SHALAT TARAWIH MENURUT MADZHAB SYAFI’I
Imam Syafi’i mengatakan bahwa shalat qiyam Ramadhan (tarawih) sendirian lebih kesenangi dan saya melihat orang-orang Madinah melakukan 39 rakaat dan yang paling saya senangi adalah 20 rakaat karena hali itu diriwayatkan oleh sayyidina Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu dan begitulah orang-orang Mekkah melakukannya.[1]
Kata-kata shalat sendirian seakan-akan maksudnya shalat tarawih sendirian, akan tetapi Al Muzni mererangkan bahwa maksud Imam Syafi’i dengan kata-kata itu adalah shalat nafilah (sunnah) yang dikerjakan sendiri tidak dengan berjama’ah seumpama shalat rawatib setelah shalat fardhu dan sesudahnya serta shalat witir. Beliau membedakan shlat qiyam ramadhan (tarawih) dengan shalat nawafil (sunnah) lainnya bukan membedakan antara shalat tarawih berjama’ah dengan shalat tarawih sendirian. Hal ini berdasarkan atas dhamir (nya/hu) dalam kata-kata lebih saya senangi dari padanya (minhu), yakni lebih saya senangi daripada qiyan ramadhan (tarawih). Juga berdasarkan atar permulaan kata-katanya pada awal pembahasan dengan kata-kata; ”Shalat Tathawwu’ (sunnah) ada dua macam; Pertama shalat jama’ah yang dikuatkan, yang tidak saya bolehkan meninggalkannya bagi mereka yang kuat mengerjakannya seperti shalat ‘idain (dua hari raya) dan seterusnya. Yang kedua shalat sendirian, yang sebagian lebih dikuatkan dari yang lain, yang paling dikuatkan adalah shalat witir hamper sama dengan shalat tahajjud kemudian shalat sunnah fajar”, kemudian beliau berkata, “Saya tidak member rukhshah (keringanan) bagi seorang muslim untuk meninggalkan salah satu diantaranya, bahkan saya mewajibkannya, barang siapa meninggalkan salah satu diantaranya maka dia lebih jelek daripada yang meninggalkan seluruh nawafil.” Kemudian beliau berkata tentang qiyam Ramadhan (tarawih), ”Maka shalat sendirian lebih saya sukai daripadanya.” Atau dengan kata lain, shalat sunnah fajar dua rakaat dan shalat sunnah witir lebih dikuatkan dari pada shalat sunnah qiyam Ramadhan.”
An Nawawi telah memparinci dan menyebutkan pengarang (Syafi’i) berkata, “Diantara shalat sunnah rawatib adalah qiyam Ramadhan (tarawih) yaitu 20 rakaat dengan 10 salam dalilnya ialah riwayat yang mengatakan bahwa Abu Hurairah berkata bahwa Nabi menganjurkan untuk qiyam ramadhan tanpa memerintahkan dengan dengan sungguh (pasti) dan bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang menunaikan (shalat pada malam) Ramadlan dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni." (Mutafaqun ‘alayhi)[2]
Yang lebih afdhal dilakukan dengan berjama’ah, ini pendapat Al buwaiti dengan dalil riwayat yang mengatakan bahwa sayyidina Umar mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab. Sebagian ada yang berpendapat bahwa melakukan sendiri-sendiri lebih afdhal karena Nabi shalat bersama mereka hanya beberapa malam, kemudian tidak shalat bersama mereka lagi. Bagi madzhab pertama, ketidak-hadiran Rasulullah melakukan shalat bersama mereka karena khawatir dianggap wajib atas mereka dan diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Saya takut kalau diwajibkan atas kamu dan kamu tidak mampu melaksanakannya.”
