حيات الدنيا حيات قليلة فلا تلغ حياة أبدية

Kamis, 14 Januari 2016

HUKUM UCAPAN SELAMAT NATAL

Hukum Mengucapkan "Selamat Natal" Menurut ulama Fiqh


Seputar mengucapkan "selamat natal" bagi saudara-saudara kita kaum nasrani secara eksplisit tidak di sebut dalam Alquran dan Hadits. Sehingga memberi hukum, apakah hal ini diperbolehkan atau dilarang adalah menjadi ranah ijtihat bagi ulama yang berkompeten. Kita sebagai orang awam hanya bisa mengikuti beliau-beliau. Berikut beberapa pendapat ulama tentang ucapan selamat natal. Silakan di simak dengan seksama dan terserah anda semua mau mengikuti pendapat yang mana.


Secara garis besar, ada dua pendapat seputar hukum mengucapkan selamat natal dan tahun baru pada umat kristiani (Kristen atau Katolik). Yaitu, boleh (mubah) dan tidak boleh (haram). Dengan beberapa alasan masing-masing. Hukum mengucapkan Selamat Natal tidak jelas statusnya dalam Quran atau Hadits. Dalam Islam, berbeda pendapatnya para ahli agama terhadap masalah atau isu yang tidak disebut secara ekplisit di dalam Al Qur'an dan Sunnah Nabi itu boleh. Itu disebut ijtihad dan pelakunya disebut mujtahid.


Islam sangat menganjurkan para ahli agama di bidangnya untuk melakukan ijtihad. Muadz bin Jabal dipuji Nabi dengan ijtihadnya saat dikirim Nabi ke Yaman sebagai Hakim. Tetapi, ijtihad adalah aktivitas para ahli di bidang agama. Sebagaimana juga undang-undang negara yang hanya dapat dibuat oleh para ahli hukum. Ada yang bermimpi bahwa ijtihad hukum Islam dapat dilakukan oleh siapa saja. Pendapat ini tidak logis bahkan bagi kalangan awam sekalipun. Kalau hanya ahli hukum pidana yang dapat membuat perundang-undangan atau keputusan hukum pidana umum, maka mengapa hukum Islam yang begitu penting dapat dilakukan oleh sembarang orang?


Kembali pada soal Natal, yang menjadi perbedaan (ikhtilaf) ulama adalah seputar mengucapkan Selamat Natal. Sedangkan mengikuti ritual natal hukumnya haram secara ijmak (mufakat ulama fiqh). Sebagaimana haramnya orang Nasrani mengikuti ritual shalat Idul Fitri atau Idul Adha. Namun dipersilahkan untuk ikut acara makan-makan setelah acara shalat Ied selesai.


Wahai para pembaca yang budiman, Artikel ini ditulis bertujuan untuk memberi pencerahan kepada umat Islam terhadap persoalan seputar Natal. Karena itu, penulis memuat dua pendapat yang berbeda. Baik yang menghalalkan atau yang mengharamkan mengucapkan “Selamat Natal” atau ucapan selamat yang lain pada pengikut agama lain. Adanya arus besar dua perbedaan pendapat seputar hal ini penting. Karena dapat dipakai oleh umat Islam sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Pendapat diambil dengan memakai sumber rujukan dari kedua kubu. Dengan mengesampingkan preferensi pribadi.


Umat Islam akan menjadi rahmat bagi diri sendiri dan bagi seluruh alam apabila:
  • a) Tidak memaksakan kehendaknya sendiri.
  • b) Menghargai perbedaan pendapat ulama yang berdasarkan pada argumen ilmiah.
  • c) Boleh setuju atau tidak setuju dengan suatu pendapat dengan tetap menjaga perilaku Islami. Yakni, santun, logis dan tidak emosional.

Pendapat Bolehnya Mengucap Selamat Natal:
  1. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
  2. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa'
  3. Dr. Wahbah Zuhayli
  4. Dr. M. Quraish Shihab
  5. Fatwa MUI (Majlis Ulama Indonesia) dan Buya Hamka
  6. Dr. Din Syamsuddin
  7. Pendapat resmi dari ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah

Pendapat yang Mengharamkan Ucap selamat Natal:
Umumnya yang mengharamkan ucapan selamat Natal adalah ulama yang berhaluan Wahabi. Inti alasan dari ulama yang mengharamkan adalah karena mengucapkan selamat pada perayaan orang non-muslim sama dengan mengakui kebenaran agama mereka dan itu bertentangan dengan Quran QS. Al-Zumar: 7; QS. Al-Maidah: 3. Di antara ulama tersebut sebagai berikut:

  1. Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah
  2. Fatwa Syeikh Al-'Utsaimin (ulama Wahabi)
  3. Seluruh ulama Wahabi Salafi.
  4. Seluruh simpatisan Wahabi Salafi di Indonesia

Haram Mengikuti Sakramen (ritual) Natal
Mengikuti ritual (sakramen) Natal haram hukumnya secara mutlak. Baik menurut ulama yang membolehkan ucapan selamat natal maupun menurut ulama yang mengharamkannya.

