Pembahasan Masalah Imam dan Witir yang terjadi di Masjid Nabawi masa pemerintahan Saudi menurut Syeikh Athiyyah Salim
Pembahasan ini memaksa kita (mushannif) untuk membicarakan penyatuan satu imam yakni imam yang bisa, juga banyaknya shalat witir pada bulan Ramadhan di Masjid Nabawi yang mulia. Kita (mushannif) katakana ”memaksa” karena hal ini bukan termasuk pembahasan inti dalam pembicaraan shalat tarawih dan perkembangannya tetapi mempunyai hubungan yaitu penyatuan imam pada masa pemerintahan Saudi dan menyendirinya pengikut Imam Hanafi dalam shalat witir dari imam yang bisa. Ada dua pernyataan yang perlu diajukan:
- Mengapa imam dijadikan satu, padahal sebelumnya banyak sesuai dengan banyaknya madzhab? Disatukan dalam madzhab apa? Perlu diketahui bahwa imam-imam itu seluruhnya mengambil sumber dari Al Qur’an dan Al Hadits.
- Apa sebab para pengikut Imam Hanafi menyendiri dalam shalat witir, sedang dalam shalat tarawih, fardhu dan shalat malam mereka bersatu dan bersama imam biasa
Demikian kita dihadapkan pada dua soal tadi dan kita (mushannif) harus berusaha menjawabnya, akan tetapi terus terang kami (mushannif) katakana bahwa menjawab hal itu bukanlah suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan, maksudnya hanya sekedar memberikan jawaban yang sifatnya memaparkan dan menganalisa hal-hal yang telah lampau dan mengambil penilaian dari yang ada sekarang (1390 H.), sedang hukumnya dikembalikan kepada para pembaca sendiri, hal itu karena metode pembahasan ini adalah memaparkan sejarah dan menganalisa fiqih.
Dua masalah ini telah dibahas oleh banyak penulis dan pengarang dalam buku-buku karangan mereka, dengan mengemukakan pendapat mereka didalamnya. Sebagian ada yang menuliskan dalam risalah khusus. Untuk itu kami 9mushannif) ingin menuliskan jawaban tersebut:
Tentang soal pertama, yaitu dari segi penyatuan imam, maka sebenarnya satu hal yang tidak perlu kita perselisihkan dan dipertanyakan, kalau tidak terpaksa, karena bigitulah asalnya dalam semua shalat. Segala sesuatu yang sudah sesuai dengan asalnya tidak perlu dipertanyakan dengan kata-kata ”mengapa” , pertanyaan itu bisa dilontarkan untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan asalnya. Meski bunyi pertanyaan itu; Mengapa harus ada banyak imam untuk satu shalat dalam satu masjid?’ Dengan dilakukannya shalat berkali-kali dengan banyak imam, hal ini tidak sesuai dengan asalnya, yaitu yang dikerjakan sebelum periode Saudi itu. Tetapi hal ini sudah berlalu, tidak perlu dibicarakan lagi.
Seperti yang diketahui dengan jelas bahwa dalam agama, persatuan umat adalah tujuan utama agama Islam. Persatuan mereka dalam shalat termasuk perwujudan yang besar dari persatuan yang menyeluruh dimana barisan dan cara melakukannya tidak ada perbedaan antara yang kecil dan yang besar, rakyat jelata dengan penguasa, yang kaya dengan yang miskin, semuanya berdiri sejajar berdampingan. Yang menetang hal ini dianggap merongrong dan keluar dari barisan persatuan yang diharapkan, apalagi di Masjid Nabi yang merupakan sumber persatuan dan kiblat ummat serta sebagai contoh.
Sejak dulu sampai abad ketujuh, kecuali pada shalat tarawih, sebabnya bukan karena banyaknya madzhab tetapi karena makmum waktu itu mencari imam yang bacaannya baik. Hal ini Sayyidina Umar tidak senang, akhirnya semua dijadikan satu imam yakni Ubay bin Ka’ab. Untuk menghindarkan perpecahan, Sayyidina Umar telah mengumpulkan bantak qari’ (imam) untuk menilai bacaan mereka masing-masing. Akhirnya diputuskan bagi yang bacaannya cepat membaca 50 ayat, sedang yang bacaannya lambat 30 ayat dan seterusnya.
Memang, imam tarawih banyak tetapi diatur secara bergantian, tidak bersama-sama dalam satu waktu dengan banyak imam, begitu juga dalam shalat witir. Hal seperti ini juga berlaku pada jaman SAYYIDINA Utsman dan Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhum, belum pernah terjadi adanya banyak imam dalam satu shalat kecuali pada abad ketujuh seperti yang telah diterangkan sebelumnya. Itulah sekilas sejarah tentang masalah banyaknya imam, tidak ada satupun perbuatan salaf yang bisa diikuti yang menyatakan adanya perselisihan secara jama’ah.
Secara sendiri-sendiri mungkin ada dalam tarawih atau witir, hal ini hanya disebabkan perbedaan penilaian mereka dalam menentukan paling afdhol. Ditinjau dari segi hukum fiqih, maka semua madzhab menyatakan bahwa setiap orang boleh bermakmumkepada siapa saja yang sah menjadi imam, meskipun tidak sama madzhabnya. Belum pernah kita dapatkan dari madzhab empat yang mensyaratkan dalm shalat jama’ah bahwa imam madzhab harus sama dengan madzhab makmum, ahkan mereka satu dengan yang lain pernah bermakmum di belakang yang lain.
Seperti yang terjadi bahwa Abu Yusuf teman Imam Abu Hanifah berkumpul dan bermakmum kepada Imam Malik, Imam Malik tidak menentangnya. Begitu Imam Syafi’i, Imam Malik dan Muhammad teman Abu Hanifah, masing-masing pernah shalat makmumdi belakang yang lain, mereka tidak berselisih. Imam Ahmad juga pernah shalat bersama dengan Imam Syafi’i mereka tidak berselisih. Begitulah telah berlangsung lebih dari tujuh abad di Madinah tidak pernah ada yang tidak mau shalat makmum di belakang imam karena berlainan madzhab. Selain itu jama’ah haji yang datang ke Madinah dari seluruh penjuru dunia, juga terdiri pengikut madzhab empat
Penyatuan jama’ah shalat pada satu imam adalah perbuatan salaf dan mengikuti asal syari’at serta merealisasikan tujuan penting Islam dalam persatuan ummat Islam, hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam seluruh madzhab sendiri. Ini berkenaan dengan shalat pada umumnya yaitu shalat lima waktu dan shalat tarawih. Madzhab yang dipakai dalam penyatuan itu adalah madzhab Imam Ahmad bin Hambal. Pemilihan madzhab Imam Ahmad bin Hambal adalah satu hal yang wajar, karena akan terealisasi persatuan yang diharapkan. Sebab madzhab Imam Ahmad bin Hambal yang umum dan berjalan di Saudi waktu itu, maka tidak mungkin adanya imam dengan madzhab yang lain (apapun madzhab itu) di daerah-daerah Hijaz apalagi Masjid Nabawi. Penyatuan imam pada madzhab imam Ahmad terbukti betul-betul satu hal yang wajar dan bisa merealisasikan maslahat yang diharapkan dalam persatuan ummat Islam serta di Masjid Rasulullah
Satu hal yang lebih menguatkan lagi bahwa menjadi imam bukan hanya dari orang-orang Hambali saja, tetapi juga dari madzhab masing-masing dipilih menjadi imam dan diserahi untuk mengimami salah satu shalat lima waktu yang makmumnya seluruh orang muslim, seperti yang telah kita bicarakan. Syeikh Muhammad Kholil, dulu sebelum pemerintahan Saudi , menjadi imam untuk orang-orang Syafi’i diserahi untuk menjadi imam shalat Dhuhur, Syeikh Maulud dulu sebelum pemerintahan Saudi menjadi imam orang-orang Maliki untuk mengimami shalat Ashar dan Syiekh As’ad menjadi imam orang-orang Hanafi untuk mengimami shalat Isya’. Sdang shalat Maghrib dan subuh diserahkan pada Syiekh Rozaq Hamzah dibantu oelh Syeikh Taqyuddin Hilali dan juag dibantu oleh Syeikh Muhammad Abdullah pengikut Madzhab Maliki.
Itulah kenyataan sejarah dalam masalah imam di Masjid Nabawi pada jaman pemerintahan Saudi, yang menunjukkan bahwa (katanya red.) pemilihan madzhab Hambali dalam shalat jama’ah tidak menjadi penghalang adanya imam madzhab yang lain. Hal ini merupakan realisasi dari tujuan persatuan di daerah tersebut.
Mengenai jawaban untuk pertanyaan yang kedua, mengapa orang-orang Hanafi menyendiri dalam shalat witir saja, padahal sebelum jaman Saudi tidak demikian. Yang jelas hal ini (katanya red.) merupakan ekor dari pada yang ada sebelum pemerintahan Saudi, yaitu pada abad ke 12, seperti yang dikatakan oleh Syeik Syamhudi dala kitabnya ”Wafaul Wafa’” , bahwa dia menyaksikan pada waktu itu ia menasehati mereka agar mau meninggalkan perbedaan pendapat itu dan mau bersatu, akhirnya mereka mau mematuhi nasehatnya tapi tak lama kemudian kembali seperti semula. (kenapa ??? red.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar