حيات الدنيا حيات قليلة فلا تلغ حياة أبدية

Jumat, 17 April 2015

Ushul Fiqih ala Pesantren Aswaja (bag.1)


Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang agung kedudukannya, sangat penting dan banyak sekali faidahnya. Faidahnya adalah kokoh dalam menghasilkan kemampuan yang seseorang mampu dengan kemampuan itu untuk mengeluarkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya dengan landasan yang selamat. Dan yang pertama kali mengumpulkan menjadi suatu bidang tersendiri adalah al imam asy Syafi’i Muhammad bin Idris , kemudian para ulama sesudahnya mengikutinya dalam hal tersebut. Maka mereka menulis dalam ilmu ushul fiqih tulisan-tulisan yang bermacam-macam. Ada yang berupa sya’ir, tulisan ringkas dan tulisan yang panjang, sampai ilmu ushul fiqih ini menjadi bidang tersendiri keberadaannya.

Hukum syara’ menurut istilah pakar ushul fiqih adalah seruan (khithab) Syâri' yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), berupa tuntutan (al-iqtidla), penetapan (al-wadl‟i) dan pemberian pilihan (at-takhyir). Dalam definisi tersebut dikatakan as-Syâri', tidak dikatakan Allah agar bisa mencakup juga Sunnah dan Ijma‟, sehingga tidak ada dugaan bahwa yang dimaksud dengan khithab itu hanya al-Qur‟an saja. Disebutkan pula (dalam definisi) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), tidak menggunakan kata mukallaf; agar bisa mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan anak kecil dan orang gila. Seperti hukum tentang zakat atas harta yang dimiliki anak kecil dan orang gila.

Dari definisi tersebut jelas sekali bahwa hukum syara' terbagi dua bagian:

Pertama: Seruan Syâri‟ yang berkaitan dengan penjelasan hukum atas perbuatan manusia; berupa tuntutan dan pemberian pilihan. Ini disebut dengan khithab taklifi, yaitu seruan yang berarti tuntutan, baik tuntutannya pasti (jazm) atau tidak pasti (ghair jazm), atau yang dimaksudkan seruannya berupa pilihan antara megerjakan atau tidak.
Kedua: Seruan Syâri‟ yang menjelaskan perkara-perkara yang dituntut oleh hukum atas perbuatan manusia, yaitu perkara–perkara yang menentukan terwujudnya suatu hukum atau kesempurnaannya. Ini disebut dengan khithab wadl'i. Berdasarkan penjelasaan di atas maka bagian pertama menjelaskan tentang hukum-hukum atas perbuatan hamba. Sedangkan bagian kedua menjelaskan hukum-hukum itu sendiri.

Bagian pertama kita bisa melihatnya dengan jelas bahwa ia berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia). Begitu pula bagian yang kedua bisa dilihat dengan jelas keterkaitannya dengan perbuatan hamba.(meski tidak secara langsung). Karena perkara yang terkait dengan perkara lain yang berhubungan dengan sesuatu berarti terkait pula dengan sesuatu tersebut. Dengan demikian, hukum syara adalah seruan Syâr'i yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia), baik berupa iqtidla (tuntutan), takhyir (pilihan) ataupun wadl'i. Sebelum menjelaskan kedua bagian hukum syara' tersebut kita mesti mengetahui terlebih dahulu siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan ataupun benda; atau biasa disebut dengan istilah al-Hâkim. Inilah yang akan kami jelaskan pada pasal pertama dari bab ini.


SIAPA YANG BERHAK MENGELUARKAN HUKUM ATAS PERBUATAN DAN BENDA? SIAPAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN AL-HAKIM?


Maksud dari dikeluarkannya suatu hukum adalah menentukan sikap manusia atas suatu perbuatan. Apakah dia akan mengerjakannya atau akan meninggalkannya, atau memilih (salah satu) diantara keduanya. Begitu pula atas suatu benda, apakah akan mengambilnya atau meninggalkannya, atau akan memilih (salah satu) diantara keduanya. Semuanya tergantung pada pandangan manusia terhadap sesuatu; apakah perkara tersebut baik atau buruk; atau tidak baik dan juga tidak buruk. Berdasarkan hal ini maka obyek pengeluaran suatu hukum atas perbuatan atau benda adalah menetapkan hasan (baik) dan qabih (buruk)nya suatu perbuatan atau benda. Penetapan tersebut bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu:

  1. Dari aspek fakta.
  2. Dari aspek kesesuaian atau tidaknya dengan tabi‘at manusia.
  3. Dari aspek pahala dan siksa, atau dari aspek pujian dan celaan.


Untuk aspek pertama dan kedua, maka penetapan dan pengeluaran suatu hukum diserahkan kepada manusia itu sendiri, yakni kepada akalnya. Contohnya, akal manusia menetapkan bahwa ilmu itu baik, dan bodoh itu buruk; karena berdasarkan kenyataan ilmu dan bodoh itu memperlihatkan adanya kesempurnaan atau kekurangan. Akal juga mampu menetapkan bahwa menyelamatkan orang yang tenggelam itu baik, dan membiarkannya celaka adalah buruk; karena tabiat manusia cenderung untuk menyelamatkan orang yang akan binasa. Sedangkan aspek ketiga, yakni aspek pahala dan siksa, maka penetapannya hanya bisa dilakukan oleh Allah , yakni Syâr'i. Seperti, iman itu baik dan kufur itu buruk, ta‟at itu baik dan maksiat itu buruk. Terhadap perkara-perkara ini akal tidak mampu mengeluarkan hukum.

Karena akal didefinisikan sebagai pemindahan (pencerapan) atas fakta yang telah diindera ke dalam otak dibarengi dengan adanya informasi sebelumnya yang akan menafsirkan fakta tersebut, kemudian mengkaitkan antara fakta dengan informasi. Berdasarkan definisi di atas maka akal tidak akan mampu mengeluarkan hukum atas sesuatu yang tidak bisa diindera, seperti petunjuk (huda), kesesatan (dlalal), halal, haram, ta‟at, maksiat, dan sejenisnya. Menentukan apakah suatu perbuatan itu diridhai Allah sehingga akan diberikan pahala, atau dibenci Allah sehingga akan dikenakan siksa, adalah diluar kemampuan akal, kecuali jika telah ada berita (informasi) dari Allah. Itulah dalil aqli tentang penetapan hasan dan qabih. Sedangkan dilihat dari aspek dalil syar'i, maka syara telah menjadikan penetapan hasan dan qabih terbatas pada perintah syara semata, yaitu perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini bisa dijelaskan dengan mengambil nash-nash dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Allah Swt berfirman:


فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (النساء:٦٥‏‏)‏

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65)

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu‟. (TQS. Ali Imran [3]:31)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ

Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). (TQS. an-Nisa [4]: 83)

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS. an-Nuur [24]: 63)

Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ

Barangsiapa yang membuat sesuatu (perkara) baru dalam urusan kami ini, yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak. (HR. Bukhari)
[1]

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ وَأَهْلِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Tidak beriman salah seorang diantara kalian sehingga aku lebih dicintai daripada keluarganya, hartanya dan seluruh manusia.(HR. Nasa’i)
[2]

Dari penuturan diatas jelas bahwa yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan benda adalah syara, bukan akal. Hal itu dilihat dari aspek pahala dan siksa atas suatu perbuatan. Dalam perkara ini tidak dikecualikan dua aspek yang telah dijelaskan sebelumnya, karena akal mampu menetapkan baik dan buruknya suatu perbuatan atau benda dilihat berdasarkan faktanya dan dari aspek kesesuaian atau tidaknya dengan tabi‟at manusia. Sedangkan dari aspek pahala dan siksa, akal tidak akan mampu mengeluarkan hukum karena hal ini termasuk kedalam aspek ketiga sebagaimana yang telah dijelaskan. Anda mampu menetapkan berdasarkan akal bahwa ilmu itu baik, akan tetapi menetapkan bahwa ilmu itu berpahala atau membawa implikasi pada siksaan tidak mampu ditentukan oleh akal. Yang mampu menentukannya adalah syara. Anda dengan akal mampu menetapkan bahwa menolong orang tenggelam itu adalah (perbuatan) baik, akan tetapi menetapkan bahwa menolong orang yang tenggelam itu akan mendapatkan pahala, tidak bisa ditentukan oleh akal, tetapi ditentukan oleh syara. Ini telah dijelaskan dalam pembahasan aspek yang ketiga.

Dengan demikian, yang mempunyai wewenang mengeluarkan hukum atas perbuatan atau benda adalah syara semata, bukan akal.

KHITHAB TAKLIFI SERUAN SYAR'I YANG TERKAIT DENGAN PERBUATAN HAMBA BERUPA TUNTUTAN DAN PEMBERIAN PILIHAN YANG MENJELASKAN HUKUM ATAS PERBUATAN MANUSIA


Tuntutan (al-iqtidla) dan pemberian pilihan (at-takhyir), keduanya termasuk jenis perintah (al-amru) dengan berbagai jenisnya, atau memiliki satu pengertian dengan amr sesuai dengan gaya bahasa Arab. Karena amr merupakan salah satu bagian dari al-Qur‘an dan as-Sunnah maka rinciannya insyaAllah akan dibahas pada bab keempat nanti. Meskipun demikian pada pasal ini kami akan mengutarakan sebagian perkara yang mesti diketahui untuk memahami seruan asy-Syâri‘.


1. Pengertian asal dari amr

Para pakar ushul fiqih berbeda pendapat tentang pengertian amr. Ada yang mengatakan bahwa amr itu memberikan arti wajib; ada yang mengatakan memberikan arti sunnat dan ada juga yang mengatakan bahwa amr memberikan arti ibahah. Masing-masing berusaha menetapkan pendapatnya dengan menyertakan berbagai macam dalil. Makna amr harus dicari menurut aspek bahasa, karena syara tidak menentukan maknanya. Untuk memahami makna amr kita harus membatasi pengertiannya menurut penjelasan secara bahasa. Kata amr menurut bahasa berarti tuntutan yang datangnya berasal dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya (at-thalabu „ala wajhi al-isti‟la). Amr berarti juga tuntutan atau sesuatu yang diperintahkan (al-ma‟mur bihi). Berdasarkan pengertian bahasa ini maka asal dari makna amr adalah tuntutan saja. Yang menentukan jenis amr apakah (bersifat) pasti atau tidak, atau berupa pilihan, adalah (adanya) qarinah (indikasi).


2. Hukum asal tentang perbuatan manusia

Perbuatan manusia perlu diketahui hukum syaranya, karena tolok ukur perbuatan menurut seorang muslim adalah perintah dan larangan Allah. Allah mewajibkan setiap muslim agar memperhatikan setiap perbuatan yang akan dikerjakannya, dan mengetahui hukum syara atas perbuatan tersebut sebelum dikerjakan, karena Allah akan meminta pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak. Allah berfirman:


فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (TQS. al-Hijr [15]: 92-93)

وَمَا تَكُونُ فِى شَأْنٍ وَمَا تَتْلُوا۟ مِنْهُ مِن قُرْءَانٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ

Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Quran, dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya. (TQS. Yunus [10]: 61)

Arti berita (ikhbar) Allah kepada hamba-Nya bahwa Allah menyaksikan amal mereka adalah, Allah akan menghisab dan meminta pertanggungjawaban amal perbuatan mereka. Rasulullah juga menjelaskan kewajiban agar perbuatan manusia sesuai dengan hukum Allah, sesuai dengan hukum Islam.

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu (perkara) baru dalam urusan kami ini, maka (perkara) tersebut tertolak.
[3]

Para sahabat selalu bertanya kepada Rasulullah tentang aktivitas mereka sampai diketahui (lebih dahulu) hukum Allah-nya sebelum dilaksanakan. Ibnu al-Mubarak mengeluarkan hadits:

كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ لَنَا شَيْءٌ فَقُلْنَا أَلَا نَسْتَخْصِي فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ

Kami pernah berperang bersama-sama dengan Rasulullah , dan saat itu kami tak punya apa-apa. Kemudian kami pun berkata, "Apakah kami harus mengebiri?" Dan ternyata beliau pun melarang kami untuk melakukannya, lalu beliau memberikan rukhshah kepada kami, yakni menikahi wanita meskipun dengan mahar kain.
[4]

فَقَالَ حُذَيْفَةُ إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ فَأَحْدَقَهُ الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقَالَ إِنِّي أَرَى الَّذِي تُنْكِرُونَ إِنِّي قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ هَذَا الْخَيْرَ الَّذِي أَعْطَانَا اللَّهُ أَيَكُونُ بَعْدَهُ شَرٌّ كَمَا كَانَ قَبْلَهُ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَمَا الْعِصْمَةُ مِنْ ذَلِكَ قَالَ السَّيْفُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ مَاذَا يَكُونُ قَالَ إِنْ كَانَ لِلَّهِ خَلِيفَةٌ فِي الْأَرْضِ فَضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَأَطِعْهُ وَإِلَّا فَمُتْ وَأَنْتَ عَاضٌّ بِجِذْلِ شَجَرَةٍ قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا قَالَ ثُمَّ يَخْرُجُ الدَّجَّالُ مَعَهُ نَهْرٌ وَنَارٌ فَمَنْ وَقَعَ فِي نَارِهِ وَجَبَ أَجْرُهُ وَحُطَّ وِزْرُهُ وَمَنْ وَقَعَ فِي نَهْرِهِ وَجَبَ وِزْرُهُ وَحُطَّ أَجْرُهُ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا قَالَ ثُمَّ هِيَ قِيَامُ السَّاعَةِ

Hudzaifah lalu berkata, "Orang-orang banyak bertanya Rasulullah tentang kebaikan, sementara aku bertanya beliau tentang keburukan." Orang-orang sepontan memperhatikan Hudzaifah dengan pandangan tajam, Hudzaifah melanjutkan, "Aku tahu apa yang kalian ingkari (cemaskan). Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, apakah setelah kebaikan yang Allah berikan kepada kita ini, akan muncul keburukan setelahnya seperti masa-masa sebelumnya?" Beliau menjawab: "Benar." Aku bertanya lagi, "Bagaimana bisa selamat dari hal itu?" beliau menjawab: "Dengan pedang." Aku bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, lantas apa yang bakal terjadi?" Beliau menjawab: "Jika Allah mempunyai Khalifah di muka bumi, lalu ia memukul punggung dan mengambil hartamu, maka taatilah ia. Jika tidak begitu, maka matilah kamu dalam keadaan menggigit akar pohon (tidak taat dan pergi menyepi)." Aku bertanya lagi, "Lalu apa yang akan terjadi?" beliau menjawab: "Akan muncul dajjal dengan membawa sungai dan api. Siapa yang jatuh ke dalam apinya, maka ia akan mendapatkan pahala dan akan dihapus dosanya. Dan siapa yang jatuh ke dalam sungainya, maka ia akan mendapat dosa dan digugurkan pahalanya." Aku bertanya lagi, "Lalu apa lagi?" beliau menjawab: "Kiamat akan datang."
[5]

Dari paparan di atas jelas bahwa asal perbuatan hamba adalah terikat dengan hukum syara. Dan seorang muslim harus mengetahui hukum Allah tentang suatu perbuatan sebelum mereka mengerjakannya, baik hukum itu wajib, sunnat, haram, makruh ataupun mubah, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.

3. Hukum asal tentang benda.

Benda berbeda dengan perbuatan. Benda adalah materi yang akan digunakan oleh manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan adalah aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik menyangkut perbuatan ataupun perkataan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Perbuatan itu biasanya berhubungan dengan benda. Makan adalah perbuatan, yang terkait dengan roti, apel, daging babi, dan lain-lain. Minum adalah perbuatan, yang terkait dengan air, madu, khamar, dan lain-lain.

Benda mesti ada hukumnya, sebagaimana penjelasan kami tentang perbuatan, meskipun nash-nash yang menerangkan hukum tentang benda itu berbeda dengan nash-nash yang berkaitan dengan hukum perbuatan. Nash-nash syara yang berkaitan dengan perbuatan menjelaskan bahwa asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara. Syara juga telah menjadikan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan terbatas pada lima (jenis) hukum, yaitu wajib, sunnat, mubah, haram dan makruh, yang akan kami jelaskan nanti. Sedangkan nash-nash yang terkait dengan benda, jika kita teliti maka kita akan menjumpai bahwa syara memberi label (dengan) sifat halal dan haram saja. Syara tidak menempelkannya dengan (hukum) wajib, sunnat atau makruh. Allah berfirman:

قُلْ أَرَءَيْتُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَٰلًا

Katakanlah: „Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal‟. (TQS. Yunus [10]: 59)

وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ ٱلْكَذِبَ هَٰذَا حَلَٰلٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‟ini halal dan ini haram‟. (TQS. an-Nahl [16]: 116)

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai. (TQS. an-Nahl [16]:115)

حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ

Kami haramkan segala binatang yang berkuku. (TQS. al-An‟aam [6]: 146)

وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (TQS. al-A‟raaf [7]: 157)

لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ

Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu. (TQS. at-Tahrim [66]:1)

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ

Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?‟. (TQS. al- A‟raaf [7]: 32)

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (TQS. al-Maidah [5]: 3)

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ

Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang dilangit dan apa yang dibumi. (TQS. Luqman [31]: 20)

كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ

Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. (TQS. al-Hajj [22]: 37)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. (TQS. al-Baqarah [2]: 168)

أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ

Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi. (TQS. al-Hajj [22]: 65)

Dari nash-nash tersebut jelas bahwa Syâr'i telah membolehkan seluruh benda, yakni menghalalkannya. Karena ibahah atas benda artinya halal, lawan dari haram. Oleh karena itu mengharamkan sebagian benda membutuhkan nash yang mengecualikannya dari benda-benda yang pada asalnya dibolehkan. Dengan demikian hukum asal atas benda adalah ibahah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.


4. Hukum-hukum atas perbuatan manusia.


Telah kami katakan bahwa asal dari perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara. Hukum syara yang terkait dengan perbuatan manusia adalah hukum-hukum yang dipahami dari seruan asy-Syâr'i berupa tuntutan atau memberikan pilihan, yaitu sesuai dengan bentuk tuntutan (sighat ath-thalab) yang dipahami dan bermakna al-iqtidla dan takhyir; atau makna dari amr dan sesuatu yang pengertiannya sama seperti yang telah kami jelaskan. Yang menentukan jenis dari tuntutan (thalab) adalah adanya qarinah (indikasi), baik yang ada pada nash itu sendiri, atau pada nash lain. Dengan meneliti dilalah khitab (penunjukan seruan) asy-Syâr'i yang menjelaskan hukum perbuatan manusia, maka hukum itu dibatasi menjadi lima, yaitu:


1. Fardlu atau wajib.
Yaitu apabila terdapat nash syara berbentuk sighat amr atau yang semakna dengan itu, berbentuk kata atau yang semakna. Dari bentuk kata tersebut kita bisa memahami adanya tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan. Kemudian kita mencari qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan tersebut bersifat pasti. Berdasarkan sighat thalab (bentuk kata tuntutan) dan qarinah yang pasti inilah maka hukum perbuatan itu menjadi wajib. Contohnya firman Allah Swt:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. (TQS. at-Taubah [9]: 29)

Di dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk berjihad dengan kata (tulisan arab). Perintah tersebut bersifat pasti dengan qarinah dari ayat lain:

إِلَّا تَنفِرُوا۟ يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih. (TQS. at-Taubah [9]: 39)

Dari sini kita bisa pahami bahwa perintah tersebut berbentuk perintah (tuntutan) yang jazm (pasti) untuk mengerjakan, sehingga jihad hukumnya fardlu atau wajib.

Contoh lainnya adalah firman Allah:


إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (TQS. an-Nisa [4]: 103)

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ

Dan dirikanlah shalat. (TQS.an-Nuur [24]: 56)


Kedua ayat tersebut menunjukkan arti adanya tuntutan (thalab) yang berbentuk semakna dengan amr, yaitu كتبا موقوتا, Ayat yang kedua berbentuk tuntutan (sighat amr), yaitu وأقيموا, Juga terdapat ayat-ayat lain yang menunjukkan adanya tuntutan untuk melaksanakan shalat. Perintah ini bersifat jazm dengan qarinah yang terdapat pada ayat lain:

سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ(٤٢) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ(٤٣)

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat". (TQS. al-Mudatstsir [74]: 42-43)

Begitu pula terdapat nash-nash lain (yang tidak disebut) yang di dalamnya terdapat qarinah yang menunjukkan kepastian tuntutan shalat. Dari sini bisa dipahami bahwa perintah tersebut berupa tuntutan yang bersifat pasti untuk mengerjakan, yaitu shalat hukumnya wajib.

2. Mandub.

Yaitu apabila terdapat nash syara yang memberikan arti adanya tuntutan, kemudian terdapat qarinah yang memberikan arti tarjih serta sifatnya yang tidak pasti, sehingga tuntutan yang sifatnya tidak pasti itu memberikan arti mandub. Contohnya sabda Rasulullah :

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Shalat jamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.


Rasulullah memerintahkan untuk shalat jamaah, meskipun tuntutan (thalab)nya tidak berbentuk kata perintah (sighat amr). Tetapi mengambil bentuk yang semakna dengannya. Hal ini akan kami jelaskan nanti. Qarinah atas tuntutan tersebut memberikan arti ketidakpastian. Dengan dalil diamnya Rasulullah saw terhadap segolongan kaum Muslim yang shalat sendirian. Karena shalat jamaah tergolong upaya taqarrub kepada Allah, maka hukum shalat jamaah itu (hukumnya) mandub.

3. Haram atau mahzhur.

Yaitu apabila terdapat nash syara yang menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, baik berbentuk larangan (sighat nahyi) atau yang semakna dengannya. Kemudian terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan (untuk meninggalkan) tersebut bersifat pasti. Tuntutan yang bersifat pasti untuk meninggalkan suatu perbuatan berarti (hukumnya) haram. Contohnya firman Allah:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (TQS. al-Isra [17]: 32)

Ayat ini menunjukkan tuntutan yang bersifat pasti untuk meninggalkan suatu perbuatan, dengan dalil kata لاتقربوا dan qarinah إنه كان فاحشة وساء سبيلا. Dengan demikian hukum zina adalah haram.

4. Makruh.


Rasulullah bersabda:


عَنْ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ التَّبَتُّلِ

Dari Samurah bahwa Nabi melarang membujang.
[7]

Dalam hadits tersebut Rasulullah saw melarang tidak menikah bagi orang yang mampu. Tetapi larangan itu bersifat tidak pasti, dengan dalil diamnya Rasul terhadap sebagian orang-orang yang mampu namun tidak menikah, padahal beliau mengetahui. Tidak menikahnya orang yang mampu hukumnya adalah makruh.

5. Mubah.


Allah berfirman:


وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَٱصْطَادُوا۟

Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. (TQS. al-Maidah [5]: 2)

Allah menyuruh untuk berburu setelah ihram selesai. Akan tetapi perintah tersebut tidak menunjukkan bahwa berburu setelah ihram selesai adalah fardlu atau mandub. Hal itu hanya menunjukkan mubah, dengan adanya qarinah lain, yaitu bahwa Allah memerintahkan berburu setelah ihram, padahal Allah telah melarangnya selama ihram. Firman-Nya:

غَيْرَ مُحِلِّى ٱلصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ

Dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. (TQS. al-Maidah [5]: 1)

Jadi, berburu setelah ihram selesai hukumnya adalah mubah. Dengan kata lain kembali kepada hukum asalnya sebelum ihram.

Contoh lain adalah firman Allah:


فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu. (TQS. al-Jumuah [62]: 10)

Hukum bertebaran (di muka bumi) adalah mubah, qarinahnya karena Allah memerintahkan untuk bertebaran setelah shalat jumat, padahal sebelumnya Allah melarang bertebaran ketika shalat jumat, tampak pada ayat sebelumnya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (TQS. al-Jumuah [62]: 9)

Berarti bertebaran (di muka bumi untuk mencari rizki) setelah shalat jum‟at hukumnya mubah, karena kembali kepada hukum asalnya sebelum shalat dan sebelum adanya larangan. Qarinah-Qarinah yang menjelaskan jenis suatu tuntutan. Qarinah menurut bahasa, diambil dari qarana asy-syai-a, yang berarti mengumpulkan dan menyertainya. Ini berarti, segala sesuatu yang menjelaskan jenis suatu tuntutan dan membatasi pengertiannya apabila digabungkan dan disertakan dengan tuntutan tersebut. Untuk membatasi hukum syara tentang perbuatan manusia harus ditempuh dua langkah berikut.

  1. Mencari dalil yang menentukan (adanya) tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau pun meninggalkannya.
  2. Mencari qarinah, yang apabila digabungkan dengan dalil yang pertama akan menjelaskan jenis tuntutan dan membatasi pengertiannya.


Qarinah itu terbagi menjadi tiga bagian:


1. Qarinah yang menunjukkan kepastian (jazm), yaitu qarinah yang menentukan fardlu dan haram (berupa tuntutan yang bersifat pasti untuk mengerjakan atau meninggalkan). Diantaranya adalah:
a. Berupa penjelasan, baik dengan perkataan maupun perbuatan terhadap siksa dunia dan akhirat, atau yang semakna dengannya. Disebabkan ditinggalkan atau dilaksanakannya suatu perbuatan. Seperti firman Allah:

سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ(٤٢) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ(٤٣)

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?‟ Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat‟. (TQS. al-Mudatstsir [74]: 42-43)

وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلًا مِّنَ ٱللَّهِ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (TQS.al-Maidah [5]: 38)

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلْيَتَٰمَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka). (TQS. an-Nisa [4]: 10)

b. Berupa penjelasan, baik dengan perkataan ataupun perbuatan terhadap keharusan dilaksanakannya suatu perbuatan secara terus menerus kecuali ada alasan, rukhsah, qadla atau pengampunan. Contohnya firman Allah:

أَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ , أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa dinatara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari- hari yang lain. (TQS. al-Baqarah [2]: 183-184)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah. (TQS. al-Maidah [5]: 6)

Rasulullah bersabda:


مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ

Barangsiapa yang tidur, lalu meninggalkan shalat atau lupa maka shalatlah ketika telah ingat.
[8]

Kaum wanita dimaafkan dari mengqadla shalat selama masa haidnya. Hal itu telah diterangkan dalam hadits dari Fatimah binti Hubaisy, Rasulullah saw bersabda: Tinggalkanlah shalat pada masa-masa haidmu.
[9]

c. Berupa penjelasan, baik dengan perkataan ataupun perbuatan terhadap keharusan dilaksanakannya suatu perbuatan meskipun dalam keadaan sulit tanpa bisa diganti dengan yang lainnya. Allah berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. (TQS. al-Baqarah [2]: 216)
Rasulullah senantiasa menetapi thariqah (metode) tertentu untuk menegakkan Daulah (negara), yaitu thalabun nushrah. Dalam menjalankannya Rasulullah menanggung beban kesulitan tetapi tidak merubah thariqah tersebut. Hal ini menunjukan bahwa thalabun nushrah untuk menegakkan Daulah Islamiyah hukumnya wajib. Ibnu Hisyam dalam (kitab) sirahnya berkata, Ibnu Ishak berkata, ketika Abu Thalib meninggal orang-orang kafir Quraisy mempunyai kesempatan untuk menyakiti Rasul tidak seperti pada masa hidupnya Abu Thalib. Kemudian Rasul keluar ke (daerah) Thaif untuk mencari pertolongan dari bani Tsaqif dan memperoleh pembelaan dari kaumnya. Dengan harapan mereka mau menerima Islam yang dibawa Rasul dari Allah . Setelah itu Rasul keluar sendirian menuju bani Tsaqif, …sampai perkataan … namun mereka menolak, malahan menyuruh orang-orang yang lemah akalnya dan hamba-hamba sahaya mereka untuk menghujat dan melempari beliau. Ibnu Ishak berkata, Ibnu Syihab az-Zuhri telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah mendatangi kabilah Kindah di tempat tinggal mereka dan (mendatangi) para pembesarnya. Kemudian beliau mengajak mereka (menyembah) Allah dan agar mereka (menjadi) pengikut beliau. Akan tetapi mereka menolaknya. Ibnu Ishak berkata, sebagian sahabat kami telah menceritakan, dari Abdullah bin Malik, bahwa Rasulullah mendatangi tempat tinggal kabilah Hanifah, lalu mengajak (untuk menyembah) Allah dan agar mereka (menjadi) pengikut beliau. Akan tetapi tidak seorangpun dari orang-orang Arab itu yang lebih kejipenolakannya selain mereka. Ibnu Ishak berkata, telah berkata az-Zuhri bahwasanya Rasulullah mendatangi bani Amir bin Sha‟sha‟ah, mengajak (untuk menyembah) Allah dan agar mereka (menjadi) pengikut beliau. Lalu salah seorang dari mereka yang bernama Baiharah bin Firas berkata: "Demi Allah, seandainya aku mengambil (dan mengikuti) pemuda Quraisy ini, maka orang-orang Arab akan menyerang kita". Kemudian melanjutkan perkataannya, "Bagaimana pendapatmu jika kami membaiatmu agar tunduk pada perkara (yang engkau bawa) kemudian Allah memenangkan pengikut-pengikutmu, apakah kami yang akan memperoleh (kepemimpinan) setelah engkau? Rasul menjawab: "Perkara itu adalah urusan Allah, Dialah yang akan memberikannya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya". Orang itu berkata lagi: "Apakah pandangan orang-orang Arab kepada kami tidak akan sempurna tanpa kehadiranmu. Dan apakah Allah akan memenangkanmu dengan perkara ini tanpa (dukungan) kami? Kami tidak memerlukan perkara engkau‟. Dan merekapun menolak. Aktivitas thalabun nushrah juga dilakukan beliau terhadap bani Syaiban, mereka menyambutnya, dan mereka tidak akan memerangi pasukan berkuda Rasulullah (yang melewati daerah mereka). Namun, ketika mereka mengetahui bahwa Rasul meminta mereka untuk membela Islam, dan agar menyampaikannya kepada seluruh manusia, namun mereka menolak. Rasulullah tetap melakukan aktivitas thalabun nushrah terhadap berbagai kabilah, tanpa merubah thariqahnya dengan thariqah yang lain, meskipun mengalami penolakan dan kesulitan sebagaimana yang telah terjadi, meskipun mengalami pengainiayaan yang amat berat terhadap fisik Rasul yang mulia. Hal itu terus berlanjut sampai Allah memberikan pertolongan dengan sikap (penerimaan) orang- orang Anshar yang menyambut seruannya. Lalu terjadi baiat Aqabah kesatu dan kedua, diikuti hijrah ke Madinah dan berdirinya Daulah Islamiyah. Sabda Rasulullah :

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ

Seandainya tidak memberatkan umatku, aku akan perintahkan untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.
[10]

Wajhu al-istidlal dari hadits ini adalah bahwa Rasulullah memerintahkan kamu Muslim untuk bersiwak setiap kali hendak shalat, tetapi akan muncul kesulitan jika hal itu dipahami wajib. Maka Rasul tidak memerintahkan hal itu karena khawatir memberatkan mereka. Artinya, bahwa perbuatan yang dikerjakan itu amat berat jika Rasul saw memerintahkannya sebagai suatu kewajiban.

d. Berupa penjelasan terhadap suatu perkara bahwa hukumnya wajib, topiknya fardlu, atau penunjukannya merupakan penjagaan terhadap Islam. Contohnya adalah sabda Rasulullah :

يَرْمِي عَلَى رَاحِلَتِهِ يَوْمَ النَّحْرِ

Ambillah dariku manasik (haji) kalian.


وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.


Firman Allah :


وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ

Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar. (TQS. Ali Imran [3]: 104)

Rasulullah bersabda:


مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Ajarkanlah anak-anak kalian shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak shalat) pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah mereka dari tempat tidur.
[13]

e. Berupa penjelasan untuk melaksanakan suatu perkara berdasarkan pilihan diantara beberapa hukum yang telah dibatasi tidak bisa memilih (hukum) lainnya. Contohnya adalah firman Allah:

وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا۟ بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ ۗ

Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa. (TQS. an-Nisa [4]: 86)

فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ

Maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. (TQS. al-Maidah [5]: 89)

f. Berupa penjelasan tentang berulang-ulangnya suatu perbuatan, andaikata tidak ada kewajiban maka akan menjadi terlarang. Contohnya adalah tambahan dua ruku pada shalat khusuf. Sebab, menambah satu rukun fi'li (rukun perbuatan) secara sengaja akan membatalkan shalat. Jadi andaikata dua ruku' itu tidak diwajibkan akan menjadi terlarang, yaitu menjadi sesuatu yang membatalkan shalat. Pengulangan Rasul terhadap rukun tersebut menunjukkan bahwa rukun itu wajib. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra tentang shalat khusuf. Aisyah berkata:

Pernah terjadi gerhana matahari di masa Rasul. Kemudian Rasulullah berdiri malakukan shalat dan memanjangkan (memperlama) berdirinya, kemudian ruku dan memanjangkan ruku'nya, lalu mengangkat kepalanya dan memperlama berdirinya namun lebih singkat dari berdiri yang pertama. Setelah itu ruku dan memperlama rukunya namun lebih singkat dari ruku yang pertama. Kemudian sujud …… sampai akhir hadits.

g. Penyebutan lafadz yang menunjukkan wajib, fardlu atau haram didalam nash yang menjelaskan tuntutan terhadap suatu perbuatan. Contohnya adalah firman Allah:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yangmeninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. (TQS. an-Nisa [4]: 11)

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu- ibumu. (TQS. an-Nisa [4]: 23)


إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai. (TQS. al-Baqarah [2]: 173)

Rasulullah bersabda:


لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ مِنْ الدَّهْرِ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا أَوْ زَوْجُهَا

Seorang wanita tidak boleh bersafar selama dua hari, kecuali disertai mahramnya atau pun suaminya.
[14]

h. Sifat suatu perbuatan yang memberitahukan larangan yang bersifat pasti, seperti siksaan dan kemurkaan dari Allah, celaan, atau sifat buruk seperti keji atau pekerjaan setan, penafian iman atau penafian Islam, dan lain-lain. Contohnya adalah firman Allah:

إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (TQS. an-Nisa [4]: 22)

كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ

Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (TQS. ash-Shaff [61]: 3)

وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ

Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (TQS. an-Nahl [16]: 106)

إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu. (TQS. al-Maidah [5]: 90)

إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang Page | 32 ditempuh). (TQS. an-Nisa [4]: 22)

ا يَتَّخِذِ ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلْكَٰفِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ ٱللَّهِ فِى شَىْءٍ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah. (TQS. Ali Imran [3]: 28)

Rasulullah bersabda:


Penghuni rumah manapun yang nyenyak tidur sedangkan di sekitar mereka terdapat seseorang yang lapar, maka mereka tidak akan mendapatkan jaminan Allah.
[15]

i. Apabila tuntutan disertai dengan kata iman atau perkara yang semakna dengan kata iman. Misalnya jika diikuti oleh ungkapan "Barangsiapa yang mengharapkan keridlaan Allah dan hari akhir". Ini merupakan qarinah atas (hukum yang) wajib. Contohnya adalah firman Allah:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat. (TQS. al-Ahzab [33]: 21)

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (TQS. an-Nisa [4]: 59)

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma‟ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. (TQS. al-Baqarah [2]:232)

j. Apabila suatu tuntutan disertai dengan larangan terhadap perkara yang mubah. Contohnya adalah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum‟at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tingalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (TQS. al-Jumuah [62]: 9)

k. Perintah terhadap ibadah tathawwu (sunnat) atau sedekah setelah perintah terhadap pokok suatu topik, merupakan qarinah bahwa tuntutan terhadap pokok itu bersifat pasti. Allah berfirman:

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ

Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu. (TQS. al-Baqarah [2]: 280)

Perintah untuk bersedekah kepada orang yang mempunyai utang, yaitu dengan membebaskan seluruh atau sebagian utangnya setelah perintah untuk memberikan tempo (waktu pembayaran) utang, memberikan arti bahwa memberikan tempo (waktu) terhadap orang yang berutang jika (ia) miskin hukumnya wajib bagi orang yang berpiutang.

l. Apabila tercakup dalam kaidah:

"Suatu kewajiban tidak akan sempurna (pelaksanaannya) tanpa sesuatu, maka sesuatu tersebut (hukumnya) adalah wajib.“

Jadi, jika ada kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu tadi menjadi wajib. Dalam hal ini disyaratkan bahwa perkara yang menjadi penyempurna harus merupakan bagian dari perkara yang wajib. Misalnya, rukun shalat yang dikaitkan dengan shalat. Apabila bukan menjadi bagian dari yang wajib, seperti wudlu maka diperlukan dalil lain yang menunjukkan kewajibannya, karena wudlu bukan bagian dari shalat melainkan syarat.

2. Qarinah yang memberikan arti tidak pasti, yaitu qarinah yang harus ada untuk menentuan hukum makruh dan mandub (yaitu tuntutan yang bersifat tidak pasti untuk meninggalkan perbuatan dan melakukan perbuatan). Antara lain:
a. Tuntutan untuk mengerjakan atau tuntutan untuk meninggalkan, yang menunjukkan kepada tarjih, yang tidak disertai qarinah-qarinah yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya. Contohnya adalah sabda Rasulullah :

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

Tersenyum di hadapan saudaramu adalah sedekah.


إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ

Sesungguhnya Allah Maha Baik, dan menyukai kepada yang baik, Maha Bersih dan menyukai kepada yang bersih.


لِلْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ أَرْبَعُ خِلَالٍ يُشَمِّتُهُ إِذَا عَطَسَ وَيُجِيبُهُ إِذَا دَعَاهُ وَيَشْهَدُهُ إِذَا مَاتَ وَيَعُودُهُ إِذَا مَرِضَ

Antara muslim satu dengan muslim lainnya ada empat kewajiban; menjawabnya jika bersin, memenuhi undangannya jika mengundang, berta'ziyah jika meninggal dan menjenguknya jika sakit.
[18]

شَرُّ الْكَسْبِ مَهْرُ الْبَغِيِّ وَثَمَنُ الْكَلْبِ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ

Dari Uqbah dari Amru, bahwa Rasulullah melarang (pekerjaan) berbekam.
[19]

Sekelompok orang datang kepada Nabi, dan beliau mencium bau bawang. Lalu bersabda:

أَلَمْ أَكُنْ نَهَيْتُكُمْ عَنْ أَكْلِ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسَانُ

Bukankah aku telah melarang kalian memakan pohon ini? Sesungguhnya malaikat tidak menyukai perkara yang juga tidak disukai oleh manusia.
[20]

b. Berkumpulnya tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan taqrir (diamnya) Rasul terhadap suatu perbuatan. Contohnya adalah hadits Rasulullah tentang larangan berobat dengan perkara yang diharamkan. (khamar). Rasulullah bersabda:

إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ

Sesungguhnya (khamar) itu bukan obat tetapi penyakit.


Dan hadits tentang suatu kaum yang meminta izin kepada Rasul untuk meminum air kencing dan susu unta sebagai obat bagi mereka.

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا اجْتَوَوْا فِي الْمَدِينَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَلْحَقُوا بِرَاعِيهِ يَعْنِي الْإِبِلَ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَلَحِقُوا بِرَاعِيهِ فَشَرِبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا حَتَّى صَلَحَتْ

Dari Anas radliallahu 'anhu bahwa sekelompok orang sedang menderita sakit ketika berada di Madinah, maka Nabi memerintahkan mereka supaya menemui penggembala beliau dan meminum susu dan kencing unta, mereka lalu pergi menemui sang penggembala dan meminum air susu dan kencing unta tersebut sehingga badan-badan mereka kembali sehat.
[22]

Air kencing adalah najis. Meminumnya adalah diharamkan. Dalam hadits pertama Rasulullah melarang berobat dengan perkara yang diharamkan. Sedangkan dalam hadits kedua Rasul mengakui (membiarkan) berobat dengan yang diharamkan (meminum air kencing unta). Maka, larangan yang disertai dengan pengakuan memberikan arti makruhnya berobat dengan perkara yang diharamkan.

c. Apabila suatu aktivitas tergolong taqarrub kepada Allah, tetapi tidak termauk cakupan pada pembahasan poin kesatu. Contohnya adalah sabda Rasulullah :

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada muslim yang lain sebanyak dua kali, melainkan sama dengan memberikan sedekah satu kali.
[23]

مَا تَصَدَّقَ أَحَدٌ بِصَدَقَةٍ مِنْ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ إِلَّا أَخَذَهَا الرَّحْمَنُ بِيَمِينِهِ وَإِنْ كَانَتْ تَمْرَةً فَتَرْبُو فِي كَفِّ الرَّحْمَنِ حَتَّى تَكُونَ أَعْظَمَ مِنْ الْجَبَلِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ فَصِيلَهُ

Apabila salah seorang bersedekah dengan sedekah yang baik -Allah tidak menerima kecuali yang baik- maka sedekah itu akan diambil oleh Allah dengan tangan kanan-Nya. Apabila sedekah tersebut berupa kurma maka dalam telapak tangan ar-Rahman tanahnya akan menjadi lebih besar dari gunung, kemudian Allah akan memeliharanya sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak kuda atau anak untanya.
[24]

ثَلَاثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ

Puasa tiga hari setiap hari setiap bulan, dan Ramadhan hingga Ramadhan yang lain ini adalah puasa setahun penuh.
[25]

Rasulullah bersabda:


الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

"Sesungguhnya doa adalah ibadah."


3. Qarinah yang memberikan arti sama antara tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, atau tergolong ibahah. Antara lain:
a. Berupa penjelasan bahwa Rasulullah saw melaksanakan suatu aktivitas pada suatu waktu dan meninggalkannya pada waktu yang lain.
Contohnya adalah apa yang diriwayatkan Imam Thabrani yang mengeluarkan hadits dalam kitab al-Ausath:

أَنَّهُ ذُكِرَ الْقِيَامُ فِي الْجَنَائِزِ حَتَّى تُوضَعَ فَقَالَ عَلِيٌّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَعَدَ وَفِي الْبَاب عَنْ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَلِيٍّ حَدِيثٌ صَحِيحٌ وَفِيهِ رِوَايَةُ أَرْبَعَةٍ مِنْ التَّابِعِينَ بَعْضُهُمْ عَنْ بَعْضٍ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَهَذَا أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَهَذَا الْحَدِيثُ نَاسِخٌ لِلْأَوَّلِ إِذَا رَأَيْتُمْ الْجَنَازَةَ فَقُومُوا و قَالَ أَحْمَدُ إِنْ شَاءَ قَامَ وَإِنْ شَاءَ لَمْ يَقُمْ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ رُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَامَ ثُمَّ قَعَدَ وَهَكَذَا قَالَ إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَبُو عِيسَى مَعْنَى قَوْلِ عَلِيٍّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَازَةِ ثُمَّ قَعَدَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى الْجَنَازَةَ قَامَ ثُمَّ تَرَكَ ذَلِكَ بَعْدُ فَكَانَ لَا يَقُومُ إِذَا رَأَى الْجَنَازَةَ

Rasulullah berdiri kemudian duduk. Hadits semakna diriwayatkan dari Al Hasan bin Ali dan Ibnu Abbas. Abu Isa berkata; "Hadits Ali merupakan hadits shahih pada masalah itu. Juga ada riwayat empat orang Tabiin, sebagian mengambil dari yang lainnya. ini pendapat yang dipakai oleh sebagian ulama. Syafi'i berkata; 'Ini adalah riwayat yang paling sahih dalam masalah ini. Hadits ini juga menjadi penghapus hadits; 'Jika kalian melihat jenazah maka berdirilah'.' Ahmad berkata; 'Jika mau dia berdiri, dan jika tidak, maka tidak mengapa, dengan dalil bahwa diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau berdiri lalu duduk. Demikian juga pendapat Ishaq bin Ibrahim." Abu Isa berkata; "Makna perkataan Rasulullah berdiri pada suatu jenazah lalu duduk adalah Rasulullah jika melihat jenazah berdiri kemudian beliau meninggalkannya, yaitu beliau tidak berdiri lagi jika melihat jenazah."
[27]

Saya memahami dari fenomena tersebut bahwa duduk dan berdiri ketika melihat jenazah hukumnya ibahah.
b. Penjelasan tentang pengampunan atas suatu perbuatan dalam pensyariatan secara umum tanpa adanya alasan. Rasulullah pernah ditanya tentang gemuk, keju, dan bulu binatang. Kemudian beliau bersabda:

الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ

"Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya. Sedangkan perkara yang tidak diceritakan Allah dalam kitab-Nya termasuk perkara yang dimaafkan bagi kalian."
[28]

c. Apabila termasuk perbuatan-perbuatan jibiliyyah yang berkaitan dengan khasiat-khasiat tubuh. Dan termasuk perkara-perkara yang diciptakan oleh Allah dan ditundukkan bagi manusia, selama tidak ada pengkhususan atau taqyid terhadap keduanya. Allah Swt berfirman:

وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلْأَنْهَٰرَ

Dan Dia telah menundukkan pula bagimu sungai-sungai. (TQS. Ibrahim [14]: 32)

ٱللَّهُ ٱلَّذِى سَخَّرَ لَكُمُ ٱلۡبَحۡرَ لِتَجۡرِىَ ٱلۡفُلۡكُ فِيهِ بِأَمۡرِهِ

Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya. (TQS. al-Jaatsiyah [45]: 12)

كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللهِ

Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah. (TQS. al-Baqarah [2]: 60)

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا

Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. (TQS. al-A‟raaf [7]: 31)

أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi. (TQS. al-A‟raaf [7]:185)

انْظُرُوا إِلَىٰ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ

Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah. (TQS. al-An‟aam [6]: 99)

فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِ

Maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rezki-Nya. (TQS. al-Mulk [67]: 15)

أَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ الَّذِي يُقَالُ لَهُ سَيْفُ اللَّهِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ خَالَتُهُ وَخَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَوَجَدَ عِنْدَهَا ضَبًّا مَحْنُوذًا قَدِمَتْ بِهِ أُخْتُهَا حُفَيْدَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ مِنْ نَجْدٍ فَقَدَّمَتْ الضَّبَّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ قَلَّمَا يُقَدَّمُ إِلَيْهِ طَعَامٌ حَتَّى يُحَدَّثَ بِهِ وَيُسَمَّى لَهُ فَأَهْوَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ إِلَى الضَّبِّ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْ النِّسْوَةِ الْحُضُورِ أَخْبِرْنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا قَدَّمْتُنَّ لَهُ قُلْنَ هُوَ الضَّبُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ أَحَرَامٌ الضَّبُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا وَلَكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ قَالَ خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ يَنْظُرُ فَلَمْ يَنْهَنِي

Dari Khalid bin Walid: Bahwa (kepada) Rasulullah saw dihidangkan biawak bakar. Rasul mendekatkan diri dan mengulurkan (tangan) untuk memakannya, tetapi orang-orang yang hadir berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu adalah daging biawak." Kemudian beliaupun menarik (kembali) tangannya. Khalid bin Walid berkata: "Wahai Rasulullah apakah (daging) biawak itu haram? Rasul menjawab: „Tidak, tetapi (hal itu) tidak terdapat di daerahku sehingga aku enggan memakannya." Setelah itu Khalid berselera (menginginkan daging) biawak itu dan memakannya. Sedangkan Rasulullah melihatnya.
[29]

d. Setiap perbuatan haram atau yang dilarang dengan pasti karena suatu sebab, kemudian setelah hilang sebabnya kembali menjadi halal. Penghalalan itu berarti (hukumnya) ibahah. Namun, jika larangan tersebut karena adanya penghalang (mani‟), lalu setelah penghalang itu hilang kembali dihalalkan, maka penghalalannya berarti kembali kepada hukum sebelum adanya penghalang, baik itu wajib, mandub, ataupun mubah. Dengan kata lain, penghalalan setelah pengharaman karena adanya penghalang tidak menunjukkan apapun.

Contohnya adalah bolehnya bertebaran untuk mencari rizki setelah shalat Jum‟at, dan bolehnya berburu setelah selesai (melaksanakan) ihram (lihat hukum atas perbuatan manusia yang mubah). Adapun setelah halangan (itu hilang) maka hukumnya kembali menjadi ibahah, nadb atau fardlu. Artinya, tidak mempunyai penunjukkan apapun. Menyentuh mushaf boleh bagi orang yang bersuci. Apabila terdapat penghalang, maka diharamkan. Dan jika penghalang itu tidak ada maka menyentuh mushaf kembali kepada hukum asalnya. Shalat fardlu, karena ada penghalang menjadi diharamkan; apabila penghalangnya telah hilang, maka hukumnya kembali seperti asalnya, yakni wajib. Shalat sunnat, hukumnya mandub sebelum adanya larangan. Ketika ada penghalang menjadi haram. Dan jika penghalangnya telah hilang maka kembali kepada hukum asalnya, yakni mandub.
Memahami berbagai qarinah dan penunjukannya yang bersifat pasti ataupun tidak pasti atas suatu tuntutan merupakan perkara yang memerlukan pengerahan segenap kemampuan dan perhatian. Sebab, hukum syara selalu berkaitan dengan perkara ini dan berdiri di atasnya. Semoga Allah memberikan pertolongan kepada orang yang menolong agama Allah, serta benar dan ikhlas dalam amalnya.

KHITHAB SYARI‟ YANG BERKAITAN DENGAN PERBUATAN HAMBA DENGAN PENETAPAN WADL'I, YANG MENJELASKAN PERKARA YANG DITUNTUT KEBERADAANNYA OLEH HUKUM, DISEBUT JUGA KHITHAB AL-WADL'I

Bersambung

Klik Disini
(Footnotes)
1.
^ Shahih Bukhari-Kitab as-Shulhu-no: 2499; Shahih Muslim-Kitab al-Aqdliyah-no: 3242, 3243; Sunan Abu Daud-Kitab as-Sunnah-no: 3990; Sunan Ibnu Majah-Muqaddimah-no: 14; Musnad Ahmad-sisa bagian Musnadal-Anshar-no: 23975, 24298, 24840, 24955, 25124.
2.
^ Sunan an-Nasa'i-Iman dan Syariat-no: 4928, para perawinya tsiqah; AbuDaud-Muqaddimah-66; Ibnu Majah-Muqaddimah-66; ad-Darami-ar-Riqaaq-2624; Ahmad: 12349, 13402; Bukhari dan Muslim menggunakan lafadz: Bukhari-al-Iman-14; Muslim-al-Iman-62, 63.
3.
^ Sama dengan no.2
4.
^ HR. Bukhari Nomor 4686
5.
^ Abu Daud-al-Fitan wa al-Malahim-3706; Musnad Ahmad: 22195, 22334
6.
^ Bukhari-al-Adzan-609, 610; Muslim ash-Shalat 199; an-Nasa'i al-Imamah 828; Ibnu Majah-al-Masajid-781; Musnad Ahmad: 5080, 5518, 5651; Muwaththa Imam Malik-Nida li ash-Shalat-264.
7.
^ Tirmidzi No.1002; Baihaqi:7/78 no.13233; Mu'jamul Kabir: 22/366 no.920; Mu'jamul Ausath: 1/538 no.993
8.
^ Bukhari-Mawâqit ash-Shalat-562; Muslim-al-Masajid-1097, 1102; Abu Daud-ash-Shalat-374; at-Tirmidzi-ash-Shalat-162; an-Nasa'i-al-Mawâqit-610; Ibnu Majah: 690; Musnad Ahmad: 11534; ad-Darami: 1201
9.
^ Musnad Ahmad: 24500; ad-Darami ath-Thaharah 791 no: 182.
10.
^ Bukhari-al-Jum?ah-838; at-Tamanni 6699; Muslim-ath-thaharah-370; AbuDaud-ath-Thaharah-43; an-Nasa?i-ath-Thaharah-7; Ibnu Majah-ath-Thaharah-283; Musnad Ahmad: 573, 921, 7037; Muwaththa Imam Malik ath-Thaharah-132; ad-Darami ash-Shalat-1447.
11.
^ Muslim-Haji-2286; an-Nasa?i-Haji-3012; Abu Daud-Manasik-1680; Musnad Ahmad: 1389 14091.
12.
^ Bukhari-al-Adzan-595, 5549; ad-Darami ash-Shalat-1225; Ahmad: 5/53; Baihaqi: 2/345.
13.
^ Abu Daud-ash-Shalat-418; Musnad Ahmad: 6402, 6467.
14.
^ Bukhari-al-Jum'ah-1026; Muslim-al-Hajj-2383; Abu Daud-al-Manasik-1465; Musnad Ahmad: 11200.
15.
^ Musnad Ahmad: 3/33, isnadnya shahih; al-Mustadrak: 2/14; Musnad Abu Ya'la: 10/115.
16.
^ Tirmidzi-al-Birru wa ash-Shilah-1879.
17.
^ Tirmidzi-al-Adab-2723, dikatakannya bahwa hadits ini gharib; Abu Ya'la: 2/12.
18.
^ Ibnu Majah-al-Janaaiz-1424; Musnad Ahmad: 21310; Ibnu Hibban: 1/477.
19.
^ Muslim-al-Musaqat-2931; Nasa'i-ash-Shaid-4220, 4594; Ibnu Majah-at-Tijaarat-2156; Musnad Ahmad: 7635, 8039.
20.
^ Ibnu Majah-al-Ath'imah-3356; Ibnu Hibban: 1646.
21.
^ Muslim Bab Minuman NO - 3670
22.
^ Bukhari: 5254, AHMAD NO - 13572
23.
^ Ibnu Majah-al-Ahkam-242 no.2421, isnadnya dla'if akan tetapi as-Sarkhasi menggunakannya dalam al-Mabsuth: 22/39 dan itu adalah izin yang baik.
24.
^ Muslim: 1684; Bukhari: 1321
25.
^ Bukhari NO - 1840 Muslim NO - 1962 Abu Daud: 2071; Nasa'i: 2338.
26.
^ Tirmidzi; 3294 ; Abu Daud NO - 1264
27.
^ Tirmidzi Bab Janazah NO - 965;
28.
^ Tirmidzi: 1648, dikatakannya bahwa hadits ini gharib… seakan-akan sah jika mauquf; Ibnu majah: 3358; Baihaqi: 10/12.
29.
^ Bukhari: 4972; 4981: 5111; Muslim: 3602; 3603.

. . . . . . . . .



. . . . . . . . .


Back to Top

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to top