Sumber Rujukan Kutipan Ulama


a) Bahasa Indonesia:


  1. https://sites.google.com/site/ppmenetherlands/syariah/hukummengucapkanselamatnatal
  2. www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1198564259

b) Bahasa Arab:


  1. https://www.fikr.com/zuhayli/fatawa_p54.htm#26 (pendapat Wahbah Zuhayli yang membolehkan)

    Wahbah Zuhayli mengatakan:

    لا مانع من مجاملة النصارى في رأي بعض الفقهاء في مناسباتهم على ألا يكون من العبارات ما يدل على إقرارهم على معتقداتهم

    Tidak ada halangan dalam bersopan santun (mujamalah) dengan orang Nasrani menurut pendapat sebagian ahli fiqh berkenaan hari raya mereka asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas (kebenaran) ideologi mereka.
  2. www.islamqa.info/ar/cat/2021 (Ibnu Taymiyyah yang mengharamkan)
  3. www. majdah.maktoob.com/vb/majdah14478/ (Al Uthaimin yang mengharamkan)
  4. يوسف القرضاوي

Pada link no. 4 mengutip fatwa Qardhawi yang membolehkan mengucapkan Selamat Natal pada hari raya umat Nasrani dan hari-hari raya non-muslim lain. Berikut pendapat Yuruf Qaradawi:

رى جمهور من العلماء المعاصرين جواز تهنئة النصارى بأعيادهم ومن هؤلاء العلامة د.يوسف القرضاوي حيث يرى ان تغير الاوضاع العالمية هو الذي جعله يخالف شيخ الاسلام ابن تيمية في تصريحه بجواز تهنئة النصارى وغيرهم بأعيادهم واجيز ذلك اذا كانوا مسالمين للمسلمين وخصوصا من كان بينه وبين المسلم صلة خاصة، كالأقارب والجيران في السكن والزملاء في الدراسة والرفقاء في العمل ونحوها، وهو من البر الذي لم ينهنا الله عنه، بل يحبه كما يحب الإقساط إليهم (ان الله يحب المقسطين) ولاسيما اذا كانوا هم يهنئون المسلمين بأعيادهم والله تعالى يقول (وإذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها)». ويرى د.يوسف الشراح انه لا مانع من تهنئة غير المسلمين بأعيادهم ولكن لا نشاركهم مناسبتهم الدينية ولا في طريقة الاحتفالات، ويبقى الأمر ان نتعايش معهم بما لا يخالف شرع الله، فلا مانع اذن من ان يهنئهم المسلم بالكلمات المعتادة للتهنئة والتي لا تشتمل على اي اقرار لهم على دينهم أو رضا بذلك انما هي كلمات ؅جاملة تعارفها الناس


Fatwa MUI dan HAMKA yang masih tersimpan di arsip Majalah TEMPO 16 Mei 1981 demikian: "Pada dasarnya menghadiri perayaan antaragama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan . . . "

Pada 30 Mei 1981 Majalah Tempo melaporkan: Mengapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri pekan lalu mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa.

Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MU di daerah-daerah. (TEMPO, 16 Mei 1981). Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei lalu memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MU. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual.

... HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional -termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar.

Perbedaan dalam Internal MUI

Disamping itu, rupanya masih adanya perbedaan pendapat. Misalnya yang tercermin dalam pendapat KH Misbach, Ketua MUI Jawa Timur tentang perayaan Natal. "Biarpun di situ kita tidak ikut bernyanyi dan berdoa, tapi kehadiran kita itu berarti kita sudah ikut bernatal," katanya. M nurut pendapatnya, "Seluruh acara dalam perayaan Natal merupakan upacara ritual." (Majalah Tempo, 30 Mei 1981).


Kesimpulan Fatwa MUI dan Hamka

Inti dari fatwa MUI era Hamka tahun 1981 adalah


  1. haram mengikuti ritual Natal.

    Salah satu sember rujukannya: https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2015/12/25/86097/buya-hamka-dan-fatwa-haram-rayakan-natal-1.html

  2. tidak haram menghadiri perayaan Natal, bukan ritualnya
  3. MUI Jawa Timur (KH. Misbach) mengharamkan menghadiri acara Natal baik sekedar untuk mengikuti perayaannya saja atau apalagi sampai mengikuti ritualny

Fatwa tersebut tidak membahas soal mengucapkan ucapan Selamat Natal. MUI Tidak Mengharamkan ucapan Selamat Natal, kata Din Syamsuddin

Dikutip dari Hidayatullah.com Selasa, Jum'at, 23 Desember 2011:

Din Syamsuddin: “MUI Tidak Larang Ucapan Selamat Natal”

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr. Din Syamsuddin mengatakan, MUI tak melarang umat Islam memberikan ucapan “Selamat Natal”. Ibnu Qayyim dan Syaikh Muhammad ‘Utsaimîn mengatakan haram.

Link sumber: https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2005/10/11/41091/din-syamsuddin-mui-tidak-larang-ucapan-selamat-natal.html


FATWA MUI 1981 DIKUTIP DARI KUMPULAN FATWA MUI 1997

(MUI) MEMUTUSKAN (Memfatwakan)

Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.
Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram. Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal. (Jakarta, 1 Jumadil Awal 1401 H, 7 Maret 1981, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Ketua K. H. M SYUKRI GHOZALI Sekretaris Drs. H. MAS‘UDI).

Sumber: Himpunan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia 1417H/ 1997, halaman 187-193)


CATATAN:
Dalam fatwa di atas, jelas disebutkan HARAMNYA mengikuti kegiatan-kegiatan Natal. Bukan mengucapkan selamat Natal.

DIN SYAMSUDDIN TENTANG UCAPAN SELAMAT NATAL
Kapanlagi.com- Ada pengakuan menarik dari Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof DR HM Din Syamsuddin MA soal muslim memberikan ucapan selamat Natal.

"Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman Kristiani," katanya di hadapan ratusan umat Kristiani dalam seminar Wawasan Kebangsaan X BAMAG Jatim di Surabaya (10/10). Din yang juga Sekretaris Umum MUI Pusat itu menyatakan MUI tidak melarang ucapan selamat Natal, tapi melarang orang Islam ikut sakramen/ritual Natal.

"Kalau hanya memberi ucapan selamat tidak dilarang, tapi kalau ikut dalam ibadah memang dilarang, baik orang Islam ikut dalam ritual Natal atau orang Kristen ikut dalam ibadah orang Islam," katanya.

KESIMPULAN HUKUM UCAPAN SELAMAT NATAL
Seorang muslim yang mengucapkan Selamat Natal kepada pemeluk Nasrani hukumnya boleh menurut mayoritas ulama. Yang haram adalah apabila mengikuti ritual atau sakramen natal. Mengucapkan Selamat Natal itu perlu bagi umat Muslim yang memiliki tetangga, teman kuliah/sekolah, kolega kerja, atau rekan bisnis yang beragama Nasrani sebagai sikap mutual respect.

Bagi yang tidak punya hubungan apapun dengan orang Nasrani, tentu saja ucapan itu tidak diperlukan. Adapun pendapat yang tidak membolehkan adalah pendapat sebagian kecil ulama umumnya yang berlatarbelakang faham Wahabi Salafi.

TASYABBUH: MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL
Setiap bulan Desember umat Nasrani merayakan hari raya agama mereka, yaitu Hari Natal yang jatuh pada tanggal 25 Desember, beberapa sudut pertokoan mulai ramai dengan hiasan natal. Supermarket-supermarket yang mulanya sepi-sepi saja, kini dihiasi dengan pernak-pernik natal. Media massa pun tidak ketinggalan ikut memeriahkan hari raya ini dengan menayangkan acara-acara spesial natal.

PERTANYAAN:


  1. a. Bagaimanakah hukumnya seorang muslim mengucapkan selamat “Selamat Hari Natal” sebagai bentuk dari ukhuwwah al-Basyariyyah (toleransi sesama manusia)?
  2. b. Toleransi yang bagaimanakah yang diajarkan oleh syariat agama terhadap Non-Muslim?

JAWABAN:


  1. Mengucapkan “Selamat Hari Natal” tidak diperbolehkan dengan berbagai pertimbangan:
    • Terdapat unsur memuliakan terhadap Non-Muslim
    • Akan menimbulkan persepsi positif terhadap akidah mereka kepada khalayak umum, akan tetapi jika sikap ini justru akan menimbulkan penilaian negative terhadap Islam dan juga di perlukan maka di perbolehkan mengucapkannya dengan syarat ucapan tersebut bukan dalam rangka memberikan penghormatan tetapi demi menampakkan keindahan dan cinta kasih dalam Islam
  2. Toleransi yang hanya sebatas dhahir artinya tidak sampai menimbulkan ekses menyukai serta tidak menimbulkan persepsi salah di kalangan orang awam.

REFERENSI:


  1. Tafsiir al-Fakhr ar-Raazi I/1124
  2. Fataawa Ibn Hajar al-Haytamy IV/238
  3. Bariiqah Mahmuudiyyah II/354
  4. Hasyiyah al-Jamal alaa al-Manhaj III/576
  5. Tuhfah al-Muhtaj 40/259

Kesimpulannya adalah:
  1. Bila perbuatan tersebut dilakukan ada rasa senang dengan tujuan meniru mereka dalam rangka (ikut serta) syiar atas kekufuran mereka maka hukumnya kufur secara pasti
  2. Bila bertujuan ikut meramaikan hari rayanya orang kafir (tanpa memandang kekufuran mereka) hukumnya berdosa
  3. Bila tidak bertujuan seperti tersebut di atas hukumnya makruh (Fataawy Ibni Hajar alhaytamy VI/153)

والله أعلم بالصواب


. . . . . . . . .





Back to The Title

1 komentar:

  1. Hukum Ucapan Selamat Natal >>>>> Download Now

    >>>>> Download Full

    Hukum Ucapan Selamat Natal >>>>> Download LINK

    >>>>> Download Now

    Hukum Ucapan Selamat Natal >>>>> Download Full

    >>>>> Download LINK Jo

    BalasHapus

Back to top