Al Bughawi mengatakan; (keterangan) Hadits Abu Hurairah diriwayatkan oleh Muslim dalam lafadznya dan oleh Bukhari dengan ringkas. Dan hadits Umar menyatukan orang-orang kepada Ubay bin Ka’ab adalah hadits shahih diriwayatkan oleh Bukhari. Dan dua hadits lainnya menyebutkan bahwa Nabi shalat maka diikuti oleh orang-orang , beberapa malam kemudian tidak. Dan hadits; “Saya takut diwajibkan atas kamu”, keduanya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Sedang kata-kata tanpa memerintahkan dengan sungguh-sungguh (pasti) artinya tanpa mewajibkan tetapi berupa anjuran dan menyunnahkan dengan menyebutkan fadhilahnya. Kata-kata penuh dengan iman artinya mempercayai bahwa itu haq (benar) dan kata-kata mengharap ridha Allah artinya mengerjakan karena Allah bukan untuk riya’ (sombong)
Mengenai hukumnya maka shalat tarawih itu hukumnya sunnah menurut ijma’ para ulama. Sedang madzhab Syafi’i dalam hal ini 20 rakaat dengan 10 salam, boleh dikerjakan sendiri-sendiri boleh dengan berjama’ah. Tentang mana yang lebih afdhal, ada dua pendapat yang masyhur, seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’i dan para pendukung kedua pendapat itu. Yang betul menurut persetujuan para sahabat adalah dilakukan dengan jama’ah lebih afdhal, inilah yang tertulis dalam Al Buwaiti dan kebanyakan teman kita yang terdahulu berpendapat seperti ini (kedua) dengan sendiri-sendiri lebih afdhal, pengarang (Syafi’i) telah menyebutkan dalil keduanya. Ashhabusy Syafi’i dari Iraq dan Shaidalani serta Baghawi dan yang lain dari orang-orang Khurasan mengatakan bahwa perselisihan dalam hal ini bagi yang hafal Al Qur’an dan tidak takut malas, kalau mengerjakan sendirian masjid tidak akan sepi karenanya. Kalau tidak ada sesuatu hal maka berjama’ah lebih afdhal tanpa ada perselisihan.
Abul Abbas dan Abu Ishaq berkata, “Shalt Tarawih dengan jama’ah lebih afdhal daripada sendirian karena hal ini ijma’ para sahabat dan seluruh daerah.” Merekapun berkata, “Masuk waktu tarawih setelah selesai shalat Isya’. Dikatakan pula oleh Baghawi dan yang lain terus berlangsung sampai terbit fajar, shalat 2 rakaat 2 rakaat seperti biasa, kalau ada yang shalat 4 rakaat dengan satu salam tidak sah, disebutkan oleh Kodi Husein dalam fatwanya, karena hal itu bertentangan dengan yang disyariatkan. Dan tidak sah shalat itu hanya dengan sekedar niat secara umum tetapi harus berniat sunnah tarawih atau shalat tarawih atu qiyam Ramadhan dan harus berniat dalam setiap dua rakaat dua rakaat dalm shalat tarawih.
Dan berkata; (cabang) tentang madzhab-madzhab ulama dalm bilangan rakaat. Madha Syafi’Ii 20 rakaat dengan sepuluh salam selain witir yaitu dengan lima tarawih dan setiap tarawih empat rakaat dengan dua salam. Inilah Madzhab Imam Syafi’i yang juga dianut oleh Abu Hanifah dan teman-temannya, juga Ahmad dan Dawud serta yang lainnya. Kodi Iyad menukil dari banyak ulama (jumhur ulama) dan mengisahkan bahwa Aswad bin Mazid shalat tarawih dengan 40 rakaat dan berwitir dengan 7 rakaat dan Malik berkata, “Tarawih itu Sembilan tarawih yakni 36 rakaat selain witir. Dia berhujjah karena orang-orang Madinah mengerjakan seperti tiu dan Nafi’ berkata, “Saya dapati orang-orang shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan 39 rakaat termasuk witirnya tiga rakaat.”
Rekan-rekan berhujjah dengan apa yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan yang lain denag sanad yang shahih dari Sa’ib bin Yazid (seorang sahabat) radhiallhu ‘anhu berkata, “Meraka pada jaman Sayyidina Umar bi Khattab radhiallahu ‘anhu shalat tarawih denga 20 rakaat, mereka membaca ratusan ayat dan sampai mereka bersandar pada tongkat karena terlalunya berdiri.” Dan Yazid bin Ruman berkata, “Pada jaman Sayyidina Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu orang-orang melakukan shalat tarawih dengan 23 rakaat “, diriwayatkan oleh Malik dalam Muwththa’ dari Yazid bin Ruman, juga diriwayatkan oleh Baihaqi tetapi Mursal karena Yazid bin Ruman beleum pernahmengetahui sayyidina Umar. Baihaqi berkata, ”Dua riwayat itu bisa disatukan bahwa mereka bertarawih dengan 20 rakaat dan berwitir denagn 3 rakaat.” Baihaqi juga meriwayatkan bahwa Sayyidina Ali karramallahu wajhahu juga melaksanakan shalat tarawih dengan 20 rakaat.
Mengenai apa yang dikatakan tentang yang dilakukan oleh orang-orang Madinah, ashabusy Syafi’i mengatakan, sebabnya ialah orang-orang Mekkah mengerjakan thawaf diantara setiap dua tarawih, diteruskan shalat dua rakaat, mereka tidak melakukan thawaf setelah shalat tarawih yang kelima, maka orang-orang Madinah ingin menyamai mereka dengan menggantikan setiap thawaf dengan 4 rakaat, dengan demikian mereka menambahkan 16 rakaat ditambah lagi dengan witir 3 rakaat, jumlahnya menjadi 39 rakaat. والله أعلم
Pengarang kitab Asy Syamil dan kita Al Bayan berkata, “Teman-teman kita menyatakan, bagi oaring-orang selain Madinah tidak boleh mengerjakan seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang Madinah, yakni tidak boleh shalat 36 rakaat karena orang-orang Madinah mempunyai penghormatan (keistimewaan) sebagai tempat hijrah dan meninggalnya baginda Rasulullah , sedang selain mereka tidak.” Al Qadi Abu Thayib dalam komentarnya bahwa Imam Syafi’i berkata, “Selain orang Madinah tidak boleh mengikuti dan menyamai orang-orang Mekkah.”
Dikatakan; sedang imam dalam shalat tarawih membaca surat Al Baqarah dalam 8 rakaat, kalau di (imam) membacanya dalm 12 rakaat maka orang-orang mengatakan bahwa imam ingin meringankan makmum. Malik juga meriwayatkan dari Abdullah bin Abu Bakar radhiallahu ‘anhuma; Saya mendengar ayahku berkata, “Kita pulang dari shalat tarawih di bulan Ramadhan dengan tergesa-gesa menyiapkan makan sahur karena takut terburu fajar.” Malik juga meriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf dari Said bin Yazid, “Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk menjadi imam sedang imam membaca dua ratus ayat sehingga kita bersandar pada tongkat karena lamnya berdiri dan kita baru pulang menjelang fajar.”
Dan Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Utsman al Hindi, “sayyidina Umar memanggil 3 orang qari’ dan meminta mereka membaca, akhirnya menyuruh yang paling cepat bacaannya untuk mengimami dengan 30 ayat sedang yang pertengahan dengan 25 ayat dan yang paling lambat dengan 20 ayat.” Kemuudian berkata; dari Urwah bin Zubair bahwa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu menyatukan orang-orang untuk shalat qiyam Ramadhan (tarawih) yang laki-laki pada Ubay bin Ka’ab dan yang perempuan kepada Sulaiman bin Abi Hatsmah.”
Dan dari SAFRAJAH As Saqani berkata, “Ali bin Abi Thalib menyuruh orang-orang untuk shalat tarawih dan dia menjadikan satu orang imam untuk laki-laki dan satu lagi untuk perempuan, sayalah imam untuk perempuan, diriwayatkan oleh Baihaqi.” Kemudian berkata, “Sudah kita sebutkan bahwa yang shahih (betul) bagi kita bahwa melakukan shalat tarawih dengan berjama’ah lebih afdhal daripada sendiri-sendiri, pendapat ini adalah pendapat kebanyakan ulam (jumhur), bahkan Ali bin Musa Al Qumi menyatakan sebagai ijma’.” Rabi’ah, Malik Abu Yusuf dan lain-lainnya berkata bahwa sendirian lebih afdhal, kita bantah mereka dengan dalil bahwa para sahabat telah sepakat mengerjakan dengan jama’ah seperti yang telah kita sebutkan.
Dalil mereka yang mengatakan bahwa sendirian lebih afdhal adalah sabda Rasulullah :
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ
Shalatlah hai manusia di rumah kalian, sebab seutama-utama shalat seseorang adalah di rumahnya selain shalat wajib." (BUKHARI no. 6746, MUSLIM no. 1301, AHMAD no. 20600, 20619, 20645.)
Juga kata-kata sayyidina Umar yang terdahulau ketika mekhat orang-orang brmakmum dibelakang Ubay bin Ka’ab (pada saat kamu tidut lebih afdhal) atau dengan kata lain shalat pad akhir malam lenih afdhal. Tetapi yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan dengan jama’ah, yang menguatkan pendapat ini adalah riwayat yang diriwayatkan oleh Nawawi bahwa para sahabat melakukannya dan persetujuan Rasulullah terhadap mereka yangbermakmum di belakang beliau dan permintaan mereka agar ditambah sampai akhir malam dan lain-lainnya yang saling menguatkan.
BERSAMBUNG KE Shalat Tarawih Menurut Madzhab Hambali
Back to The Title
NoteFood:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar