantaranya adalah Abu Ja'far Yazid bin Qa'qa' al-Qari, Abu Daud Abdurrahman bin Hurmuz al-A'raj, Syaibah bin Nashah al-Qadli, Abu Abdillah Muslim bin Jundub, al-Hadzali al-Qash, Abu Ruh Yazid bin Ruman. Mereka semua mengambil bacaan al-Quran dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Abdullah bin „Iyas bin Abi Rabiah, dari Ubay bin Ka'ab, dari Nabi saw. Nafi' bin Abdurrahman wafat pada tahun 169 H di Madinah. Dua orang perawi (dari Nafi') adalah (yang pertama) Qalun. Nama kunyahnya adalah Abu Musa. Dia adalah Isa bin Mina al-Madani az-Zarqi, pemuka kaum Zahriyyin. Beliau wafat di Madinah kira-kira tahun 202 H. Diriwayatkan bahwa Nafi' menggelarinya dengan nama Qalun, karena bagus bacaannya. Qalun dalam bahasa Romawi berarti bagus. Dan yang kedua adalah Warasy. Nama kunyahnya adalah Abu Said. Beliau adalah Utsman bin Sa'id al-Mishri. Digelari dengan nama Warasy karena adanya pendapat yang mengatakan warna kulitnya sangat putih. Beliau wafat di Mesir pada tahun 197 H.
  2. Abdullah bin Katsir Abu Ma'bad bekas hamba sahaya Amru bin al-Qamah al-Kinani ad-Dari al-Makki. Berasal dari Persia dan termasuk dari kalangan tabi'in. Tempat tinggalnya di Makkah. Beliau dikenal juga dengan nama al-'Athar. Menurut Imam Bukhari beliau disebut ad-Dari karena beliau orang Quraisy dari bani Abdu Dar. Beliau dilahirkan di Makkah pada tahun 45 H di masa (pemerintahan) Muawiyyah. Wafat di Makkah pada tahun 120 H di masa pemerintahan gubernur Hisyam bin Abdul Malik. Beliau membacakan al-Quran dari Abdullah bin Saib al-Makhzumi, sahabat Nabi , dan dari Mujahid bin Jabr Abu al-Hajjaj bekas hamba sahaya Qais bin Sa'id, serta dari Darbas, bekas hamba sahaya Ibnu Abbas. Abdullah bin Saib mengambil bacaan al-Quran dari ayahnya sendiri, sedangkan Mujahid dan Darbas mengambil bacaan al-Quran dari Ibnu Abbas, dari Ubay bin Ka'ab dan Zaid bin Tsabit, dari Nabi . Dua perawi Abdullah bin Katsir, yang pertama adalah al-Bazi. Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abi Bazah, muadzin kota Makkah. Nama kunyahnya adalah Abu al-Hasan. Beliau wafat di Madinah pada tahun 250 H. Sedangkan yang kedua adalah Qanbal, yaitu Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Said al-Makki al-Makhzumi. Nama kunyahnya adalah Ubu Amr yang juga digelari dengan nama Qanbal. Dinamakan Qanbal, nama dari penghuni suatu rumah yang dikenali dengan adanya lampu-lampu obor. Beliau wafat di Makkah pada tahun 291 H. Al-Bazi dan Qanbal meriwayatkan bacaan al-Quran dari Ibnu Katsir dengan menggunakan sanad.
  3. Abu Amru bin „Ala al-Mazini al-Muqri an-Nahwi al-Misri, pembaca al-Quran bagi penduduk Basrah. Menurut pendapat yang paling shahih namanya adalah Zaban. Dilahirkan di Makkah pada tahun 68 H, tumbuh dewasa di kota Basrah dan wafat di Kufah pada tahun 154 H. Beliau membacakan al-Quran untuk Ibnu Katsir dengan disertai sanad sebagaimana yang telah diceritakan. Beliau juga membacakan al-Quran untuk Mujahid dan Ahmad bin Jabir dari Ibnu Abas dari Ubay bin Ka‘ab dari Nabi saw. Dua perawi dari Abu Amar adalah ad-Duri, yaitu Abu 'Amr Hafsh bin Umar bin Abdul Aziz ad-Duri an-Nahwi. Ad-Duri adalah nama tempat di kota Baghdad. Wafat pada tahun 246 H. Yang kedua adalah as-Susi, yaitu Abu Su'aib Shalih bin Ziyad bin Abdullah as-Susi. Wafat pada tahun 261 H. Keduanya telah meriwayatkan bacaan al-Quran dari Abi Muhammad Yahya bin Mubarak al-Adwa yang dikenal dengan nama Yazidi, yang meriwayatkan dari Abu 'Amr.
  4. Abdullah bin Amir al-Yahsibi, Imam penduduk Syam dalam bacaan al-Quran. Beliau adalah qadli di kota Damaskus pada masa ke-Khilafahan Walid bin Abdul Malik. Nama kunyahnya adalah Abu Imran. Termasuk kalangan tabi'in. Beliau wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Diantara ahli qira'at tujuh tidak ada orang Arab kecuali beliau dan Abu 'Amr. Sisanya yang lain adalah keturunan Arab. Beliau dilahirkan dua tahun sebelum wafatnya Nabi. Yang membacakan al-Quran dihadapan Abu Darda, yaitu U'aimir bin Amir, sedangkan Abu Darda menerima bacaan al-Quran dari Nabi . Beliau juga membaca al-Quran dihadapan Mughirah bin Abu Shihab al-Makhzumi. Sedangkan Mughirah mengambilnya dari Utsman, dari Nabi . Dua orang perawi dari Abdullah bin Amr ini adalah (yang) pertama: Hisyam bin Amar bin Nashir yang menjadi qadli di Damaskus. Nama kunyahnya adalah Abul Walid, yang wafat pada tahun 245 H. Yang kedua adalah Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan, orang Damaskus. Nama kunyahnya adalah Abu Amr. Lahir tahun 173 H, dan wafat di Damaskus pada tahun 242 H. Keduanya meriwayatkan bacaan al-Quran dari Ibnu Amir dengan memakai sanad.
  5. Ashim bin Abi Najud al-Asadi (pemimpin bani Asad) al-Kufi. Nama kunyahnya adalah Abu Bakar. Nama bapaknya adalah Bahdalah menurut riwayat yang shahih. Wafat pada akhir tahun 127H. beliau membaca al-Quran dihadapan Abi Abdurrahman bin Abdullah bin Habib as-Sulami dan dihadapan Abi Maryam Zur bin Hubaisy. Sedangkan Abdurrahman menerima bacaan dari Utsman, Ali, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas'ud, dari Nabi . Sedangkan Zur mengambil dari Utsman dan Ibnu Mas'ud, dari Nabi . Dua orang perawi dari 'Ashim bin Abi Najud adalah Syu?bah bin 'Iyas bin Salim al-Kufi al-Asadi -pemimpin mereka-. Nama kunyahnya adalah Abu Bakar. Wafat di Kufah pada tahun 194 H. Dan Hafsh bin Sulaiman bin Mughirah al-Asadi al-Bazzar al-Kufi, yang wafat menjelang tahun 190 H.
  6. Hamzah bin Habib bin Ammarah bin Ismail al-Kufi, bekas hamba sahaya keluarga Ikrimah bin Rib'i at-Taimi az-Ziyat. Lahir tahun 80 H. Beliau bertemu dengan para sahabat dalam keadaan sudah pada tua. Bisa jadi beliau pernah melihat sebagian diantara mereka. Wafat pada tahun 156H di Halwan pada masa ke-Khilafahan Abu Ja'far al-Manshur. Beliau membaca al-Quran dihadapan Ja'far Shadiq. Ja'far membaca dari bapaknya, yaitu al-Baqir. Al-Baqir membaca dari bapaknya, yaitu Zainal Abidin. Zainal Abidin dari bapaknya yaitu Hussain. Hussain dari bapaknya yaitu Ali bin Abi Thalib. Hamzah juga membaca dihadapan Muhammad bin Abi Laila dari Abi Manhal dari Said bin Jubair dari Abdullah bin Abbas dari Ubay bin Ka‘ab dari Hamran bin A'yan dari Abi al-Aswad dari Utsman dan Ali. Sedangkan Utsman, Ali, Ibnu Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab membaca dari Rasulullah . Dua orang perawi dari Hamzah adalah Khalaf bin Hisyam al-Bazar. Nama kunyahnya adalah Abu Muhammad, yang wafat di Baghdad pada tahun 229 H. Yang kedua adalah Khalad bin Khalid al-Kufi. Nama kunyahnya adalah Abu Isa. Wafat pada tahun 220H. Keduanya meriwayatkan al-Quran dari Abi Isa, yaitu Salim bin Isa al-Hanafi al-Kufi dari Hamzah. Salim wafat pada tahun 189 H.
  7. Al-Kisa'i (karena beliau ihram dengan memakai baju Kisa), yaitu Ali bin Hamzah Abu al-Hasan al-Asadi –pemimpin mereka- al-Kufi al-Muqri an-Nahwi. Lahir di Hudud pada tahun 120 H. Membacakan al-Quran dan mentajwidnya dihadapan Hamzah az-Ziyat dan Isa bin Umar al-Hamdzani. Wafat di Ranbawiyyah pada tahun 189 H, yaitu salah satu desa di perkampungan Ray. beliau membaca al-Quran dihadapan Hamzah. Sanadnya telah kami jelaskan. Beliau juga membacakan al-Quran dihadapan Isa bin Umar, dari Thalhah bin Musharaf dari an-Nakha'i dari al-Qamah dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi .


Dua orang perawinya adalah Abu al-Harits al-Laitsi bin Khuldi al-Baghdadi, yang wafat pada tahun 230 H dan Hafsh ad-Duri, beliau juga perawi dari Abi Amru seperti yang telah diceritakan. Mushhaf-mushhaf yang dicetak saat ini sesuai dengan qira'at Hafsh dari Hasyim, sama dengan tulisan yang telah disalin oleh Utsman. Akhir-akhir ini telah dicetak mushhaf-mushhaf yang sesuai dengan qira'at Warasy dari Nafi. Sebagian tafsir al-Quran juga menuliskan ayat-ayat al-Quran di dalamnya dengan tulisan yang sesuai dengan riwayat Abi Amru bin al-Ala, seperti tafsir al-Kasysyaf karya Imam az-Zamakhsyari. Di sebagian negeri-negeri Islam bacaan-bacaan al-Quran itu selalu ditulis dengan menggunakan (tulisan) tangan. Turunnya al-Qur'an dengan Tujuh Huruf Rasulullah bersabda:


إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مِنْهُ مَا تَيَسَّرَ

Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah yang mudah darinya.
[12]

Sabdanya yang lain:


أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ

Jibril membacakan al-Quran kepadaku dengan satu huruf, kemudian aku meminta kepada Jibril untuk mengulanginya kembali. Aku tidak henti-henti memintanya untuk mengulangi bacaan al-Quran hingga sampai kepada tujuh huruf.
[13]

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari ungkapan "tujuh huruf", tetapi berdasarkan penelitian bacaan-bacaan al-Quran yang mutawatir tampak jelas bahwa bacaan tersebut tidak keluar dari dialek tujuh kabilah Arab, yaitu: Quraisy, Tamim, Asad, Qais, Hudzail, sebagian dari kabilah Kinanah, dan sebagian dari Kabilah Thay.

Ketujuh kabilah itu adalah kabilah yang menjadi sumber pengambilan bahasa Arab. Oleh karena itu dialek ketujuh kabilah tersebut merupakan makna dari tujuh huruf yang dikuatkan. Meskipun demikian ini tidak berarti bahwa al-Quran boleh dibaca dengan (menggunakan) dialek ketujuh kabilah tersebut sehendak hati. Al-Quran harus dibaca dengan bacaan yang mutawatir dari Rasulullah . Selain dari itu tidak boleh dibaca sama sekali, dan tidak bisa dikatakan sebagai al-Quran. Bacaan-bacaan mutawatir adalah bacaan-bacaan yang telah kami kemukakan pada point sebelumnya dari pasal ini.
Contoh-contoh Bacaan Mutawatir yang Mempunyai Satu Tulisan. Bacaan ini merupakan bacaan pada kebanyakan al-Quran:

Contoh pertama:


فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya. (TQS. al-Baqarah [2]: 37)

Ini adalah qiraatnya Ashim.


فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya. (TQS. al-Baqarah [2]: 37)

Ini adalah qiraatnya Ibnu Katsir.


Contoh kedua:


وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى

Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? (TQS. Thaha [20]: 9)

Ini adalah qiraatnya Ashim.


وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى

Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? (TQS. Thaha [20]: 9)
Disertai dengan imalah merupakan qiraatnya Hamzah dan al-Kasa'i.

Contoh ketiga:


(فَكُّ رَقَبَةٍ (١٣) أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (١٤

(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan. (TQS. al-Balad [90]: 13-14)

Ini adalah qiraatnya Ashim.


(فَكُّ رَقَبَةٍ (١٣) أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (١٤

(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan. (TQS. al-Balad [90]: 13-14)

Ini adalah qiraatnya Abi Amru.


Contoh keempat:


وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ

Dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. (TQS. al-Hadid [57]: 23)

Ini adalah qiraatnya Ashim.


وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ

Dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. (TQS. al-Hadid [57]: 23)

Ini adalah qiraatnya Abi Amru.


Contoh-contoh Bacaan Mutawatir dalam Mushhaf Utsman yang Dibagi-bagikan, Mencakup Sepuluh Tempat.

Contoh pertama:


وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ

Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. (TQS. at-Taubah [9]: 100)
Ini terdapat pada mushhaf-mushhafnya, kecuali (yang dikirimkan ke) Makkah.

وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ

Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai dari dalamnya. (TQS. at-Taubah [9]: 100)

Ini terdapat pada mushhaf Makkah.

Contoh kedua:


فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (TQS. al-Hadid [57]: 24)
Ini terdapat pada mushhaf-mushhaf Kufah, Basrah dan Makkah.

فَإِنَّ اللَّهَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Maka sesungguhnya Allah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (TQS. al-Hadid [57]: 24)

Ini terdapat pada mushhaf-mushhaf Madinah dan Syam.

Contoh ketiga:


وَقَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا

Dan mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak?" (TQS. al-Baqarah [2]: 116)

Ini terdapat pada mushhaf-mushhafnya kecuali yang ada di Syam.


قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا

Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak?" (TQS. al-Baqarah [2]: 116)

Ini terdapat pada mushhaf Syam.

Contoh keempat:


وَلَا يَخَافُ عُقْبَاهَا

Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu. (TQS. asy-Syams[91]: 15)
Ini terdapat pada mushhaf-mushhaf di Makkah, Kufah dan Basrah.

فَلَا يَخَافُ عُقْبَاهَا

Maka Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu. (TQS. asy-Syams[91]: 15)
Ini terdapat pada mushhaf-mushhaf di Madinah dan Syam.

Pembubuhan Tanda Syakal pada Mushhaf Abu al-Aswad ad-Duali melaksanakan proses pensyakalan mushhaf atas perintah dari gubernur Basrah, setelah adanya peristiwa kritikan dari Muawiyyah bin Abu Sufyan atas kesalahan bacaan anaknya dalam tata bahasa. Yang dimaksud tanqith adalah pensyakalan huruf-huruf dengan fathah, dlamah dan kasrah. Dinamai dengan an-naqthu (naqthu mulanya berarti titik) karena Abu al-Aswad memilih seorang lelaki seraya berkata kepadanya: "Ambillah mushhaf, tinta dan pena yang berbeda warnanya dengan warna tinta pada mushhaf? Kemudian Abu Aswad berkata lagi kepadanya: "Aku akan membacakan al-Quran dihadapanmu. Jika aku membukakan kedua mulutku maka buatlah satu titik di atas huruf tersebut agar sama kedudukannya dengan fathah, apabila aku menyatukan mulutku ketika mengucapkan suatu huruf buatlah titik disamping huruf. Dan apabila aku menurunkan mulutku (membaca kasrah) maka buatlah titik di bawahnya?

Pensyakalan biasa disebut dengan naqthan (titik). Karena Abu Aswad ad-Duali menggunakan titik untuk menstandarisasi harakat suatu kata. Pada masa Daulah Abasiyyah, Khalil bin Ahmad telah menandai dlamah dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf dan kasrah dengan ya kecil di bawah huruf. Kemudian beliau membuat tanda syiddah dan sukun. Adapun at-tanqith dalam arti membubuhkan titik di bawah atau di atas huruf untuk membedakan satu huruf dari huruf yang lainnya, seperti membedakan ba dari ta dan tsa, telah dilakukan Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar atas perintah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi yang merujuk pada keputusan Abdul Malik bin Marwan, ketika al-Hajjaj menjadi gubernur di Irak.


Al-Muhkam dan al-Mutasyabih Pembagian al-Quran dengan nasikh dan mansukh, muthlaq dan muqayyad, dan yang lainnya akan kami bahas pada saat membicarakan bagian dari al-Kitab dan as-Sunnah. Pada pasal ini kami hanya akan membahas satu topik saja yaitu muhkam dan mutasyabih yang berkaitan dengan al-Quran al-Karim. Allah Swt berfirman:

مِنْهُ ءَايَٰتٌ مُّحْكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٌ

Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi al-Quran, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihaat. (TQS. Ali Imran [3]: 7)

Yang dimaksud dengan muhkam adalah yang tampak maknanya dan tersingkap maknanya sehingga (bisa) menghilangkan kemungkinan lain. Seperti firman Allah Swt:

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (TQS. al-Baqarah [2]: 275)

Yang dimaksud dengan mutasyabih adalah mengandung lebih dari satu makna, baik sama derajatnya ataupun tidak sama. Mutasyabih yang memiliki makna sederajat, antara lain firman Allah Swt:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (TQS. al-Baqarah [2]: 228)

Lafadz quru' di dalam ayat ini berarti suci dan haid.


أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ

Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. (TQS. al-Baqarah [2]: 237)

Yang dimaksud dengan kata orang yang memegang ikatan nikah berarti bisa suami atau wali.

أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ

Atau menyentuh perempuan. (TQS. al-Maidah[5]: 6)


Yang dimaksud menyentuh di dalam ayat ini bisa berarti menyentuh dengan tangan atau jima? Mutasyabih yang memiliki makna yang tidak sederajat. Misalnya firman Allah Swt:

وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ

Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu. (TQS. ar-Rahman [55]: 27)


وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِى

Dan telah meniupkan ruh kedalamnya (ciptaan)Ku. (TQS. al-Hijir [15]: 29)

مِمَّا عَمِلَتْ أَيْدِينَا

Yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri. (TQS. Yaasiin [36]: 71)

وَمَكَرُوا۟ وَمَكَرَ ٱللَّهُ

Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. (TQS. Ali Imran [3]: 54)

وَٱلسَّمَٰوَٰتُ مَطْوِيَّٰتٌۢ بِيَمِينِهِ

Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. (TQS. az-Zumar [39]: 67)

Ayat-ayat tersebut mengandung beberapa makna sesuai dengan pemahaman bahasa Arab, dan dengan memperhatikan uslub-uslub bahasa Arab. Dan sesuai dengan makna-makna syar'i. Semua itu tergolong ayat-ayat yang mutasyabih karena memiliki maknanya yang samar (tidak dapat dipastikan) bagi orang yang mendengarkannya. Mutasyabih bukan berarti bahwa ayat (al-Quran) tidak bisa dipahami maknanya, karena di dalam al-Quran tidak terdapat satu katapun yang tidak bisa dipahami maknanya. Jika al-Quran mengandung satu kata yang tidak bisa dipahami maka hal ini akan mengeluarkan al-Quran dari statusnya sebagai penjelas bagi manusia, sebagaimana firman Allah Swt:


هَٰذَا بَيَانٌ لِّلنَّاسِ

(Al-Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia. (TQS. Ali Imran [3]: 138)

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. (TQS. an-Nahl [16]: 44)

Adapun huruf-huruf al-muqthi'ah yang terdapat pada awal-awal surat (tertentu) maka huruf-huruf tersebut memiliki makna, merupakan nama-nama bagi surat di dalam al-Quran dan yang mengenalkan surat-surat tersebut. Ini menurut pendapat yang paling kuat. Karena mutasyabih adalah perkara yang samar maknanya bagi pendengar, maka diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk memahaminya. Bagi kebanyakan manusia tidak mudah untuk memahaminya, dan hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya. Melalui mereka inilah diajarkan kepada yang lain. Allah berfirman:


وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ ۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا

Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami?" (TQS. Ali Imran [3]: 7)

Di dalam ayat ini terdapat wawu athaf. Sehingga maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat. Wawu pada ayat tersebut bukan wawu isti'naf yang memberikan arti bahwa takwil ayat-ayat mutasyabihat tidak diketahui oleh seorangpun selain Allah. Apabila diartikan demikian maka berarti al-Quran akan keluar dari statusnya sebagai penjelas bagi manusia. Ada orang yang mengatakan apabila wawu pada ayat di atas merupakan wawu athaf maka kalimat يقولون آمنابه كل من عند ربنا harus kembali kepada ma'thuf dan ma'thuf alaih sedangkan hal itu tidak mungkin. Jawaban atas pernyataan tersebut, bahwa perkataannnya memang benar jika tidak terdapat qarinah yaitu manthuq (makna eksplisit) kalimat itu sendiri, yang telah memalingkannya dari keberadaannya kembali kepada ma'thuf alaih yaitu lafadz الله. Sebab, mustahil menurut akal, Allah mengatakan امنابه كل من عند ربنا Dengan demikian kalimat tersebut dibatasi hanya kembali pada ma'thuf saja, yaitu lafadz الراشخون فى العلم.

Berdasarkan penjelasan ini maka wawu pada ayat tersebut adalah wawu athaf, yang menunjukkan pengertian bahwa Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui ta'wil ayat mutasyabihat. Penulisan Mushhaf Bersifat Tauqifi maksudnya adalah bahwa al-Quran tidak boleh ditulis dalam mushhaf kecuali sama dengan tulisan yang telah diakui oleh Rasulullah , dan telah dihimpun oleh Abu Bakar Shiddiq serta telah disalin oleh Utsman pada mushhaf-mushhaf. Dalilnya adalah:

  1. Tatkala Abu Bakar menghimpun al-Quran, beliau tidak menerima (begitu saja) lembaran manapun yang didalamnya tertulis ayat al-Quran hanya karena sesuai dengan bacaan yang telah dihafal oleh para sahabat. Abu Bakar mensyaratkan adanya dalil yang menyatakan bahwa ayat tersebut telah ditulis di hadapan Rasul disertai adanya pengakuan Rasul. Hal ini telah kami jelaskan. Begitu juga para sahabat menangguhkan penghimpunan lembaran yang di dalamnya tertulis akhir surat at-Taubah sampai terdapat dalil yang menyatakan bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang saksi.
  2. Pada saat penyalinan al-Quran di masa Utsman, beliau tidak menerima tulisan ayat manapun kecuali sama seperti yang telah tertulis pada mushhaf yang telah dihimpun oleh Abu Bakar dan telah ditulis di hadapan Rasul saw. Tatkala team penulisan al-Quran berbeda pendapat tentang penulisan lafadz at-tabut maka Utsman mewajibkan mereka agar menulisnya sesuai dengan tulisan yang terdapat pada mushhaf. Tidak ditulis satu kata pun pada mushhaf Utsman yang menyalahi tulisan pada mushhaf yang telah dihimpun oleh Abu Bakar.
  3. Di dalam al-Quran terdapat banyak kata yang ditulis lebih dari satu macam penulisan.
    [14]
    Begitu juga terdapat kalimat-kalimat yang ditulis berbeda dengan lafadz bacaannya.
    [15]
    Tidak ada interpretasi terhadap fenomena itu kecuali bahwa tulisan tersebut memang yang dimaksudkan oleh Allah dan diakui oleh Rasulullah saw sebagai wahyu, karena terdapat hikmah yang diketahui oleh Allah. Ini berarti bahwa penulisan al-Quran bersifat tauqifi. Sifat ini hanya pada saat (digunakan untuk) menulis al-Quran pada mushhaf. Sedangkan pada selain mushhaf boleh dilakukan penulisan ayat-ayat untuk dijadikan argumen sesuai dengan kaidah-kaidah imla-iyyah (penulisan huruf), karena tidak ada dalil yang melarangnya.


AS-SUNNAH
Sunnah menurut bahasa adalah jalan, metode dan arah. Menurut ulama ahli hadits, Sunnah adalah… Bersambung Klik Disini

FootNote:

1.
^ Al-Bukhari: 6744; Musnad Ahmad: 2/5008, 7188; an-Nasa'i: 2572; Ibnu Majah: 2.
2.
^ Shahih Bukhari-Kitab as-Shulhu-no: 2499; Shahih Muslim-Kitab al-Aqdliyah-no: 3242, 3243; Sunan Abu Daud-Kitab as-Sunnah-no: 3990; Sunan Ibnu Majah-Muqaddimah-no: 14; Musnad Ahmad-sisa bagian Musnadal-Anshar-no: 23975, 24298, 24840, 24955, 25124.
3.
^ BUKHARI NO - 3965; MUSLIM NO - 3197
4.
^ Abu Daud: 3898; Ibnu Majah: 2623; Ahmad: 4/31; al-Baihaqi: 8/52; ad-Daruquthni: 3/96.
5.
^ Abu Daud: 3822 s/d 3825; TIRMIDZI NO - 1343 Imam Ahmad: 6/100, an-Nasa'i dan Ibnu Majah dari jalan Aisyah dengan sanad yang shahih, Abu Daud, Nasai dan al-Hakim dari jalan Ali.
6.
^ TIRMIDZI; 1372. IBNU MAJAH NO - 2588.
7.
^ Al-Bukhari: 104, 107; Muslim: 3; Tirmidzi: 2183. AHMAD NO - 3511.
8.
^ al-Kaghid sama dengan al-qirthas, artinya kertas: Mu'rab al-Qamus, I/345.
9.
^ Muslim: 5326; Kitab az-Zuhdu, bab 16; Ahmad: 3/2, 21/39, 57; ad-Darimi: al-Muqaddamah: 451; Ibnu Hibban: 1/256; al-Baihaqi: 5/10; Abu Ya'la: 2/466; al-Musytadrak: 1/216.
10.
^ Fathul Bari: Kitab Fadhailul Quran, bab kodifikasi al-Quran: 10/394; al-Ahad wa al-Matsani, karya Ahmad bin Umar: 5/410 no. 3054.
11.
^ Bukhari: 4604; Tirmidzi: 3029.
12.
^ Bukhari: 2241, 4607, 4608, 4653, 6995; MUSLIM: 1354 Tirmidzi: 2867.
13.
^ Bukhari: 2980, 4607; Muslim: 1354, 1357.
14.
^ Seperti lafadz riba ditulis dengan pada surat al-Baqarah, Ali Imran, dan an-Nisa, dan ditulis dengan pada surat ar-Rum.
15.
^ Seperti lafadz ditulis dengan dalam surat al-Anbiya. Lafadz ditulis dengan pada surat al-Fatihah. Begitu juga lafadz ditulis dengan dalam surat al-Baqarah, dan yang lainnya. an-Naml. ditulis dengan dalam surat.

. . . . . . . . .



. . . . . . . . .


Back to Top

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to top